Makalah ilmiah ini merupakan refleksi saya sebagai mahasiswa yang terlibat menjadi aktor pembangunan dalam Program Desa Cemara (Cerdas, Mandiri, Sejahtera). Program yang dirancang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui melalui kolaborasi bersama perguruan tinggi, pemerintah daerah, pemerintah desa, dan masyarakat desa. Upaya tersebut dilakukan dengan melakukan pemutakhiran data bagi masyarakat yang tidak kunjung mendapatkan bantuan sosial di Desa Sukahaji, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut. Dalam prosesnya, mahasiswa sebagai aktor pembangunan mengalami beragam tantangan emosional berupa penolakan, tuduhan, dan keluhan. Kemampuan untuk langsung bangkit kembali ketika menghadapi situasi sulit merupakan bentuk affective resilience dan affective privilege yang dimiliki oleh aktor pembangunan Desa Cemara yang memudahkan penyusunan kembali rencana intervensi. Pada sisi lain, kedua aspek afektif tersebut menjadi penghalang aktor pembangunan dalam menilik kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Makalah ilmiah ini mengeksplorasi bagaimana arena pembangunan tidak hanya dilihat sebagai proses yang serba teknis, tetapi juga dikelilingi oleh aspek afektif yang memengaruhi keputusan aktor pembangunan dalam membentuk program intervensi. This scientific paper is my reflection as a student involved as a development actor in the Desa Cemara (Cerdas, Mandiri, Sejahtera) Program. The program designed by the National Development Planning Agency/Bappenas RI aims to reduce poverty through collaboration with universities, local governments, village governments, and village communities. This effort was carried out by updating data for people who did not receive social assistance in Sukahaji Village, Sukawening District, Garut Regency. During the process, students as development actors experienced various emotional challenges in the form of rejection, accusations, and complaints. The ability to immediately bounce back when facing difficult situations is a form of affective resilience and affective privilege possessed by the development actors of Desa Cemara. These two affective aspects made it easier for development actors to reorganize the intervention plan, but on the other hand it is also become a challenge in recognizing the real needs of the community. This paper explores how the development arena can be seen not only as a technical process, but also surrounded by affective aspects that influence development actors' decisions in shaping intervention programs. |