Hukuman mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang masih dipertahankan di Indonesia. Latar belakang historis menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Pemerintah Belanda. Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, hukuman mati tetap ada bahkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan tetap dipertahankan dalam KUHP Baru. Diskursus dan praktik hukuman mati dirasionalisasi bahwa hukuman mati mampu menimbulkan efek penggentarjeraan di masyarakat. Eksistensi hukuman mati ini sesungguhnya menimbulkan polemik di kalangan ilmuwan hukum Indonesia. Ada kalangan yang menyetujui dan ada yang menolak eksistensi hukuman mati tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji diskursus normatif tentang hukuman mati dari kalangan ilmuwan hukum di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini juga mengkaji arah politik hukuman mati di Indonesia. Setelah menganalisis diskursus normatif dan politik kriminal hukuman mati, penelitian ini juga menganalisis hasil-hasil penelitian kriminologis hukuman mati untuk melihat apakah hukuman mati benar-benar menimbulkan efek penggentarjeraan. Metode penelitian ini menggunakan analisis diskursus Foucault untuk melihat adanya diskursus dominan dari hukuman mati. Perspektif kriminologi konstitutif dan counter-colonial criminology digunakan dalam tulisan ini untuk mengkaji bagaimana pengaruh teori penghukuman Barat terhadap diskursus normatif hukuman mati tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kondisi diskrepansi antara diskursus hukuman mati dengan rasionalitas yang mendasarinya. Hal ini membuat hukuman mati menjadi paradoks. Solusi atas kondisi paradoks hukuman mati tersebut dibutuhkan diskursus pengganti. Perspektif peacemaking criminology digunakan untuk menunjukkan bahwa hukuman mati yang tidak menyelesaikan masalah kejahatan perlu diganti dengan perspektif perdamaian sebagai respon alternatif terhadap kejahatan. The capital punishment is a form of punishment that is still maintained in Indonesia. The historical background shows that the capital punishment in Indonesia is a legacy of Dutch colonialism. Since Indonesia's independence until now, the capital punishment has persisted and is even spread out in various laws and regulations and is maintained in the New Criminal Code. The discourse and practice of the capital punishment rationalizes that the capital punishment can create a deterrent effect in society. The existence of the capital punishment has actually caused polemics among Indonesian legal scientists. There are people who agree and there are those who reject the existence of the capital punishment. Therefore, this study examines the normative discourse on the capital punishment among legal scientists in Indonesia. Furthermore, this research also examines the political direction of capital punishment in Indonesia. After analyzing the normative discourse and criminal politics of the capital punishment, this study also analyzes the results of criminological research on the capital punishment to see whether the capital punishment actually creates a deterrent effect. This research method uses Foucault discourse analysis to see the existence of a dominant discourse on the capital punishment. The perspectives of constitutive criminology and counter-colonial criminology are used in this paper to examine how the influence of Western punishment theory has on the normative discourse on capital punishment. The results of this study indicate that there is a condition of discrepancy between the capital punishment discourse and its rationality. This makes the capital punishment a paradox. A solution to the paradoxical condition of the capital punishment requires a replacement discourse. The perspective of peacemaking criminology is used to show that the capital punishment which does not solve the problem of crime needs to be replaced with a perspective of peace as an alternative response to crime. |