Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk di Indonesia. Jumlah kasus kepailitan dan penangguhan utang yang semakin meningkat, berdampak pada upaya pemerintah dalam pemulihan ekonomi. Restrukturisasi utang dipandang sebagai cara untuk menghindari kepailitan, dan prinsip kelangsungan usaha memegang peranan penting dalam memberikan perlindungan hukum bagi debitur. Namun, undang-undang kepailitan di Indonesia saat ini terutama berlaku untuk perseroan terbatas, meninggalkan persekutuan dengan pengaturan terbatas untuk restrukturisasi utang. Sebaliknya, Pemerintah Skotlandia telah memperkenalkan Debt Arrangement Scheme (DAS) sebagai alternatif untuk kepailitan, memberikan lebih banyak waktu kepada individu dan persekutuan untuk membayar utang mereka. Pengenalan Business DAS telah memperluas ruang lingkup untuk memasukkan persekutuan komanditer. Di Indonesia, restrukturisasi utang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang memungkinkan homologasi rencana perdamaian. Efektivitas rencana ini bergantung pada kolaborasi debitur dan kreditur. Apabila rencana perdamaian dihentikan, debitur dianggap pailit dan harta kekayaannya dititipkan kepada kurator. Kreditur dapat menghadapi konsekuensi yang merugikan jika hasil dari penjualan aset tidak dapat menutupi piutang yang belum dilunasi. Di sisi lain, di Skotlandia, DAS diperkenalkan untuk membantu bisnis mengelola utang mereka. Namun, berpartisipasi dalam DAS mungkin memiliki konsekuensi seperti dampak pada peringkat kredit, pengecualian utang tertentu, potensi bunga dan biaya yang dikenakan oleh kreditur, dan kemungkinan proses kebangkrutan. Penting bagi debitur untuk mengevaluasi implikasi jangka panjang dan dampak psikologis dari keterlibatan dalam DAS. The Covid-19 pandemic has had a significant impact on the global economy, including in Indonesia. The increasing number of bankruptcy and debt suspension cases has had an impact on the government's efforts to recover the economy. Debt restructuring is seen as a way to avoid bankruptcy, and the principle of business continuity plays an important role in providing legal protection for debtors. However, bankruptcy law in Indonesia currently mainly applies to limited liability companies, leaving partnerships with limited arrangements for debt restructuring. In contrast, the Scottish Government has introduced a Debt Arrangement Scheme (DAS) as an alternative to bankruptcy, giving individuals and partnerships more time to pay their debts. The introduction of Business DAS has widened the scope to include limited partnerships. In Indonesia, debt restructuring is regulated in Law Number 37 of 2004 which allows homologation of peace plans. The effectiveness of this plan depends on the collaboration of debtors and creditors. If the reconciliation plan is stopped, the debtor is considered bankrupt and his assets are entrusted to the curator. Creditors may face adverse consequences if the proceeds from the sale of assets cannot cover outstanding receivables. On the other hand, in Scotland, DAS was introduced to help businesses manage their debt. However, participating in DAS may have consequences such as impact on credit rating, exclusion of certain debts, potential interest and fees charged by creditors, and possible bankruptcy proceedings. It is important for debtors to evaluate the long-term implications and psychological impact of engaging in DAS. |