Penelitian ini berfokus pada siklus kehidupan dalam sebuah bisnis Pabrik Tahu Na Po Tet dan transformasi atau perubahannya yang berawal mula hanya sebuah pabrik kini juga menjadi sebuah resto. Pabrik Tahu Na Po Tet merupakan salah satu pabrik tahu tertua yang ada di Kota Tangerang Selatan. Pabrik ini terbentuk dengan dasar keinginan dari Pak Na Po Tet yang tidak ingin bekerja untuk orang lain sehingga memilih untuk membangun bisnisnya sendiri. Pabrik tahu ini telah didirikan sejak tahun 1965 (58 tahun) yang kini telah diwariskan kepada anaknya yaitu Pak Santo Halim. Meskipun pabrik ini sudah sangat tua dibandingkan pabrik tahu lainnya di Tangerang Selatan, tetapi pabrik ini tetap memiliki daya saing yang tidak kalah dibandingkan dengan pendatang baru lainnya dengan tetap mempertahankan kualitas dan melakukan pemasaran lewat supermarket untuk meluaskan jangkauan pemasaran. Analisis deskriptif dan spasial adalah metode yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui secara mendalam mengenai inovasi dan perubahan yang terjadi pada Pabrik Tahu Na PO Tet sejak 1965 hingga sekarang. Sedangkan analisis spasial digunakan untuk memetakan jangkauan pemasaran dan mengakomodir penggunaan Teori 3A Pariwisata sebagai faktor pendukung keberadaan Pabrik Tahu Na Po Tet yang dianggap sebagai Objek Wisata Kuliner. Pengambilan data primer dilakukan dengan cara wawancara dengan informan utama yaitu owner dari pabrik tahu (yang diwakilkan), observasi lapangan, dokumentasi dan plotting menggunakan aplikasi Avenza. Sedangkan data sekunder diperoleh dari BIG dan Google Earth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pabrik ini jelas telah mengalami siklus sebuah bisnis berdasarkan Teori Business Life-Cycle yakni pabrik ini telah melewati masa kesulitan dari awal produksi tahu hanya sendiri hingga memiliki beberapa karyawan, hingga dapat memasukkan produk tahu kedalam supermarket untuk memperluas jangkauan pemasaran. Kemudian pabrik ini tidak pernah terjadi sebuah penurunan, namun cenderung stagnan yang kemudian naik kembali dengan dibentuknya resto ketika Covid-19 melanda. Kemudian sebagai objek wisata kuliner, pabrik ini masih memiliki kekurangan dalam hal atraksi, hal tersebut terjadi karena yang menjadi nilai jual pabrik ini adalah dibolehkannya pengunjung untuk berkunjung kedalam ruang pabrik dan keasrian suasana dari pabrik ini, meskipun kekurangan akan hal tersebut tidak menjadi masalah yang besar bagi pabrik ini. Sehingga bisa disimpulkan bahwa sebagai objek wisata kuliner, pabrik ini belum cukup ideal untuk mengakomodir atraksi yang ditawarkan, teteapi untuk fasilitas dan aksesibilitas sudah sangat cukup memadai. This research focuses on the life cycle of a Na Po Tet Tofu Factory business and its transformation or change, which started as a factory and now has become a restaurant. The Na Po Tet Tofu Factory is one of the oldest tofu factories in South Tangerang City. This factory was formed based on the wishes of Mr. Na Po Tet who did not want to work for other people so he chose to build his own business. This tofu factory has been established since 1965 (58 years) which has now been passed on to his son, Pak Santo Halim. Even though this factory is very old compared to other tofu factories in South Tangerang, this factory still has competitiveness that is not inferior to other newcomers by maintaining quality and marketing through supermarkets to expand marketing reach. Descriptive and spatial analysis are the methods used in this study. Descriptive analysis is used to find out in depth about the innovations and changes that have occurred at the Tofu Na PO Tet Factory since 1965 until now. Meanwhile, spatial analysis is used to map marketing reach and accommodate the use of 3A Theory of Tourism as a supporting factor for the existence of the Na Po Tet Tofu Factory which is considered a Culinary Tourism Object. Primary data collection was carried out by interviewing the main informant, namely the owner of the tofu factory (who was represented), field observations, documentation and plotting using the Avenza application. Meanwhile, secondary data was obtained from BIG and Google Earth. The results of this study indicate that this factory has clearly experienced a business cycle based on the Business Life-Cycle Theory, namely this factory has gone through a period of difficulty from the beginning of tofu production alone to having several employees, to being able to enter tofu products into supermarkets to expand marketing reach. Then this factory never experienced a decline, but tended to stagnate which then rose again with the establishment of a restaurant when Covid-19 hit. Then as a culinary tourism object, this factory still has deficiencies in terms of attractions, this happens because the selling point of this factory is that visitors are allowed to visit the factory rooms and the beautiful atmosphere of this factory, even though these deficiencies are not a big problem for this factory. So it can be concluded that as a culinary tourism object, this factory is not ideal enough to accommodate the attractions offered, but the facilities and accessibility are very sufficient. |