Keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang dikenal sebagai Brexit (British Exit) melalui Referendum Brexit pada tanggal 23 Juni 2016 merupakan topik paling penting, kontroversial, dan sulit untuk dipahami dalam sejarah kontemporer Inggris karena banyaknya wacana dengan kompleksitas yang ada serta belum selesainya proses ini hingga saat ini. Pilihan untuk keluar dari Uni Eropa membawa dampak tidak hanya bagi Inggris tetapi juga bagi Uni Eropa dalam hal identitas nasional, masyarakat, ekonomi politik, perdagangan, posisi internasional, konstitusi, kedaulatan bangsa, sistem hukum, partai politik, serta nilai dan sikap terhadap hal-hal di atas. Brexit merupakan serangkaian proses yang saling terkait dan melibatkan banyak pihak di Inggris, Uni Eropa, dan dunia. Memahami Brexit berarti memahami sebuah negara yang sedang berada di persimpangan dan berada dalam ketidakpastian dan ketidakamanan. Disertasi ini meneliti bagaimana identitas nasional nasional Inggris dikonstruksi secara diskursif dalam pidato kampanye Brexit oleh empat politisi Inggris menjelang Referendum pada tahun 2016. Untuk menjawab masalah penelitian penulis menggunakan ancangan penelitian kualitatif dengan menerapkan analisis wacana kritis ancangan sejarah, konsep identitas, nasionalisme, komunitas imajiner dan artikulasi untuk menginterpretasi hasil analisis data dan memahami konstruksi diskursif identitas nasional Inggris pada bulan Januari–Juni 2016. Prosedur analisis wacana kritis ancangan sejarah Wodak yang menganalisis isi, strategi, dan realisasi linguistik pada korpus empat pidato politisi berpengaruh pada periode tersebut digunakan. Teks pidato yang dijadikan data adalah pidato yang disampaikan dalam periode Januari-Juni 2016. Periode ini dipilih karena pada masa itulah konstruksi identitas nasional secara intens terjadi dan diperdebatkan sehingga menghasilkan keputusan politik Brexit. Keempat politisi yang dipilih adalah tokoh-tokoh utama dalam kampanye Brexit dan mewakili dua kubu yang bertarung untuk memenangkan referendum. Mereka adalah PM Boris Johnson, Nigel Farage, PM David Cameron dan PM Theresa May.Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Brexit bukanlah sekadar tindakan politik semata, namun juga merupakan artikulasi ketakutan, harapan, identitas nasional, dan respons terhadap globalisasi di tingkat nasional dan personal. Dalam pidato mereka keempat politisi dari kubu The Leavers dan The Remainers menggunakan topik-topik tentang peran Inggris, latar belakang sejarah Inggris di Eropa dan sikap terhadap Uni Eropa. Mereka juga menggunakan strategi argumentasi dan diskursif. Dua politisi dari kubu The Leavers mengonstruksi Inggris sebagai bangsa yang sedang dikuasai Uni Eropa sedangkan dua politisi lainnya menganggap Inggris harus memainkan peran yang lebih luas di Uni Eropa agar organisasi supranasional ini berjalan sesuai dengan keinginan bangsa Inggris. Dalam menyampaikan argumen keempat politisi dalam pidato mereka menggunakan fitur-fitur linguistis tertentu seperti pronomina I, you, we, they untuk mengidentifikasi mereka baik sebagai pribadi maupun bagian dari pendengar pidato mereka. Dua politisi dari kubu The Leavers menggunakan nomina nama kota tempat lembaga-lembaga Uni Eropa berada untuk menunjukkan Eropa sebagai yang liyan. Penggunaan kata-kata seperti ini menunjukkan konstruksi identitas nasional keempat politisi dalam pidato-pidato yang diteliti. Secara gramatikal penggunaan tenses, majas, struktur kalimat, repetisi kalimat dan digunakan untuk menekankan pentingnya argumen mereka dan perbedaan mereka dalam menyampaikan argumen. Pidato-pidato juga menunjukkan adanya interdiskursivitas dengan wacana-wacana lain sesuai konteks pada bulan Januari-Juni 2016. Hal lain yang ditemukan dalam analisis adalah adanya pengaruh ideologi euroskeptisme dan nasionalisme pada keempat politisi seperti yang disampaikan dalam pidato-pidato mereka. Disertasi ini menyimpulkan bahwa identitas nasional Inggris dikonstruksi secara diskursif dalam keempat pidato menjelang Referendum 2016. The leaving of the United Kingdom from the European Union on 23 June 2016 known as Brexit (British Exit) is the most important, controversial and complex topic in contemporary British history. This is due to the complexity and the unfinished process until now. The referendum to leave European Union affects not only the United Kingdom, but also European Union in terms of national identity, society, political economy, commerce, international affairs, constitution, souvreignity, legal system, political parties, values and attitudes towards those matters. Brexit is not a single process, rather it is a series of interconnected processes which involve many stakeholders in the UK, European Union and the world. Understanding Brexit means understanding a nation in transition and uncertainties as well as insecurities. This dissertation aims to examine how British national identity was constructed discursively in Brexit campaign speeches by four influential politicians prior to the Referendum in 2016. To answer the research problem the writer uses qualitative approach by employing discourse historical approach, identity, nationalism, imagined community, and articulation concepts to interpret data analysis and understand the discursive construction of British national identity between January to June 2016. Wodak’s discourse historical approach procedure by analysing the topics, strategies and linguistic realization in the corpus of four influential politician speeches at that period of time are employed. The data are speeches delivered in the period of January to June 2016. This period is chosen because in this period national identity construction is intensively constructed and debated to produce a political decision on Brexit.The four politicians represent two sides competing to win the referendum. They are PM Boris Johnson,Nigel Farage, PM David Cameron, and PM Theresa May.The research findings show that Brexit is far from just a political act, it is an articulation of fear, hope, national identity, and response to globalization at the national and personal level. In their speeches the four politicians from both sides use topics about the roles of the UK, historical background of the UK in Europe and its attitude towards European Union. They also use argumentation and discursive strategies. Two politicians from The Leavers construct British as a nation invaded by the European Union, while the other two politicians encourage British to take more active roles in the EU to ensure that this supranational organization functions as they should. In presenting their arguments the four politicians use certain pronouns like I, you, we, they to identify themselves either as themselves or as part of their audience. Two politicians from The Leavers use proper nouns for cities in which major EU organizations are located. The purpose of which is to represent the EU as the other. The use of words like those shows the construction of national identities of the four politicians in their speeches. Grammatically speaking, the use of tenses, figures of speeches, sentence structure, sentence repetition are employed to emphasize the importance of their arguments and their differences. The speeches also depict interdiscursivities with other discourses in line with the contexts in January-June 2016. The other finding shows that Euroscepticism and nationalism as ideologies can be found in the data. This dissertation concludes that British national identity is constructed discursively in the four speeches prior to Referendum 2016. |