Penelitian ini mengikuti karakteristik penelitian hukum sebagai berikut: (1) menjelaskan bagaimana hukum berlaku dalam keadaan tertentu, (2) merupakan kegiatan penyelesaian masalah; (3) deskripsi tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum; (4) merupakan disiplin preskriptif yang bersifat normatif, bukan hanya bersifat disiplin analitis yang empiris. Penelitian ini juga merupakan penelitian inter-disipliner (socio-legal) yaitu menggunakan disiplin-disiplin non-hukum untuk mengkaji keberadaan hukum dam konteks sosialnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah Savigny, pendekatan interpretivism Habermas dan pendekatan transendental. Penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa Bung Karno sebagai penggali Pancasila sungguh mengambil kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dari peradaban Bangsa Indonesia untuk kemudian dijadikan dasar bagi negara Republik Indonesia yang merdeka di tahun 1945. Penelitian ini menunjukkan bahwa Serat Sasangka Jati sebagaimana dijelaskan oleh R. Soenarto Mertowardojo, sungguh-sungguh memiliki benang merah yang sangat mengakar terhadap peradaban dan kebudayaan Nusantara terutama masyarakat Jawa. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Sasangka Jati dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa dalam kebudayaan Nusantara terdapat dominasi yang serasi antara nilai-nilai antinomis, di mana yang menonjol adalah tiga hal sebagai berikut: (1) komunalisme lebih dominan daripada individualisme; (2) spiritualisme lebih dominan daripada materialisme dan (3) romantisisme lebih dominan daripada rasionalisme. Ketiga hal ini ternyata terlihat jelas dalam Serat Sasangka Jati, dan apabila Pancasila dilihat dari perspektif Serat Sasangka Jati, semakin jelaslah konsistensi nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila dengan nilai-nilai kebudayaan Nusantara dalam hal ini Serat Sasangka Jati. Dengan demikian memahami Pancasila apabila tidak melalui tolok ukur dari akar pemahaman kebudayaan Nusantara akan menyebabkan anomie dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa sangat menentukan pola kehidupan bernegara di negara modern Indonesia. Dengan demikian pandangan mengenai pola kehidupan bernegara yang berdasarkan kebudayaan Jawa perlu ditemukan pemahamannya terutama dari Serat Sasangka Jati, sehingga pemahaman kehidupan bernegara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila hendaknya (seharusnya) sungguh-sungguh mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Preskripsi dari penelitian ini dalam memahami Pancasila adalah perlunya kesadaran bahwa sumber kekuasaan negara adalah satu yaitu tatanan Sang Pencipta, oleh sebab itu konsep Pamoring Kawula Gusti sejatinya adalah konsep yang membawa manusia untuk melaksanakan kehidupannya sesuai dengan tatanan Sang Pencipta. Kesadaran terhadap tatanan Sang Pencipta tersebut tertuang dalam sikap tindak (hati dan pikiran) Hasta-Sila, sikap tindak tersebut apabila meresap dalam perikehidupan masyarakat Indonesia akan membawa kepada masyarakat yang harmonis secara spiritual (post secular society) karena muncul ketenangan pada masing-masing individu, rasa saling menghormati antar keyakinan, tegaknya hubungan (adil) antar golongan masyarakat dan terutama sekali dengan alam semesta sebagai wadah kehidupan manusia. This research strictly follows the characteristics of legal research as follows: (1) explains how the law applies in certain circumstances, (2) is a problem-solving activity; (3) a description of the main definitions in law; (4) is a normative prescriptive discipline, not only an empirical analytical discipline. This research is also an inter-disciplinary (socio-legal) research that uses non-legal disciplines to examine the existence of law and its social context. This research uses the historical approach of Savigny, the interpretivism approach of Habermas and the transcendental approach. This dissertation research shows that Bung Karno as the digger (Penggali) of Pancasila really took the crystallization of the values contained in the civilization of the Indonesian nation and then became the basis for the independent Republic of Indonesia in 1945. This research shows that Serat Sasangka Jati as described by R. Soenarto Mertowardojo, really has a very deep-rooted common thread to the civilization and culture of the archipelago (Nusantara), especially the Javanese people. Thus, the values contained in Serat Sasangka Jati is able to be used as benchmarks to see the values contained in Pancasila. This study identifies that in the culture of the archipelago (Nusantara), there is a harmonious dominance between antinomic values, in which three things stand out as follows: (1) communalism is more dominant than individualism; (2) spiritualism is more dominant than materialism and (3) romanticism is more dominant than rationalism. These three things are clearly visible in Serat Sasangka Jati, and if Pancasila is seen from the perspective of Serat Sasangka Jati, there is consistency of values between Pancasila and the cultural values of the archipelago in this case is Serat Sasangka Jati. Thus, understanding Pancasila if not through benchmarks from the roots of understanding the culture of the Nusantara will cause anomie in the legal system in Indonesia. This study shows that Javanese culture greatly determines the pattern of statehood in the modern Indonesia. Thus, an understanding of the pattern of statehood based on Javanese culture needs to be found, especially from Serat Sasangka Jati, so that the understanding of the life of the Republic of Indonesia based on Pancasila should truly reflect the identity of the Indonesian nation. The prescription of this research in understanding Pancasila is the need for awareness that the source of state power is one, namely the order of the Creator, therefore the concept of Pamoring Kawula Gusti is actually a concept that leads humans to carry out their lives according to the order of the Creator. Awareness of the order of the Creator is contained in the attitude of action (heart and mind) Hasta-Sila, the attitude of this action if it permeates the lives of the Indonesian people will lead to a spiritually harmonious society (post secular society) because tranquility appears in each individual, mutual respect between beliefs, the establishment of (fair) relationships between groups of people and especially with the universe as a place for human life. |