Istana Ali Marhum Kantor di Pulau Penyengat merupakan bangunan cagar budaya peninggalan masa Kesultanan Riau-Lingga (1900–1912) yang belum pernah difungsikan kembali secara permanen sejak ditinggalkan oleh Kesultanan Riau-Lingga. Bangunan ini mengalami degradasi fisik ringan secara konstan seperti pengelupasan cat bangunan, lepasnya lantai-lantai kayu, serta kotornya dinding yang ditutupi lumut-lumut dan jamur yang dibiarkan dan dibersihkan menyeluruh ketika ada pemugaran (biasanya setiap 10 tahun sekali). Bangunan ini juga memiliki riwayat pemugaran yang menyalahi panduan pelestarian karena menghilangkan ornamen Melayu pada fasad bangunan. Artinya, dengan tidak dimanfaatkannya bangunan ini mengancam pelestarian dan otentisitas bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, melalui pendekatan manajemen sumber daya, sebuah bentuk alternatif pemanfaatan diajukan sebagai upaya optimalisasi bangunan Cagar Budaya. Penelitian terapan ini menggunakan tahapan penelitian Sharer dan Ashmore (2010), yakni formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Alternatif pemanfaatan dikaji berdasarkan rekomendasi pengelolaan Cagar Budaya yang dirumuskan oleh UU CB (2010) dan BPCB Sumbar (2017) serta studi komparatif dengan Istana Kampong Gelam Singapura. Keduanya merupakan bangunan cagar budaya tingkat nasional yang memiliki keterkaitan latar belakang sejarah dan budaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk alternatif pemanfaatan sebagai Pusat Informasi Kebudayaan Melayu dapat diterapkan di Istana Ali Marhum Kantor. The Istana Ali Marhum Kantor, a cultural heritage building on Penyengat Island, dates back to the Riau-Lingga Sultanate era (1900-1912). Despite its historical significance, the structure has remained unused since the Sultanate's departure. It has experienced gradual physical degradation, including peeling paint, detached wooden floors, and moss-covered walls. Past restoration efforts have removed Malay ornaments from the facade, further jeopardizing its preservation and authenticity. To address these challenges, a resource management approach is proposed for the optimal utilization of the Cultural Heritage building. Following the research stages by Sharer and Ashmore (2010), an alternative utilization plan is developed. It aligns with recommendations for Cultural Heritage management, adhering to the Cultural Heritage Law (2010) and the Regional Center for Cultural Heritage Preservation of West Sumatra (2017). A comparative study is conducted with the Istana Kampong Gelam in Singapore, another national-level cultural heritage building. The results of this study indicate that an alternative form of utilization as an Information Center for Malay Culture can be implemented at the Ali Marhum Palace Office. |