Pada tahun 1997 dan 2004-2005, Pemerintah Indonesia melikuidasi beberapa bank umum antara lain akibat adanya tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh para pemegang saham dan/atau para pengurus bank. Sisa aset bank tersebut diserahkan kepada Pemerintah untuk dikelola, dimana hasil pengelolaan aset tersebut diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban bank. Selama ± 13 tahun mengelola aset tersebut, Pemerintah mengeluarkan biaya pengelolaan aset yang cukup besar yang tidak sebanding dengan penerimaan hasil pengelolaan aset. Di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan UNCAC 2003 yang antara lain mengatur mengenai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF). Beberapa negara, contohnya Amerika Serikat dan Thailand, menggunakan NCBAF ini sebagai strategi baru yang digunakan untuk memperbaiki situasi dimana penyitaan tidak efektif karena terlalu sulit untuk mencapai sanksi pidana. Untuk itu, penelitian ini mengkaji pengaturan dan pelaksanaan mekanisme ini di Indonesia, Amerika Serikat, dan Thailand terhadap tindak pidana di bidang perbankan, khususnya pada Bank Dalam Likuidasi (BDL) serta memberikan rekomendasi dalam rangka pengembalian aset (asset recovery) pengelolaan aset BDL ditinjau dari hukum responsif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif untuk memperoleh hasil kajian yang bersifat preskriptif-analitis dengan mengolah data baik primer maupun sekunder. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme ini telah berhasil dilaksanakan di Amerika Serikat dan Thailand. Namun, belum dilaksanakan di Indonesia karena masih menganut mekanisme criminal forfeiture dan dalam pelaksanaannya masih berhadapan dengan beberapa kendala. Oleh karena itu, Pemerintah perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dengan mengakomodir beberapa konsep kunci. Pengesahan ini merupakan perwujudan hukum yang responsif atas kebutuhan sosial masyarakat. In 1997 and 2004-2005, the Government of Indonesia liquidated several commercial banks due to criminal acts in the banking sector committed by shareholders and/or bank administrators. The bank's assets are handed over to the Government to be managed, where the results of the management of these assets are taken into account as a deduction from the bank's liabilities. During ± 13 years of managing these assets, the Government incurred sufficient asset management costs that were not proportional to the receipt of asset management results. On the other hand, the United Nations issued UNCAC 2003 which among other things regulates Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF). Some countries, for example the United States and Thailand, are using the NCBAF as a new strategy used to improve situations where seizures are ineffective because it is too difficult to achieve criminal sanctions. For this reason, this study examines the regulation and implementation of this mechanism in Indonesia, the United States, and Thailand against criminal acts in the banking sector, especially in Banks In Liquidation (BDL) and provides recommendations in the context of asset recovery in the management of BDL assets in terms of responsive law. This research uses normative research methods to obtain prescriptive-analytical study results by processing data both primary and secondary. From the results of the study concluded that this mechanism has been successfully implemented in the United States and Thailand. However, it has not been implemented in Indonesia because it still adheres to the criminal forfeiture mechanism and in its implementation it is still facing several obstacles. Therefore, the Government needs to immediately pass the Asset Forfeiture Bill by accommodating several key concepts. This ratification is the embodiment of a law that is responsive to the social needs of the community. |