Restorative justice merupakan salah satu pendekatan alternatif dalam penyelesaian konflik di luar pengadilan yang melibatkan pihak-pihak yang berkonflik. Penerapan restorative justice berprinsip pada pemulihan korban dan menekankan pada proses yang adil. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tidak lagi menawarkan segala bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan tanpa melibatkan adanya proses pengadilan, dikarenakan anggapan bahwa proses restorative justice tidak dapat dikontrol dan penuh dengan dilema. Praktik restorative justice yang ideal, yang mengutamakan kepentingan dan kebutuhan korban memungkinkan timbulnya perasaan memaafkan oleh korban kepada pelaku sebagai tanggapan dari penjelasan mengenai perilaku pelaku, ungkapan penyesalan dan penebusan kesalahan yang diberikan oleh pelaku. Pemaafaan memungkinkan korban melepaskan ketakutannya akan peristiwa masa lalu dan ketakutan akan pelaku. Penghapusan restorative justice menyebabkan munculnya pandangan pro dan kontra, sehingga penelitian ini bertujuan untuk memberikan temuan yang menguatkan argumen penerapan restorative justice dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode population-based survey experiments. Penelitian eksperimen dilakukan dengan membagi partisipan (n=188) kedalam empat kelompok eksperimen, dimana setiap kelompok akan diberikan stimulus berupa cerita singkat (vignette) mengenai penerapan restorative justice pada kasus kekerasan seksual dan dilihat nilai pemaafannya dengan menggunakan alat ukur TRIM-18. Hasil pengujian One-way F-test ANOVA menunjukkan nilai F= 1,163, p= 0,325 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan restorative justice tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai pemaafan korban kekerasan seksual. Restorative justice is an alternative approach in resolving conflicts outside of court involving conflicting parties. Application restorative justice principled on the recovery of victims and emphasizes a fair process. Law Number 12 of 2022 concerning the Crime of Sexual Violence, no longer offers any form of conflict resolution that is carried out without involving a court process, due to the assumption that the process restorative justice uncontrollable and full of dilemmas. The ideal practice of restorative justice that prioritizes the interests and needs of the victim enables feelings of forgiveness by the victim towards the perpetrator in response to explanations regarding the perpetrator's behavior, expressions of regret and redemption of mistakes given by the perpetrator. Forgiveness allows the victim to let go of their fears about past events and their fear of the perpetrator. Removal restorative justice causes the emergence of pro and con views, so this research aims to provide findings that strengthen the implementation argument restorative justice in previous studies. This research uses population-based survey experiments. Experimental research was carried out by dividing participants (n=188) into four experimental groups, where each group would be given a stimulus in the form of a short story (vignette) about the process of restorative justice in cases of sexual violence and seen the value of forgiveness using TRIM-18. Test result of One-way F-test ANOVA shows the value of F= 1.163, p= 0.325 (p > 0.05). This shows that implementation of restorative justice did not provide a significant difference to the forgiveness value of victims of sexual violence. |