Penelitian ini membahas mengenai komodifikasi agama melalui goshuin dan pengaruhnya pada pariwisata religi di Jepang. Komodifikasi goshuin menunjukkan bahwa agama dapat mengubah bentuknya menyesuaikan masyarakat untuk dapat bertahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan alasan seseorang mengunjungi kuil, menjelaskan bagaimana goshuin mampu menggerakkan pariwisata religi kuil di Jepang, dan menjelaskan bagaimana dukungan kuil dalam menjaga keberlangsungan fenomena goshuin boom. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Komodifikasi oleh Christoph Hermann. Metode analisis menggunakan kualitatif dan dijelaskan secara deskriptif. Teknik mengumpulkan data adalah dengan wawancara. Data dijabarkan dalam bentuk narasi sebanyak 10 responden dan data wawancara kuil dimasukkan ke dalam pembahasan. Hasil yang didapatkan adalah goshuin menjadi faktor penarik seseorang saat mengunjungi kuil karena dianggap sebagai penanda bahwa seseorang pernah pergi ke suatu tempat. Kemudian, goshuin memiliki potensi untuk memajukan pariwisata religi di Jepang dengan memasukkan daftar goshuin di dalam peta pariwisata. Terakhir, kuil mendukung adanya fenomena goshuin boom dengan menyediakan desain-desain terbatas yang baru setiap bulannya, di samping munculnya dampak negatif dari tren, yaitu kemunculan tenbaiyā. This study discusses religion commodification through goshuin and its influence on religious tourism in Japan. The commodification of goshuin shows that religion can change its form to adapt to society in order to survive. The purpose of this study is to explain why people visit shrines, explain how goshuin can drive shrine religious tourism in Japan, and explain how shrines support the sustainability of the goshuin boom phenomenon. The theory used in this research is Christoph Hermann’s Commodification Theory. The analytical method used is qualitative and described descriptively. The technique of collecting data is by interview. The data is described in the form of a narrative of 10 respondents and the interview with monk and priest in the temple are included in the discussion. The result obtained is that goshuin is an attractive factor for someone when visiting a shrine because it is considered a marker that someone has gone to a place. Furthermore, goshuin has the potential to promote religious tourism in Japan by listing goshuin on tourism maps. Lastly, the temple supports the goshuin boom phenomenon by providing new limited designs every month, beside the negative impact of the trend, namely the emergence of tenbaiyā. |