Dalam hukum persaingan usaha dikenal dua pendekatan, yaitu per se dan rule of reason. Umumnya, pasal-pasal di UU Monopoli menggunakan salah satu dari pendekatan tersebut, namun ternyata terdapat pasal yang dapat diperiksa dengan keduanya, salah satunya adalah Pasal 15 ayat (2) tentang tying agreement. Kaidah ini dapat ditemukan dalam Peraturan KPPU No 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15, namun belum secara menyeluruh diaplikasikan. Jauh sebelum Indonesia, negara Amerika Serikat sebagai negara pelopor hukum persaingan usaha ternyata telah menerapkan dua pendekatan tersebut pada tying agreement lebih dulu, dan tampaknya lebih konsisten dalam membedakan antar kedua pendekatan tersebut. Tulisan ini menganalisis: (1) pengaturan tying agreement di Indonesia dan Amerika Serikat; dan (2) penerapan pendekatan per se dan rule of reason pada perkara tying agreement di Indonesia dan Amerika Serikat. Untuk menganalisis fenomena tersebut, tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tying agreement di kedua negara tersebut dilandasi oleh model pengaturan dan instrumen pengubah yang berbeda, yaitu Indonesia pada UU Monopoli diikuti dengan perkembangan pada Peraturan KPPU tentang Pedoman Pasal 15, dan Amerika Serikat pada Sherman Act dan Clayton Act diikuti dengan perkembangan melalui presedens. Dalam penerapannya, hakim Amerika Serikat lebih konsisten memisahkan antara kedua pendekatan dibandingkan Majelis Komisi yang tidak secara menyeluruh menerapkan Peraturan KPPU tentang Pedoman Pasal 15. Maka, penting bagi Majelis Komisi untuk menerapkan pedoman tersebut secara menyeluruh, juga bagi KPPU untuk membentuk pedoman baru yang lebih tegas atau setidak-tidaknya mensosialisasikan pedoman yang sudah ada kepada masyarakat. In antitrust law, there are two approaches, namely per se and rule of reason. Generally, articles in the Monopoly Law use one of these approaches, but there are articles that can be examined with both, one of which is Article 15 paragraph (2) on tying agreements. This provision can be found in KPPU Regulation No. 5/2011 on Article 15 Guidelines, but it has not been thoroughly applied. Long before Indonesia, USA as a pioneer of antitrust law has applied the two approaches to tying agreements and has been more consistent in distinguishing between them. This paper analyzes: (1) the regulation of tying agreements in Indonesia and USA; and (2) the application of per se and rule of reason approaches in tying agreement cases in Indonesia and USA. To analyze the phenomenon, this paper uses normative juridical research method with comparative study. The results show that the regulation of tying agreements in both countries is based on different regulatory models and changing instruments, Indonesia in Monopoly Law followed by developments in KPPU Regulation on Article 15 Guidelines, and USA in Sherman Act and Clayton Act followed by developments through precedence. In its application, USA judges are more consistent in separating between the two approaches than the Majelis Komisi which does not thoroughly apply the KPPU Regulation on Article 15 Guidelines. Therefore, it is important for Majelis Komisi to apply the guidelines thoroughly, for KPPU to establish new guidelines that are stricter or at least socialize the existing guidelines to the society. |