Hubungan dokter dan apoteker adalah berkaitan dengan pembuatan resep dan pemproduksian resep untuk pasien berkaitan dengan kosmetika. Obat-obatan beretiket biru digunakan untuk perawatan kulit menjadi obat khusus yang mana pemberian serta pemberlakuannya harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap pasien. Namun praktiknya penjualan kosmetika beretiket biru diperdagangkan secara bebas dengan tetap adanya pencantuman dokter dan apoteker yang melakukan praktik kefarmasian. Permasalahan hukum ini yang cenderung merugikan konsumen akibat penggunaan kosmetika beretiket biru yang diperdagangkan bebas dan dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Rumusan masalah yang digunakan oleh penulis adalah: Bagaimana tanggung jawab hukum dokter dan apoteker atas beredarnya kosmetik etiket biru di pasar bebas?, Bagaimana tanggung jawab profesi berdasarkan kode etik terhadap dokter dan apoteker yang diduga melakukan perdagangan dan penjualan bebas kosmetik beretiket biru?, dan Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen terkait kosmetik etiket biru illegal? Penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal yang sifatnya adalah preskriptif dengan menggunakan bahan hukum sekunder dengan sumber hukum primer, sekunder, tersier. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tanggung jawab dokter dan apoteker atas beredarnya obat atau kosmetika etiket biru harus dilandasi dengan teori pertanggungjawaban hukum dan pembuktian bahwa telah terjadi kerugian yang dirasakan oleh konsumen sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1365 KUHPer. Adapun pedoman yang digunakan untuk menilai atau menentukan adanya kesalahan tersebut adalah standar profesi apoteker yang menyangkut pekerjaan keprofesian apoteker di apotek khususnya dalam pelayanan obat berdasarkan resep dokter. Kode etik profesi apoteker diatur dalam Keputusan Kongres Nasional XVIII/2019 yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Nomor 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 Tentang Kode Etik Apoteker Indonesia. Sedangkan kode etik dokter diatur di dalam pengaturan mengenai kode etik kedokteran dalam hal ini diatur dan dijelaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. Dalam menyelesaikan permasalahan jual beli etiket biru atas obat atau kosmetika yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka konsumen yang dirugikan dalam hal ini dapat memilih penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Pilihan antara litigasi dan non litigasi sangat penting, tergantung pada keinginan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa. The relationship between doctors and pharmacists is related to making prescriptions and producing prescriptions for patients related to cosmetics. Medicines with the blue label used for skin care are special medicines whose administration and application must be adjusted to the needs of each patient. However, in practice, the sale of cosmetics with the blue label is traded freely, with the inclusion of doctors and pharmacists who practice pharmacy. This legal problem tends to be detrimental to consumers due to the use of cosmetics with blue labels which are traded freely and are not made to suit each person's needs. The problem formulation used by the author is: What are the legal responsibilities of doctors and pharmacists for the circulation of blue label cosmetics on the free market? form of legal protection for consumers regarding illegal blue label cosmetics? The author uses doctrinal legal research which is prescriptive in nature using secondary legal materials with primary, secondary and tertiary legal sources. The research results explain that the responsibility of doctors and pharmacists for the distribution of blue label medicines or cosmetics must be based on the theory of legal responsibility and proof that there has been harm felt by consumers as explained in Article 1365 of the Civil Code. The guidelines used to assess or determine the existence of these errors are the pharmacist professional standards which concern the professional work of pharmacists in pharmacies, especially in providing medicines based on doctor's prescriptions. The professional code of ethics for pharmacists is regulated in the Decree of the XVIII/2019 National Congress issued by the Indonesian Pharmacy Graduate Association Number 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 concerning the Code of Ethics for Indonesian Pharmacists. Meanwhile, the doctor's code of ethics is regulated in the regulations regarding the medical code of ethics, in this case it is regulated and explained in the Guidelines for Implementing the Indonesian Medical Code of Ethics issued by the Indonesian Medical Ethics Honorary Council of the Indonesian Doctors Association. In resolving the problem of buying and selling blue labels for medicines or cosmetics which causes losses to consumers, consumers who are disadvantaged in this case can choose litigation and non-litigation dispute resolution. The choice between litigation and non-litigation is very important, depending on the desires and needs of the parties to the dispute. |