Perkembangan pesat kripto yang melintasi batas negara didorong oleh inovasi blockchain di dunia teknologi. Meskipun perdagangan kripto telah menjadi fenomena umum, namun tetap menganut prinsip high risk high return. Oleh karena itu, hal ini mendapat kritik, sorotan, dan kajian dari berbagai pihak, termasuk lembaga-lembaga internasional seperti FSB, IMF, Bank Dunia, dan FATF. Keragaman pendekatan yang dilakukan oleh banyak negara, termasuk Indonesia, dalam merumuskan kebijakan terkait kripto menunjukkan perlunya regulasi yang tepat untuk memitigasi risiko-risiko yang merugikan seperti kerugian finansial dan potensi tindak kriminal seperti pencucian uang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi regulasi dan pengawasan kripto di Indonesia dan menganalisis transisi pengawasan dari Bappebti ke OJK terkait pencegahan pencucian uang. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi aset kripto di Indonesia saat ini adalah sebagai komoditas yang diawasi oleh Bappebti, dan sedang dalam proses transisi menjadi Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang akan diawasi oleh OJK sesuai dengan mandat dari UU P2SK. Meskipun peraturan di Indonesia dinilai sudah cukup komprehensif, namun Indonesia tetap harus mengupayakan reformasi hukum yang sejalan dengan standar internasional seperti (1) Berkolaborasi dalam rezim internasional dan nasional dengan membuat database yang bertujuan untuk memantau, melacak, dan menemukan transaksi sesuai dengan asalnya; (2) Penerapan pendekatan berbasis risiko untuk Organisasi Non-Profit (NPO); (3) Peningkatan pengawasan terhadap sektor Designated Non-Financial Businesses and Professions (DNFBP); (4) Pemberlakuan Sanksi Keuangan Bertarget (Targeted Financial Sanctions/TFS) terkait pencucian uang dan terorisme secara cepat; dan (5) Mempersiapkan tim asesor dan tim penelaah yang menjadi konsekuensi bagi negara yang sudah bergabung dengan FATF. The rapid development of crypto across national borders is driven by blockchain innovations in the world of technology. Although crypto trading has become a common phenomenon, it adheres to the principle of high risk high return. Therefore, it has received criticism, spotlight, and studies from various parties, including international institutions such as the FSB, IMF, World Bank, and FATF. The diversity of approaches taken by many countries, including Indonesia, in formulating crypto-related policies shows the need for appropriate regulation to mitigate adverse risks such as financial losses and potential criminal acts like money laundering. This study aims to identify crypto regulation and supervision in Indonesia and analyze the transition of supervision from Bappebti to OJK relating to money laundering prevention. Using doctrinal research methods, the results show that the current position of crypto assets in Indonesia is as a commodity supervised by Bappebti, and is in the process of transitioning into a Financial Sector Technology Innovation (ITSK) that will be supervised by OJK as mandated by the P2SK Law. Although regulations in Indonesia are considered comprehensive, however, Indonesia should still strive for legal reforms that are in line with international standards such as (1) Collaborate in both international and national regimes by creating a database that aims to monitor, trace and locate transactions according to their origins; (2) The adoption of a risk-based approach for Non-Profit Organizations (NPOs); (3) Enhanced supervision of the Designated Non-Financial Businesses and Professions (DNFBP) sector; (4) The swift enactment of Targeted Financial Sanctions (TFS) concerning money laundering and terrorism; and (5) Preparing a team of assessors and a team of reviewers which is a consequence for a country that has joined the FATF. |