Mangongkal Holi merupakan ritual Batak Toba yang hanya bisa dilakukan di kampung halaman marga suku Batak Toba yang terletak di sekitar wilayah Danau Toba. Syarat khusus pelaksanaan Mangongkal Holi menyebabkan popularitas pelaksanaannya menurun di kalangan suku Batak Toba diaspora di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Berkaitan dengan hal itu penelitian ini berupaya untuk menemukan artikulasi Mangongkal Holi sebagai wahana identitas Batak Toba Jabodetabek. Dengan memanfaatkan teori ritual Catherine Bell dan konsep artikulasi identitas kultural Stuart Hall, artikulasi suatu ritual oleh masyarakat pemilik ritual dapat dipahami sebagai sarana konstruksi identitas. Lebih lanjut, dapat diketahui pula bahwa Mangongkal Holi memberikan representasi identitas bagi suku Batak Toba. Dengan kata lain Mangongkal Holi tampak memiliki relasi sebagai sarana resistensi perubahan identitas Batak Toba yang berada di diaspora. Ritualisasi Mangongkal Holi menunjukkan adanya rekontekstualisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh keyakinan dominan Batak Toba. Rekontekstualisasi dilakukan dengan cara pengubahan narasi utama pelaksanaan ritual dari hal yang berbau mitos menjadi narasi alkitabiah. Rekontekstualiasi Mangongkal Holi dapat dinyatakan tidak sempurna sebab masih ada ritualisasi yang didasarkan pada keyakinan Batak Toba sebelumnya yakni hasipelebeguan. ketidaksempurnaan rekontekstualisasi disebabkan masih adanya penganut keyakinan Batak Toba masa lalu dan tahapan ritualisasi yang tidak jauh berbeda. Dalam skala yang lebih luas, dampak ketidaksempurnaan rekontekstualisasi berdampak pada artikulasi Batak Toba Jabodetabek yang mengalami kontingensi atas pelaksanaan Mangongkal Holi. Kontingensi dalam artikulasi individu Batak Toba Jabodetabek melahirkan dikotomi-dikotomi yang kemudian menjadi stereotip dalam masyarakat Batak Toba Jabodetabek seperti kota-desa, hasipelebeguan-kristen, dan bona pasogit-perantauan. Meskipun demikian, pada akhirnya Mangongkal Holi menjadi sarana resistensi yang digunakan oleh suku Batak Toba untuk menjaga konstruksi identitas esensial. Berdasarkan rekontekstualisasi dan kontingensi Mangongkal Holi maka ritual dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari wacana dominan dan mengandung catatan historis dan dinamika sosial serta pergulatan wacana yang ada dalam masyarakat tertentu khususnya wacana identitas. Sementara itu, bangunan tugu yang menjadi sarana pelaksanaan ritual menunjukkan kecenderungan menghadirkan tiga corak arsitektur: i) Penggunaan corak nasional tugu yang merupakan simbol lingga dan yoni dengan simbol lain pada bangunan tugu yang mengandung falsafah Batak; ii) Penggunaan simbol dalam bangunan untuk mengisahkan sejarah marga atau klan; dan iii) Penggabungan unsur arsitektur khas suku Batak Toba dengan corak nasional tugu. Selain itu, tugu Batak Toba merupakan lanskap sakral sekaligus lanskap pragmatik bagi marga suku Batak Toba. Mangongkal Holi is a Toba Batak ritual that can only be performed in the hometown of the Toba Batak clan located around the Lake Toba region. The special requirements for the implementation of Mangongkal Holi have caused the popularity of its implementation to decline among the Toba Batak diaspora in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek). In this regard, this research seeks to find an articulation of Mangongkal Holi as a vehicle for Batak Toba identity in Jabodetabek. By utilising Catherine Bell's ritual theory and Stuart Hall's concept of cultural identity articulation, the articulation of a ritual by the ritual owner community can be understood as a means of identity construction. Furthermore, it can also be seen that Mangongkal Holi provides a representation of identity for the Toba Batak tribe. In other words, Mangongkal Holi appears to have a relationship as a means of resistance to changes in Toba Batak identity in the diaspora. The ritualisation of Mangongkal Holi shows the recontextualisation of cultural values influenced by the dominant beliefs of Batak Toba. Recontextualisation is done by changing the main narrative of ritual from mythological to biblical narratives. The recontextualisation of Mangongkal Holi can be declared imperfect because there are still ritualisations based on previous Batak Toba beliefs, namely hasipelebeguan. The imperfection of recontextualisation is due to the existence of adherents of past Batak Toba beliefs and ritualisation stages that are not much different. On a broader scale, the impact of the imperfection of recontextualisation has an impact on the articulation of the Jabodetabek Batak Toba who experience contingency over the implementation of Mangongkal Holi. Contingency in the articulation of Jabodetabek Batak Toba individuals gave birth to dichotomies which later became stereotypes in the Jabodetabek Batak Toba community such as city-rural, hasipelebeguan-christian, and bona pasogit-diaspora. Nevertheless, in the end Mangongkal Holi became a means of resistance used by the Toba Batak tribe to maintain essential identity construction. Based on the recontextualisation and contingency of Mangongkal Holi, the ritual can be defined as a manifestation of the dominant discourse and contains historical records as well as social dynamics and discourse struggles that exist in a particular society especially the discourse of identity. Meanwhile, The Tugu that are a means of performing rituals show a tendency to present three architectural styles: i) The use of the national style of the monument which is a phallus and yoni symbol with other symbols on the monument building containing Batak philosophy; ii) The use of symbols in the building to tell the history of the clan or clan; and iii) The combination of typical Toba Batak architectural elements with the national style of the monument. In addition, the Toba Batak monument is a sacred landscape as well as a pragmatic landscape for the Toba Batak clan. |