Revolusi kemerdekaan di Jambi berbeda dengan semangat revolusi sosial di daerah-daerah lain. Konflik politik lokal di Jambi didasarkan kepada rasa kecewa yang muncul di kalangan elite tradisional Jambi kepada para elite baru Republikan yang berasal dari luar Jambi. Dari hal itu, muncul narasi mengenai pemulihan Kesultanan Jambi yang telah hancur sebelumnya pada rangkaian Perang Jambi 1900-1907. Upaya-upaya politis antara Pemerintah Jambi dengan Pemerintah Republik Indonesia ataupun Belanda dilakukan untuk memecahkan permasalahan politik di Jambi. Dengan menggunakan metode historis yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dewan Djambi Sementara adalah sebuah badan yang dibentuk untuk menjadikan Jambi sebagai daerah istimewa dalam sistem federal yang sedang dibentuk oleh Belanda. Tuntutan utama dari Dewan Djambi Sementara adalah menjadikan Jambi sebagai daerah otonom dengan cara memulihkan Kesultanan Jambi dan berpisah dari Provinsi Sumatra Tengah yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, tuntutan Dewan Djambi Sementara tidak tercapai karena terhalang oleh sikap Belanda yang ragu memberi dukungan terhadap pembentukan sebuah daerah dengan sistem feodal dan juga terhalang oleh perkembangan politik antara pihak Republik Indonesia dan Belanda yang dituangkan melalui Perjanjian Roem-Royen. Tuntutan akan pemulihan kesultanan dan pemberian hak otonom itu menguap bersamaan dengan peralihan administrasi antara Belanda ke Republik Indonesia, sebagaimana hasil dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Namun, semangat regionalisme Jambi yang menuntut otonomi daerah itu tetap dilanjutkan pada masa Republik Indonesia melalui organisasi-organisasi pemuda dan kedaerahan hingga akhirnya berhasil mendapatkan status sebagai daerah otonom setingkat provinsi pada 1957. |