Suku Dayak di Pegunungan Borneo atau disebut dengan Dayak Meratus sudah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Meratus, bukan satu-satunya daerah yang berangsur berubah. Bukan karena dirinya sendiri namun karena desakan eksplorasi alam dan berbagai alasan modernitas. Arus globalisasi dengan watak modernisme telah mengepung dan menggempur kehidupan mereka. Tanah dan sumber daya alam, juga hutan tropis, kini nyaris lenyap dicaplok perusahaan kayu, pekebunan sawit, atas nama kapitalisme modal. Gempuran kapitalis dan modernsasi ini menjadikan mereka tercerabut dari akar alam, akar budaya dan identitas jati diri, lekang oleh ketamakan kapitalisme.Devi Damayanti melalui buku ini memberi potret persoalan yang sudah di alami Meratus. Sebuah studi lapangan yang jeli memotret pelbagai perubahan dan memudarnya identitas jati diri mereka, bahkan martabat mereka pun digerus oleh pelbagai kepentingan kapitalisme. Studi yang cukup komprehensif ini berhasil memberikan gambaran perihal kebudayaan tradisional Meratus mulai dari situasi ekonomi, agama, sistem kekerabatan, bahasa dan sastra lisan, serta masalah-masalah sosial yang berdampak pada kesulitan masyarakat Meratus menanggapi perubahan, dengan semakin pudarnya talitemali adat-istiadat, kegiatan budaya dan maknanya yang tak lagi menjadi role model di kalangan generasi muda. Meratus kini berada di ujung kepunahan. Sebuah entitas kekayaan budaya Indonesia yang kehilangan roh dan spirit kearifan. Pemerintah yang merupakan perpanjangantangan Negara, nyaris tak pernah menjamah dan melindungi mereka. Meratus bagai nyanyi sunyi yang hanya bergaung di belantara pegunungan Borneo, Kalimantan. Tak ada pilihan lain bagi Meratus, mereka harus menolong diri sendiri. |