Kebakaran lahan gambut yang semakin bertambah di Indonesia setiap tahunnya memicu ketertarikan dalam penelitian terkait karakteristik tanah gambut pada kemampuannya terkait penyerapan air kembali. Tanah gambut sejatinya memiliki sifat hidrofilik atau kemampuan dapat menyerap air dalam jumlah tinggi. Namun, ketika terkena panas, tanah gambut yang mengalami kekeringan akan berubah sifatnya menjadi hidrofobik karena adanya proses kimiawi. Hal ini terjadi karena tanah gambut memiliki sifat irreversible drying atau pengeringan yang tidak dapat dipulihkan apabila tanah gambut telah kering. Untuk membuktikan perubahan sifat yang dimiliki tanah gambut, dilakukan eksperimen dengan skala mikro (1 gram) menggunakan tanah gambut yang berasal dari dua pulau berbeda, Kalimantan dan Sumatra, yang dimasukkan ke dalam container alumunium dengan massa kurang lebih 1 gram dan dipanaskan dengan temperatur 100°C, 110°C, 120°C, 130°C, dan 140°C. Kemudian, sampel ini direndam di dalam air selama 30 menit dan ditiriskan selama 12 jam dalam keadaan terisolasi dari lingkungan luar sebelum dicek kandungan kelembabanya dengan moisture analyzer Shimadzu MOC63u selama 30 menit dengan temperatur 100°C. Selain itu, sampel tanah yang telah dikeringkan akan dilihat menggunakan mikroskop untuk mengetahui perubahan struktur ketika dikeringkan. Berdasarkan hasil eksperimen, didapat bahwa temperatur yang semakin tinggi mempengaruhi kemampuan tanah gambut dalam menyerap air kembali setelah dikeringkan. Selain itu, struktur tanah gambut yang telah dikeringkan juga berubah, yang tadinya pori-porinya saling tersambung menjadi terputus akibat terpapar panas. Hal ini menyebabkan tanah gambut menjadi memiliki sifat hidrofobik. The increasing number of peatland fires in Indonesia each year has sparked interest in research related to the characteristics of peat soil in its ability to absorb water again. Peat soil actually has hydrophilic properties or the ability to absorb high amounts of water. However, when exposed to heat, peat soils that experience drought will change their properties to hydrophobic due to a chemical process. This happens because peat soil has irreversible drying properties that cannot be restored once the peat soil has dried. To prove the change in properties of peat soil, a micro-scale experiment (1 gram) was conducted using peat soil from two different islands, Kalimantan and Sumatra, which was put into an aluminum container with a mass of approximately 1 gram and heated to temperatures of 100°C, 110°C, 120°C, 130°C and 140°C. Then, these samples were soaked in water for 30 minutes and drained for 12 hours in isolation from the outside environment before checking the moisture content with a Shimadzu MOC63u moisture analyzer for 30 minutes at 100°C. In addition, the dried soil samples were examined using a microscope to determine the structural changes during drying. Based on the experimental results, it was found that higher temperatures affect the ability of peat soil to absorb water again after drying. In addition, the structure of the dried peat soil also changes, from being connected to each other to being disconnected due to exposure to heat. This causes the peat soil to become hydrophobic. |