Makalah ini mengeksplorasi bagaimana Vow, perusahaan cultured meat, memasuki pasar produksi daging secara strategis. Dipandu oleh kerangka entrepreneurial strategy compass, teori chasm, dan inovasi disruptif, analisis ini mengidentifikasi dua hambatan utama: persetujuan regulasi dan biaya produksi. Di satu sisi, biaya menghambat adopsi pasar massal untuk Vow, hambatan regulasi semakin memperumit penetrasi pasar. Untuk mengatasi tantangan ini, makalah ini mengusulkan pendekatan dua cabang. Di awal, Vow dapat memantapkan merek dagangnya sebagai barang mewah melalui kemitraan dengan restoran kelas atas, menavigasi regulasi sembari mengkapitalisasi produk uniknya. Sembari biaya menurun dan persetujuan diperoleh, Vow dapat menargetkan pengguna awal dari teori chasm (~13,5% dari pasar), konsumen vegan yang mencari alternatif etis, yang pada akhirnya bertransisi ke pasar yang lebih luas. Pendekatan bertahap ini membangun pengenalan dan kepercayaan merek dengan konsumen umum dan vegan, yang membuka jalan bagi penetrasi pasar yang lebih luas. This paper explores the strategic entry of Vow, a cultured meat company, into the meat production market. Framed by entrepreneurial strategy compass, chasm theory, and disruptive innovation, the analysis identifies regulatory approval and production cost as key barriers. While cost hinders mass adoption, regulatory hurdles further complicate market entry. A two-pronged approach is proposed. Initially, Vow can establish itself as a luxury good through high-end restaurant partnerships, navigating regulations while capitalizing on its unique product. As costs decrease and approval is secured, Vow can target early adopters of the chasm theory (~13.5% of the market), the vegan consumers seeking ethical alternatives, ultimately transitioning to the broader market. This phased approach builds brand recognition and trust with both mainstream and vegan consumers, paving the way for wider market penetration. |