Dalam dunia kepailitan, tidak semua debitur dapat diajukan pailit hanya dengan orang-perorangan, melainkan membutuhkan persyaratan khusus terkait pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atau pailit terhadap debitur tertentu, dimana Salah satunya adalah usaha yang bergerak di sektor perasuransian. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang diatur lebih lanjut syarat-syarat dan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, termasuk debitur, kreditur, dan instansi tertentu seperti Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”). Adapun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, memperkuat peran OJK dalam mengawasi lembaga keuangan dan mengajukan permohonan pailit. Peran OJK sangat penting dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan, yang mempengaruhi kepercayaan investor dan efektivitas kebijakan moneter. Studi kasus PT Adisara Wanaartha menunjukkan pentingnya peran OJK dalam mengawasi dan menegakkan hukum. Namun, di sisi lain, keputusan OJK untuk menjaga kestabilan ekonomi mengesampingkan efektivitas tuntutan pembayaran utang melalui proses kepailitan/PKPU sebagaimana dalam Putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Dari sini, Penulis menekankan pada implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dengan kepailitan perusahaan asuransi, dengan menitikberatkan pada kesesuaian konsep kepailitan umum dengan kepailitan yang diterapkan OJK. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka dalam rangka memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan atas permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dan kepailitan perusahaan asuransi memiliki ujung yang sama, yakni penghapusan badan hukum. In the realm of bankruptcy, not all debtors can be declared bankrupt by individuals alone; specific requirements must be met regarding the authority to file for Suspension of Debt Payment Obligations (“PKPU”) or bankruptcy against certain debtors, including businesses in the insurance sector. Article 2 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations further regulates the conditions and parties that can file for bankruptcy, including debtors, creditors, and certain institutions such as the Financial Services Authority (“OJK”). Additionally, Law Number 40 of 2014 concerning Insurance and Law Number 21 of 2011 concerning OJK strengthen OJK's role in supervising financial institutions and filing for bankruptcy. OJK's role is crucial in maintaining the stability of the financial services sector, which affects investor confidence and the effectiveness of monetary policy. The case study of PT Adisara Wanaartha highlights the importance of OJK's role in oversight and law enforcement. However, on the other hand, OJK's decisions to maintain economic stability can undermine the effectiveness of debt payment demands through bankruptcy/PKPU processes, as seen in Decision Number 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Here, the author emphasizes the implications arising from the revocation of business licenses and the bankruptcy of insurance companies, focusing on the alignment between general bankruptcy concepts and the bankruptcy applied by OJK. Furthermore, the research method used is doctrinal, where the main issues will be analyzed and examined based on literature to provide explanations and draw conclusions on these issues. After conducting the research, the author concludes that the implications of business license revocation and the bankruptcy of insurance companies lead to the same end, namely the dissolution of the legal entity. |