The trickle down theory of fashion pertama kali dicetuskan oleh sosiolog Georg Simmel pada tahun 1904. Teori ini mengemukakan adanya dua kelompok sosial dalam masyarakat dengan ciri dan status sosial yang berbeda, yaitu kelompok subordinate dan kelompok superordinate. Kelompok subordinate memiliki kecenderungan untuk melakukan imitasi atau meniru perilaku fesyen kelompok superordinate dengan tujuan untuk mendapatkan status baru yang lebih baik. Sementara kelompok superordinate itu sendiri memiliki kecenderungan untuk selalu tampil beda dan merespon perilaku kelompok subordinate dengan mengadopsi fesyen baru atau melakukan diferensiasi.
Salah satu kekuatan teori trickle down ini adalah kemampuannya memberikan signal akan adanya perubahan fesyen. Teori ini memberikan kesempatan bagi para pengamat untuk meramalkan perubahan pada suatu kelompok tertentu dengan melihat adanya perubahan pada kelompok lain.
Teori ini, menurut pengamatan penulis juga banyak dimanfaatkan dalam dunia pemasaran, khususnya periklanan. Banyak pengiklan memasang endorser yang bercitrakan kelompok sosial ekonomi atas, padahal target pasar produk yang diildankan adalah konsumen kelompok sosial ekonomi bawah. Tujuannya jelas, yaitu untuk menaikkan imej produk agar target konsumen memiliki persepsi yang tinggi terhadap produk tersebut, dan berharap proses imitasi terjadi.
Meskipun dinilai memiliki banyak keunggulan, teori trickle down ini masih banyak diragukan oleh beberapa peneliti lain. Horowitz (1975) dengan teori mass fashion, Charles King (1963) dengan teori trickle across, dan terakhir McCracken (1988) yang mengatakan perlu adanya revisi terhadap teori tersebut.
Studi ini mencoba untuk membuktikan kebenaran teori trickle down dalam kaitannya dengan periklanan nasional. Pengujian dilakukan terhadap tiga variabel terikat, yaitu sikap konsumen terhadap iklan, sikap konsumen terhadap produk dan intensi membeli konsumen terhadap produk yang diiklankan dengan endorser yang bercitrakan kelas sosial ekonomi atas dan bawah. Penelitian ini dilakukan terhadap dua jenis produk, yaitu produk fesyen dan produk non fesyen. Pada produk fesyen, tujuannya untuk membuktikan kebenaran teori trickle down, seperti yang dikemukakan diatas. Sedangkan penelitian pada produk non fesyen untuk melihat apakah teori ini juga berlaku untuk produk non fesyen.
Dan hasil penelitian ini didapat bahwa kebenaran teori trickle down ternyata hanya terbukti sampai pada sikap terhadap iklan dan sikap terhadap produk, tetapi tidak terbukti pada intensi membeli konsumen. Tentunya untuk menyatakan bahwa teori trickle down salah, masih diperlukan penelitian-penelitian lanjutan. Paling tidak penelitian ini merupakan upaya pertama, sepanjang pengetahuan penulis, untuk membuktikan teori trickle down secara empiris di Indonesia.
Saran untuk penelitian lebih lanjut, sebaiknya produk yang diteliti bukan berupa kosmetika baru, seperti yang digunakan pada penelitian ini, ataupun produk-produk lain yang memiliki perceived physical risk yang tinggi.
Implikasi pemasaran ditujukan bagi para produsen dan pengiklan, bahwa efektifitas pemasangan endorser kelas atas, menurut hasil penelitian ini, mungkin hanya sebatas pembentukan sikap positif konsumen baik terhadap iklan maupun produk, tetapi belum mempengaruhi intensi membeli konsumen terhadap produk yang diiklankan.