Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini.
The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of "Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization.