Fenomena meningkatnya harga minyak goreng kemasan sejak tahun 2022 di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pelaku usaha yang diduga secara bersama-sama telah melakukan perjanjian ataupun kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga
menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng kemasan. KPPU kemudian menindaklanjuti fenomena tersebut dengan menggelar persidangan tentang adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait indikasi perjanjian penetapan harga dan pembatasan peredaran dan/atau penjualan pada minyak goreng
kemasan yang dilakukan oleh 27 (dua puluh tujuh) Pelaku Usaha Terlapor dalam Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022. Konsumen dalam hal ini tentunya dirugikan karena terpaksa untuk membeli minyak goreng kemasan dengan harga yang mahal dikarenakan pentingnya peran minyak goreng bagi keberlangsungan rumah tangga, sehingga diperlukan suatu upaya bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif-yuridis dengan analisis data kualitatif. Dalam analisis, pembuktian adanya indikasi pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat dianalisis menggunakan bukti-bukti langsung dan analisa bukti-bukti tidak langsung (i.e., bukti ekonomi dan bukti komunikasi). Bahwa bukti-bukti yang telah dianalisis ini bukanlah menjadi bukti yang mutlak untuk menyatakan kesalahan para Terlapor, sehingga perlu dilakukan tinjauan lebih mendalam oleh KPPU untuk menemukan bukti-bukti lain yang lebih komprehensif agar indikasi tersebut dapat dibuktikan secara jelas. Konsumen yang dirugikan akibat tidak bisa membeli harga minyak goreng yang terjangkau dapat mengajukan upaya hukum berupa
gugatan perwakilan kelompok kepada Pengadilan Negeri untuk bisa mendapatkan ganti kerugian. Hal tersebut harus ditempuh konsumen dikarenakan adanya keterbatasan kewenangan KPPU yang tidak memiliki fungsi melindungi konsumen sehingga tidak dapat menetapkan ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha kepada konsumen.
The phenomenon regarding the increase in packaged cooking oil prices since 2022 in Indonesia is one of the causes of business actors who are suspected of jointly entering into agreements or unfair business competition activities, causing difficulties for thepublic to obtain packaged cooking oil. In response to this occurrence, KPPU held a trial regarding the alleged violation of Article 5 and Article 19 letter c of Law Number 5 of 1999 Concerning Monopoly and Unfair Competition related to price fixing agreements and limitation in distribution and/or sales of packaged cooking oil involving 27 (twentyseven) Business Actors in Case Number 15/KPPU-I/2022. Consumers are obviously at a disadvantage in this scenario since they are forced to buy packaged cooking oil at high rates because of the critical function of cooking oil in family sustainability, therefore an effort is required for consumers to receive compensation. The research method used in this research is a normative-juridical method with qualitative data analysis. In the analysis, direct evidence and indirect evidence (i.e., economic and communication) are used to examine indicators of business actors engaging in unfair business competition. Whereas the evidence analyzed is not absolute evidence of the Reported Parties’ guilt, a more in-depth review by KPPU is required to find more comprehensive evidence so thatthese indications can be proven clearly. Consumers who experience these losses as a result of not being able to buy affordable cooking oil prices can file a class action lawsuit in District Court to seek compensation. These legal remedies must be taken by consumers due to the KPPU’s restricted jurisdiction, which does not have the duty of protecting consumers and hence cannot establish a decision for the business actors to compensate consumers directly.