Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33719 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Angka kejadian Kandidosis vulvovaginalis (KVV) yang disebabkan C.non-albicans belakangan ini cenderung meningkat. Namun di RSCM, sampai saat ini belum ada data tentang proporsi dan karakteristik KVV yang disebabkan C.non- albicans. Untuk itu dilakukan penelitian deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. Subyek penelitian adalah wanita yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin serta Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSCM yang mengeluh keputihan dan gatal, serta pada pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan Gram ditemukan blastospora dengan atau tanpa pseudohifa, tanpa infeksi genital spesifik lain. Kultur dibuat dengan menggunakan media CHROMagar Candida untuk membedakan spesies Candida penyebab. Didapatkan subyek terbanyak pada kelompok usia 26 – 44 tahun, dengan nilai tengah 29 tahun. Dari 69 subyek yang menderita KVV, sebanyak 30,4% disebabkan oleh C.non- albicans, terdiri atas : C. glabrata (61,9%), C. tropicalis (28,6%) dan C. parapsilosis (9,5%). KVV yang disebabkan oleh C.non-albicans cenderung terjadi pada pasien dengan usia lebih dari 45 tahun, menggunakan KB non-hormonal, memiliki pasangan dengan keluhan gatal dan kemerahan pada ujung penis dan keluhan terjadi lebih dari satu tahun. Tidak ditemukan perbedaan gejala klinis KVV yang disebabkan oleh C. albicans dan C. non-albicans. (Med J Indones 2003; 12: 142-7)

The prevalence of Vulvovaginal candidosis (VVC) caused by C.non-albicans tends to increase, recently. The aim of this study was to obtain data about proportion and clinical characteristic of C.non-albicans VVC at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. This is a cross-sectional study on all female patients with symptoms of VVC visiting Obstetri-gynaecology and Dermatovenereology outpatient clinics at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. All subjects had positive Gram stain, showed Candida spp. on culture with CHROMagar Candida, and had no other specific genital infections. Sixty nine subjects aged 26 – 44 years old (averaged 29 years old) were included in this study. Candida non-albicans was found in 30.4% subject, and consisted of: C. glabrata (61.9%), C. tropicalis (28.6%) and C. parapsilosis (9.5%). We found that C.non-albicans VVC infections are more common in women above 45 years old, using non-hormonal contraceptives, whose sexual partner has erythema and pruritus in glands penis, and having the disease for more than 1 year. No differences in clinical symptoms were noted between C. albicans and C.non-albicans infection. We concluded from this study that the proportion of C. non-albicans infections at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, with C. glabrata represents the most prevalent species. No characteristic clinical symptoms were found from the subjects with C.non-albicans VVC when compared with those infected by C. albicans. (Med J Indones 2003; 12: 142-7)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (3) Juli September 2003: 142-147, 2003
MJIN-12-3-JulSep2003-142
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Belinda Pritasari
"Pekerja Seks Komersial adalah subjek yang memiliki risiko tinggi terkena infeksi menular seksual, salah satunya adalah Kandidiasis vulvovaginitis akibat Candida albicans. Mayoritas PSK menggunakan alat kontrasepsi berupa kontrasepsi hormonal, yang terdiri dari pil KB dan suntik KB, untuk mencegah kehamilan akibat pekerjaan. Akan tetapi, penggunaan kontrasepsi hormonal dapat mempengaruhi perubahan hormon dalam tubuh sehingga dapat menjadi faktor risiko kandidiasis vulvovaginitis. Pil KB dan suntik KB merupakan dua jenis kontrasepsi hormonal yang berbeda.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara prevalensi Kandidiasis vulvovaginitis dengan penggunaan pil keluarga berencana (KB) dibandingkan suntik KB pada pekerja seks komersial (PSK) di Tangerang, Banten. Desain penelitian ini adalah cross - sectional dengan menggunakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Subjek penelitian ini adalah 103 PSK di Tangerang, Banten.
Hasil penelitian ini, terdapat 70 PSK (68%) yang positif terkena Kandidiasis vulvovaginitis, dan 33 PSK (32%) yang negatif. Terdapat 70 PSK yang menggunakan pil KB (68%), 33 PSK menggunakan suntik (32%). Hasil statistik penelitian ini adalah p=0,014 (p<0,05) dan rasio prevalensi 1,4 dengan IK 95% 1,27 ? 1,88, sehingga dapat dinyatakan bahwa Kandidiasis vulvovaginitis memiliki hubungan yang bermakna dengan penggunaann pil KB dibandingkan dengan suntik KB. Kesimpulannya, pil KB merupakan faktor risiko kandidiasis vulvovaginitis.

Prostitutes are always in the high risk to develop sexually transmitted disease, one of the commonly found transmitted diseases is Candidiasis vulvovaginitis which is caused by Candida albicans. Meanwhile, some prostitutes are taking contraceptive to prevent pregnancy such as using birth control pills and the birth control in the form of injection.
The objective of the study is to identify the prevalence between Candidiasis vulvovaginitis and the administration of birth control pills compared with the injection birth control on prostitutes living in Tangerang, Banten. The study employs the cross-sectional design using secondary data from the Department of Parasitology, Faculty of Medicine the Universitas Indonesia. The subjects of this study are 103 prostitutes living in Tangerang, Banten, comprising 70 are regulary taking birth control pills (68%), 33 are using the birth control in the form of injection (32%).
The result of this study demonstrates that the statistic p=0,014 and the ratio prevalence is 1,4 with 95% CI (1,27-1,88) which is significantly lower than the standard reference 0,05. Thus, Candidiasis vulvovaginitis has the significance prevalence with the use of contraception, where birth control pills has the highest prevalence on prostitutes living in Tangerang, Banten.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradita Sari
"Latar Belakang. Neurosifilis merupakan infeksi susunan saraf akibat invasi bakteri Treponema Pallidum yang dapat menyebabkan kecacatan. Selain itu gejala klinis neurosifilis beragam, tidak khas, bahkan asimtomatik sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis yang cukup tinggi. Angka kejadian sifilis di Indonesia masih tinggi bahkan masih terus meningkat. Akan tetapi hingga saat ini belum diketahui prevalensi dan deskripsi neurosifilis di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan prevalensi neurosifilis dan perbandingan karakteristik klinis dan penunjang antara neurosifilis dan non-neurosifilis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode. Studi potong lintang dengan data rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada pasien dengan kecurigaan neurosifilis yang dikonsulkan ke neurologi sejak Januari 2019-Januari 2024. Dilakukan evaluasi karakteristik klinis dan penunjang baik profil darah berupa serum maupun cairan serebrospinal (CSS) serta pencitraan otak.
Hasil. Dari 100 subjek dengan kecurigaan neurosifilis yang dikonsulkan ke neurologi, terdapat 72 kasus neurosifilis dan 28 kasus non neurosifilis. Pada kelompok neurosifilis keluhan tersering saat dikonsulkan ke neurologi adalah gangguan penglihatan (OR 7,46 [2,83-19,64], p<0,001) dan nyeri kepala (OR 4,43 [1,22-16.14], p= 0,031). Titer RPR serum (median 1:128) dan TPHA serum kelompok neurosifilis (median 1:10240) lebih tinggi dibandingkan non neurosifilis. Kelompok neurosifilis cenderung memiliki jumlah leukosit CSS lebih tinggi (median 7 [1,00-155,0], p<0,001) dan jumlah protein lebih tinggi (median 47 [5,00-612,00], p<0,001) dibandingkan non-neurosifilis. Pada 10 subjek neurosifilis dengan gambaran pencitraan otak abnormal terdapat 3 subjek dengan gambaran space occupying lesion.
Kesimpulan. Prevalensi neurosifilis pada pasien sifilis yang dikonsulkan ke neurologi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sangat tinggi (72%). Kecurigaan neurosifilis lebih tinggi pada pasien sifilis dengan keluhan gangguan penglihatan atau nyeri kepala dan memiliki kadar limfosit darah yang rendah, dengan titer RPR serum ≥1:128 dan titer TPHA serum ≥1:10.240. Selain itu studi ini juga mendapatkan 10 subjek dengan abnormalitas pencitraan otak, sehingga pada pasien sifilis terutama dengan gejala dan tanda neurologi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan pencitraan otak MRI Kepala.

Background. Neurosyphilis is an infection of the nervous system caused by the invasion of the bacterium Treponema pallidum, which can lead to disability. Additionally, the clinical symptoms of neurosyphilis are varied, non-specific, and can even be asymptomatic, leading to a high rate of misdiagnosis. The incidence of syphilis in Indonesia remains high and continues to increase. However, to date, the prevalence and description of neurosyphilis in Indonesia are still unknown. This study aims to determine the prevalence of neurosyphilis and to compare the clinical and supporting characteristics between neurosyphilis and non-neurosyphilis patients at the National Central General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods. A cross-sectional study utilizing medical records at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo will be conducted on patients suspected of having neurosyphilis who were referred to neurology from January 2019 to January 2024. The study will evaluate clinical characteristics and supportive data, including blood profiles (serum), cerebrospinal fluid (CSF) analysis, and brain imaging.
Result. From 100 subjects with suspected neurosyphilis referred to neurology, there were 72 cases of neurosyphilis and 28 cases of non-neurosyphilis. In the neurosyphilis group, the most common complaints at the time of consultation were visual disturbances (OR 7.46 [2.83-19.64], p<0.001) and headaches (OR 4.43 [1.22-16.14], p=0.031). Serum RPR titers (median 1:128) and TPHA titers (median 1:10240) were higher in the neurosyphilis group compared to the non-neurosyphilis group. The neurosyphilis group tended to have higher CSF leukocyte counts (median 7 [1.00-155.0], p<0.001) and higher protein levels (median 47 [5.00-612.00], p<0.001) compared to the non-neurosyphilis group. Among 10 neurosyphilis subjects with abnormal brain imaging, 3 subjects had findings suggestive of a space-occupying lesion
Conclusion. The prevalence of neurosyphilis among syphilis patients referred to neurology at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo is very high (72%). Suspicion of neurosyphilis is higher in syphilis patients presenting with visual disturbances or headaches and having low blood lymphocyte levels, with serum RPR titers ≥1:128 and serum TPHA titers ≥1:10,240. Additionally, this study also identified 10 subjects with abnormalities in brain imaging. Therefore, in syphilis patients, especially those with neurological symptoms and signs, consideration should be given to performing brain MRI imaging.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
David
"Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal.
Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA. 

Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia.
Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed.
Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%.
Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Manifestasi klinis sepsis berupa systemic inflammatory response syndrome/SIRS, terdapatnya infeksi dan disfungsi organ merupakan kriteria yang digunakan dalam diagnosis sepsis saat ini. Pada 2 tahun terakhir berkembang pemikiran untuk menambahkan beberapa parameter disamping kriteria tersebut, dengan diajukannya terminologi PIRO (P: predisposition, I: infection, R: response dan O: organ failure). Manifestasi klinis sepsis di tiap rumah sakit maupun unit perawatan dapat berbeda bergantung dari beratnya sepsis, fokus infeksi, komorbiditas dan disfungsi atau kegagalan organ. Pada penelitian ini akan dievaluasi data demografi, komorbiditas, sumber infeksi, manifestasi SIRS, disfungsi organ dan profil mikrobiologik sepsis di rawat di Unit Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dilakukan penelitian deskriptif korelatif dengan disain potong lintang, pada 42 subyek dengan sepsis, sepsis berat dan renjatan septik. Penelitian dilakukan di Unit Rawat RSPUN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 2002. Dilakukan pencatatan data klinis, laboratorium (hematologi, biokimia, analisis gas darah) dan kultur aerob (darah dan spesimen lain). Kriteria sepsis yang digunakan berdasarkan American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine tahun 1992. Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya distrubusi sepsis yang proporsional menurut usia dan jenis kelamin, komorbiditas didapatkan pada 88% subyek, berupa diabetes melitus dan penyakit kronik lainnya. Sumber infeksi terbanyak berasal dari paru, kulit-jaringan lunak, abdomen dan traktus urinarius; dengan gambaran kuman Gram negatif lebih banyak dari Gram positif. Manifestasi SIRS didapatkan pada lebih dari 70% subyek dengan manifestasi terbanyak berupa takikardia dan takipnu. Manifestasi disfungsi organ terbanyak berupa penurunan kesadaran, asidosis metabolik, disfungsi renal dan penurunan tekanan arteri rata-rata, dan didapatkan korelasi parameter tersebut dengan derajat sepsis. (Med J Indones 2004; 13: 90-5)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (2) April June 2004: 90-95, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-90
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adila Rossa Amanda Malik
"Latar belakang: Vaginitis karena infeksi merupakan penyebab terbanyak duh tubuh abnormal yang membawa pasien berobat dan merupakan penyakit yang bertanggung jawab untuk 10 juta kunjungan ke poliklinik tiap tahun. Dua penyebab tersering vaginitis karena infeksi adalah vaginosis bakteri dan vaginitis kandida.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik wanita usia reproduktif dengan vaginitis, baik yang disebabkan oleh vaginosis bakteri atau vaginitis kandida, di RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang yang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM. Wanita usia reproduktif yang datang dengan keluhan keputihan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi diikut sertakan dalam penelitian secara konsekutif. Pasien diperiksa mikroskopis untuk mengetahui kuman penyebab keputihan. Karakterisitik yang diidentifikasi meliputi karakteristik demografi, indeks massa tubuh, penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dan alat kontrasepsi dalam rahim, riwayat hubungan seksual multipartner, jenis bahan pakaian dalam dan riwayat prosedur ginekologi.
Hasil: Dari 104 subjek, ditemukan penyebab keputihan yakni vaginosis bakterial (30 subjek; 28,8%), kandidosis vulvovaginalis (27 subjek; 26,0%), keduanya (23 subjek; 22,1%), dan bukan keduanya (24 subjek; 23,1%). Karakteristik dominan pada subjek dengan infeksi vaginosis bakterial adalah berusia 20-29 tahun, bekerja sebagai PNS, sudah menikah, dan sering menggunakan pakaian dalam berbahan katun. Subjek dengan kandidosis vulvovaginalis umumnya berusia 3039 tahun, ibu rumah tangga atau karyawati, dan sudah menikah. Penggunaan kontrasepsi oral terlihat dominan pada kandidosis vulvovaginalis.
Kesimpulan: Pasien dengan vaginosis bakterial dan kandidosis vulvovaginalis memiliki karakteristik dominan yang berbeda. Terdapat perbedaan karakteristik wanita usia reproduksi dengan vaginitis di RSUPN. Dr. Cipto Mangunukusumo dengan kepustakaan sebelumnya, yang memerlukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut.

Background: Vaginitis due to infection is the main reason for patients to seek medical attention because of vaginal discharge symptom and responsible for around 10 millions visits per year to the outpatient clinic. The two most common identified causes are bacterial vaginosis and candidal vulvovaginits.
Aim: This study aimed to identified charactersitics of women in reproductive age with vaginitis, bacterial vaginosis and candidal vulvovaginitis, in Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods: This is a descriptive cross-sectional study performed in Obstetric Gynecology Department, FKUI-RSCM. Patients with vaginal discharge symptom in accordance with inclusive and exclusion criteria were consecutively recruited. Microscopic examination was done to identify the etiology of discharge. Characteristic data were demographics, body mass index, oral contraceptive pill and IUD use, history of multi sexual partner, choice ounderwear?s fabric, and ginecologic surgical procedure history.
Results: Among 104 subjects, the etiology of vaginal discharge were bacterial vaginosis (30 subjects, 28.8%), candidal vulvovaginitis (27 subjects, 26.0%), both (23 subjects, 22.1%), and other than both bacterial vaginosis and candidal vulvoganitis (24 subjects, 23.1%). The dominant characteristics for bacterial vaginosis were 20-29 age group, work as government employee, married, and routine use cotton underwear. Instead, candidal vulvovaginitis patients were in 30-39 age group, housewife, private employee and married. Oral contraceptive use was dominant among patients with candidal vulvovaginitis.
Conclusion: Patients with bacterial vaginosis and candidal vulvovaginitis had distinct dominant characteristics. There are difference in reproductive age women with vaginosis at RSUPN. Dr, Cipto Mangunkusumo with the characteristics found in the published literature, which need to have further exploration and research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Rahmawati
"Latar Belakang: Insidensi hiponatremia pada infeksi intrakranial sebesar 30-66%. Hiponatremia dapat memperburuk manifestasi neurologis infeksi intrakranial itu sendiri serta dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Metode: Penelitian dengan studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui karakteristik hiponatremia dan hubungannya dengan keluaran klinis pasien infeksi intrakranial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada April 2019 s/d Oktober 2021. Data dasar diambil dari Indonesian Brain Infection Study (IBIS) kemudian dilengkapi dari rekam medis. Subjek ≥18 tahun dengan diagnosis akhir infeksi intrakranial masuk kriteria inklusi, sedangkan data tidak lengkap dan tidak rawat inap masuk kriteria eksklusi.
Hasil: Terdapat 296 subjek dengan mayoritas meningoensefalitis tuberkulosis (51,4%). Hiponatremia pada 66,6% subjek, terbagi menjadi derajat ringan (54%), sedang (24%) dan berat (22%). Hiponatremia banyak terjadi pada HIV positif (59,1%), komorbid penyakit paru (44,9%) dengan keluhan terbanyak sakit kepala (58,1%). Kematian terjadi pada (24,2%) subjek hiponatremia, dimana usia >60 tahun, komorbid, penyakit paru atau ginjal, hiponatremia berat dan status hiponatremia tidak terkoreksi berhubungan dengan kematian (p<0,05).
Kesimpulan: Pada infeksi intrakranial, koinfeksi HIV berhubungan dengan kejadian hiponatremia. Tidak ditemukan perbedaan bermakna karakteristik hiponatremia terhadap mortalitas, status fungsional maupun durasi perawatan. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas adalah usia, derajat hiponatremia, komorbiditas, dan status koreksi hiponatremia.

ackground: The incidence of hyponatremia in intracranial infection is 30-66%. Hyponatremia can exacerbate the neurological manifestations of the intracranial infection itself and is associated with increased morbidity and mortality.
Methods: This study was a retrospective cross-sectional study to determine the characteristics of hyponatremia and its relationship to the clinical outcome of patients with intracranial infections in Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) from April 2019 to October 2021. Base data were taken from the Indonesian Brain Infection Study (IBIS) and completed from medical records. Subjects 18 years with a final diagnosis of intracranial infection were included in the inclusion criteria, while incomplete data and no hospitalization were included in the exclusion criteria.
Results: There were 296 subjects with the majority of meningoencephalitis tuberculosis (51.4%). Hyponatremia in 66.6% of subjects was divided into mild (54%), moderate (24%), and severe (22%). Hyponatremia was common in HIV positive (59.1%), comorbid lung disease (44.9%) with headache as a common complaint (58.1%). Mortality occurred in (24.2%) hyponatremic subjects, where age >60 years, comorbidities, pulmonary or renal disease, severe hyponatremia, and uncorrected hyponatremic status were associated with mortality (p<0.05).
Conclusion: In intracranial infection, HIV coinfection is associated with the incidence of hyponatremia. There were no significant differences in the characteristics of hyponatremia on mortality, functional status, and duration of treatment. Factors associated with mortality were age, degree of hyponatremia, comorbidities, and hyponatremia correction status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariyanto
"Kanker ginjal merupakan penyakit keganasan yang mulai meningkat angka kejadiannya di daerah perkotaan. Akibat invasi dan pertumbuhan sel kanker yang semakin membesar dapat menekan jaringan atau organ sekitar ginjal. Hal ini sering mengakibatkan keluhan nyeri pada pasien dengan kanker ginjal. Sebagai penyakit dengan progresivitas lambat, kanker menyebabkan nyeri yang bersifat kronis, sehingga pengunaan obat analgesik dalam jangka waktu perlu dipertimbangkan karena akan meningkatkan efek toksisitas terhadap organ. Maka dari itu diperlukan manajemen nyeri non farmakologik.
Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis evidence based mengenai teknik manajemen nyeri non farmakologik khususnya teknik relaksasi dan teknik distraksi. Hasil dari latihan teknik relaksasi dan distraksi yang dilakukan secara terus-menerus dapat mengatasi rasa nyeri klien dengan kanker ginjal baik pra bedah maupun paska bedah.

Kidney cancer is a malignant disease which the incidence began to increase in urban areas. The growth and invasion of cancer cells can suppress the tissues or organs around the kidney. This often results in complaints of pain in patients with kidney cancer. As a disease with a slow progression, cancer causes chronic pain, so the use of analgesic drugs in the long period needs to be considered because it will increase the effect of toxicity to organs. Because of that, it is required nonpharmacologic pain management.
The purpose of this paper is to analyze evidence based of non-pharmacologic pain management techniques, especially relaxation techniques and distraction techniques. Results of relaxation and distraction exercises are performed regularly can overcome the pain of kidney cancer both pre and post surgical clients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Anita Ekawati Rahayu Sapang
"Praktik klinik lanjut di ruang neurologi untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan neurologi menggunakan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, menerapkan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian dan melakukan inovasi keperawatan. Masalah keperawatan terbanyak akibat respon perilaku inefektif pada mode adaptasi fisiologis yaitu perfusi jaringan serebral tidak efektif, dan mode fungsi peran yaitu manajemen kesehatan diri tidak efektif. Intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian yang telah diterapkan yaitu Skrining Malnutrisi menggunakan Mini Nutrional Assesment (MNA) dan Barthel Index (BI) yang dapat mendeteksi risiko kejadian malnutrisi pada pasien gangguan neurologi yang di rawat inap, sehingga dapat mencegah malnutrisi dengan kolaborasi dengan tim gizi. Inovasi keperawatan yaitu Bladder Training dengan menggunakan chart Bladder diary untuk mencegah kejadian infeksi nosokomial dan melatih pasien gangguan neurologi agar dapat berkemih mandiri tanpa bantuan alat. Perawat dapat menerapkan Model Adaptasi Roy, menerapkan skrining malnutrisi untuk mendeteksi awal risiko kejadian malnutrisi serta melakukan kegiatan inovatif dalam memberikan asuhan keperawatan pada gangguan neurologi.

Advanced clinical practice in neurology ward is conducted to give nursing implementation on patients with neurological system disorder by using Roy’s Adaptation theory, implementing nursing practice based on evidence and implementation of nursing innovation. The most frequent nursing problems that occurred resulted from ineffective behavior response on physical adaptation mode were ineffective cerebral tissue perfusion and role function mode, ineffective self-care management. Nursing intervention based on evidence-based practice on Malnutrition Screening by using Mini Nutritional Assesment (MNA) and Barthel Index (BI) is used to know the risk of malnutrition on patients with neurological in the ward, so we can prevent malnutrition by collaborating with the nutrition team. Nursing innovation with Bladder Training by using Bladder diary is used to prevent infection in hospital and to train patients with neurological system disorder, so that the patients can be autonomous without using any equipment. Nurses can implement Roy’s Adaptation Theory with Malnutrition Screening application to prevent malnutrition, and at the same time it can execute innovation in nursing implementation on patients with neurological system.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>