Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210630 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuli Nugraheni
"Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah Orientasi Pemberitaan Hariam Ekonomi dalam Masalah Otonomi Daerah - Analisis Isi Pemberitaan Masalah Otonorni Daerah di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia dan Harian Ekonomi Neraca Kumn Waktu Tahun 2000
Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus (case study), dengan tipe peneliiian muIt:`ca.se-multilevel anaLIsis. Berita harian ekonomi Bisnis Indonesia dan Neraca selama kurun waktu Tahun 2000 yang memuat masalah otonomi daerah menjadi obyek atau kasus dalarn penelitian Analisis data dilakukan pada level teks (text), praktek wacana (aHscourse praom-e)(organisasifmdusu'i) dan level praktek sosiokultural (industri media cetak Indonesia).
Hasil penelitian menunjukkan, meskipun proses dalam memproduksi berita yang dilakukan redaksi kedua media relatif sama, tetapi produk akhir yang dihasilkan berupa berita relatif berbeda. Hal ini temtama discbabkan oleh kebijakan media yang berlajnan serta tuntumn pasar pembaca yang tersegmentasi yang mengakibatkan perbedaan pada penampilan produk yang dihasiIkan. Dari seluruh produk yang diteliti sebanyak 224 item berita, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pada tingkat teks, dilihat dari frekuensi pemuatan, Bisnfs Indonesia menampilkan 193 berita dan Nemca menampilkan 31 berita mengenai otonomi daerah selama kurun waktu Tahun 2000. Isu (tema) dominan yang ditampiikan Bisnis Indonesia adalah masalah dana atau kcuangan sedangkan Neraca mengenai masalah peraturan atau perundang-undangan. Mengcnai kualitas atau obyektiiitas pemberitaan 1) unsur faktualitas : Bisnis Indonesia dan Neraca cukup jelas dalam memisahkan fakta dan opini. 2) kescimbangan sumbsr : Bisnis Indonesia dan Neraca cendcrung iidak seimbang dalam penggunaan sumber berita 3) netralitas pemberitaan : kedua media menunjukkan sikap dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
Pada iingkat wacana dapat disimpulkan strulctur organisasi Bisnis Indonesia dan Neraca hampir sama, begin pula dcngan proscs induslri memproduksi produk berita. Namun karena kebiiakan redaksional berbeda, menjadikan penampilan kedua produk berbeda.
Pada tingkat sosiokultural dapat disimpulkan sedikimya ada tiga fenomena yang dapat menjelaskan konteks sosiokultural pers Indonesia di masa otonomi daerah yaitu 1) makin luasnya medan wilayah liputan dan jumlah narasumber yang diberitakan 2) makin longgamya ketentuan legal tentang izin pencrbitan media cctak (SIUPP) 3) makin memusatnya pers di ibukota negara atau Pulau Jawa meskipun kebijakan otonomi daerah telah diundangkan.
Dari hasil penelitian ini dirckomendasikan unruk mengadakan penelilian Ianjutan tentang manajsmen redaksional di harian ekonomi yang lain dengan menggunakan pendekatan konstruksi kategori yang berbeda, penelitian lanjutan tentang rnanajemen media ditinjau dari pengelolaan SDM, pasar pembaca, dil sorta pcnelitian lanjutan tentang induslri media cetak di Indonesia.

This research is done by using the case study methode, in the type of multicase-multilevel analysis. The object of research is The Bisnis Indonesia and Neraca Economy Newspaper during the 2000 decade which contained the district autonomy problem which being the object in this research. The analysis was done on the text level, discourse practise (organization/industri) and sosiocultural (Indonesia Press Media Industry).
The result of the research shows that in the process of producing news, both of that editorial staff the same relatively. But news, as the result of the product is diiferent. It happened because of the media regulations of both editorial staif are diierent. Also the different of the market demand segmentation causes the different of the product. From 224 item of the news product which had been analyzed, it can be concluded as follow :
On the manuscript level, seen from the contain frequency, Bisnis Indonesia has 193 news and Neraca gives 31 news about district autonomy in the year of 2000. The dominant issue or theme in Bisnis Indonesia news is the financial or fund problem, while Neraca contains the regulation of constitution. The quality or the objectivity ofthe issue:
1. Factuality : Bisnis Indonesia and Neraca are clear enough in separation or fact and opinion.
2. Balance of source 1 Bisnis Indonesia and Neraca intend unbalance in using the source of news.
3. Neutrality of news : Both of daily news shows their support for the district autonomy
On text level, it can be concluded that the organization structure of Bisnis Indonesia and Neraca almost the same, also the industry process in producing news. But the editorial staff regulation are different, it makes their performance different.
On the sosiocultural level can be concluded atleast there are 3 phenomena that can explain sosiocultural context of the Indonesia press in the decade of district autonomy, they are :
1. Getting wider of the covering area and the amount of news source which are covered.
2. Getting loser the legal regulation in publishing press.
3. The press in the capital city or Java island is getting more centralize, even though the regulation of district autonomy has been declared.
The result of the research, it is recommended to do the continuation of the research about the editorial staff management in the order economy newspaper, by using the different category construction theory. The research continuation about the media managment Rom the Human Resources Management, market reader, etc, and also the research continuation about the press industry in Indonesia generally."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T4915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginandjar Kartasasmita
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996
338.959 8 GIN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Thee, Kian Wie
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981
339.5 THE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sarungu, Julianus J.
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor sosial ekonomi dan demografi yang berpengaruh dominan terhadap proses urbanisasi, mempelajari hubungan faktor-faktor tersebut dengan urbanisasi, dan mengungkapkan jalur mekanisme pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap urbanisasi. Tujuan tersebut dicapai berdasarkan kasus Indonesia selama kurun waktu pembangunan 1971-1985.
Rerangka pikiran yang dikembangkan dalam hal ini bertumpu pada apa yang disebut "Hipotesa Karakteristik' (characteristic Hypothesis) yang menyatakan bahwa proses urbanisasi yang berbeda di berbagai wilayah/region merupakan manifestasi perbedaan perubahan komponen demografi (fertilitas, mortalitas dan migrasi neto baik antar maupun dalam wilayah). Namun, dibalik semua perbedaan itu adalah perbedaan perubahan faktor-faktor sosial ekonomi masing-masing wilayah serta kebijakan pembangunan masa yang lalu.
Secara empiris, kerangka pikiran/teoritis tersebut kemudian diperinci ke dalam hubungan antar peubah-peubah bebas dan peubah tak bebas. Peubah-peubah bebas yang ditentukan secara selektif berdasarkan teori-teori dan penelitian-penelitian terdahulu meliputi: (1) Peubah-peubah ekonomi: Pendapatan Regional Per Kapita ( PPK), Kesempatan Kerja Pertanian (KRP) dan Peranan Sektor Manufaktur Daerah Secara Nasional (PMDN); (2) Peubah-peubah Sosial: Angka Literasi (LIT), Rasio Wanita Usia Subur Tamat SLTA+ (WUSS) dan Angka Kematian Bayi (AKB); (3) Peubah-peubah Demografi: Angka Fertilitas Total (ART), Usia Harapan Hidup (UHH) sebagai peubah proksi terhadap mortalitas dan Angka Migrasi Antar Provinsi, baik migrasi masuk (MMAP) maupun migrasi keluar (MKAP);(4) Peubah-peubah Situasional:Wilayah Urbanisasi (WU), Wilayah Kebijakan Pembangunan (WP) dan Waktu/Tahun (T). Semua peubah tersebut merupakan peubah kategori (dummy variable). Sedang peubah tak bebas adalah tingkat atau derajat urbanisasi (DURB), yaitu proporsi penduduk yang tinggal menetap di daerah perkotaan.
Hubungan antar peubah tersebut dianalisis dengan menggunakan peralatan statistik regresi linear berganda (multiple linear regression model) berdasarkan data dari 24 propinsi yang dipublikasi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tiga titik waktu/tahun (1971, 1980 dan 1985). Dengan demikian, analisis data meliputi 72 observasi (cases). Dalam hal ini, masing-masing propinsi diperlakukan sebagai satuan analisis (unit of analysis). Data gabungan (the pooled data) ini diproses dengan menggunakan program komputer Statistical Analysis System (SAS Program) di Laboratorium Komputer Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Beberapa hasil temuan dari pengolahan data tersebut dapat di sebutkan sebagai berikut:
1. Pengaruh Peubah Demografi Dengan Urbanisasi.
Peubah demografi yang berpengaruh dominan terhadap urbanisasi adalah angka kelahiran total/fertilitas dan usia harapan hidup, sedang migrasi antar daerah/propinsi baik migrasi masuk maupun migrasi keluar tidak berpengaruh. Fertilitas menunjukkan pengaruh negatif terhadap urbanisasi. Rasionalisasi yang sering diajukan mengenai hal ini adalah fertilitas pada umumnya lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Akibatnya, pertumbuhan penduduk pedesaan lebih pesat dibanding pertumbuhan penduduk perkotaan. Sedang usia harapan hidup sebagai proksi mortalitas menunjukkan pengaruh yang negatif pula terhadap urbanisasi. Meningkatnya usia harapan hidup dapat menggambarkan penurunan mortalitas. Oleh karena itu, hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan terjadinya penurunan angka kematian di daerah pedesaan yang lebih drastis dibanding di daerah perkotaan dan mengakibatkan pertumbuhan penduduk pedesaan lebih tinggi dibanding dengan di daerah perkotaan. Berdasarkan arah perubahan fertilitas dan mortalitas tersebut, maka perubahan keduanya secara bersamaan akan cenderung meningkatkan pertumbuhan penduduk alami di pedesaan lebih pesat dibanding di daerah perkotaan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan peubah lainnya maka urbanisasi cenderung menurun.
Migrasi antar daerah/propinsi baik migrasi masuk maupun migrasi keluar ternyata tidak berpengaruh terhadap urbanisasi. Hal ini nampaknya tidak terlepas dari masih rendahnya mobilitas penduduk antar daerah/propinsi dan mobilitas yang rendah tersebut berlangsung menuju hanya ke daerah tertentu, yaitu DKI Jakarta dan Lampung. Hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa migrasi dalam daerah (migrasi desa-kota) nampaknya lebih berperanan dalam proses urbanisasi.
2. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Dengan Urbanisasi.
Peubah literasi, ratio wanita usia subur yang berpendidikan tinggi dan angka kematian bayi ternyata tidak berpengaruh terhadap urbanisasi meskipun literasi menunjukkan pengaruh terhadap kelahiran, kematian dan migrasi serta ratio wanita usia subur yang berpendidikan tinggi berpengaruh terhadap kelahiran. Sedang peubah-peubah ekonomi ternyata menunjukkan pengaruh terhadap urbanisasi. Dengan demikian, peubah-peubah ekonomi menunjukkan pengaruh yang lebih dominan terhadap urbanisasi dibandingkan dengan peubah-peubah sosial. Nampaknya, hal ini merupakan konsekuensi logis dari aplikasi strategi pembangunan yang lebih menekankan bidang ekonomi.
Pendapatan per kapita menunjukkan pengaruh positif terhadap urbanisasi. Pendapatan per kapita yang meningkat dapat merupakan refleksi meningkatnya produktifitas sebagai akibat kemajuan tekologi dan akumulasi modal baik modal fisik maupun modal manusia. Peningkatan tersebut pada gilirannya akan mendorong perubahan struktural perekonomian dan demografis antara lain komposisi penduduk dan alokasi kesempatan kerja baik antar sektor (pertanian dan bukan pertanian) maupun antar daerah (daerah perkotaan dan daerah pedesaan). Pada umumnya, akumulasi modal dan aplikasi teknologi lebih berorientasi ke daerah perkotaan karena luasnya pasar produk. Oleh karena itu, daerah perkotaan cenderung berfungsi sebagai pesat aktifitas sosial ekonomi yang akan menjadi daya tarik kuat bagi berbagai sumberdaya ekonomi termasuk sumber daya manusia. Sementara itu, aplikasi teknologi pertanian di pedesaan cenderung bersifat menghemat pekerja. Akibatnya, mobilitas penduduk ke daerah perkotaan semakin meningkat dan urbanisasi akan meningkat pula. Selain itu, meningkatnya pendapatan per kapita dapat pula merefleksikan meningkatnya kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini berarti kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup secara fisik dan pengetahuan akan meningkat pula. Peningkatan tersebut cenderung mendorong kelahiran tetapi akan menekan kematian relatif drastis terutama di daerah pedesaan. Akibatnya, pertumbuhan penduduk daerah pedesaan akan lebih pesat dibanding dengan di daerah perkotaan dan karena itu urbanisasi akan cenderung menurun. Jadi, jika pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap urbanisas maka hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peningkatan pendapatan per kapita tersebut lebih dominan melalui perubahan migrasi daripada melalui perubahan kelahiran dan kematian.
Kesempatan kerja pertanian berpengaruh negatif terhadap urbanisasi. Meningkatnya (menurunnya) kesempatan kerja pertanian di daerah pedesaan cenderung menghambat (mendorong) migrasi desa-kota. Hal ini berarti pula menghambat (mendorong) urbanisasi. Peningkatan atau penurunan kesempatan kerja pertanian di daerah pedesaan sangat ditentukan oleh penerapan teknologi pertanian/mekanisasi, usaha komersialisasi pertanian dan ketimpangan pemilikan tanah pertanian. Terdapat kecenderungan bahwa pembangunan pertanian yang lebih mengarah ke mekanisasi pertanian, kurang komersil dan lebih mendorong ketimpangan pemilikan tanah pertanian akan menyebabkan menurunnya kesempatan kerja pertanian. Keadaan ini akan mendorong migrasi baik secara sektoral maupun secara spasial (migrasi desa-kota) dan pada gilirannya akan mendorong urbanisasi lebih pesat. Demikian pula sebaliknya.
Peranan sektor manufaktur berpengaruh negatif terhadap urbanisasi. Hubungan tersebut dapat terjadi bilamana tingkat industrialisasi masih relatif rendah, industri manufaktur bersifat padat modal, berorientasi ekspor, dan umumnya berlokasi di daerah pedesaan sehingga industri manufaktur kurang (tidak) berkaitan dengan arus mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke daerah per kotaan.
3. Urbanisasi Dan Ketimpangan wilayah/daerah.
Berdasarkan pembagian wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah kebijakan pembangunan yaitu Wilayah Indonesia bagian barat, Wilayah Indonesia bagian tengah dan Wilayah Indonesia bagian timur, maka hasil empirik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat dan perubahan urbanisasi yang bermakna secara statistik di ketiga wilayah tersebut. Tingkat dan perubahan urbanisasi di wilayah Indonesia bagian timur lebih rendah dan lamban di banding dengan di wilayah Indonesia lainnya. Ada kecenderungan semakin kearah barat wilayah Indonesia, urbanisasi semakin pesat.
Perbedaan-perbedaan tersebut, sesungguhnya menunjukkan pula adanya perbedaan kreatifitas sosial ekonomi di wilayah tertentu dan prioritas kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi ke wilayah Indonesia bagian barat. Dari segi ini, ternyata variasi urbanisasi di berbagai daerah atau wilayah menunjukkan pula ketimpangan sosial ekonomi dan demografis antar daerah atau wilayah (ketimpangan wilayah).
4. Implikasi kebijakan.
Setelah memperhatikan berbagai hubungan antar peubah-peubah sosial ekonomi dan demografi dengan urbanisasi serta gambarannya menurut wilayah kebijakan pembangunan maka perlu diupayakan suatu kebijakan perangsang urbanisasi, terutama di wilayah atau daerah di .mana tingkat dan tempo urbanisasi sarigat rendah dan lamban, seperti di Wilayah Indonesia bagian timur atau di daerah tertentu di wilayah Indonesia lainnya. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan sosial ekonomi dan demografi yang pelaksanaannya hendak nya diintegrasikan diantara pengembangan daerah perkotaan dan daerah pedesaan dan diantara pengembangan wilayah pembangunan yang satu dengan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar dapat mendorong realokasi berbagai sumberdaya pembangunan, termasuk sumberdaya manusia dan teknologi secara optimal ke wilayah pembangunan atau daerah yang derajat urbanisasinya masih relatif rendah.
Berbagai program pembangunan perlu dilaksanakan atau lebih diintensifkan untuk mendukung kebijakan tersebut diatas, antara lain: pengembangan kota sedang dan kecil baik fisik maupun sosial ekonomi di berbagai wilayah; pengembangan industri sedang dan kecil serta industri kerajinan di daerah pedesaan disamping peningkatan kegiatan bidang pertanian; peningkatan pengetahian masyarakat terutama di daerah pedesaan, terutama yang berkaitan dengan aspek demografi (fertilitas, mortalitas dan migrasi) dan kualitas sumberdaya manusia; peningkatan dan pemerataan informasi dan fasilitas pendidikan dan kesehatan di berbagai wilayah atau daerah yang semakin intensif.

ABSTRACT
The purpose of this study is to investigate social economic and demographic factors which have dominant influences on urbanization and to examine the mechanism by which those factors have influenced urbanization over the development period of 1971-1965.
The theoretical framework is based on The Characteristic Hypothesis, which states that the varied levels and tempos of urbanization among regions reflect differential changes in demographic components (fertility, mortality and net migration) aid government policies of settlement. Underlying these differentials are differences in socioeconomic conditions and development.
Selected independent variables are classified into: (i) economic variables, which include regional income per capita (PPK) agricultural employment (KKP) and the national share of local manufacture sector (PMDN); (ii) social variables, which consist of the literacy rate (LIT), the highest education attained by women aged 15 to 49 (reproductive ages/WUSS) and the infant mortality rate (AKB) as a proxy for social health conditions; (iii) demo - graphic variables, such as the total fertility rate (AKT), life, expectancy (UHH), the interprovince in - and out - migration rate (MMAP and MKAP); (iv) situational variables, e.g urbanization regions (WU), development policy of the region (WP) and time/years (T), all of which are used as dummy variables; and (v) the policy variable, which is presented by the percentage of urban-village (desa-perkotaan) as a proxy for reclassification. The dependent variable is the level or degree of urbanization (DURB), i.e. the proportion (percentage) of population living in urban areas.
The Multiple linear regression is used for studying and testing the relationships of these variables. The sample set is a set of secondary data of 24 provinces over three years 1971, 1988' and 1985. In short the sample consists of 72 observations. In this study, each province represents a unit of analysis. The data were collected and published by Biro Pusat Statistik (The Central Bureau of Statistics/BPS). The pooled data was processed by using the computer programmed "Statistical Analysis System" (SAS) at the Demographic Institute Laboratory, the Faculty of Economics, the University of Indonesia.
The empirical results may be summarized as follows :
1. The Relationship between demographic variables and Urbanization.
The demographic variables which have dominant influences on urbanization are the Total fertility rate and the Life expectancy rate, while the interprovince in- and out-migration rate has no influence on urbanization. The logical and common explanation for this matter which is often put forward is that fertility in the rural areas is generally higher than in the urban areas, and consequently, the growth of the rural population is more rapid than the growth of the urban population. At the same time, the life expectancy rate as a proxy for the mortality rate also indicates a negative influence on urbanization. The increasing of life expectancy points to the reducing of mortality. Therefore, the above relationship shows that the mortality rate in rural areas is decreasing more drastically than the mortality rate in urban areas, and as a result, the increase of the rural population is higher than the increase of the urban population. Based on this tendency of fertility and mortality, these two changes will equally tend to increase the natural of population growth in the rural areas more rapidly than in the urban areas. Therefore, considering the other variables, urbanization is tending to decrease.
Interprovince migration, both in- and out-migration, obviously has no influence on urbanization. This evidently can not be separated from the low mobility of people between regions/provinces and migration continues to go toward certain provinces, i.e., the Jakarta Metropolitan Area and Lampung. This gives the strong 'impression that intra-province migration (rural-urban migration) obviously plays a part in the urbanization's process.
2. The Relationship between Social-Economic Variables and Urbanization.
The Literacy rate, the educational attainment of women of reproductive ages, and the infant mortality rate obviously have no influence on urbanization although literacy indicates an influence on fertility, mortality and migration; and the educational attainment of women of reproductive ages only influences the fertility rate. At the same time, all economic variables show a significant influence on urbanization. Thus, economic variables have a more dominant influence than social variables on the urbanization process. This is a logical consequence of the application development strategy which has emphasized on the economic field.
Income per capita shows a positive influence on urbanization. The increasing of income per capita can be a reflection of the increasing of productivity as a result of technological progress and capital accumulation, both physical and human capital. In turn, this increase will influence the change of the economic and demographic structure, i.e., population composition and allocation of employment, both from inter sectors (agriculture and non agriculture) and inter-regions.
Generally, capital accumulation and technological application tend to be concentrated in urban areas because these areas have a wide product market. Therefore, urban areas tend to function as a center for social economic activities which will strongly attract economic resources, including human resources, while the application of agricultural technology in rural areas tends to save on labor. Consequently, the movement of people to urban areas is increasing and urbanization, of course, will also increase. The increasing of income per capita also reflects the increase in the social economic condition of people, which means that the ability of the people to increase their standard of living physically and in term of skills is improving. This increases tend to stimulate the fertility, but it will suppress the mortality rate somewhat drastically, especially in rural areas.
As a consequence, the population in the rural areas will increase more rapidly than in the urban areas, and therefore urbanization will tend to be reduced. Thus, if income per capita has a positive influence on urbanization, this indicates that the influence is more dominant through the change of migration (rural-urban migration).than the change of fertility and mortality.
Increased agricultural employment has a negative influence on urbanization and vice versa. The increasing of agricultural employment in rural areas tends to decrease the rural-urban migration, and this means decreased urbanization. The increasing of agricultural employment in rural areas is caused by the application of agricultural technology (mechanization), commercialized efforts in the agricultural sector, and the imbalance of farm ownership. Agricultural development means agricultural mechanization, fewer commercialized efforts and the-imbalance of the farm ownership which causes the reduction of agricultural employment. This condition will stimulate migration, both in inter-sectors and in spatial regions (rural-urban migration), and in turn it will stimulate more rapid urbanization.
The role of the manufacturing sectors has a negative influence on urbanization. This relationship can exist if the industrialization level is still relatively low, and the manufacturing industry is more capital intensive, more export oriented, and generally located in rural areas. Under such condition the manufacturing industry has little relationship to people's mobility from rural areas to urban areas.
3. Urbanization and The Imbalance of Regions.
Based on the division of Indonesian regions which is divided into three development policy regions (the Western Indonesia Region, the Central Indonesia Region and the Eastern Indonesia Region), empirical results show there are differences in the level and growth rate of urbanization in these three regions. The level and growth rate of urbanization in the Eastern region is lower than in the other regions. There is a tendency that the more westernly the region is, the higher and more rapid urbanization is.
This facts actually shows the differences between social economic activities in a certain region and the priority of development policy given to the Western region. From this aspect, the differences in urbanization in the various region shows an imbalance between social economic development and demographic changes among the regions.
4. The Policy Implications.
Having observed the various relationships between social economic and demographic variables and urbanization and the description of regional policy, it is necessary to try to make policies which stimulate the urbanization process, especially in the-se regions where the level and rate of growth of urbanization are low and slow, such as in the Eastern Indonesian region or certain areas of the other Indonesian regions. It is the social economic and demographic policies which must be carried out to find a balance between the development of the urban and rural areas, and between the development of one region and the others. The policies must be able to optimally stimulate reallocation of the various development resources, including human resources and technology, to develop areas which have a low level and rate of growth urbanization.
Various development programs which are necessary to intensify and to support the above mentioned policies, are as follows: the development of small and medium sized cities, both in physical and social economic aspects in the various regions; the development of small and medium sized industries, especially in rural areas, besides an increase of the agriculture sector; the in-crease of people's skill, especially those which have a relation with demographic aspects (fertility, mortality and migration), and the quality of human resources; a more intensive increase and equalization of information, educational and health facilities in the various regions.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 telah menyebabkan tiga masalah utama,yaitu depresi ekonomi,meningkatnya jumlah pengangguran dan memburuknya distribusi pendapatan....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arndt, Heinz Wolfgang, 1915-2002
Jakarta: LP3ES, 1983
338.09 ARN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Arndt, Heinz Wolfgang, 1915-2002
Jakarta : LP3ES , 1987
338.95 ARN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wasudi
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, -
S16255
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisaul Fadillah
"Kebijakan bantuan ADB kepada Indonesia yang semula bertumpu pada sektor pertanian sebagai perhatian utama kemudian berganti sektor infrastruktur sosial adalah bagian kebijakan ADB pada kurun waktu 1997-2000. Pergeseran kebijakan itu tidak hanya pada tumpuan sektor tapi juga pada jenis bantuan berupa program (program aid). Jenis bantuan ini sangat dijauhi oleh ADB pada kurun waktu sebelumnya dan justru sangat menekankan jenis bantuan proyek (project aid).
Dalam menganalisa pergeseran kebijakan ADB di Indonesia, khususnya untuk kurun waktu 1997-2000, peneliti menggunakan metodologi kualitatif yang mencoba menjelaskan fenomena ini dengan menggunakan pengumpulan data lewat dokumentasi dan wawancara. Temuan data ini dibenturkan dengan teori, model atau konsep yang ada sehingga menghasilkan suatu temuan guna menjawab permasalahan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utarna yang membuat ADB beralih pada sektor infrastruktur sosial dilatarbelakangi dan usaha untuk memulihkan kondisi masyarakat yang paling parah terkena dampak krisis. Selain itu bantuan pada sektor pertanian tidak sama sekali ditiadakan dan tetap dikategorikan sektor yang cukup mendapat perhatian walaupun dengan sedikit terjadi penurunan dari sisi nilai nominalnya.
Adanya bantuan program adalah upaya ADB untuk menyiasati kelangkaan dana lunak dalam tubuh ADB. Oleh karena itu bantuan program dalam kurun waktu 1997-2000 adalah bantuan untuk sector reform yakni ADB mendesak pemerintah lewat kesepakatan bersama dalam mempersiapkan perangkat perundang-undangan guna mempercepat proses liberalisasi ekonomi, melalui privatisasi BUMN, desentralisasi maupun good governance. Implikasi yang lebih jauh dari kebijakan ini adalah terbukanya kesempatan luas bagi investor asing ke Indonesia dengan jaminan hukum dari pihak pemerintah Indonesia terhadap keberlangsungan investasi tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Agus Supriadi
"Penelitian ini difokuskan kepada faktor-faktor apa yang menyebabkan di laksanakannya kebijakan pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan, dan melihat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan masyarakat kabupaten Tapanuli Selatan sebelum di laksanakannya pemekaran kabupaten dan setelah dilaksanakannya pemekaran kabupaten. Untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang penyebab di laksanakannya pemekaran kabupaten, serta membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pendapatan masyarakat kabupaten Tapanuli Selatan sebelum pemekaran dan setelah pemekaran dan kabupaten Mandailing Natal serta kaitannya dengan ketahanan wilayah di kedua daerah kabupaten.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis penelitian analisa data sekunder. Data sekunder yang di peroleh merupakan jenis data time series, data yang dikumpulkan dari beberapa kantor atau pelaku ekonomi di daerah lokasi penelitian ini, terutama data-data kegiatan ekonomi yang telah dilakukan di Tapanuli selatan sebelum dimekarkan dan data-data ekonomi setelah dimekarkan sebagai pembanding dari waktu sebelum dimekarkan setelah dimekarkan menjadi dua kabupaten.
Hasil penelitian ini adalah bahwa pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan di sebabkan oleh faktor-faktor seperti pertama faktor latar belakang sejarah, dalam hal ini sejarah di kabupaten Tapanuli Selatan mencatat bahwa perbedaan pandangan yang tajam dari beberapa kuria yaitu : Kuria Angkola-sipirok, Kuria Padanglawas, Kuria Mandailing dan Kuria Natal tentang terminologi suku Batak. Faktor Politik etnis, dengan perbedaan pandangan terminologi batak,dengan demikian keempat kuria menganggap sudah berbeda dari segi etnik. Faktor luas wilayah, dalam hal ini kabupaten Tapanuli Selatan sebelum di mekarkan merupakan kabupaten terluas di Propinsi Sumatera Utara (seperempat dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara). Ketiga faktor tersebut yang mendorong lahirnya kebijakan pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan.Namun sebelum di laksanakannya pemekaran kabupaten kinerja ekonomi kabupaten Tapanuli Selatan yang di lihat dari pertumbuhan ekonomi semakin turun dan pemerataan pendapatan masyarakat kabupaten Tapanuli Selatan semakin senjang. Setelah dilaksanakannya pemekaran kabupaten pertumbuhan ekonomi kabupaten Tapanuli Selatan tidak menunjukkan hasil yang baik di mana pertumbuhan ekonomi kabupaten Tapanuli Selatan sangat lambat perkembangannya namun yang lebih parah lagi adalah pemerataan pendapatan kabupaten Tapanuli Selatan semakin buruk atau semakin senjang. Kondisi perekonomi kabupaten Tapanuli Selatan setelah pemekaran kabupaten berbeda dengan kabupaten Mandailing Natal (pecahan kabupaten Tapanuli Selatan). Pertumbuhan ekonomi kabupaten Mandailing Natal bergerak naik cukup cepat dan pemerataan pendapatan di kabupaten Mandailing Natal menunjukkan semakin baik. Dengan perbedaan ini maka hasil pembinaan wilayah dalam mewujudkan ketahanan wilayah di kedua kabupaten sangat berbeda.
Kesimpulan, bahwa kebijakan pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan tidak di manfaatkan sunguh-sungguh oleh pimpinan pemerintahan di kabupaten Tapanuli Selatan dalam mempercepat pembangunan daerah. Namun pimpinan pemerintah kabupaten Mandaling Natal benar-benar memanfaatkan peluang pemekaran kabupaten ini untuk mempercepat pembangunan di kabupaten Mandailing Natal. Dengan demikian kedua daerah memiliki strategi pembangunan yang berbeda dan dukungan masyarakat dalam mendukung pembangunan daerah juga berbeda. Walaupun kedua kabupaten ini pemah menjadi satu wilayah dalam administrasi pemerintahan.

This study focus on factors that cause the implementation of rising policy of South Tapanuli regency, and to see the economic growth and even income distribution of the people in South Tapanuli regency before the implementation of rising regency and after the rising regency has been done. Trying to answer the question about why the rising regency is being implemented. And comparing the regional economic growth and even income distribution of the people in South Tapanuli regency before rising and after rising, to the Mandailing Natal regency and its relationship with the regional endurance within those two regencies.
This study was using descriptive method with the type of study on secondary data analysis. The obtained secondary data were data time series type; the data that has been collected from some office or economic agent in this study location region, especially about the data of economic activity that has been done in South Tapanuli before rising and after rising as a comparison at the time before being rise and after being rise into two regencies.
The result of this study is about the rising of South Tapanuli regency that are caused by several factors such as first, the factor of historical background, in this context the history in South Tapanuli regency note very different point of view from some Kuria that are : Kuria Angkola-sipirok, Kuria Padanglawas, Kuria Mandailing and Kuria Natal about the term of Batak ethnic. The factor of ethnical politic, with different point of view in batak term, hence those four kurias are regarded as different in ethnical view. The factor of territorial capacity, in this context, the South Tapanuli regency before rising was the widest regency in North Sumatera Province (a quarter of the territorial capacity in North Sumatera Province). Those three factors enhance the emerging of rising policy of South Tapanuli regency. But before it has being implemented, the economic performance of South Tapanuli regency - that being viewed from the economic growth, was declining and the even income distribution of the people in South Tapanuli regency was getting imbalance. After the regency rising has been done, the economic growth in South Tapanuli regency has not showed good result, where the economic growth of South Tapanuli regency is very slow in its development, but the worse is that the even income distribution of South Tapanuli regency is getting worse and far more imbalance.
The economic condition in South Tapanuli regency after rising was different from the Manadiling Natal regency (the split part of South Tapanuli regency). The economic growth of Mandailing Natal is rising quite fast and the even income distribution in this regency is getting better. With these differences, then the territorial establishment results in realizing the endurance at the two regencies were very different.
In conclusion, that the rising policy of South Tapanuli regency was not sincerely used by the chief government in the south Tapanuli regency in accelerating the regional development. But the chief government in Mandailing Natal regency was truly benefit the opportunity of this rising regency to accelerate the development in Mandailing Natal regency. Consequently, those two regions have a different development strategy and different society support in supporting the different regional development. Even when these two regencies have been being one territory of government administration.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11054
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>