Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87520 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Septo Mulyo P. T.
"Anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu Tahun Anggaran 2005 bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, seeara kuantitas hanya sebesar 5,5% dari total APBD, sedangkan kualitasnya juga rendah karena hampir seluruhnya berupa belanja aparatur. Dengan kondisi demikian sangat sulit bagi Dinas Kesehatan untuk melaksanakan program pembangunan kesehatan sesuai dengan visi "Rejang Lebong Sehat 2010".
Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana variabel dalam penentuan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong tahun 2005. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan alur proses penetapan APBD berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, serta langkah-langkah perencanaan dan prinsip advokasi berdasarkan Modul Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu Departemen Kesehatan RI Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2006, dengan wawancara mendalam kepada informan yang berhubungan dengan penentuan anggaran serta telaah dokumen yang berhubungan dengan penetapan APBD yang berbasis kinerja.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dokumen perencanaan tingkat kabupaten belum digunakan oleh Dinas Kesehatan sebagai acuan penyusunan anggaran. Secara kualitas dokumen tersebut juga rendah karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Advokasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan sangat kurang, baik dalam penggunaan evidence based maupun dalam memahami interes stakeholder penentu anggaran, sedangkan ternyata interes stakeholder sangat bervariasi, dan pentingnya argumen dan penggunaan data sampai ke pertimbangan politis.
Posisi bidang kesehatan dalam APBD berada di urutan ketiga, namun terdapat ketimpangan perbandingan anggaran antar bidang, karena bidang pendidikan misalnya memperoleh anggaran hampir 40%. Dalam perbandingan antara belanja aparatur dengan belanja publik terdapat ketidakseimbangan, karena 99% merupakan belanja aparatu.
Ketimpangan maupun ketidakseimbangan anggaran tersebut salah satunya disebabkan karena keterbatasan anggaran, namun dapat juga dikarenakan oleh faktor-faktor lain, seperti kurang berjalarmya mekanisme penentuan skala prioritas, kurangnya advokasi oleh Dinas Kesehatan dan kurangnya pemahaman Dinas Kesehatan terhadap interes Para stakeholder penentu anggaran, dalam hal ini pihak eksekutif maupun legislatif.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa dokumen perencanaan tingkat kabupaten tidak berfungsi sebagaimana mestinya, kurangnya advokasi oleh Dinas Kesehatan, bervariasinya interns stakeholder serta rendahnya kuantitas maupun kualitas anggaran Dinas Kesehatan bersumber APBD. Penulis menyarankan agar diadakan revisi dokumen perencanaan, peningkatan upaya advokasi, pemahaman yang lebih mendalam terhadap interns stakeholder dan penyeimbangan komposisi dalam APBD.

Budget of Rejang Lebong District Health Office, Province of Bengkulu year 2005 source of APED in the amount only equal to 5,5% from total APBD, while its quality also lower because almost entirely in the form of government expense. With this condition is very difficult for Rejang Lebong Distric Health Office to execute health development program as according to vision " Healthy Rejang Lebong 2010".
Pursuant to the problems, conducted a research to know how variable in determination budget of Rejang Lebong District Health Office year 2005. Research done with qualitative approach use path process of APBD pursuant to Internal Affair Minister Decree of Number 29 Year 2002, and also the planning steps and principal of advocacy of pursuant to Inwrought Health Budgeting and Planning Module of RI Health Department. Research executed at Februari until April 2006, with interview to person which deal with budget determination and also analyze document which deal with stipulating APBD being based on performance.
From result of research known that document of planning regency is not used by Rejang Lebong District Health Office as reference of budget compilation. In quality of the document also lower because disagree with fact that happened in field. Advocacy done by Rejang Lebong District Health Office very less, both of use of evidence based and also in comprehending interest of stakeholder of budget determinant, while really interest of stakeholder highly varied, from its important of argument and use of' data to political consideration.
Position of health in APBD reside in third sequence, but there are gaps of comparison of budget, for example educational obtaining budget of 40%. In comparison between government expense with public expense there are imbalance, because 99% representing in government expense.
The gaps and also the budget imbalance one of them is caused by budget limitation, but earn also caused by other factors, like less the nun of priority scale determination mechanism, lack of advocacy and lack of understanding with the interest of all stakeholder budget determinant, in this case both of executive and also legislative.
In this research is concluded that planning document regency do not function properly, lack of advocacy, varying of it interest of stakeholder and also lower in quantity and quality budget of Rejang Lebong Districh Health Office source of APBD. Writer suggest that performed to revise planning document, improvement advocacy effort, more understanding to interest stakeholder and equality of APBD composition.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19079
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Rotua
"Penerapan Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) bidan di puskesmas ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bidan; kepatuhan penggunaan standar dalam melakukan pelayanan kebidanan; kemampuan manajerial pelayanan kebidanan; pelaksanaan monitoring kinerja; mutu asuhan kebidanan. Penerapan PMK ini diharapkan dapat berperan untuk tercapainya indikator Sistem Pelayanan Minimal (SPM) Kabupaten/Kota yang dilaksanakan bidan di sarana kesehatan, mengingat bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dengan jumlah yang cukup besar (40%) dari seluruh kategori tenaga kesehatan.
Dalam penerapan Pengembangan Manajemen Kinerja bidan di rumah sakit dan puskesmas diawali dengan pelatihan. Pelatihan ini ditujukan pada bidan koordinator, dengan harapan bidan koordinator dapat memberikan kiat-kiat dalam memberikan pengarahan, bimbingan, dan sekaligus menilai kinerja staf secara obyektif. Scsuai dengan Kepmenkes no. 8361Menkes/SKIVI12005, pada pelatihan tersebut ditekankan pada penguasaan lima komponen PMK yaitu standar, uraian tugas, indikator kinerja, sistem monitoring, dan Refleksi Diskusi Kasus.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran sejauh mana penerapan PMK bidan di Puskesmas dengan pendekatan sistem. Penelitian ini menggunakaii pendekatan kuantitatif dengan bidan yang telah mendapat pelatihan PMK dan telah menerapkan PMK bidan di puskesmas tempat bekerja yang berjumlah 33 orang dari lima puskesmas. Juga dilakukan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam pada lima pimpinan dan bidan koordinator puskesmas yaitu di puskesmas Curup, Kampung Delima, Perumnas, Tunas Harapan, dan Sambirejo serta dilakukan telaah dokumen terhadap penerapan PMK bidan di puskesmas.
Hasil penelitian antara lain: (1) Faktor masukan penerapan PMK bidan berupa uraian tugas, Standard Operational Procedure (SOP), pendidikan dan latihan, semua bidan puskesmas (100%) telah ada dan dilaksanakan dcngan baik, hanya variabel penerapan sistem penghargaan ada yang masih buruk di puskesmas (48.5%). (2) Faktor proses penerapan PMK bidan di Puskesmas berupa kegiatan pendokumentasian kegiatan dimana semua bidan (100%) telah melaksanakan dengan baik dan sesuai dengan telaah dokumen, sedangkan pemantauan dan pengendalian kegiatan umumnya sudah baik (66.7%), dan masih ada yang buruk (33.3%), pertemuan strategis umumnya juga sudah baik (72.7%) dan yang masih buruk (27.3%), kegiatan Refleksi Diskusi Kasus (RDK) umumnya sudah baik (63.6%) dan masih buruk (36.4%). (3) Faktor luaran penerapan PMK bidan di Puskesmas yaitu manajemen kinerja bidan umumnya sudah baik di puskesmas (57.6%), yang masih buruk (42.4%).
Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah bahwa penerapan Pengembangan Manajemen Kinerja bidan di puskesmas umumnya sudah baik, hanya beberapa variabel saja penerapannya yang masih buruk dan perlu ditingkatkan lagi. O1eh karena itu, peneliti mencoba memberikan rekomendasi kepada: (1) Pemerintah Daerah untuk memberikan dukungan pelaksanaan setiap komponen program PMK bidan, menyetujui usulan program Dinas Kesehatan untuk melaksanakan pelatihan PMK kepada bidan yang belum mendapat pelatihan. (2) Kepala Dinas Kesehatan supaya melakukan tindak lanjut dari penerapan program PMK, seperti melakukan monitoring PMK setiap 3 bulan sekali, memberikan pelatihan penerapan PMK kepada bidan yang belum dilatih, dan diharapkan semua puskesmas di kabupaten Rejang Lebong dapat menerapkan PMK (3) Kepada Pimpinan Puskesmas supaya menyusun indikator kinerja bidan untuk keperluan monitoring dan penilaian kinerja, menilai kinerja bidan puskesmas minimal 1 tahun sekali dan memberikan penghargaan sebagai umpan balik.

The Application Of Management Performance Development o: Midwife in health center is expected improve the midwife's knowledge and skill; compliance of usage in midwifery service standard; ability of midwifery service managerial; execution of performance monitoring; midwifery care quality, while expectation of Development Of Management Performance contribute to reach a Minimum Service System indicator in the District City which is executed and midwife in health place, considering midwife as part of health service with high amount (40%) from all of health worker category.
The Application Of Management Performance Development in hospitals and health centers started with training. This Training is addressed for the coordinator midwife in health center, while the expectation of the coordinator midwife is to give suggestions in guidance, teaching, tuition, and at the same time to assess stair performance objectively. According to Kepmenkes No. 836 / Menkes / SK / VI / 2005, this training emphasized five components: standard, job description, performance indicator, monitoring system, and reflection cased discussion (RCD).
This research is done to give an assessment and to describe how far the application of Development Of Management Performance of midwife in Health Center is done. This research applying the quantitative method to midwife as respondents who work in a health center which have applied the Development Of Management Performance, they are 33 midwife from five health centers. This research is also done by a qualitative method through interview for five leaders of health center and midwife coordinator, such as Curup Health Center. Kampung Delima, Perumnas, Tunas Harapan, and Sambirejo and also analyze document for applying Development 0C Management Performance midwife in health center.
Research results include: (I) Input factor for applying Development Of Management Performance midwife, such as job description, SOP, and training and fellowship for all of Health Center midwives (100%) arc done well available with duty in Health Center, but applying of appreciation system variable is not good (48.5%). (2) Process factor for applying Development of Management Performance Midwife in Health Center such as activity of documentation where all midwives (100%) have done this matter based on document study by
Researcher, while monitoring activity generally is good (66.7%), the other is bad (33.3%), strategic meeting generally is so good (72.7%) and the other is bad (27.3%), Reflection Case Discussion (RCD) activity generally is good (63.6%) and the other is bad (36.4%). (3) Output factor for applying Development of Management Performance Midwife in Health Center that is midwife performance management generally is good in Health Center (57.6%), the other management is bad (42.4%).
The conclusion of this research is that applying development of midwife performance management in health center generally is good, there just some variables which is bad. Therefore, researcher try to give recommendation for: (I) Local Government, giving support the application of Management Performance Development of midwife in health center, approve proposal of District Health Office program to doing Development Of Management Performance training for midwife who does not get training yet. (2) Head of District Health Office: should follow-up program of Management Performance Development, such as monitoring every 3 months once, doing training of Management Performance Development For midwife who have not been [rained yet, and expected that all health center in Rejang Lebong district can applying the Management Performance Development of midwife. (3) Health Center leader, monitoring and performance assessment minimally 1 year once to assess midwife performance in Health Center and give appreciation as feed back.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19087
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kahar
"ABSTRAK
Salah satu tujuan implementasi program kependudukan dan Keluarga Berencana adalah menurunkan tingkat fertilitas sebagai upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Selama kurun waktu 20 tahu pelaksanaan program KB, sejak dimulai secara resmi tahun 1970 telah membawa berbagai kebehasilan. Antara lain dapat dilihat dari cakupan pemakaian kontrasepsi hingga tahun 1989/1990 tercatat jumlah peserta KB aktif {68,6 %) dari seluruh Pasangan Usia Subur di tanah air. Demikian pula terjadi penurunan fertilitas sebesar 37,91 % selama 20 tahun terakhir dari TFR 5,61 {1970) menjadi 3,40 (1989). Tingkat penurunan tersebut akhir-akhir ini semakin tajam seiring meningkatnya penggunaan kontrasepsi.
Pada tingkat regional Propinsi Bengkulu keberhasilan pelaksanaan program KB cukup tinggi, terutama dilihat dari cakupan kontrasepsi 'sampai tahun 1989/1990 tercatat (72,9 %) dari seluruh PUS melebihi pencapaian secara nasional. Namun belum diikuti dengan penurunan fertilitas yang sepadan, yakni TFR pada tahun 1989 sebesar (4,200) jauh lebih tinggi dibanding TFR secara nasional. Disamping itu meskipun. perencanaan program diatur dan ditetapkan secara nasional serta ditangani melalui susunan organisasi dalam pola yang sama, namun tingkat keberhasilannya di lapangan (tingkat desa) menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan yang cukup menyolok.
Penelitian ini bertujuan mengkaji herhagai faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan: program KB di lapangan, baik kesertaan ber KB maupun dampak.program (penggunaan kontrasepsi) terhadap penurunan fertilitas. Faktorfaktor tersebut mencakup (1) faktor program yakni kegiatan motivasi KIE dan pelayanan kontrasepsi, (2) faktor. lingkungan setempat yakni keberadaan tokoh masyarakat, institusi dan kelompok sebaya, dan (3) faktor individu yakni tingkat sosial ekonomi.
Untuk maksud tersebut penelitian ini menggunakan metode survei terhadap responden (PUS) dan wawancara mendalam terhadap informan. Disamping dalam bentuk participant observation, serta dukungan data sekunder. Analisa data betsifat kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga faktor (variabel) di atas berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pelaksanaan program KB di lapangan. Faktor program yakni motivasi KIE dan pelayanan kontrasepsi sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program KB. Sementara faktor lingkungan setempat, yakni institusi, tokoh masyarakat dan kelompok sebayla sangat menentukan tingkat kesertaan ber KB. Meskipun hubungan tersebut tidak begitu nyata terhadap pilihan untuk ,memakai metode efektif yang digunakan oleh akseptor. Demikian 'pula faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkat kesertaan ber KB dan penurunan fertilitas.
Semetara perbedaan keberhasilan yang cukup menyolok menurut lokasi (desa) lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungan setempat dan faktor sosial ekonomi responden. Baik tingkat kesertaan ber KB (penggunaan kontrasepsi) maupun dampak program terhadap penurunan fertilitas.
Keberhasilan implementasi program KB tidakterlepas dari kemajuan dalam sektor-sektor lain terutama kemajuan tingkat sosial ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan, dapat mempercepat terwujudnya norma keluarga kecil bahagia dan sejahatera."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Novriansyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan (berdasarkan fungsi pengambil keputusan, fungsi pegawas, fungsi Actuating (penggerak) dan fungsi motivator) dan kompensasi (berdasarkan upah dan gaji, insentif, tunjangan dan fasilitas) terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel pada penelitian ini pegawai negeri sipil yang berjumlah 90 orang. Sampel diambil dengan menggunakan metode random sampling (probability sampling). Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong adalah kompensasi berdasarkan upah dan gaji (Beta= 0,533). Hasil penelitian bahwa kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu tahun 2014 berkinerja dengan kategori baik.

The purpose of this study to find out influence of leadership (pursuant to function taker of decision, supervisor function, function of actuating and motivator function) and compensation (pursuant to wage and salary, incentive, facility and subsidy) to officer performance of Public Health Service Sub- Province of Lebong Provinsi Bengkulu at 2014. This research use quantitative method with sectional cross desain. Sample in this study all are of the employees in health lebong 90 person. Sampling taken by using method of random sampling (sampling probability). The most Influence factor to officer performance of Public Health Service Sub-Province of Lebong is compensation pursuant to wage and salary (Beta=0,533). Result of research that performance officer of Public Health Service Sub-Province of Lebong Provinsi Bengkulu at 2014 have performance with good category."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas indonesia, 2014
T41499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The main problem facing Indonesian people today is nutrition deficiency which brings effect to low quality of human resources. ...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ricody, Cornia
"Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu bersama Instalasi Pengembangan Pembudidayaan Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu dalam kegiatan Bengkulu Regional Development Project (BRDP) telah melakukan serangkaian kegiatan ?Adopsi Teknologi Pertanian Berbasis Pedesaan". Kegiatan adopsi teknologi pertanian berbasis pedesaan yang dilaksanakan oleh BPTP Bengkulu merupakan suatu kegiatan untuk menyiapkan, menerapkan dan mengembangkan teknologi pertanian yang tepat guna, spesifik lokasi dan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang ada serta berwawasan agribisnis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabulasi dan Regresi Berganda dari Nilai Statistik beberapa variabel seperti output pertanian, input produksi, produktivitas dll.
Paket rekomendasi adopsi teknologi yang dilakukan di beberapa kecamatan di Provinsi Bengkulu menunjukan hasil yang cukup baik. Hal ini dapat diketahui dad hasil produksi gabah kering yang dihasilkan oleh petani. Sebelum mengikuti paket teknologi yang dianjurkan rata- rata produksi padi mencapai 4,1 ton per hektar. Hasil panen ini meningkat sebesar 22% atau menjadi 5,0 ton per hektar setelah mengikuti paket adopsi teknologi pertanian yang dikenal dengan Sistem Tanam Legowo.
Mengingat program Bengkulu Regional Development Project (BRDP) cukup berhasil dilakukan di Provinsi Bengkulu, sebaiknya program serupa dapat dilaksanakan di daerah lain."
Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Fatkhiati Sadiah
"Studi ini mengeksplorasi tentang pengelolaan kawasan agropolitan Selupu Rejang di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Provinsi Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai kawasan rintisan pengembangan agropolitan sejak tahun 2002 yaitu di kawasan agropolitan Selupu Rejang, masih belum mencapai sasaran idealnya. Tekanan yang timbul akibat aktivitas budidaya yang intensif terutama di daerah pertanian dataran tinggi, menyebabkan kawasan menjadi tidak berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan di kawasan agropolitan Selupu Rejang akibat aktivitas pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah ekologi di kawasan tersebut. Kondisi lingkungan yang terdegradasi tersebut dapat menyebabkan kawasan agropolitan menjadi tidak berkelanjutan, apalagi kawasan tersebut adalah dataran tinggi yang mempunyai peran penting untuk kestabilan ekosistem. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis kondisi eksisting, menganalisis status keberlanjutan, serta membangun model pengelolaan kawasan agropolitan berkelanjutan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kawasan agropolitan dapat berkelanjutan jika mengintegrasikan aspek lingkungan yang sesuai dengan ekosistem Indonesia, yaitu ekosistem hutan hujan tropis. Analisis menggunakan analisis deskriptif, analisis spasial. Rap-Agrotropika, dan system dynamics. Hasil adalah model tersebut dapat menurunkan degradasi lingkungan dan secara simultan juga dapat meningkatkan produksi serta nilai tambah sektor pertanian, sehingga keberlanjutan sistem produksi pertanian, keberlanjutan ekonomi perdesaan, dan keberlanjutan lingkungan dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

This study explores the management of Selupu Rejang agropolitan area in Rejang Lebong regency, Bengkulu Province. Bengkulu Province has been designated as pilot area of agropolitan development since 2002. Selupu Rejang agropolitan was the one of agropolitan area which still has not reached the ideal target. Pressure on the environment was arising as a result of intensive farming activities, especially in the highland agricultural areas, causing the area becomes unsustainable. The data reveal that there has been environmental degradation in Selupu Rejang agropolitan due to agricultural activities. It is not in accordance with the principles of ecology in the region. Degraded environmental conditions can cause agropolitan become unsustainable, especially in the upland area that has an important role for the stability of ecosystem. Therefore, this study aims to build agropolitan area management model that integrates economic, social, and environment interests. Hence, the agropolitan development can be sustained by entering the interests of the environment in the development of the region in accordance with the rules of typical ecosystems in Indonesia, called the tropical rainforest ecosystem. This study uses descriptive analysis, spatial analysis, Rap- Agrotropika, and system dynamics. The result is a model that can reduce environmental degradation. It can also simultaneously increase production and add value to the agricultural sector. Finally, the sustainability of agricultural production systems, rural economy, and environment can be maintained and improved.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widaryoto
"Penggunaan jamban yang rendah merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan yang perlu mendapat perhatian karena peranannya dalam memutus mata rantai penularan penyakit. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penggunaan jamban yang diwujudkan melalui Proyek Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Samijaga), Proyek Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan, Proyek Peningkatan Kesehatan Lingkungan Permukiman, dan lain-lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik penggunaan jamban. Faktor-faktor yang diteliti antara lain adalah jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, jenis jamban, asal perolehan jamban, letak jamban, jarak jamban, luas jamban, pencahayaan, udara sekitar jamban, ketersediaan air, pembinaan tenaga kesehatan, dan perhatian tokoh masyarakat.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi "cross sectional". Survei dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terhadap 192 kepala keluarga yang memiliki jamban sebagai responden. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat dengan regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menginformasikan bahwa pengguna jamban keluarga sebesar 82,8%. Dan analisis diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik penggunaan jamban keluarga adalah faktor pengetahuan tentang jamban, udara sekitar jamban, ketersediaan air, dan pembinaan tenaga kesehatan. Faktor yang paling dominan berhubungan adalah faktor udara sekitar jamban dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 159,077 (95%CI: 8,885-2.848,070), yang berarti bahwa jamban dengan kondisi udara sekitar jamban baik mempunyai peluang untuk digunakan sebesar 159,077 kali dibanding jamban dengan kondisi udara sekitar kurang baik, setelah dikontrol variabel lain.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, masih adanya responden yang tidak mendapat pembinaan tenaga kesehatan dan masih adanya pemilik jamban yang tidak menggunakan jamban, maka penulis menyarankan agar pembinaan oleh tenaga kesehatan dalam bidang kesehatan lingkungan khususnya tentang penggunaan jamban harus ditingkatkan dan dilaksanakan secara berkala (minimal satu kali dalam sebulan). Disamping itu, memberdayakan kembali kader kesehatan lingkungan yang telah ada dan membentuk serta melatih kader kesehatan lingkungan bila belum ada, akan membantu dan menambah jangkauan pembinaan kesehatan lingkungan khususnya tentang penggunaan jamban sampai tingkat desa. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang jamban dalam praktik penggunaan jamban, penyebarluasan informasi tentang jamban kepada masyarakat perlu terus dilakukan, misalnya dengan pemberian leaflet tentang manfaat jamban. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan pembangunan jamban adalah menciptakan kondisi udara sekitar jamban yang baik (tidak bau), antara lain dengan cara mengupayakan agar lekukan pada leher angsa menampung air dengan baik dan membuat lubang ventilasi jamban yang memadai. Ketersediaan air di jamban juga perlu diperhatikan, yaitu dengan membuat fasilitas penyediaan air (bak air). Dan untuk menunjang keberhasilan kegiatan penyehatan lingkungan permukiman, khususnya tentang penggunaan jamban, maka kerja sama dengan instansi terkait perlu dilakukan secara baik.

Low utilization of latrine have been one of health problems which needs more attention since it plays major role in cutting the chain of infectious diseases. Government has been conducted efforts to increase the latrine utilization implemented in projects such as drinking water facility and family latrine project (Samijaga), water supply and environmental health project, the residential environment health improvement project, etc.
The aim of this research is to find out factors related to utilization of latrine. Factors under study included gender, education, knowledge, latrine type, source of latrine, placement of latrine, width of latrine, lighting, air surrounding the latrine, water supply, training by health personnel, and community leaders' concern.
The research was using cross-sectional study design. Survey was conducted through interview using questionnaire to 192 heads of family who have their own latrine as respondent. Analysis conducted were univariate analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis using multivariate logistic regression.
The study found that the utilization of family latrine was 82,5%. The analysis showed that factors related to the use of latrine were knowledge, air surrounding the latrine, water supply, and training by health personnel. The most dominant factor was air surrounding the latrine with Odds Ratio (OR) of 159.077 (95% Cl: 8.8825-2848.070), which means that latrines with good surrounding air condition have 159.077 higher chance to be used compared to latrines with bad surrounding air condition, after controlled by other variables.
Based on the study results, some respondents had not been trained by health personnel yet and some latrine owners who never use their latrine, researcher suggested that training by health personnel emphasizing the use latrine should be increased and conducted periodically (at least once a month): Beside that, there is a need to empower the existing environmental health cadres and to attract and train the new ones, in order to extend the community education and extension about the use of latrine down to village level. Considering the importance of using latrine, the information regarding it should be continuously implemented, for example through leaflet distribution. Important thing to be considered when building a latrine is air condition surrounding the latrine (should be good and not smelly), for example by making sure that the goose neck could hold water well and by providing sufficient air ventilation. Latrine's water supply needs to be concerned as well, by providing water supply facility (water basin). To support the success of residential environmental health activities, particularly the utilization of latrine, good coordination with other related institutions should be implemented.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T13042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syari Agustini Wulandari
"ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pengaruh variabel demografi dan spasial terhadap status kemiskinan desa di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Variabel demografi yang diteliti adalah jumlah penduduk, status pemerintahan dan sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk dan variabel spasialnya adalah jarak ke ibukota kabupaten, kemiringan lahan dan ketinggian wilayah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari hasil pendataan Potensi Desa (PODES) Tahun 2014 dan dianalisis menggunakan metode regresi logistik model logit. Jumlah observasi yang digunakan dalam analisis sebanyak 156 desa di Kabupaten Rejang Lebong.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara variabel demografi yaitu jumlah penduduk dan status pemerintahan dan variabel spasial yaitu jarak ke ibukota kabupaten, kemiringan sedang dan ketinggian wilayah terhadap status kemiskinan desa di Kabupaten Rejang Lebong.

ABSTRACT
This research analyzed the influence of demographic and spatial variables on the rural poverty status in Rejang Lebong Regency Bengkulu Province. Population size, government status and main income source of population majority were used as demographic variables while spatial variable were distance to district capital, slope and elevation of land area.
Data source of this study resulted from 2014 Village Potential Census (PODES) and analyzed using logistic regression logit model. The number of observation were 156 villages in Rejang Lebong Regency.
This study indicated that there is a significant influence between demographic variables that is population and government status, and spatial variables that is distance to district capital, gentle slope and elevation to the rural poverty status in Rejang Lebong."
2016
T44799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Yuniningsih
"ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Konflik Wilayah Tapal Batas antar Kabupaten di Provinsi Bengkulu (studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong – Kabupaten Kepahiang). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi: (1) faktor penyebab terjadinya konflik wilayah tapal batas antara kabupaten Rejang Lebong dengan Kabupaten Kepahiang, (2) dampak-dampak yang ditimbulkan dari terjadinya konflik tersebut terhadap ketahanan nasional. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penyebab konflik wilayah tapal batas antara kabupaten Rejang lebong dengan kabupaten Kepahiang, dampak-dampak yang ditimbulkan dari terjadinya konflik tersebut terhadap ketahanan nasional. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sifat penelitian deskriptif analitik. Sejak implementasi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, batas antar daerah menjadi hal yang sangat penting dan menjadi perhatian daerah. Arti penting batas daerah berkaitan dengan batas kewenangan daerah yang kemudian berimplikasi pada kewenangan pengelolaan sumber-sumber daya di daerah. Konflik antar daerah di Indonesia sering terjadi berkaitan dengan penetapan batas antar daerah. Faktor penyebabnya berdimensi banyak serta saling berkaitan faktor yang satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut meliputi: faktor-faktor yang bersifat struktural, Faktor perebutan sumber daya dan potensi daerah, Faktor kepentingan terhadap eksistensi Teritorial daerah, dan Faktor Kepentingan Elit Politik dan Antagoisme Kekuasaan. Konflik yang terjadi menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti antara kedua daerah tersebut baik secara administatif maupun fisik, yang selanjutnya berakibat pada timbulnya dampak konflik terhadap ketahanan nasional yang melebar ke aspek-aspek lain yaitu politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Rekomendasi untuk penyelesaian konflik yaitu dilakukan melalui konsiliasi dengan mediasi oleh tingkat pemerintah lebih atas (Gubernur dan jika perlu Menteri Dalam Negeri) dengan didahului pihak berkonflik mengupayakan de-eskalasi konflik, dan terakhir didukung upaya elit politik yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan dalam kerangka NKRI.

ABSTRACT
The study titled is Conflict between District Boundary Region in the Bengkulu province (Case study Rejang Lebong District – Kepahiang District). Issues raised in the study include: (1) the causes of conflict between Rejang Lebong District and Kepahiang District, (2) adverse impact of the conflict on national security. Objectives of this study were to identify and analyze the factors that cause conflict zone boundary between Rejang Lebong District and Kepahiang District, and the adverse impact of the conflict on national security. The research was conducted using qualitative research methods with descriptive analytic study with emphasis on the analysis of field survey data. Since the implementation of regional autonomy vast, realistic and responsible, the boundary between regions become a very important area of concern. The significance associated with the boundary border regional authority which then has implications for the authority to manage the resources in the area. Conflict between regions in Indonesia often associated with the determination of the boundaries between regions. Dimensionless factor many interrelated factors as well as with each other. These factors include: that are structural, factors scramble for resources and potential of the region, factors of interest to the local Territorial existence and importance Factor Elite Politics and Power Antagoisme. The conflict cause the realization has not clear and definite boundaries between the two regions both administatif and physically, which in turn resulted in the emergence of impacts of the conflict on the national defense extends to other aspects of the political, economic, social, cultural and defense. Recommendations for the settlement of the conflict through mediation by conciliation with the upper levels of government (governor and if necessary, the Minister of Home Affairs) preceded the conflict to seek de-escalation of the conflict, and the recent efforts of political elites who supported the spirit of unity within the framework of the Republic of Indonesia."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>