Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166210 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manurung, Pahala
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kekerapan yang meningkat baik di negara sedang berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju.1-3 Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 asma,bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema merupakan penyebab kematian nomor tujuh di indonesia.
Konsensus internasional yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu inflamasi kronis saluran napas yang didalamnya terlibat berbagai sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil dan limfosit T. Asma dalam derajat apapun sudah terjadi inflamasi kronis saluran napas. inflamasi ini sudah terdapat pada asma yang sangat ringan sekalipun. Inflamasi saluran napas kronis memberikan gambaran kiinik khas yaitu obstruksi saluran napas yang reversibel dan hipereaktiviti bronkus. Inflamasi saluran napas merupakan mekanisme utama yang menyebabkan obstruksi saluran napas dan hipereaktiviti bronkus terhadap berbagai stimuli pada asma. Tetapi kiasifikasi berat asma didasarkan pada gejala klinis dan nilai faal pare, bukan berdasarkan penilaian sel inflamasi di saluran napas sesuai dengan definisi asma yaitu inflamasi kronik saluran napas.
Sel inflamasi yang berperan pada patogenesis asma terutama sel limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbulkan kerusakan sel epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan utama dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas asma. Pengerahan eosinofil yang terektivasi dan mediatornya di dalam saluran napas sangat behubungan dengan berat hipereaktiviti bronkus. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil dan eosinophy/iic cationic protein (ECP) atau secara tidak langsung dengan mengukur eosinofil darah. Jumlah eosinofil sputum meningkat sering berhubungan dengan berat derajat asma. Pemeriksaan eosinofil sputum dan hipereaktiviti bronkus dengan metakolin merupakan pemeriksaan objektif yang berguna untuk menilai inflamasi saluran napas penderita asma. Penilaian proses inflamasi pada diagnosis asma saat ini hanya menggunakan uji provokasi bronkus untuk mengukur hipereaktiviti bronkus dan pemeriksaan eosinofil darah, sedangkan eosinofil sputum dan uji kulit jarang dilakukan.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan bahan pemeriksaan sel inflamasi saluran napas yaitu secara invasif dan noninvasif. Cara invasif meliputi kurasan bronkus, bilasan bronkus dan biopsi bronkus. Sedangkan cara noninvasif adalah dengan induksi sputum dan sputum spontan. 1nduksi sputum dengan garam hipertonik dapat merangsang peningkatkan produksi sputum dengan risiko yang Iebih kecii, aman, reproduksibel, valid dan efektif.
Saat ini hubungan antara inflamasi dan hipereaktiviti bronkus banyak diteliti dan diperdebatkan. Beberapa peneliti menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara hipereaktiviti bronkus dan inflamasi saluran napas, sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan korelasi yang bermakna. Tetapi korelasi antara inflamasi saluran napas dengan hipereaktiviti bronkus tidak selalu ada.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah eosinofil sputum dengan hipereaktiviti bronkus pada penderita asma alergi persisten sedang yang stabil dengan jumlah eosinofil sputum orang sehat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Sawitri
"Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Episode ini umumnya dihubungkan dengan obstruksi yang bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Hipereaktiviti saluran napas merupakan faktor penting yang mendasari asma bronkial dan untuk mengetahui ada atau tidak hipereaktiviti saluran napas perlu dilakukan uji provokasi bronkus 2 Proses inflamasi menyebabkan peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan seperti alergen, infeksi, rangsangan fisis, rangsangan rat kimia, reaksi refleks terhadap udara dingin atau latihan serta akabat refluks gastroesofagus (RGE).
Pada penderita asma dengan RGE, beberapa gangguan pernapasan berhubungan dengan asam lambung. Berbagai penelitian menyatakan RGE berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas, penurunan faal paru dan gejala Minis asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. William Oster memperkirakan bahwa serangan asma dapat disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Bray pada tahun 1934 memperkirakan bahwa distensi lambung pada sore hari dapat meningkatkan refleks vagal dan menyebabkan bronkokonstriksi. Harding dkk menyatakan bahwa asam lambung berhubungan dengan 90% kejadian batuk dan 78% ganguan pernapasan. Mekanisme patofisilogi ini disebut esophageal acid induced bronchoconstriclion. Berbagai data penelitian mendukung hipotesis bahwa RGE menyebabkan asma, dilain pihak asma menyebabkan RGE namun hubungan antara RGE dan asma sampai sekarang belum jelas."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswari Setianingsih
"LATAR BELAKANG
Asma pada anak merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai dengan angka kejadian kira-kira 5-10 % (Godfrey, 1983). Di Indonesia belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak, namun diperkirakan berkisar antara 5-10 % dari seluruh anak. Lebih dari 50 % kunjungan di Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI-RSCM merupakan pasien asma (Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Sebagian besar pasien asma anak (70-75 %) tergolong ringan (Phelan dkk., 1982), tetapi penyakit ini seringkali merupakan penyebab ketidakhadiran anak di sekolah, meningkatkan frekuensi kunjungan ke dokter, dan bahkan meningkatkan angka perawatan di rumah sakit.
Prognosis penyakit ini bergantung pada perjalanan penyakit (Phelan dkk., 1982) dan penatalaksanaannya. Pada golongan pasien asma anak yang berat, 50 % di antaranya akan menetap sampai dewasa .
Walaupun pengaruh penatalaksanaan terhadap prognosis asma masih belum jelas (Phelan dkk., 1982; Gerritsen, 1989; Warner dkk, 1989), penanganan asma yang tidak adekuat diduga dapat menyebabkan kerusakan paru yang menetap. Penatalaksanaan asma pada anak bergantung pada ketepatan diagnosis dan penentuan derajat klinis asma. Kedua hal tersebut sangat berperan dalam pemilihan strategi penanganan asma pada anak.
Diagnosis asma pada anak kadang-kadang sulit, karena sering dijumpai pasien asma dengan gejala klinis tidak khas yaitu hanya batuk kronis dan berulang tanpa mengi. Selain itu anamnesis yang didapat sering tidak dapat menunjang diagnosis asma. Di luar serangan asma.sebagian besar pasien tampak normal.
Penentuan derajat klinis asma juga tidak mudah, karena anamnesis yang didapat seringkali tidak dapat memberikan informasi mengenai saat terjadinya serangan pertama kali, kekerapan serangan asma, dan perjalanan penyakitnya. Selain itu keadaan klinis serangan asma yang berat belum tentu menggambarkan berat ringannya derajat klinis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kami menganalisa kadar eosinofil sputum induksi dan eosinofil darah tepi pada 106 pasien asma bronkial dalam serangan di RSUP Persahabatan Jakarta, sejak bulan Januari sampai Juli 1996. Dari 17 penderita dalam serangan derajat ringan, rata-rata APE 89,48% nilai dugaan, persentase eosinofil sputum 12,56%, dan jumlah eosinofil darah tepi 429,77. Dari 31 penderita dalam serangan derajat sedang, rata-rata APE 72,86% nilai dugaan, persentase eosinofil sputum 14,31%, dan jumlah eosinofil darah tepi 544,60. Dari 58 penderita dalam serangan derajat berat, rata-rata APE 46,38%, persentase eosinofil sputum 16,66%, dan jumlah eosinofil darah tepi 304,04. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara persentase APE dengan persentase cosinofil sputum disaat serangan. Kami menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini belum dapat membuktikan hubungan antara persentase cosinofil sputum dengan derajat serangan asma bila hanya berdasarkan indikator APE saja.

We analyzed level of eosinophils in sputum induced and peripheral cosinophil in 106 asthmatic patients who experiencing exacerbation (asthma attack), in Persahabatan Hospital Jakarta from January to July 1996, In 17 of patients with mild asthma attack, the mean PEFR is 89,48% of predicted, mean percentage of sputum eosinophil is 12,56%, and the mean of peripheral cosinophils count is 429,77 respectively. In 31 of patients with moderate asthma attack, the mean PEFR is 72,86 % of predicted, mean percentage of sputum eosinophils is 14,31%, and the mean of peripheral eosinophils count is 544,60 respectively. In 58 of patients with severe asthma attack, the mean PEFR is 46,36% of predicted, mean percentage of sputum eosinophils is 16,66%, and the mean of peripheral eosinophils count is 304,04 respectively. The percentage of PEFR did not correlated with the mean percentage of sputum eosinophils in asthma attack. We conclude that this analysis did not improved correlation between percentage of sputum eosinophils with degree of asthma attack, if we used percentage of PEFR predicted only."
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sanri Pramahdi
"Asma merupakan penyakit intiamasi kronik saluran napas, gejala umumnya sangat bervariasi dan dapat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Pada dekade terakhir ini prevalensi asma meningkat bahkan di beberapa negara dilaporkan telah terjadi kenaikan prevalensi morbiditi dan mortaliti penderita asma. Hal ini diduga karena keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi yang kurang adekuat.
Kematian karena asma di Amerika Serikat tahun 1988 adalah 1,9/100.000 penduduk terutama lebih tinggi pada usia < 45 tahun, tahun 1979 di Kolombia angka kematian 2,06/100.000 dan menurun tahun 1994 menjadi 1,61/100.000. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia tahun 1992 menyimpulkan bahwa asma, bronkitis dan emfisema merupakan urutan ke 7 penyebab kematian atau 5,6% dari total kematian. Data di RS. Persahabatan tahun 1993-1997 mendapatkan 10 kematian yang dihubungkan dengan asma, 9 diantaranya disertai komplikasi seperti pneumonia, gagal jantung, gagal ginjal dan tumor paru.
Peniiaian dan penanganan yang adekuat merupakan kunci pokok yang menentukan apakah seorang pasien dapat teratasi serangannya, berlanjut atau harus dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien saat serangan dapat terancam jiwanya bahkan tidak dapat tertolong. Penderita yang berisiko tinggi mengalami kematian adalah penderita yang datang dengan serangan berat, penyakit asmanya jarang dikontrol, respons sebagian atau tidak respons terhadap pengobatan, keterlambatan penggunaan steroid dan keterlambatan penilaian berat serangan baik oleh dokter atau penderita.
Menurut konsensus intemasional tahun 1992 dianjurkan 6 Iangkah dalam penanganan dan penatalaksanaan asma yaitu:
1. Partisipasi pasien dalam pengelolaan asma
2. Dapat dinilai perburukan penyakit dengan peak flow meter
3. Mengenal faktor-faktor pencetus serangan
4. Penggunaan obat-obatan
5. Penanganan serangan
6. Kontrol teratur.
Dalam penanganan serangan asma akut, agonis 132 merupakan terapi pilihan utama baik pada serangan ringan, sedang dan berat. Peranan antikolinergik dalam penatalaksanaan asma akut tergantung berat ringan serangan. Pada asma akut berat pemberian agonis 132 dianjurkan ditambah dengan antikolinergik, pada asma akut sedang pemberian kombinasi ini masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan pemberian kombinasi ini memberikan perbaikan yang berbeda bermakna dan sebagian lagi mengatakan tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pemberian kombinasi ini sedangkan pada asma akut ringan pemberian kombinasi ini disebutkan tidak bermanfaat. Seperti kita ketahui antikolinergik seperti ipratropium bromida mempunyai efek bronkodilator meskipun tidak sekuat dan secepat respons pemberian agonis 132, kelebihannya adalah mempunyai masa kerja yang lama.
Kecenderungan meningkatnya angka morbid iii dan mortatiti asma merupakan permasalahan tersendiri. Salah satu yang diduga menyebabkan meningkatnya angka tersebut adalah keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak adekuat di gawat darurat. Penanganan asma di gawat darurat disesuaikan dengan derajat berat serangan. Penggunaan antikolinergik dengan agonis 132 hanya diindikasikan pada serangan asma berat, sementara untuk serangan sedang dan ringan tidak diberikan antikolinergik, walau pada beberapa kepustakaan lain menuliskan manfaat antikolinergik tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Kurniati Natul
"Praktik keperawatan residensi yang dilakukan di rumah sakit Persahabatan dengan kekhususan respirasi diharapkan dapat mengatasi masalah pernapasan. Disamping itu juga selama proses residensi residen harus memiliki kemampuan menerapkan intervensi berdasarkan evidence base nursing (EBN), mampu menjadi seorang Clinical Care Manajer (CCM) yang bertugas sebagai konsultan keperawatan bagi staf keperawatan dan pemberi terapi keperawatan kepada pasien dalam rangka pemberi asuhan keperawatan untuk meningkatan mutu pada layanan asuhan keperawatan yang diberikan. Dalam memberikan asuhan kepeawatan pada kasus kelolaan pasien dengan CAP dan 30 kasus resume menggunakan teori Virginia Henderson 14 kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam membantu individu baik dalam keadaan sehat maupun sakit, melalui usahanya melakukan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan penyembuhan individu secara mandiri atau proses meninggal dengan damai. Masalah keperawatan yang banyak muncul yaitu tentang pemenuhan kebutuhan bernapas normal. Penerapan EBN Buteyko Breathing Techinque (BBT) pada pasien asma yang mengalami hiperventilasi. Hasil analisis praktik residensi keperawatan didapatkan bahwa asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori Henderson bertujuan untuk sesegera mungkin membantu kemandirian pasien. Penerapan BBT dapat meningkatkan nilai Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) pada pasien asma. Proyek inovasi Pengembangan self managemen dengan video latihan breathing exercise : ACBT dalam meningkatkan airway clearance pada pasien PPOK.

Residency nursing practice which is carried out at the Persahabatan Hospital with a specialization in respiration is expected to be able to overcome respiratory problems. Besides that, during the residency process, residents must have the ability to apply interventions based on evidence-based nursing (EBN), be able to become a Clinical Care Manager (CCM) who serves as a nursing consultant for nursing staff and provides nursing therapy to patients in order to provide nursing care to improve quality of nursing care services provided. In providing nursing care to cases managed by patients with CAP and 30 resume cases using Virginia Henderson's theory of 14 basic human needs which shows the role of nurses as providers of nursing care in helping individuals both in health and illness, through their efforts to carry out various activities to support health and healing individual independently or the process of dying peacefully. Nursing problems that arise are about meeting the needs of normal breathing. Application of EBN Buteyko Breathing Techinque (BBT) in hyperventilating asthma patients. The results of the analysis of nursing residency practice found that nursing care using the Henderson theory approach aims to help the patient's independence as soon as possible. The application of BBT can increase the Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) value in asthma patients. Innovation project Development of self-management with videos of breathing exercise exercises: ACBT in increasing airway clearance in COPD patients."
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evans Tofano Bobian
"Tujuan utama dari terapi asma adalah asma yang terkontrol yang mungkin dipengaruhi hal seperti derajat berat asma. Pada penelitian sebelumnya dari luar negeri mengenai hubungan antara derajat herat asma dengan tingkat kontrol asma, ditemukan bahwa semakin berat derajat asma, semakin rendah tingkat kontrolnya. Dari jumlah total subjek penelitian, kelompok dengan asma ringan sebanyak 64 orang (59,8%), asma sedang sebanyak 27 orang (25,2%), dan asma berat sebanyak 16 orang (15%). Didapatkan hubungan yang bermakna antara derajat berat asma dengan tingkat kontrol asma (p = 0,003) pada pasien Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan.

The main goal of asthma therapy is to achieve complete control over the disease, which may be determined by the severity of the asthma. In previous studies, it was concluded that more severe asthma is associated with less control over it. Among all the subjects of the study, there are 64 patients with mild asthma (59,8%), 27 patients with moderate asthma (25,2%), and 16 patients with severe asthma A significant association between asthma severity with asthma control level was found (P=O,003) in asthma patients in Asthma Clinic of Persahabatan Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S70305
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
"Pada pengobatan asma bronkial diperlukan penilaian derajat berat asma. Hal tersebut
biasanya dilakukan dengan mengukur hiperreakfrfitas bronkus. Tetapi oleh karena sarana tersebut di rumah sakit tipe C belum tersedia, maka salah satu cara yang digunakan adalah menghitung jumlah eosinofil total darah tepi. Hal ini dilakukan atas dasar adanya hubungan antara eosinofil dan hiperreaktifitas bronkus. Arus Puncak Ekspirasi berhubungan dengan derajat berat asma. Oleh karena itu diteliti apakah eosinofil total darah tepi berhubungan dengan Arus Puncak Ekspirasi. Sebagai langkah pendahuluan
dilakukan penelitian pada 60 penderita asma bronkial untuk melihat apakah eosinofil total darah tepi dapat menjadi tolok ukur derajat berat asma. Penelitian ini bersifat cross-sectional, dilakukan pada 30 penderita asma daiam serangan
yang datang ke Instalasi Gawat Darurat Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo dan 30 penderita asma yang tidak dalam serangan yang berobat
jalan ke Poliklinik Alergi-lmunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, untuk melihat hubungan antara eosinofil total darah tepi dan Arus
Puncak Ekspirasi. Pada kelompok penderita asma tidak dalam serangan dilakukan
pengamatan selama empat minggu dan pada kelompok penderita asma dalam serangan
hanya dilakukan satu kali pemeriksaan mengingat tingginya angka drop-out. Setiap
penderita diperiksa eosinofil total darah tepi dan Arus Puncak Ekspirasi. Jumlah eosinofil pada penderita asma dalam serangan berkisar antara 290-382/pl
(335,67+127,31) dan pada penderita asma tidak dalam serangan antara 162-182/pl
(172,65+27,79). Nilai Arus Puncak Ekspirasi pada penderita asma dalam serangan
berkisar antara 22-32% (27,35±13,18) dan pada penderita asma tidak dalam serangan
antara 68-71% (69,73±4,52). Terdapat hubungan terbalik antara eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi, tetapi korelasinya lemah (r=-0,53 , R2=0,28 dan p<0,001). Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meyakinkan hubungan eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi pada asma bronkial dengan sampel yang lebih besar dan diikuti secara longitudinal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Prawiro Tantry
"Penanganan tuberkulosis (TB) di Indonesia masih dihadapkan pada keterlambatan pendeteksian terapi yang tidak adekuat. Secara klinis, kenaikan berat badan dianggap sebagai salah satu indikasi perbaikan klinis penderita TB yang praktis. Namun, apakah kenaikan berat badan benar berhubungan dengan kesembuhan klinis pasien TB masih perlu dibuktikan. Oleh karena itu, dalam upaya menilai potensi berat badan sebagai indikator klinis terapi TB, dilakukan riset yang bertujuan untuk melihat asosiasi antara penambahan berat badan dengan konversi sputum pada akhir fase inisial pengobatan anti-TB dengan kategori 1. Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan mengumpulkan data sekunder dari rekam medis pasien di RS Persahabatan pada tahun 2009 (n=102).
Hasil menunjukkan bahwa 75,49% (n=77) pasien TB mengalami konversi sputum pada akhir fase inisial. Penambahan berat badan ditemukan pada sekitar setengah sampel dari grup dengan konversi sputum (51,95%) dan juga pada hampir setengah dari grup tanpa konversi sputum (dua belas dari 25). Studi ini menunjukkan bahwa penambahan berat badan tidak memiliki asosiasi yang signifikan dengan konversi sputum pada akhir fase inisial pengobatan anti-TB dengan kategori 1 selama dua bulan di RS Persahabatan (p= 0.732), namun studi lebih lanjut disarankan untuk meneliti asosiasi tersebut pada periode terapi yang lebih lama dan juga dengan mempertimbangkan IMT pasien.

Tuberculosis (TB) management in Indonesia was facing delayed detection of inadequate therapies. Clinically, weight gain was considered as one of the simple indicators pointing towards clinical improvement of TB patients. However, whether weight gain was really associated with clinical recovery of TB patients was yet to be proven. Therefore, as an effort to assess the possibility of observing weight gain to evaluate anti-TB therapy, a research was conducted aiming to assess the association between weight gain and sputum conversion at the end of initial phase category 1 anti-TB therapy. This study used a retrospective cohort design by collecting secondary data from the medical records of TB patients in Persahabatan hospital in 2009 (n=102).
Results showed that 75.49% (n=77) of TB patients underwent sputum conversion at the end of second month of therapy. Regardless of sputum conversion, weight gain was observed in approximately half of both groups with (51.95%) and without (twelve out of 25) sputum conversion. This study revealed that weight gain was not significantly associated with sputum conversion at the end of two months initial phase category 1 anti-TB therapy in Persahabatan hospital (p= 0.732), however future studies were encouraged to explore the association in longer therapy period and with considering patients BMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinda Putri Pitarini
"Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan suatu kelainan hidung yang sering memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Perubahan kualitas hidup pasien RA secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner mini RQLQ dan secara objektif dengan hitung jumlah eosinofil pada mukosa hidung dan kadar IL 5 serum. Tujuan: Mengetahui karakteristik subjek RA dan mengetahui perubahan kualitas hidup, jumlah eosinofil mukosa hidung dan kadar interleukin 5 pada pasien rinitis alergi persisten sedang berat sebelum dan setelah terapi medikamentosa. Metode: Pre eksperimental yang bersifat analitik sebelum dan setelah terapi dengan jumlah subjek RA persisten sedang berat sebanyak 33 orang. Subjek diminta untuk mengisi kuesioner Mini RQLQ, dilakukan kerokan mukosa hidung dan pengambilan darah sebelum dan 2 minggu setelah terapi. Hasil: Didapatkan 14 subjek berjenis kelamin laki-laki dan 19 subjek perempuan dari 33 subjek penelitian dengan rerata usia 32,55 ± 11,67. Sebanyak 31 dari 33 subjek mengalami perubahan bermakna dari kualitas hidup, seluruh subjek mengalami perubahan jumlah eosinofil yang bermakna dan 30 dari 33 subjek mengalami perubahan kadar IL 5 yang responsif setelah terapi selama 2 minggu. Kesimpulan: Kualitas hidup pasien RA persisten sedang berat dapat diukur dengan menggunakan kuesioner mini RQLQ dan jumlah eosinofil mukosa hidung dan kadar IL 5 dapat digunakan untuk evaluasi terapi RA namun tidak untuk pemeriksaan penunjang rutin.

Background: Allergic rhinitis (AR) is a nasal disorders that frequently affects the quality of life. Changes in quality of life AR patient can be measured subjectively using mini RQLQ and objectively by eosinophil count of nasal mucosa and IL 5 level. Objectives: To find the subject characteristic of AR and quality of life, eosinophil count of nasal mucosa and IL 5 level changes of moderate-severe AR patient before and after medicamentosa therapy. Methods: Pre experimental analytic study before and after therapy with 33 subjects of moderate-severe AR. All subjects were asked to fill out Mini RQLQ, collect nasal scrapping and blood specimens before and 2 weeks after therapy. Result: Fourteen subjects were male and 19 were women out of 33 subjects, with mean age 32,55 ± 11,67 years. Thirty one out of 33 subjects had significant quality of life changes, all subjects had significant changes of eosinophil nasal scrapping and 30 out of 33 subjects had significant changes of IL 5 level after 2 weeks of medicamentosa therapy. Conclusion: Allergic rhintis patient quality of life can be measured by mini RQLQ and eosinophil nasal scrapping and IL 5 level can be used for therapy evaluation but not for routine examination."
2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>