Ditemukan 61600 dokumen yang sesuai dengan query
Dompas, Ramadhan
"Hukum Waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termasuk dalam bidang hukum perdata yang memilki sifat dasar, yaitu bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Terdapat dua cara untuk memperoleh warisan, mewaris berdasarkan undang-undang, dan mewaris berdasarkan wasiat. Permasalahannya adalah bagaimana undang-undang melindungi hak legitimaris dalam wasiat, serta apa hak legitimaris, dan sebab legitimaris tidak mewaris. Metode penelitian yang digunakan deskriptif-analisis, dengan cara memberikan gambaran yang lengkap dan jelas tentang Legitime Portie, sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normative yaitu penelitian kepustakaan. Mewaris berdasarkan undang-undang terdapat bagian mutlak (legitime portie), yaitu bagian untuk melindungi dari perbuatan pewaris dalam membuat wasiat yang "mengesampingkan" legitimaris. Undang-undang melindungi legitimaris dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapatkan haknya dalam wasiat. Dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan kedudukan mewaris legitimaris dengan adanya wasiat. Dengan adanya wasiat dimana legitimaris tidak mewaris, maka legitimaris tidak dapat mengajukan gugatan untuk membatalkan wasiat, dengan alasan wasiat yang dibuat diluar negeri tidak dapat disesuaikan dengan wasiat yang dibuat di Indonesia dan mereka menjadi ahli waris tunggal, mereka hanya dapat mengajukan gugatan untuk mendapatkan bagian mutlak terhadap wasiat yang secara jelas telah melanggar hak mutlak mereka sebagai legitimaris dan mereka tidak menerima pelaggaran tersebut, maka akibatnya adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam wasiat dianggap batal."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19389
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Asrul Harun
"
ABSTRAKNotaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Notaris wajib bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta otentik, termasuk akta hibah wasiat harus mengandung tiga kebenaran yaitu kebenaran lahiriah, kebenaran formal, dan kebenaran material. Khusus mengenai akta wasiat adalah berbeda dengan akta-akta yang lain, akta wasiat tidak dapat dirubah atau dicabut apabila si pewasiat telah meninggal dunia. Kesalahan dan kelalaian Notaris dalam pembuatan akta wasiat, dapat mengakibatkan akta kehilangan otentisitasnya dan batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui pemeriksaan pengadilan. Oleh karenanya, Notaris dapat dituntut karena perbuatan melawan hukum. Dengan demikian penting untuk dibahas mengenai tanggungjawab hukum Notaris dalam pembuatan Akta Wasiat apabila yang dilakukan tersebut ternyata melanggar hukum dan ada implikasi hukum, baik secara pidana maupun perdata atas Akta Wasiat yang dibuat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi dokumen dan merupakan data sekunder. Penganalisaan data dengan metode kualitatif dan hasil penelitian yang diperoleh bersifat deskriptif analitis. Tanggungjawab notaris, berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan serta moralitas baik sebagai pribadi maupun selaku pejabat umum. Notaris mungkin saja melakukan kesalahan atau kekhilafan dalam pembuatan akta wasiat. Apabila ini terbukti, akta wasiat kehilangan otentisitasnya dan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Dalam hal ini apabila menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan dengan akta tersebut, notaris dapat dituntut secara pidana atau pun digugat secara perdata. Sanksi yang dikenakan secara pidana adalah menjatuhkan hukuman pidana dan sanksi secara perdata adalah memberikan ganti rugi kepada pihak yang berkepentingan tersebut."
2005
T16363
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yolanda Caroline
"[Penelitian ini berfokus pada pencitraan kota pusaka dalam laman informasi pariwisata resmi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana citra kota pusaka Indonesia ditampilkan dan dipromosikan dalam teks sumber dan teks sasaran. Citra kota pusaka yang berbeda dalam terjemahan dipengaruhi oleh faktor ekstratekstual, intratekstual dan penerapan strategi penerjemahan dalam mencapai skopos penerjemahan. Citra kota pusaka pada terjemahan menunjukkan masih kuatnya pandangan kolonial dalam promosi pariwisata kota pusaka. Penelitian kualitatif komparatif ini menggunakan sumber data dari laman Indonesia.travel dan wawancara mendalam, serta berdasarkan pada teori fungsional Nord dan model Analisis Wacana Kritis Van Dijk. Hasil penelitian menyarankan penonjolan perspektif lokal dalam terjemahan berbahasa Inggris ketika mendiseminasikan citra kota pusaka Indonesia dalam promosi pariwisata Indonesia.
The focus of this research is the image of Indonesia`s heritage cities on the official tourism website, Indonesia.travel. The aim of this research is to study how Indonesia?s heritage cities are showed and promoted in the source texts and their English translations. Through the analysis of extratextual and intratextual factors along with the application of translation strategies to achieve the skopos of translation, it showed how the translation have made a different image of the heritage cities. Thus, it indicates that the colonialism perspective still dominating the promotion of Indonesia?s heritage cities. This qualitative comparative research, which collected data from the website of Indonesia.travel and in-depth interview, applied Nord?s functional theory and Van Dijk?s Critical Discourse Analysis. It suggests the emphasis on local perspective in English translation when disseminating heritage cities? image in Indonesia?s tourism promotion.;The focus of this research is the image of Indonesia’s heritage cities on the official tourism website, Indonesia.travel. The aim of this research is to study how Indonesia’s heritage cities are showed and promoted in the source texts and their English translations. Through the analysis of extratextual and intratextual factors along with the application of translation strategies to achieve the skopos of translation, it showed how the translation have made a different image of the heritage cities. Thus, it indicates that the colonialism perspective still dominating the promotion of Indonesia’s heritage cities. This qualitative comparative research, which collected data from the website of Indonesia.travel and in-depth interview, applied Nord’s functional theory and Van Dijk’s Critical Discourse Analysis. It suggests the emphasis on local perspective in English translation when disseminating heritage cities’ image in Indonesia’s tourism promotion, The focus of this research is the image of Indonesia’s heritage cities on the official tourism website, Indonesia.travel. The aim of this research is to study how Indonesia’s heritage cities are showed and promoted in the source texts and their English translations. Through the analysis of extratextual and intratextual factors along with the application of translation strategies to achieve the skopos of translation, it showed how the translation have made a different image of the heritage cities. Thus, it indicates that the colonialism perspective still dominating the promotion of Indonesia’s heritage cities. This qualitative comparative research, which collected data from the website of Indonesia.travel and in-depth interview, applied Nord’s functional theory and Van Dijk’s Critical Discourse Analysis. It suggests the emphasis on local perspective in English translation when disseminating heritage cities’ image in Indonesia’s tourism promotion]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
T44561
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Dhita Ashita Haruni
"The protection against cultural heriage was relatively narrow at first, which only includes the protection of tangible cultural heritage. But along the course of time, arising from a conciousness that believes that folklore is a part of the cultural heritage, then folklore should also be eligible to obtain protection. This is because folklore is one of the key in providing a nation its own specific identity. Therefore, the folklore of a nation must be protected and preserved by the nation itself. However, in realization, protection and preservation can also be provided by international organizations through the establishment of various international legal instruments. Indonesia has set the protection of folklore in the copyright regime. But in reality, the protection is far from its objetive. The chacaracteristics that are rooted in folklore and copyright are conflicting. As a result, there`s a necessity for a more effective protection of folklor. The protection efforts that are provided trough various international legal instruments seek to reduce illicit claims of folklore done by a foreign partty.
Perlindungan terhadap warisan budaya pada awalnya bersifat relatif sempit yaitu perlindungan hanya terhadap benda cagar budaya. Namun seiring dengan jalannya waktu, timbul suatu kesadaran yang berpendapat bahwa folklor yang merupakan bagian dari warisan budaya juga layak untuk mendapatkan suatu perlindungan. Hal ini dikarenakan folklor merupakan salah satu kunci dalam memberikan suatu bangsa identitas yang khusus. Oleh karena itu, folklor suatu bangsa harus dilindungi dan dilestarikan oleh bangsa itu sendiri. Namun dalam perwujudannya, perlindungan dan pelestarian juga dapat diberikan oleh organisasi internasional melalui pembentukan berbagai instrumen hukum internasional. Saat ini Indonesia telah mengatur perlindungan folklor di bahwa rezim Hak Cipta. Namun pada kenyataannya, perlindungan tersebut jauh dari tujuannya. Karakteristik yang berakar dalam folklor dan Hak Cipta saling bertolak belakang, sehingga diperlukan suatu perlindungan yang lebih efektif terhadap folklor. Upaya-upaya perlindungan yang diberikan melalui berbagai instrumen hukum internasional bertujuan untuk mengurangi tindakan pengklaiman folklor yang tidak sah oleh pihak asing."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S26279
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Ayuni Yustika Sari
"Pemaknaan terhadap warisan budaya memantik sebuah pembahasan dan perdebatan terkait diskusi warisan budaya secara global. Pembahasan seputar warisan budaya memiliki asal ontologis yang cukup kompleks, mengingat kehadiran wacananya yang bersifat lintas disiplin. Terlepas dari berkembangnya minat akademis dalam politik warisan budaya, belum terdapat pemahaman secara menyeluruh terhadap literatur warisan budaya dalam bingkai Ilmu Hubungan Internasional. Untuk mengisi ceruk tersebut, penulis melakukan tinjauan pustaka sistematis untuk menelaah badan literatur politik warisan budaya dalam Ilmu Hubungan Internasional. Penulis terlebih dulu memetakan perdebatan, konstruksi makna, serta tata kelola warisan budaya di tingkat global. Melalui pemetaan tersebut, penulis kemudian melakukan analisis tematis terhadap globalisasi wacana warisan budaya. Tema-tema tersebut di antaranya mencakup identitas, pascakolonialisme, diplomasi, keamanan, dan arus pariwisata. Berdasarkan kajian literatur, penulis berargumen bahwa: 1) terdapat jangkauan mengenai bagaimana warisan budaya dapat diidentifikasi atas dasar pengakuan oleh aktor-aktor internasional; 2) terdapat keterikatan warisan budaya dengan identitas simbolis suatu negara; serta 3) terdapat unsur wewenang dan tata kelola khusus atas rezim warisan budaya di tingkat internasional.
The meaning-making of cultural heritage sparks sequences of discussions and debates circumscribing the globalised past. A discussion surrounding cultural heritage embodies a complex ontological source, given the multidisciplinary nature of the globalised heritage discourse. Notwithstanding the growing level of scholarly interest towards heritage politics, a comprehensive understanding of cultural heritage literature within the International Relations framework is noticeably absent. To address this gap, I conveyed a systematic literature review to identify the state of knowledge on how cultural heritage politics is being scrutinised globally. The first half of the research maps the debate, construction, and the global governance of cultural heritage. Through the aforementioned mapping, the second half contains a thematic analysis towards the globalised discourse of cultural heritage. This research pinpoints five major themes, among others, including: identity, postcolonialism, diplomacy, security, and tourism. Based on a thorough literature review, I argue that: 1) there is a notion of how certain heritage is acknowledged by international actors; 2) there is a nexus between cultural heritage and a symbolic identity of a state; and 3) there is a particular authority and governance within the international heritage regime."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Ferdy Ardiansyah Dwinanto
"
ABSTRAKRencana induk untuk merevitalisasi Kotatua telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun menemui banyak kendala, salah satunya adalah kelembagaan pengimplementasi kebijakan tersebut. Dengan mengembangkan kelembagaan revitalisasi Kotatua diharapkan dapat mengatasi berbagai macam kendala yang dihadapi sehingga tujuan dapat tercapai. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dalam mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk kelembagaan termasuk stakeholder atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan revitalisasi Kotatua. Dari 18 stakeholder yang memiliki peran tinggi kemudian dikembangkan dengan menggunakan Metode Interpretive Structure Modelling (ISM) sehingga dihasilkan sebuah model struktural kelembagaan yang terdiri dari 8 level/tingkatan stakeholder
ABSTRACTA master plan to revitalize Kotatua has been issued by the local goverment, but encountered many obtacles, which one of them is the instutional who implement the policy. By developing Kotatua institutional, is expexted to overcome various obstacles encountered so that the goal can be achieved. This study uses primary and sceondary data to identifying forming elements, including stakeholder or institution who involved in the activities of revitalization of Kotatua. Result is 18 stakeholder who have high role in Kotatua revitalization. The Interpretive Structure Modelling (ISM) method then used to develop the institutional and producing an institutional structural modelling consisting of 8 level/tiers of stakeholder."
2016
T46342
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ade Maulida Shifa
"Penelitian ini membahas mengenai perkembangan Bangunan Pendopo dari bangunan Villa Maria menjadi Kantor Pusat PT KAI. Pada Bangunan Pendopo hingga saat ini masih dipergunakan sebagai kantor administrasi perkeretaapian dan telah mengalami adaptasi setelah ditetapkan menjadi cagar budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam adaptasi Bangunan Pendopo Kantor Pusat PT KAI serta menganalisis kesesuaian penerapan adaptasi yang sudah dilakukan dengan prinsip dan regulasi hukum yang berlaku. Metode yang digunakan yaitu analisis deskriptif dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisis didapatkan bahwa adaptasi mempengaruhi adanya perubahan fungsi ruang pada Bangunan Pendopo dan terdapat 3 bentuk adaptasi yang dilakukan, yaitu adaptasi dalam perubahan material, adaptasi dalam penambahan, dan adaptasi dalam pengurangan. Adaptasi dalam bentuk perubahan material dan penambahan pada Bangunan Pendopo telah sesuai dengan prinsip-prinsip adaptasi. Sedangkan bentuk pengurangan mengakibatkan merosotnya nilai penting yang terkandung dalam bangunan.
This paper discusses about the transformations of the Pendopo Building from Villa Maria building into the Central Office of PT KAI. The Pendopo building is still used as a railway administration office and has undergone adaptations after being a cultural heritage. This study aims to determine the changes that have occurred in the adaptation of the Pendopo building and to analyze whether the implementation of the adaptation that has been carried out in the cultural heritage building is in accordance with the adaptation principles and legal regulations. The method used is descriptive analysis starting from data collection, data analysis, interpretations, and conclusions. The results of the analysis found that adaptation affects changes in the function of space in the Pendopo Building and there were 3 forms of adaptation carried out in the Pendopo buildings, that is adaptation in material changes, adaptation in additions, and adaptation in reductions. Adaptation in the form of material changes and additions to the Pendopo building is in accordance with the adaptation principles. While the form of reduction results in a decline in the important value contained in the building."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nur Hadiyati
"Penelitian ini membahas mengenai penetapan status hukum lahan Kampung Tua Kota Batam. Permasalahan yang dikaji adalah bagimana status hukum lahan Kampung Tua Kota Batam dilihat dari Surat Keputusan Walikota Batam Nomor : KPTS.105/HK/IV/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2004-2014, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan bagaimana penepatan status hukum lahan Kampung Tua Kota Batam berdasarkan Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai tolak ukur tindakan pemerintah dan upaya melindungi masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, historis, dan konseptual. Jawaban yang diperoleh dari hasil peneltiian : Pertama, Penetapan status hukum lahan Kampung Tua Kota Batam semenjak diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Batam Nomor : KPTS.105/HK/IV/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam dan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014 belum menemui kejelasan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Penetapan Kampung Tua bersifat politis tanpa kajian akademis sehingga tidak memenuhi kriteria dan prosedur dalam penetapan kawasan cagar budaya sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, Pemerintah seharusnya menyelenggarakan penetapan status hukum lahan Kampung Tua Kota Batam dengan berbasis Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Selanjutnya disebut AAUPB) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa setiap keputusan dan/atau tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AAUPB. Namun, praktik dilapangan menunjukkan permasalahan dalam penetapan status hukum lahan Kampung Tua dan belum diselenggarakannya penetapan status hukum lahan Kampung Tua berbasis AAUPB yakni : transparansi, akuntabilitas, kepastian, dan partisipasi. Pemerintah Kota Batam sebagai pihak yang berwenang dalam hal ini harus melakukan persiapan untuk menyesuaikan penetapan status hukum lahan Kampung Tua Kota Batam dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan AAUPB.
This research aims to analyse about establishment of the legal status of ';Kampung Tua'; Batam City. The problem is focused on how the legal status of the 'Kampung Tua' of Batam City was seen from the Decree of the Mayor of Batam Number: KPTS.105 / HK / IV / 2004 concerning the Establishment of 'Kampung Tua' Areas in Batam City, Regional Regulation No. 2 of 2004 concerning Urban Spatial Planning Batam 2004-2014, and Act. Number 11 of 2010 concerning Cultural Heritage and how to adjust the establishment of the legal status of the 'Kampung Tua' based on the General Principles of Good Governance as a benchmark for government actions and efforts to protect the public. This type of research is normative legal research that use a legal, historical, and conceptual approach. The answer of the research is the first one, Establishment of the legal status of the Kampung Tua of Batam City since the issuance of the Decree of the Mayor of Batam Number: KPTS.105 / HK / IV / 2004 concerning the Establishment of 'Kampung Tua' Areas in Batam City and designated as cultural heritage areas in the Regulations Region Number 2 of 2004 concerning the Batam City Spatial Plan for 2004-2014 has not yet met with clarity due to a dissonance with the provisions stipulated in Act. Number 11 of 2010 concerning Cultural Heritage. Establishment of 'Kampung Tua' is political without academic studies so it doesn't match with the criteria and procedures in establishing cultural heritage areas as mandated in legislation. The second one the Government should hold a establishment of 'Kampung Tua'; based on Good Governance General Principles (hereinafter referred to as AAUPB) as mandated in Act. Number 30 of 2014 concerning Government Administration that any mandatory decisions and / or actions are based on provisions legislation and AAUPB. However, the practice in the field shows many problem in establishment of 'Kampung Tua'; and how far implementation of AAUPB in establishment of the legal status of 'Kampung Tua';. Local Government as the authorized party in this matter must make preparations to adjust the legal status determination of 'Kampung Tua' Batam City with the provisions in Act. Number 11 of 2010 concerning Cultural Heritage and AAUPB."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52306
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Alan Malingi
"Artikel ini ditulis untuk melestarikan dan mempromosikan salah satu upacara adat di tanah Bima NTB yang dikenal dengan Hanta Ua Pua yang merupakan warisan budaya islam. Upacara ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammmad SAW. sehingga dalam bahasa Bima juga sering disebut dengan Hanta Ua Pua Ade Wura Molu atau MOLU ( Pengantaran Ua Pua di dalam bulan maulid). Dalam Perkembangan sejarah Bima, upacara Hanta Ua Pua dilaksanakan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin, sultan Bima kedua (1640-1682 M). Sejak saat itu, Hanta Ua Pua ditetaptakan sebagai perayaan rutin kesultanan Bima yang dikenal dengan Rawi Na’e Ma Tolu Kali Samba’a, termasukl upacara besar yang dilaksanakan dalam tiga kali setahun. Perayaan tersebut yaitu Ndiha Aru Raja Na’e (Perayaan Idul Adha), Ndiha Aru Raja To’i (Perayaan Idul Fitri), dan Ndiha Ua Pua (Perayaan Hanta Ua Pua). Studi ini menguraikan sejarah Islam di Tanah Bima karena Hanta Ua Pua berkaitan dengan proses penyiaran agama Islam di Bima, makna dan tujuan Ua Pua, rangkaian upacara Ua Pua, perlengkapan ritual Ua Pua, serta kesenian pengiring upacara Hanta Ua Pua."
Jakarta: Kementerian Agama, 2016
297 JLK 14:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Gita Permata Maharani
"Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda) dibuat untuk melindungi warisan budaya takbenda yang ada di Indonesia. Salah satu warisan budaya takbenda yaitu bahasa Using yang merupakan bahasa daerah asli Banyuwangi. Sebagai warisan budaya takbenda, sudah seharusnya eksistensi bahasa Using dapat terus berkembang dan dilestarikan dengan baik oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Namun dalam praktiknya pelestarian bahasa Using ini belum berjalan sepenuhnya. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian untuk skripsi ini adalah pengaturan pelestarian warisan budaya melalui bahasa daerah dalam ketentuan hukum di Indonesia dan implementasi dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam melestarikan bahasa daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosio-legal. Dari hasil analisis terdapat Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Kabupaten Banyuwangi (
a quo) yang mengatur pelestarian bahasa dan sastra Using salah satunya dengan cara penerapan pendidikan bahasa Using sebagai kurikulum lokal. Adapun implementasi dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terkait pelestarian bahasa Using melalui pendidikan belum dapat dilakukan optimal karena penerapan muatan lokal bahasa Using di sekolah masih terbatas.
Presidential Regulation Number 78 of 2007 concerning Ratification of the Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage (Convention for the Protection of Intangible Cultural Heritage) was made to protect the intangible cultural heritage in Indonesia. One of the intangible cultural heritage is the Using language is the native regional language of Banyuwangi. As an intangible cultural heritage, the existence of the Using language should continue to develop and be properly preserved by local governments and the community. Language preservation based on current regulations can be done by implementing Using language for education at school and outside of school. However, the preservation of the Using language has not been fully implemented. Therefore, the issues raised in research for this thesis are arrangements for preserving cultural heritage through regional languages in Indonesian legal provisions and the implementation of Banyuwangi Regency Government policies in preserving regional languages. The method used in this research is socio-legal. From the results of the analysis, there is Banyuwangi Regency Regional Regulation Number 14 of 2017 concerning the Preservation of Cultural Heritage and Customs in Banyuwangi Regency a quo) which regulates the preservation of Using language and literature, one of which is by implementing Using language education as a local curriculum. As for the implementation of the Banyuwangi Regency Government's policy regarding the preservation of the Using language through education, it has not been carried out optimally because the application of the local content of the Using language in schools is still limited. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library