Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116056 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayu Setiawan
"Teknik induksi yang optimal tanpa pelumpuh otot untuk pemasangan sungkup laring (LMA) diharapkan dapat menjamin kondisi insersi yang baik dengan tetap menjaga stabilitas kardiovaskular. Penelitian ini membandingkan kemudahan pemasangan LMA dan kestabilan hemodinamik kombinasi fentanil 2 u/kgbb IV dengan etomidat dosis 0.2, 0.3, dan 0.4 mg/kgbb IV.
Penelitian ini dilakukan dengan acak tersamar ganda terhadap 98 pasien ASA 1-2, usia 18-65 tahun. Setiap pasien mendapat premedikasi fentanil 2u/kgbb IV 3 menit sebelum induksi. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok : kelompok pertarna (n=33) mendapat induksi etomidat 0.2 mg/kgbb IV, kelompok kedua (n=32) mendapat induksi etomidat 03 mg/kgbb IV, dan kelompok terakhir (n=33) mendapat induksi etomidat 0.4 mg/kgbb IV. Setelah itu dilakukan pemasangan LMA. Parameter hemodinamik pasien (tekanan darah sistolik, diastolik. MAP. dan laju nadi) dicatat 3 menit setelah premedikasi, segera setelah induksi, 1 menit dan 3 menit setelah pemasangan LMA. Kondisi insersi LMA digradasikan sebagai baik, sedang, dan buruk.
Kondisi insersi terbaik didapat pada kelompok yang mendapat etomidat 0.4 mg/kgbb IV. Kondisi insersi terbaik didapat pada kelompok yang mendapat etomidat 0.2 mg/kgbb IV. Profil hemodinamik ketiga kelompok tidak berbeda bermakna.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kombinasi premedikasi fentanil u/kgbb IV dengan induksi etomidat 0.4 mg/kgbb IV paling optimal untuk insersi LMA, dari segi kondisi insersi serta kestabilan hemodinamik.

Optimum induction technique without muscle relaxant for LMA insertion is expected to guarantee good insertion condition, while maintaining stable haemodynamics. This study was to compare Li1L1 insertion condition and haemodynamics stability under combination of fentanyl 2u/kgbw IV and etonidate 0.4 mg/kgbw IV.
Included in this study were 98 patients ASA 1-2, ages 18-65 years old, pretreated in randomized double blind fashion. Each patient was premedicated with fentanyl 2u/kgbw IV 3 minutes before induction. These patients were allocated into 3 groups. Patients hr the first group (n=33), second (n=32), and third (n=33) were induced with etomidate 0.2, 0.3, and 0,4 mg/kgbw IV respectively. Then the LMA was inserted by standard technique. The patient's systolic and diastolic blood pressures, MAP and heart rate were noted 3 minutes after premedication, immediately after induction, 1 and 3 minutes after LAM insertion. Insertion condition was graded as good fair, and poor.
The best insertion condition was found in patients receiving etomidate 0.4 mg/kgbw The worst insertion condition was found in patients receiving etomidate 0.2 mg/kgbw IV Haemodynamics profile in the 3 groups didn't differ significantly.
Based on this study, we concluded that combination fentanyl 2u/kgwi IV premedication with etomidate 0.4 mg/kgbw IV for induction is the optimum combination for LMA insertion, in terms of insertion condition and Haemodynamics stability."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astria Yuliastri Permana
"Latar belakang. Kombinasi anestesi spinal bupivakain dan fentanil dengan penambahan klonidin dosis tinggi diketahui dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik, namun prevalensi timbulnya efek samping cukup tinggi. Dalam studi ini, kami menggunakan klonidin dosis rendah secara intratekal (30 mcg) sebagai adjuvan  bupivakain dan fentanil. 
Tujuan. Penelitian dilakukan untuk membandingkan efektifitas serta efek samping pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dengan dan tanpa klonidin 30 mcg.
Metode. Penelitian studi potong lintang yang dilakukan pada 70 pasien seksio sesarea terbagi kedalam dua kelompok masing-masing 35 pasien yang mendapatkan kombinasi anestesi spinal dengan penambahan klonidin 30 mcg dan tanpa klonidin 30 mcg. Penelitian ini mengevaluasi kualitas blok sensorik dan motorik. Efek samping yang terjadi diamati selama 24 jam paska tindakan seksio sesarea meliputi pruritus, mual muntah, nyeri tungkai, nyeri punggung dan mata merah. 
Hasil Penelitian. Median durasi blok sensorik kelompok kombinasi anestesi bupivakain fentanil dengan klonidin 30 mcg dibandingkan tanpa klonidin 30 mcg (330 menit vs 220 menit), Median durasi blok motorik (193 menit vs 188 menit). Efek samping tertinggi adalah mual muntah terdapat pada kelompok kombinasi tanpa klonidin 30 mcg (42.85%). Perbedaan bermakna (p-value < 0.05) terdapat pada durasi blok sensorik, blok motorik dan efek samping mual muntah.
Kesimpulan. Penambahan klonidin 30 mcg pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik serta meminimalisir efek samping dibandingkan dengan tanpa klonidin 30 mcg.

Background. The combination of the spinal anesthesia bupivacaine and fentanyl with the addition of high doses of clonidine are known to prolong the duration of sensory and motor blocks, but the prevalence of side effects is high. In this study, we used an intrathecally low dose of clonidine (30 mcg) as an adjuvant to bupivacaine and fentanyl.
Aim. This study was conducted to compare the effectiveness and side effects of the combination spinal anesthesia bupivacaine fentanyl with and without clonidine 30 mcg.
Method. Cross-sectional study conducted on 70 patients with cesarean section divided into two groups of 35 patients each who received a combination of spinal anesthesia with the addition of clonidine 30 mcg and without clonidine 30 mcg. This study evaluates the quality of the sensory and motor blocks. Side effects observed for 24 hours after cesarean section included pruritus, nausea, vomiting, leg pain, back pain and red eyes.
Result. Median sensory block duration in the combination group of the anesthetic bupivacaine fentanyl with clonidine 30 mcg compared without clonidine 30 mcg (330 min vs 220 min), Median motor block duration (193 min vs 188 min). The highest side effect was nausea and vomiting in the combination group without clonidine 30 mcg (42.85%). Significant differences (p-value <0.05) were found in the duration of sensory blocks, motor blocks and side effects of nausea and vomiting.
Conclusion. The addition of clonidine 30 mcg to the combination of spinal anesthesia bupivacaine fentanyl can prolong the duration of sensory and motor blocks and minimize side effects compared to 30 mcg without clonidine.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safroni
"ABSTRAK
Latar belakang. Fentanil merupakan analgetik opioid yang hampir selalu
digunakan sebagai co-induksi di ruang operasi. Namun penggunaan fentanil
intravena bisa menimbulkan batuk yang dikenal juga dengan istilah fentanylinduced
cough (FIC). Batuk merupakan hal yang tidak diinginkan pada saat
induksi karena bisa menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, tekanan
intraokular dan tekanan intraabdominal. Kejadian FIC salah satunya dihubungkan
dengan kecepatan penyuntikan fentanil. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kecepatan penyuntikan fentanil 5 detik dan 20 detik terhadap
angka kejadian dan derajat FIC pada pasien ras Melayu yang menjalani anestesia
umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien
ras Melayu yang menjalani operasi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo pada bulan April sampai Juni 2015. Sebanyak 124 subyek
diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok
(kelompok kecepatan 5 detik dan kecepatan 20 detik). Pasien secara random
diberikan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi dengan kecepatan penyuntikan
5 detik atau 20 detik. Insiden dan derajat FIC dicatat pada masing-masing
kelompok. Derajat FIC dibagi berdasarkan jumlah batuk yang terjadi, yaitu ringan
(1-2 kali), sedang (3-5 kali) dan berat( >5 kali). Analisis data dilakukan dengan uji
Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji alternatif.
Hasil. Insiden FIC berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana lebih rendah
pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). Derajat FIC secara klinis lebih rendah pada kelompok 20 detik (ringan
4.84%, sedang 3.23% dan berat 0%) dibandingkan kelompok 5 detik (ringan
20.96%, sedang 3.23% dan berat 4.84%), namun secara statistik tidak berbeda
bermakna (p=0.131).
Simpulan. Insiden dan derajat FIC lebih rendah pada kelompok 20 detik
dibandingkan kelompok 5 detik pada penggunaan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi.

ABSTRACT
Background. Fentanyl, a analgesic opioid, commonly used by anaesthesiologists
in the operating room as co-induction. However, co-induction intravenous
fentanyl bolus is associated with coughing that known as fentanyl-induced cough
(FIC). Coughing during anesthesia induction is undesirable and is associated
with increased intracranial, intraocular, and intraabdominal pressures. Incidence
of FIC associated with injection rate of fentanyl. The aim of this study to compare
injection rate of fentanyl between 5 seconds and 20 seconds to incidence and
severity of FIC at Melayu race patients that underwent general anesthesia in
Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods. This was a double blind randomized study at Melayu race patients that
underwent scheduled operation in general anesthesia at Cipto Mangunkusumo
hospital between April and June 2015. A total of 124 subjects were included in the
study by consecutive sampling and divided to 2 groups (5 seconds or 20 seconds
group). Patients were randomized to receive co-induction fentanyl 2 mcg/kg body
weight with rate of injection either 5 second or 20 seconds. The incidence and
severity of FIC were recorded in each group. Based on the number of coughs
observed, cough severity was graded as mild (1?2),moderate (3?5), or severe
(>5) . Data were analyzed by Chi-square and Kolmogorov-Smirnov test.
Results. Incidence of FIC was significantly different between two groups, lower in
the 20 seconds group compared with the 5 seconds group, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). The severity of FIC in clinically was lowerin the 20 seconds group
(mild 4.84%, moderate 3.23% and severe 0%) compared with the 5 seconds group
(mild 20.96%, moderate 3.23% and severe 4.84%)but in statistically was not
different significantly (p=0.131).
Conclusion. Incidence and severity of FIC was lower in the20 seconds group
compared with the 5 seconds group in regimen of fentanyl injection 2 mcg/kg body weight as co-induction.
"
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Made Wahyuni
"Latar belakang : Rasa kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi tindakan medis atau operasi pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Sebaiknya saat anak masuk masuk kamar bedah sudah diberikan obat premedikasi. Premedikasi melalui tetes hidung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan melalui jalur lainnya. Obat premedikasi yang umum diberikan melalui fetes hidung adalah midazolam dan ketamin.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 30 subyek penelitian yang akan menjalani tindakan medis elektif, ASA I atau II dengan uji klinis tersamar ganda. Subyek penelitian dibagi dua kelompok ; Kelompok Midazoiam yaitu premedikasi tetes hidung midazolam dosis 0,2 mglkgbb dan kelompok Ketamin yaitu premedikasi tetes hidung ketamin dosis 4 mglkgbb. Dilihat dan dicatat skor tingkat sedasi dan kecemasan awal sebelum diberikan premedikasi, dan 20 menit setelah diberikan premedikasi. Efek samping pasta premedikasi juga dilihat dan dicatat.
Hasil : Tingkat sedasi yang efektif didapatkan pada 86,7% anak pada kelompok midazolam, sedangkan hanya 46,7% yang mencapai tingkat sedasi efektif pada kelompok ketamin, dengan p>0,005. Berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif dicapai oleh 93,3% anak dari kelompok yang mendapat midazolam, dibandingkan dengan kelompok ketamin yang hanya menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif pada 46,7% anak, dengan p<0,05. Efek samping yang terjadi adalah hipersalivasi yang terjadi pada 3 anak yang mendapat ketamin, dan muntah pada 1 anak dari kelompok ketamin.
Kesimpulan : Premedikasi tetes hidung midazolam menunjukkan tingkat sedasi dan mengurangi kecemasan yang lebih baik dibandingkan dengan ketamin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurmaida Fitria
"ABSTRAK
Perovskite lanthanum bismuth orthoferrite (La1-xBixFeO3 dengan x=0.1, 0.2, 0.3, 0.4 dan 0.5) telah disintesis menggunakan metode sol-gel. Hasil pola XRD yang telah dianalisa menggunakan program Highscore Plus menunjukkan bahwa material memiliki struktur orthorhombic serta semua sampel berfase tunggal dengan Pnma space group. Nilai parameter kisi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi doping yang sebanding dengan meningkatnya jarak ikatan dari La-O dan Fe-O. Hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan jari-jari atom (ionic radii) antara Bi3+ dan La3+. Hasil pengukuran XRF menunjukkan terdapat perbedaan hasil antara hasil pengukuran dan eksperimental, hal ini dapat disebabkan oleh eror pengukuran dan proses sintesis (kehilangan massa pada saat proses sintesis). Hasil pengukuran SEM menunjukkan bahwa semua sampel memiliki ukuran dan bentuk grain tidak homogen dan juga terdapat porositas pada semua sampel. Pengujian sifat listrik dilakukan dengan menggunakan metode spektroskopi impedansi dengan rentang frekuensi 1 kHz sampai 1 MHz. Temperatur yang digunakan dalam pengujian ini yaitu dari rentang 75oC - 200oC. Analisis impedansi menunjukkan sifat semikonduktor untuk semua sampel. Terlihat jelas adanya kontribusi grain dan grain boundary pada nyquist plot dan juga terjadi penurunan grafik semisirkular dengan menurunnya temperatur. Bode plot menunjukkan fenomenana relaksasi, waktu relaksasi bergantung pada aktivitas termal. Analisis dielektrik menunjukkan semua sampel memiliki konstanta dielektrik menurun dengan menurunnya konsentrasi doping serta nilai konstanta dielektrik memiliki orde yang besar. Sifat konduktivitas listrik memenuhi Jonshers power law. Energi bandgap menurun dengan meningkatnya konsentrasi doping.

ABSTRACT
Perovskite lanthanum bismuth orthoferrite (La1-xBixFeO3 with x = 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 and 0.5) has been synthesized using the sol-gel method. The results of the XRD pattern analyzed using the Highscore Plus program indicate that the material has an orthorhombic structure and all single-phase samples with the Pnma space group. The lattice parameter value increases with increasing doping concentration which is proportional to the increasing bond distance of La - O and Fe - O. It is influenced by the difference in atomic radius (ionic radii) between Bi3+ and La3+. XRF measurement results show there are differences in results between measurement and experimental results, it can be caused by measurement error and synthesis process (mass loss during the synthesis process). The results of SEM measurement indicate that all samples have a size and shape not homogeneous and also have porosity in all samples. Measurement of electrical properties is carried out using impedance spectroscopic methods with a frequency range of 1 kHz to 1 MHz. The temperature used in this test is from the range 75oC - 200oC. Impedance analysis shows the semiconductor properties for all samples. It is clear that there is a contribution of grain and grain boundary on nyquist plots and also a decrease in semicircular graphs with decreasing temperature value. The bode plot shows the relaxation phenomena, which is the relaxation time itself depends on thermal activity. Dielectric analysis shows that all samples have a dielectric constant decreases with decreasing doping concentration and the dielectric constant value has large order. The conductivity of electricity analyze with Jonshers power law. The band gap energy decreases with increasing doping concentration.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T52597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viktor Vekky Ronald Repi
"Disertasi ini membahas tentang rekayasa struktur dan sifat material yang meliputi sintesis dan karakterisasi material magnetik Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 (x = 0; 0.1; 0.2; 0.3 dan 0.5) dan material manganit La0.7Ba0.3MnO3 serta komposit yang terbentuk dari fasa magnetik untuk aplikasi penyerap gelombang elektromagnetik.
Pembuatan material Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 dan material La0.7Ba0.3MnO3 dilakukan dengan rute mechanical alloying yang dilanjutkan dengan pemanasan pada temperatur kristalisasi untuk memperoleh material kristalin dengan masingmasing fasa stabilnya. Tahap pertama dari penelitian ini mengevaluasi fasa magnetik yang akan dijadikan kandidat material komposit dengan mencari nilai magnetik statik yang dapat mewakili material tersebut sebagai material yang akan dikompositkan dengan fasa material La0.7Ba0.3MnO3.
Tahap kedua yaitu melakukan komposit terhadap kedua material tersebut dan mengevaluasi sifat dan karakteristiknya baik sifat magnetik, elektrik dan sifat serapan gelombang elektromagnetik pada material komposit.
Dari hasil karakterisasi, diperoleh karakteritik magnetik pada material Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 mengalami perubahan akibat adanya substitusi ion Mn dan Ti. Nilai koersivitas yang menurun terjadi seiring bertambahnya fraksi ion pensubsitusi x. Pada substitusi x = 0, diperoleh nilai yang maksimum yaitu 317.1 kA/m hingga pada substitusi x = 0.5 menjadi 77.86 kA/m.
Karakteristik dielektrik dan magnetik material Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 terlihat dari nilai permitivitas ε′ dan ε″ dan nilai permeabilitas µ′ dan µ″. Pada rentang frekuensi baik X-band maupun Ku-band, nilai return loss tertinggi masing-masing terjadi pada material komposisi x = 0.1 (-20.5 dB pada frekuensi 9.12 GHz) dan material komposisi x = 0.3 (-13.12 dB pada frekuensi 14.5 GHz). Nilai return loss tertinggi pada masing-masing rentang frekuensi ini lebih ditentukan oleh besaran µ″ dimana untuk x = 0.1, nilai permeabilitas imajiner tertinggi adalah 0.89 ≤ µ″ ≤ 0.98. Berbeda dengan frekuensi dalam rentang X-band, maka pada rentang frekuensi Ku-band ditemukan bahwa untuk x = 0.3 nilai return loss yang tinggi lebih ditentukan oleh besaran permitivitas imajiner tertinggi yaitu 0.89 ≤ ε″ ≤ 1.02. Komposit kedua material memberikan perubahan pada pola serapan dimana efek komposit memperlebar rentang frekuensi serapan terutama pada rentang Kuband.

The structure and properties including the synthesis and characterization of magnetic Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 (x = 0, 0.1, 0.2, 0.3 and 0.5) and manganite La0.7Ba0.3MnO3 materials are discussed. The two types of materials were composited to be good candidates for electromagnetic wave absorbers applications.
Materials preparation for Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 and La0.7Ba0.3MnO3 were carried out through the mechanical alloying route followed by heating at a temperature 1050 0C to obtain fully crystalline structure with respective their stable phases. The first objective for this study is to evaluate the magnetic characteristics of the magnetic phase which then is composited with that of La0.7Ba0.3MnO3 material. The second objective of the study is that to evaluate the overall properties of composite materials associated with the absorption characteristics as the electromagnetic wave absorbers.
It was obtained that the magnetic characteristics for Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 material changes due to partial substitution of Mn and Ti ions to Fe. The coercivity value decreased with the increase of substituted ionic fraction. In this case, the maximum value was 317.1 kA / m for x = 0 decreased to the 77.86 kA / m at x = 0.5.
Dielectric and magnetic characteristics for Ba0.5Sr0.5Fe12-xMnx/2Tix/2O19 can be found from electrical permittivity ε′ and ε″ as well as magnetic permeability µ′ and µ″values. It was found that high return loss values in the frequency range of both X-band and Ku-band respectively occurred in the material with x = 0.1 (-20.5 dB at a frequency of 9.12 GHz ) and the material with x = 0.3 (-13.12 dB at 14.5 GHz). The highest return loss value at each frequency range was more determined by the magnitude of µ″ in which for x = 0.1 possessed the highest imaginary permeability value: 0.89 ≤ µ″ ≤ 0.98. In contrast to the frequency range of X-band, the high return loss value in the Ku-band frequency range was found in x = 0.3.
The highest return loss value was driven by the highest imaginary part of electrical permittivity: 0.89 ≤ ε″ ≤ 1.02. The overall evaluation of characteristics for composite materials showed that the composite effect was widening the frequency range of absorption, especially in Ku- band.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
D1405
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti
"Tujuan: Mengetahul efek induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dibandingkan etomidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus.
Metode : Uji Minis tersamar gander Penelilian dilakukan di ruang Instalasi Bedah Pusat dan Bedah Rawat Jalan RSCM, pada pasien yang akan menjalani operasi berencana dengan anestesi umum, ASA I-II, umur 16-65 tahun, tidak memiliki riwayat kelainan neurologis dan neuromuskular dan tidak memiliki riwayat alergi terhadap etomidat, midazolam dan fentanil. 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dan 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,3 mg/kgBB iv. Premedikasi yang digunakan pada kedua kelompok: midazolam 0,02 mgfkgBB iv dan fentanil 1 ugfkgBB iv. Dinilai kekerapan mioklonus serta derajat mioklonus pada kedua kelompok. Analisis siatistik dengan uji t bila mengikuti distribusi normal. Sedangkan perbedaan pada kedua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square. Nilai signifkansi p< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil: Kelompok etomidat 0,2 mg/kgBB iv, miokionus ringan a orang (1,8 %) mioklonus sedang dan berat tidak ada (0 %). Kelompok etomidat 0,3 mg/kgBB iv, mioklonus ringan 2 orang (3,6 %), mioklonus sedang 2 orang (3,6 %) dan mioklonus berat 1 orang (1,8 %).
Kesimpulan : Etomidat 0,2 mgfkgBB iv dibandingkan etornidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus serta perbandingan derajat mioklonus, secara statistik tidak bermakna, namun ada kecenderungan angka keberhasilan pada penggunaan etomidat 0,2 mglkgBB.

Purpose: To know comparison induction elect of etomidate 0,2 mglkg iv and etomidate 0,3 mglkg iv to decrease frequently of myoclonus.
Methods: Double-blind randomized controlled trial. Trial had done at Centre Surgery Unit (IBP) and One Day Care RSCM. Patient were undergoing elective surgery with general anesthesia, ASA I-II 16-65 years old, didn't have history of neurologic and neuromuscular diseases, didn't have hypersensitive with etomidate, midazolam and fentanyl. 56 patients had etomidate 0,2 mg/kg iv and 56 patient had 0,3 mg/kg. Premedication with midazolam 0,2 mglkg iv and fentanyl 1 ug/kg iv. Measured myoclonus and grade of myoclonus. Analysis with t test for normal distribution and chi-square test for categorial. Significancy if p value < 0,05 with confidence interval 95%.
Result: Group of etomidate 0,2 mg/kg iv, one patient had mild myoclonus (1,8%), no patient had moderate and severe myoclonus (0%). Group of etomidate 0,3 mg/kg iv, two patients had mild myoclonus (3:.6%), two patients had moderate myoclonus (3,6%) and one patient had severe myoclonus.
Conclution: Comparison etomidate 0,2 mg/kg iv and etomidate 0,3 mg/kg iv to decrease frequently of myoclonus and the grade of myoclonus, no significantly in statistic analysis, but had disposed successful in etomidate 0,2 mg/kg iv.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Natalia Ekawari
"Latar Belakang: Kecemasan sering terjadi pada anak terutama masa pranestesia dan merupakan suatu kondisi dan komplikasi yang sering terabaikan oleh dokter spesialis anestesiologi dalam pelayanan anestesia. Pada studi ini dibandingkan keefektifan ketamin 4 mg/kgbb dosis intranasal dengan ketamin 5 dosis mg/kgbb per oral dalam efek sedasi dan mengurangi kecemasan.
Metode: 104 anak secara acak tersamar ganda dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Kelompok pertama mendapat ketamin intranasal (N=51) dan kelompok kedua mendapat ketamin per oral (N=50).
Hasil: Anak yang tersedasi baik pada kelompok ketamin intranasal sebesar 45,1% sedangkan pada kelompok ketamin per oral hanya 24% (p<0,05; 2,13E-0,2;0,52). Sebagai anti kecemasan, 68,6% anak pada kelompok ketamin intranasal mudah dipisahkan dari orangtua (efektif) dan hanya 48% anak yang mudah dipisahkan dari orangtua pada kelompok ketamin per oral (p<0,05; 1,03E-0,2;0,48). Hipersalivasi terjadi pada 3,9% anak pada kedua kelompok sedangkan muntah sebesar 4,9% juga pada kedua kelompok.
Kesimpulan: sebagai premedikasi pada pasien anak, ketamin dosis 4 mg/kgbb intranasal memberikan efek sedasi dan anti kecemasan yang lebih baik bila dibandingkan dengan ketamin dosis 5 mg/kgbb peroral.
Kata kunci: premedikasi, ketamin, intranasal, per oral, sedasi, anti kecemasan.

Background: Anxiety often accompanied children, especially during pre anesthesia and this condition and complication often overlooked by the anesthesiologist in practices. The purpose of our study was to investigate, whether premeditation with ketamine 4 mg/kgbb intranasal or ketamine 5 mg/kgbb orally is more effective to gives sedation and ant anxiety.
Method: Hundred and four pediatric patient, in randomized, divided into two equal groups. First group received ketamine intranasal (N=51) and the second group received ketamine orally (N=50).
Result: 45.1% children had good sedation in intranasal group, while in oral group is only 24% (p<0,05; 2,13E-0,2;0,52). As for anti anxiety, 68.6% children in intranasal group is easy to be separated from the parents (effective) and only 48% children in oral (p<0,05; 1,03E-0,2;0,48). Hyper salivation occurs in 3.9% children in both groups, while 4.9% children vomit in both groups.
Conclusion: 4 mg/kgbb intranasal ketamine gives better sedation effect and better anti anxiety effect compare to 5 mg/kgbb oral ketamine as premedication to pediatric patient.
Key words: premedication, ketamine, intranasal, orally, sedation, ant anxiety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius T.
"Dalam induksi anestesia dengan etomidat sering timbal mioklonus. Penelitian ini membandingkan premedikasi midazolam dan fentanil dengan premedikasi midazolam saja dalam mencegah mioklonus. Penefitian dilakukan dengan acak tersamar ganda terhadap 140 pasien. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing 70 orang yaitu yang mendapat premedikasi midazolam 0,02 mg/kg BB dan fentanil 14g/kg BB intravena (IV) atau midazolam 0,04 mg/kg BB IV. Setelah itu digunakan etomidat 0.3 mg/kg BB IV untuk induksi anestesia_ Kejadian dan derajat mioklonus diamati selama 60 detik. Insidens miokonus lebih kecil pada kelompok fentanil dan midazolam (5/70) dibandingkan kelompok midazolam (29/70){P<0,05}. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam derajat mioklonus (p>0,05) pada kedua kelompok. Premedikasi dengan midazolam 0,02 mg/kg BB dart fentanil 14g/kg BB IV efektif menurunkan mioklonus akibat induksi dengan etomidat.

During induction of anaesthesia with etomidate, myoclonic muscle movements are frequent. in this study, pretreatment with midazolam and fentanyl was compared to pretreatment with midazolam for the prevention of myoclonic muscle movements. Included in this study were 140 patients, pretreated in randomized double-blinded fashion with midazolam 0.02 mg/kg and fentanyl 1 µg/kg IV (n=70 patients) or midazolam 0.04 mg/kg IV (n=70 patients). Induction agent used was etomidate 0.3 mg/kg IV. The incidence and intensity of myoclonic movements were observed in 60 seconds. The incidence of myoclonic movements was significantly lower in patients pretreated with midazolam and fentanyl (5/70) than patients pretreated with midazolam only (29/70){p<0.051. The intensity of myoclonic movements was not significantly different (p>0.05) in two groups. Pretreatment with midazolam 0.02 mg/kg and fentanyl 1 gg/kg IV is more effective than that with midazolam 0.04 mg/kg IV in reducing etomidateinduced myoclonic muscle movements."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>