Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133537 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neni Sawitri
"Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Episode ini umumnya dihubungkan dengan obstruksi yang bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Hipereaktiviti saluran napas merupakan faktor penting yang mendasari asma bronkial dan untuk mengetahui ada atau tidak hipereaktiviti saluran napas perlu dilakukan uji provokasi bronkus 2 Proses inflamasi menyebabkan peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan seperti alergen, infeksi, rangsangan fisis, rangsangan rat kimia, reaksi refleks terhadap udara dingin atau latihan serta akabat refluks gastroesofagus (RGE).
Pada penderita asma dengan RGE, beberapa gangguan pernapasan berhubungan dengan asam lambung. Berbagai penelitian menyatakan RGE berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas, penurunan faal paru dan gejala Minis asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. William Oster memperkirakan bahwa serangan asma dapat disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Bray pada tahun 1934 memperkirakan bahwa distensi lambung pada sore hari dapat meningkatkan refleks vagal dan menyebabkan bronkokonstriksi. Harding dkk menyatakan bahwa asam lambung berhubungan dengan 90% kejadian batuk dan 78% ganguan pernapasan. Mekanisme patofisilogi ini disebut esophageal acid induced bronchoconstriclion. Berbagai data penelitian mendukung hipotesis bahwa RGE menyebabkan asma, dilain pihak asma menyebabkan RGE namun hubungan antara RGE dan asma sampai sekarang belum jelas."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwi Susanto
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.
Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS).
Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Bondan Panular
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang perbedaan hasil pengukuran keluaran linac
precise system di RSPAD Gatot Soebroto menggunakan detektor matriks PTW
dan fantom air, untuk sinar-x pengukuran dilakukan pada lapangan 10 x 10 cm2
dengan SSD 100 cm sedangkan untuk elektron menggunakan aplikator 10 x 10
cm2 dengan SSD 95 cm, dosis yang diberikan 1 Gray (100 MU) pada kedalaman
maksimum. PDD untuk sinar-x dan elektron yang dihasilkan dari pengukuran
detektor matriks memiliki rentang yang lebih pendek pada daerah kedalaman
maksimum dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunakan fantom air,
dengan rentang perbedaan 4 mm ? 5 mm untuk sinar x dan 3 mm ? 6 mm untuk
elektron. Sedangkan profil dosis untuk berkas sinar-x antara detektor matriks
dengan fantom air memiliki kesesuaian pada daerah lapangan penyinaran dengan
perbedaan kurang dari 2 %. Untuk berkas elektron terjadi perbedaan yang
signifikan dengan bertambahnya kedalaman, sehingga dapat disimpulkan bahwa
detektor matriks dapat digunakan untuk verifikasi penyinaran pada daerah target
volume penyinaran (Gross Tumour Volume/GTV) tetapi kurang baik untuk daerah
organ sekitarnya (Organ at Risk/OAR). Detektor matriks lebih baik apabila
digunakan untuk sinar-x, tetapi kurang baik digunakan untuk elektron.

ABSTRACT
This thesis discusses about output differences of Elekta Precise linac
treatment system on Gatot Subroto Army Hospital between the use of matrix
detector and water phantom, for x-ray measurement performed on 10 x 10 cm2
field size with a SSD 100 cm, as well as electron measurement using the
applicator 10 x 10 cm2 with SSD 95 cm, both on the given dose of 1 Gray
(100 MU) in the maximum depth. PDD for x-rays and electrons from the
measurement of the matrix detector has shorter range in comparison to the
maximum depth of measurement results with the water phantom. The range of
difference is found to be 4 mm - 5 mm for x-rays and 3 mm - 6 mm for the
electrons. Dose profile for x-ray measurement using the matrix detector is having
compatibility with water phantom measurement at the irradiation field, with the
difference found to be less than 2%. For the electron beam, significant difference
occurs with increasing depth, leading to the conclusion that the matrix detector
can be used to verify radiation on the Gross Tumour Volume (GTV), while being
not good enough for the Organ at Risk (OAR). The matrix detector is better used
for x-rays measurement, with relatively poor compatibility for electron
measurement."
2012
T31257
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Dwi Putri
"ABSTRAK
Obat penghambat pompa proton merupakan salah satu obat pengontrol asam lambung yang paling banyak diresepkan. Pemakaian jangka panjang obat penghambat pompa proton berisiko menurunkan kadar magnesium darah hipomagnesemia . Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara penggunaan obat golongan penghambat pompa proton terhadap dan penurunan kadar magnesium darah pada pasien di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Desain penelitian adalah cross sectional studi komparatif dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling pada bulan Juni sampai Oktober 2016. Penelitian ini membandingkan kadar magnesium darah antara pasien yang menggunakan obat penghambat pompa proton lansoprazole dan omeprazole dengan pasien yang tidak menggunakan penghambat pompa proton. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 184 pasien. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan rekam medis. Analisis statistik dilakukan dengan uji t tidak berpasangan, Mann-Whitney, dan one way ANOVA. Rata-rata kadar magnesium pasien yang menggunakan penghambat pompa proton adalah 2.08 0.21 mg/dL lebih rendah dari yang tidak menggunakan penghambat pompa proton 2.27 0.38 mg/dL dengan nilai p < 0.001 signifikan . Kadar magnesium lebih rendah secara bermakna terjadi pada pasien yang menggunakan penghambat pompa proton lebih dari satu tahun dan yang menggunakan omeprazole p < 0.05 .

ABSTRACT
Proton pump inhibitors is one of the controller gastric acid medication controllers most widely prescribed. The long term use of proton pump inhibitors has a risks decrease of blood magnesium levels hypomagnesemia . The purpose of this study was to determine whether and to what degree PPI use affects blood magnesium levels. The study design was a cross sectional comparative study with consecutive sampling technique on June to October 2016. This study compared blood magnesium levels among patients using proton pump inhibitors lansoprazole and omeprazole with patients not taking proton pump inhibitor. The total sample was 184 patients. Collecting data using questionnaires and medical records. Statistical analysis was performed with the unpaired t test, Mann Whitney, and one way ANOVA. The average level of magnesium patient using proton pump inhibitors is 2.08 0.21 mg dL whereas who not taking proton pump inhibitors is 2.27 0.38 mg dL with p 0.001 significant . Levels of magnesium were significantly lower in patients using proton pump inhibitors more than one year and using omeprazole p "
2017
T47256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boelaert, Nele
"This thesis is based on the first data from the Large Hadron Collider (LHC) at CERN. Its theme can be described as the classical Rutherford scattering experiment adapted to the LHC, measurement of scattering angles to search for new physics and substructure. At the LHC, colliding quarks and gluons exit the proton collisions as collimated particle showers, or jets. The thesis presents studies of the scattering angles of these jets. It includes a phenomenological study at the LHC design energy of 14 TeV, where a model of so-called large extra dimensions is used as a benchmark process for the sensitivity to new physics. The experimental result is the first measurement, made in 2010, by ATLAS, operating at the LHC start-up energy of 7 TeV. The result is compatible with the Standard Model and demonstrates how well the physics and the apparatus are understood. The first data is a tiny fraction of what will be accumulated in the coming years, and this study has set the stage for performing these measurements with confidence as the LHC accumulates luminosity and increases its energy, thereby probing smaller length scales."
Berlin: Springer, 2012
e20425382
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Silvina Natalia Setyoso
"Latar belakang: Refluks laringofaring LPR merupakan penyakit komorbid laringomalasia terbanyak, sehingga tata laksana laringomalasia mencakup penanganan LPR. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, hubungan keteraturan berobat, dosis penghambat pompa proton PPI , dan faktor lain yang memengaruhi perbaikan klinis laringomalasia. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis. Subjek penelitian dipilih secara total sampling. Hasil: Total subjek adalah 95 rekam medis. Usia median pasien 3 bulan. Mayoritas pasien adalah lelaki, lahir cukup bulan, berat lahir cukup. Pada awal diagnosis, sebagian besar berstatus gizi baik, tidak gagal tumbuh, mengalami laringomalasia tipe 1, berderajat klinis sedang, skor gejala laringomalasia positif LSS , mengalami gejala refluks, tanpa pipa nasogastrik, tidak teratur berobat, dan mendapat PPI ge;1,0mg/kg/hari. Penyakit penyerta yang terbanyak adalah kelainan neurologi dan yang terjarang adalah penyakit refluks. Pasien yang berobat teratur mengalami perbaikan status gizi p=0,020 , derajat laringomalasia p=0,043 , nilai LSS p=0,002 , gejala refluks.

Background Laryngopharyngeal refluks LPR is laryngomalacia rsquo s most common comorbidity. Laryngomalacia management includes LPR treatment. Aim To describe the characteristics of patients, relationships of compliance, proton pump inhibitor PPI dosage, and other factors that contribute to clinical improvements. Methods Cohort retrospective study based on medical records. Subjects is recruited by total sampling. Results Total subject consists of 95 medical records. Median age is 3 months, majority are boys, born aterm, normal birth weight. Most patients are well nourished, thrive well, experienced type 1 laryngomalacia, moderate degree, positive laryngomalacia symptom score LSS , experienced reflux symptoms, did not require feeding tube, poor compliance to medication, and prescribed PPI ge 1,0mg kg day. The most common recorded comorbidity is neurologic abnormality, while the most infrequent is reflux. Good compliance is related to improvements of nutritional status p 0,020 , degree p 0,043 , LSS p 0,002 , reflux symptom p"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pengembangan dan mengevaluasi derajat kompleksitas berbasis bukaan MLC statik menggunakan pengukuran detektor matrix Octavius, EPID, film Gafchromic dan dosis titik dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pengukuran derajat kompleksitas disarankan menjadi bagian program jaminan mutu teknik penyinaran intensity modulated radiation therapy IMRT dan volumetric modulated arc therapy VMAT . Serangkaian bukaan MLC statik berukuran kecil dan tak beraturan dibuat dalam penelitian ini untuk mewakili bukaan MLC statik pada teknik IMRT dan VMAT. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara perbedaan dosis dose difference perhitungan TPS dengan hasil pengukuran detektor matriks Octavius, EPID dan film Gafchromic menggunakan perbandingan perbedaan dosis global piksel per piksel dengan kriteria passing rate 3 mm, 3 . Hasil perbandingan dosis tersebut bervariasi antara 72,67 sampai 100 . Nilai derajat kompleksitas dihitung menggunakan edge area metric, edge metric, converted aperture metric, modulation complexity score, rasio MU/Gy dan circumference per area dengan nilai korelasi Pearson nilai-r menunjukkan hubungan yang cukup linier terhadap kompleksitas bukaan MLC statis dengan nilai bervariasi antara -0.688 sampai dengan -0.999 untuk pengukuran film gafchromic dan -0.714 sampai dengan -1.000 untuk pengukuran EPID.

ABSTRACT
The purpose of this study was to develop and to evaluate complexity metrics based on static MLC openings by using Octavius Detector, EPID, Gafchromic Film, and point dose measurement, and then compares them to the previous study. Complexity metrics have been suggested to be a part of quality assurance program for intensity modulated radiation therapy IMRT and volumetric modulated arc therapy VMAT techniques. A set of small and irregular static MLC openings were created as a representative of IMRT and VMAT radiation field segment. Furthermore, the dose difference between calculated and measured are evaluated using a pixel by pixel comparison with global dose difference criteria of 3 mm, 3 . The dose difference results were variated between 72.67 and 100 . The complexity scores was calculated by the edge area metric, edge metric, converted aperture metric, modulation complexity score, MU Gy ratio and circumference per area, show good linear those complexity metrics of the static MLC opening with the Pearson rsquo s r values variated between 0.688 and 0.999 for gafchromic film measurement and between 0.714 and 1.000 for EPID measurement."
2017
T48551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhaji
"Fotoproduksi pion pada nukleon dengan model isobar telah dipelajari dan dikembangkan pada tiga tingkatan level energi. Reaksi yang ditinjau adalah γ + ρ ➙ π0 + ρ. Selanjutnya Amplitudo transisi akan dihitung pada kerangka pusat massa untuk setiap kanal. Perhitungan dimulai dari suku born, suku vektor meson hingga suku resonan P33, P11, dan S11. Pada penelitian ini akan dihitung penampang lintang total dengan energi foton sampai 1 GeV diatas energi ambang. Nilai dari parameter-parameter akan ditentukan melalui proses fitting dan akan dicocokkan dengan data eksperimen.

The pion photoproduction on the nucleon have been studied and developed by using the isobaric model at the tree level. The considered reaction is γ + ρ ➙ π0 + ρ. The transition amplitudes are formulated in the center of mass system and consist of s , t , and u channel as the Born term, vector mesons term, and the resonances term P33, P11, and S11. As observables, we calculate the total and differential cross section at photon energies from threshold up to 1 GeV. The value of the parameters are determined by fitting the calculated observables to the experimental data."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67001
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidya Augustine
"Penghambat pompa proton merupakan golongan obat yang telah banyak digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit terkait gastrointestinal. Obat golongan PPI aman dan dapat ditoleransi dengan baik bila digunakan dengan tepat, namun peningkatan penyalahgunaan obat golongan PPI dapat berakibat pada terjadinya luaran terapi yang tidak diharapkan. Evaluasi terhadap penggunaan obat golongan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah obat golongan PPI digunakan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat golongan PPI dan menilai kerasionalan penggunaannya yang dilakukan secara deskriptif analitik observasional dengan pengambilan data secara retrospektif menggunakan data resep dan rekam medik. Sampel merupakan data pasien di Instalasi Rawat Jalan RSPAD Gatot Soebroto periode Juli 2015 - Desember 2015 yang menerima obat golongan PPI. Analisis dilakukan terhadap 400 jenis terapi obat dari 192 pasien. Aspek kerasionalan penggunaan obat golongan PPI dilihat dari lima aspek ketepatan, yaitu tepat penilaian kondisi pasien, tepat indikasi penyakit, tepat regimen dosis, tepat lama pemberian, dan tepat pemilihan obat. Sebanyak 100% terapi obat golongan PPI masuk ke dalam kategori tepat penilaian kondisi pasien, 79% tepat indikasi penyakit, 79% tepat regimen dosis, 79% tepat lama pemberian, dan 83,75% tepat obat.

Proton Pump Inhibitor are drugs that have been widely used to treat gastrointestinal related disorders. PPI is safe and well tolerated when used appropriately, but an increased in drug abuse can lead to unwanted outcome therapy. Evaluation of drug using Proton Pump Inhibitor is necessary to know whether PPI used properly. This study aimed to evaluate the use of PPIs and assess the rationalization of its use with observational analitical descriptive with retrospective methode using prescription data and medical records. Samples were data from outpatient at Gatot Subroto Army Hospital in the period of July 2015 - December 2015 that receive PPI. The analysis conducted from 400 therapy (192 patients). Aspects of the rational use of drugs known as PPI seen by five aspects of precision, appropriate condition of patients, appropriate indication, appropriate dosage, appropriate for the duration of PPI use, and appropriate for right medication. Data showed 100% appropriate condition of patients, 79,00% appropriate indication, 79,00% appropriate dosage, 79,00% appropriate for the duration of PPI use, and 83,75% appropriate for right medication."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64443
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fili Sufangga
"ABSTRAK
Latar belakang: Fundic gland polyp (FGP) merupakan salah satu polip gaster
yang sering ditemukan pada saat endoskopi. Penggunaan proton pump inhibitor
(PPI) jangka panjang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan FGP.
Hipergastrinemia/hiperplasia sel G dan hiperplasia sel ECL dapat terjadi pada
penggunaan PPI jangka panjang. Efek trofik dari hiperplasia sel G ini yang
kemudian menyebabkan proliferasi sel parietal hingga berkembang menjadi FGP,
bahkan dapat menyebabkan terjadinya tumor karsinoid pada tikus. Untuk
mengkonfirmasi adanya sel G dilakukan pulasan imunohistokimia gastrin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hiperplasia sel G ditinjau dari
ekspresi gastrin pada mukosa antrum kasus-kasus FGP yang dihubungkan dengan
riwayat penggunaan PPI.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel
terdiri atas 40 kasus FGP yang terbagi menjadi 25 kasus dengan riwayat
penggunaan PPI jangka panjang dan 15 kasus dengan riwayat penggunaan PPI
jangka pendek di RSCM dari tahun 2016-2017. Dilakukan pulasan gastrin untuk
menilai sel G pada mukosa antrum. Kondisi hiperplasia sel G dinilai melalui ekspresi
gastrin apabila terdapat lebih dari 40 sel terpulas positif dalam 10 kelenjar antrum.
Hasil: Didapatkan 13 kasus dengan hiperplasia sel G dan 27 kasus tanpa hiperplasia.
Sebelas dari 13 kasus dengan hiperplasia sel G memiliki riwayat penggunaan PPI jangka
panjang, sedangkan 2 kasus dengan penggunaan PPI jangka pendek. Uji Fisher's exact
menunjukkan perbedaan bermakna antara hiperplasia sel G pada penggunaan PPI jangka
panjang dan pendek dengan nilai p<0,05.
Simpulan: Secara statistik terdapat perbedaan bermakna antara hiperplasia sel G pada
FGP dengan riwayat penggunaan PPI jangka panjang dan pendek.

ABSTRACT
Background: Fundic gland polyps is one of gastric polyps often found at
endoscopy. Long-term proton pump inhibitors (PPIs) use is considered to
influence the development of FGP. Hypergastrinemia/G cell hyperplasia and
ECL cell hyperplasia can occur in long-term PPI use. This trophic effect of G cell
hyperplasia causes proliferation of parietal cells that then develop into FGP, and
can even cause carcinoid tumors in mice. To confirm the presence of G cells, we
can use gastrin immunohistochemistry. This study aims to determine the presence
of G cell hyperplasia based on gastrin expression in mucosa of FGP associated
with a history of PPI use.
Method: This study uses a cross-sectional design. Samples consisted of 40 cases
of FGP which were divided into 25 cases with long-term use of PPI and 15 cases
with short-term use of PPI at RSCM from 2016-2017. We performed gastrin
staining to assess G cells in the antrum mucosa. Hyperplasia of G cells is
considered if there were more than 40 cells with positive staining to gastrin in 10
antrum glands.
Result: There were 13 cases with G cell hyperplasia and 27 cases without
hyperplasia. Eleven of 13 cases with G cell hyperplasia had a history of long-term
PPI use, while 2 cases with short-term PPI use. The Fisher's exact test showed a
significant difference between G cell hyperplasia in the use of short and long-term
PPIs with p value <0.05.
Conclusion: Statistically there are significant difference between G cell
hyperplasia in FGP with a history of long and short term PPI use."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>