Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118316 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puteri Asterea
"Utang pajak memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan utang niaga. Dimana utang pajak memiliki Hak Istimewa yang pemenuhannya didahulukan diatas pemenuhan pembayaran utang lainnya. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan utang pajak dalam perkara kepailitan, dan perjanjian perdamaian dalam perkara PKPU yang berhadapan dengan utang pajak. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan peraturan perpajakan dan peraturan kepailitan dan PKPU.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan pajak yang memiliki Hak Mendahulu pada pelunasan utang pajak perusahaan yang dalam proses PKPU. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini juga membahas permasalahan penagihan utang pajak pada kasus PT Inti Mutiara Kimindo dengan Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Petamburan c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Departemen Keuangan yang berawal dari tunggakan pajak pada tahun 2000 atas nama PT IMK. Salah satu kreditor PT IMK mengajukan permohonan pailit dengan hasil akhir putusan perjanjian perdamaian melalui proses PKPU yang saah satu isinya menyatakan bahwa utang pajak telah lunas. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam hukum pajak, hukum kepailitan dan hukum perdata, penagihan utang pajak harus didahulukan karena memiliki Hak Mendahulu dalam penyelesaiannya. Namun dalam kasus ini DJP dapat diikutsertakan dalam Perjanjian Perdamaian karena jangka waktu Hak Mendahuluinya telah terlampaui.

Tax debt has specialties that make it different with commercial debt. Tax debt contains privilege to be fulfilled first than other debts. The main issues that would be discussed in this writing are about the position of tax debt in insolvency case and peace agreement in Suspension of Payment case in relation with tax debt. The issues would be analyzed with tax regulations, bankruptcy law, and Suspension of Payment regulations.
The purpose of this research is to know about tax position that has privilege on tax debt settlement that in Suspension of Payment process. Research method that is being used is juridical normative method, which means the research is based on regulation and library research that used secondary data. This research also discusses tax debt collection problem on case between PT Inti Mutiara Kimindo with Tax Office Petamburan eq. Directorate General of Tax Department of Finance that begins by insolvent tax debt of PT Intl Mutiara Kimindo on the year 2000. One of PT Inti Mutiara Kimindo creditor submit insolvency application with the final result of peace agreement through Suspension of Payment process which one of the content is that the tax debt is already been paid. Based on the regulation from tax law, bankruptcy law and civil law, tax debt collection has been given priority because it has privilege on the settlement. But in this case Directorate General of Tax can be involved in the peace agreement because the privilege period is already expired.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernandez
"Utang pajak memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan utang niaga. Dimana utang pajak memiliki Hak Istimewa yang pemenuhannya didahulukan di atas pemenuhan pembayaran utang lainnya. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan utang pajak dalam perkara kepailitan dan bagaimana seharusnya penyelesaian utang pajak atas perusahaan yang pailit. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan peraturan di bidang perpajakan dan peraturan di bidang kepailitan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan utang pajak yang memiliki hak mendahulu pada pelunasan utang pajak atas perusahaan yang pailit. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini juga menjelaskan pengaturan utang pajak atas kepailitan yang diterapkan di Jepang dan Singapura. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kitab undang-undang hukum perdata, undang-undang perpajakan, dan undang-undang kepailitan, utang pajak harus didahulukan karena memiliki hak mendahulu dan penyelesaiannya tunduk dengan yang diatur dalam undang-undang perpajakan.

Tax debt has specialties that make it different with commercial debt. Tax debt contains privilege to be fulfilled first than other debts. The main issues that would be discussed in this writing are about the position of tax debt in insolvency case and how it supposed to be settlement by the law. The issues would be analyzed with tax regulations and bankruptcy regulations. The purpose of this research is to know about tax debt position that has privilege in winding up process. Research method that is being used is juridical normative method, which means the research is based on regulation and library research that used secondary data. This research also explain the position of tax claims in Japan and Singapore. Based on the research of civil law, tax regulations, and bankruptcy regulations, tax debt must be fulfilled first because his privilege and winding up procedures based on process in tax regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1197
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ujang Inan Iswara
"Ketentuan perpajakan menempatkan negara sebagai pemegang hak mendahulu atas tagihan pajak.Hak mendahulu ini memberi kesempatan kepada Negara untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya.
Pengaturan tentang hak mendahulu berkaitan dengan utang pajak dalam kenyataannya tidak diterapkan secara benar. Direktorat Jenderal Pajak justru mengalami kerugian akibat adanya permohonan pailit. Salah satu kemungkinan rekayasa adalah dengan teknik homologatie sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan. Berdasarkan teknik tersebut kemudian wajib pajak mengajukan masalahnya ke Pengadilan Niaga.
Kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sangat kuat sebagai pemegang utang pajak termasuk dalam hal kepailitan. Keputusan pengadilan niaga yang mengabaikan kedudukan pemerintah atau negara terhadap utang pajak tidak menghalangi pemerintah atau negara untuk tetap melakukan pemungutan. Apalagi mengingat bahwa jika putusan pengadilan dijatuhkan oleh pengadilan umum bukanlah penyelesaian masalah perpajakan yang semestinya karena berdasarkan peraturan perundang - undangan telah diatur kompetensi absolut dari Peradilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Aditya Pratama
"ABSTRAK
Kepailitan maupun jalan restrukturisasi utang menjadi suatu tindakan yang perlu
diambil apabila debitur mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Apabila
perusahaan tidak melakukannya maka akan timbul wanprestasi atau cacat yang dapat
mengakibatkan masalah yang lebih besar bagi kelangsungan hidup perusahaan
tersebut di masa yang akan datang. Peraturan Kepailitan meski memberikan citra
hukum positif, tetapi dalam prakteknya penyelesaian utang melalui jalan ini
berpeluang untuk merugikan debitur maupun kreditur. Alasan sederhananya, dari
perspektif pihak debitur sendiri ada kendala sosio psikologis berupa rasa malu yang
besar apabila publik mengetahui pihaknya mengadakan penyelesaian utang di
pengadilan melalui jalan kepailitan. Dalam hal ini perusahaan yang digugat pailit
tentu saja akan dicap sebagai perusahaan yang memiliki masalah keuangan sehingga
hal ini dapat mempengaruhi reputasi perusahaan tersebut di mata publik. Hal ini dapat
menimbulkan kekisruhan publik manakala perusahaan yang digugat pailit adalah
perusahaan yang mengelola kepentingan masyarakat banyak, seperti halnya
perusahaan asuransi atau perusahaan pengembang properti. Alternatif upaya
penyelesaian penunggakan pembayaran utang yang dapat ditempuh selain melalui
langkah kepailitan adalah melalui PKPU atau melalui langkah restrukturisasi utang
secara bilateral antara debitur dan kreditur diluar PKPU. Upaya penyelesaian ini tidak
diatur secara khusus dalam suatu undang-undang seperti halnya kepailitan dan PKPU
yang secara khusus diatur dalam UUK-PKPU. Pada dasarnya skema penyelesaian
utang di luar pengadilan ini merupakan suatu bentuk perjanjian bilateral antara
debitur dan kreditur yang tunduk hanya pada ketentuan perjanjian secara umum yang
diatur dalam KUHPerdata. Yang mana hal ini tidak memberikan kepastian
pelaksanaan dan kepastian hukum bagi kedua pihak dalam melaksanakan
restrukturisasi utang.

Abstract
Bankruptcy or debt restructuring is one of the necesary actions that need to be taken
when debtor faces difficulty on their debt payment. The debt restructuring could
prevent the debtor from caused of default or defects to their company which can lead
to a bigger problems for the future. The regulation under the bankruptcy law, despite
its positive image, but the fact that debt settlement through this kind of procedure has
an impact to ruin the whole business of debtor and creditor. From the perspective of
the debtor itself, debt settlement under the bankruptcy law has a sosio-psychological
problem in the form of a great shame if public find out that the company hold the
settlement of debt in bankruptcy. In this case, the company that being sued for
bankruptcy would be labeled as a company that has financial problems so this could
affect the company's reputation in the public. This could be a trigger to a public
chatocic when the sued party is a public company, publicly-listed property developer,
or an insurance company. An alternative debt settlement can be taken instead of
bankruptcy is through PKPU or bilaterally debt restructuring between debtor and
creditor outside the court. This settlement is not regulated specifically in the
legislation as well as bankruptcy and PKPU which is specifically regulated under the
UUK-PKPU. Basically a debt settlement scheme outside the court is a form of
bilateral agreements between the debtor and creditor which is solely regulated under
the provisions of general agreement in KUHPerdata. This scheme do not provide the
certain kind of execution and legal certainty for both parties on implementing the
debt restructuring."
Universitas Indonesia, 2012
S43145
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zeto Bachri
"In bankruptcy, the definition of debts has long become of among legal practitinera. Even thought the old bankruptcy Act i.e. Act No.4/1998 does not define the meaning firmly, this does not prevent judges making definition extensively about debts in every case at the Commercial Court. The same with the new Bankruptcy act, Act No.37/2004 it defines debt in an extensive manner that is an obligation declared or may be declared in amounts of Indonesian as well as foreign currencies, directly as incurred in the future or contingently, accruing as the result of an agreement or law and should be paid by Debtor and if not paid, provides the right to Creditor to get the payment from the debtor's assets. This is not anew definition because even from the time the old Bankruptcy commercial Court judges have not been strictly bound by the definition of debt outlined by law.
This Thesis discusses debts in bankruptcy and further and the responsibility of Management in relation to company debts for the purpose of analyzing the Decision of the Supreme Court No.26 PK/N/1999 dated 4 October 1999 Jo No. 43/Pailit/1999 PN.Niaga/Jkt Pst Dated 3 August 1999. With regard to Management responsibility, the Director may not be sued in Court as having caused a loss to the company as the decision does not occur as the result of his negligence in making a decision.
"
2008
T37830
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Nurdin
"Para ahli sepakat bahwa bahan untuk penulisan Actio Pauliana ini sangal jarang. Konsep Actio Pauliana sudah lama dikenal, baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan (Faillissements-Verordening, St). 1905-217 jo Stb. 1906 No. 348).
Dalam tulisan ini Penulis akan lebih memfokuskan uraian Actio Pauliana dalam hubungannya dengan Perkara Kepailitan, sehingga nantinya tulisan ini dapat diharapkan memberi surnbangan kepada para Hakim, khususnya Hakim Pengadilan Niaga dan Kurator dalam memutus dan menangani Actio Pauliana ini.
1. Apakah yang dimaksud dengan Actio Pauliana itu ?
2. Kapan suatu perbuatan debitur dapat dianggap sebagai perbuatan curang atau beritikad tidak baik, sehingga merugikan para kreditur dan oleh karenanya dapat diajukan permohonan Actio Pauliana ?
3. Langkah-langkah apakah yang harus ditempuh oleh Kurator ketika mengetahui adanya perbuatan/tindakan debitur yang merugikan kreditur ?
4. Yurisdiksi peradilan manakah yang memeriksa dan memutus permohonan Actio Pauliana?
5. Apakah proses pemeriksaan permohonan Actio Pauliana tunduk pada jangka waktu pemeriksaan 30 (tiga puluh) hari seperti dalam proses pemeriksaan permohonan pailit?
6. Apakah ada kewajiban untuk diwakili oleh Penasihat Hukum seperti disyaratkan dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1998 mengenai permohonan pernyataan pailit? Apakah hambatan/kesulitan dalam proses Actio Pauliana ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T18676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonyendah Retnaningsih
"Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada bulan Juli 1997, sarana hukum yang dapat dijadikan landasan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Namun, mengingat peraturan kepailitan Faillissementsverordening dirasa sudah tidak memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman, maka atas desakan IMF pada tanggal 22 April 1998 dibuatlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan pada tanggal 9 September 1998. Dalam UU No. 4 Tahun 1998 terdapat beberapa kelemahan yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Ketidakseragaman pemahaman terhadap hukum perdata materiil merupakan salah satu sumber permasalahan yang banyak menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaan UU tersebut. Disamping itu, beberapa kelemahan lainnya: pertama, syarat kepailitan yang terlalu sederhana yang tidak mewajibkan hakim mempertimbangkan keadaan badan usaha yang menjalankan perusahaan; kedua, tidak adanya kewajiban untuk membedakan antara perusahaan yang masih berjalan dengan baik atau yang sudah berhenti; ketiga, tidak adanya kewajiban mempertimbangkan apakah perusahaan itu melibatkan ribuan tenaga kerja, dan keempat, tidak adanya kewajiban untuk mempertimbangkan aset perusahaan yang besar dibandingkan dengan utang yang harus dibayar. Akibatnya, proses kepailitan belakangan ini telah disalahgunakan untuk tujuan yang menyimpang dari filosofi dasar hukum kepailitan oleh pihak-pihak yang memiliki sengketa cedera janji. UUK juga kerap digunakan oleh kreditur kecil untuk mengancam bahkan memailitkan debitur besar yang secara finansial dalam keadaan sehat. Pemailitan terhadap sejumlah perusahaan yang termasuk dalam kategori sehat menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum kepailitan di Indonesia. Hal ini dapat menghancurkan kepercayaan dalam masyarakat terhadap industri asuransi dan menimbulkan kegoncangan perekonominan nasional, serta dapat menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usaha dan dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi usaha penamanaman modal di Indonesia. Oleh karena itu, hakim seharusnya mempertimbangkan keadaan finansial perusahaan, dampak sosial penutupan perusahaan, peran perusahaan asuransi yang sangat penting bagi kepentingan umum dan stabilitas perekonomian nasional serta semangat yang melandasi tujuan utama hukum kepailitan melalui terobosan ataupun temuan hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ziggy Zeirckaellaeisezabrizkie
"ABSTRAK
PT Kepsonic Indonesia dinyatakan pailit pada tanggal 23 Juli 2013, badan usaha tersebut memiliki kewajiban pajak yang belum dilunasi terhadap Direktorat Jenderal Pajak dan kewajiban pabean terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai ketentuan mengenai kedudukan piutang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibanding piutang Direktorat Jenderal Pajak dalam proses kepailitan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan terkait, serta mengenai kesesuaian dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 98/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 652/K/Pdt.Sus-Pailit/2014 dikaitkan dengan ketentuan hak mendahulu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Pasal 39 ayat 3 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan mengunakan doktrin dan peraturan di bidang kepailitan, perpajakan, dan kepabeanan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan menggunakan data sekunder. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan tagihan Direktorat Jenderal Pajak dan tagihan Direktorat Jenderal Bea Cukai adalah sama, yaitu selaku kreditor preferen, dan keduanya memiliki hak istimewa hak mendahulu.Kata Kunci : Utang Pajak, Bea Masuk, Pajak Impor, Kepailitan

ABSTRACT
AbstractPT Kepsonic Indonesia was declared bankrupt on July 23, 2013, the business entity has unpaid tax liability to the Directorate General of Taxation and customs duty to the Directorate General of Customs and Excise. The main subject assessed in this paper is regarding the standing of the Directorate General of Taxation rsquo s tax debt and the Directorate General of Customs and Excise rsquo s customs and tax debt in a bankruptcy proceeding as stated in the related legal framework, and also regarding the coherence of the legal consideration in Supreme Court Decision Number 98 K Pdt.Sus Bankrupt 2015 jo. Supreme Court Decision Number 652 K Pdt.Sus Bankrupt 2014 is attributed to the provisions of the preference right of the Directorate General of Customs and Excise in Article 39 paragraph 3 of Law Number 10 of 1995 jo. Law No. 17 of 2006 on Customs and other related rules and regulations. The main subject will be analyzed using doctrine and regulations in the areas of bankruptcy, taxation, and customs. The research method used is normative juridical, which research is conducted by referring to the regulations and literatures using secondary data. From this research, it can be concluded that the standing of the tax and custom debts of the Directorate General of Taxes and the Directorate General of Customs are the same, that is, as the preferred creditors, and both government institutions have the privilege of preference right.Keywords Tax Debts, Import Duties, Import Taxes, Bankruptcy"
2017
T47841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Virgonio Yolanda
"ABSTRAK
Hukum Kepailitan Indonesia memperkenankan Kurator untuk diusulkan oleh debitor maupun kreditor dalam suatu perkara kepailitan. Ketentuan seperti ini dapat menimbulkan dugaan Kurator yang diusulkan akan cenderung bersikap tidak independen dan bersikap cenderung menguntungkan pihak yang mengusulkannya. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti secara mendalam tentang independensi Kurator yang diusulkan oleh salah satu pihak dalam perkara pailit dan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap Kurator yang diduga tidak independen. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk studi kepustakaan library research dengan pendekatan peraturan perundang-undangan statute approach . Simpulan dalam penelitian ini adalah bahwa terlepas dari siapa yang mengusulkannya, seorang Kurator wajib untuk bersikap independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Peraturan perundang-undangan memberikan berbagai upaya hukum baik dalam ranah pidana, perdata maupun administratif yang dapat dilakukan terhadap Kurator yang diduga tidak independen. Walaupun demikian, akan lebih baik apabila ketentuan mengenai independensi seorang Kurator diatur secara lebih terperinci agar dapat mempersempit celah hukum yang dapat dipersalahgunakan.

ABSTRACT
Indonesia Bankruptcy Law allows a curator to be proposed by a debtor or creditor on a bankruptcy case. This condition could raise suspicion towards curator who is proposed by debtor or creditor will tend to be not independent and a suspicion towards a one sided benefit of the proposing party. The purpose of this research is to investigate the independence of a curator that is proposed by one party on a bankruptcy case and a plausible legal effort that can be done against the curator who allegedly not independent. The method of research used will be in the form of library research with a statute approach. The conclusion of this research is that regardless of the proposing party, a curator has the responsibility and is obligated to be independent in enforcing his her authority. The statutory law provides several legal efforts in a form of criminal, civil as well as administrative legal effort that could be enforced towards curators who allegedly not independent. It is advisable to have a more detailed regulation towards the independence of a curator as it will narrow down any possible loophole that could be misused."
2017
T48354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Suseno
"Dalam proses penanganan perkara kepailitan di Indonesia dewasa ini perkara kepailitan PT Telkomsel, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena Telkomsel merupakan perusahan besar yang ada di Indonesia yang juga dimiliki oleh Pemerintah. Hanya saja patut disayangkan, bahwa Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai bentuk perbuatan hukum yang dapat dibuktikan secara sederhana. Sehingga dalam hal ini muncul permasalahan apa saja bentuk perbuatan hukum yang dapat dibuktikan secara sederhana dalam kepailitan.
Untuk memberikan jawaban masalah tersebut maka penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan tipe penelitan deskriftif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya inkonsistensi putusan majelis hakim Pengadilan Niaga dan majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan pailit, terutama dalam mengartikan terbukti secara sederhana (sumir) tersebut.

In the process of handling bankruptcy cases in Indonesia today bankruptcy case PT Telkomsel, is very interesting to study further because Telkomsel is a big company in Indonesia which is also owned by the Government. It's just unfortunate, that the Act on Bankruptcy and Suspension of Payment does not provide a detailed explanation as to form a legal action can be proved simple. So in this case any problems arise form of legal action can be proved simply in bankruptcy.
To provide answers to these problems the research conducted using the normative method of descriptive research type. From the research that has been done, the result that there was an inconsistency decision of the judges of the Commercial Court and the panel of judges of the Supreme Court in checking for bankruptcy, especially in deciphering proven simpler (vague) is.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>