Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108280 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Sulistiyono
"Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan lokasi penelitian di kawasan Muara Angke Kelurahan Pluit Kncamatan Penjaringan Jakarta Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengelolaan dan pengolahan jenis-jenis sumber daya lokal dalam kerangka strategi pemberdayaan komunitas nelayan. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya efektifitas pemberdayaan terhadap komunitas nelayan.
Seiring dengan kemajuan kota Jakarta, berbagai program pembangunan infrastruktur di kawasan Muara Angke terus mengalami peningkatan. Pada segi sosial, berbagai pemberdayaan komunitas nelayan telah dilakukan di Muara Angke seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Pemberdayaan Wanita Nelayan (PWN), bantuan bergulir kapal perikanan, Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Sekala Kecil (PUPTSK} dan lain sebagainya. Program pemberdayaan yang telah banyak dilakukan selama ini sebagai upaya mensejahterakan nelayan baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah, nampak masih belum optimal pengaruhnya terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan seperti yang diharapkan. Komunitas nelayan di Muara Angke masih tinggal di lingkungan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, bahkan masih banyak dari mereka yang tinggal di bantaran sungai dengan kondisi rumah yang sangat sederhana. Sebenarnya di kawasan Muara Angke telah disediakan pemukiman yang memadai bagi nelayan dengan sistem sewa yang ringan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, akibat desakan ekonomi banyak nelayan yang kemudian menjual atau menyewakan kembali fasilitas pemukiman tersebut kepada pihak lain yang tidak berhak (berprofesi bukan nelayan). Kesulitan yang masih mendera komunitas nelayan menunjukan bahwa dari berbagai program pembangunan yang ada, ternyata kurang efektif memberdayakan komunitas nelayan di Muara Angke.
Kekurangmampuan komunitas nelayan dalam merubah nilai, norma dan berbagai sumber daya lokal yang tersedia seharusnya dipahami oleh pembuat kebijakan, sebelum menentukan program pemberdayaan komunitas nelayan, karena kornunitas nelayan membutuhkan berbagai persiapan dan penyesuaian dalam menghadapi perubahan. Untuk memahami fenomena tersebut seyogyanya dilakukan dengan mempelajari strategi pemberdayaan komunitas nelayan berbasis lokalitas agar dapat mengendalikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam pengembangan suatu komunitas (community development), khususnya nelayan miskin pada skala lokal.
Kegagalan dalam penyelenggaraan program pemberdayaan dapat berupa `kemacetan' dana bergulir, penyelewengan penggunaan dana untuk kepentingan lain di luar program, bubarnya institusi-institusi sosial ekonomi yang dibangun setelah pelaksanaan program berakhir, dan sustanibilitas keberlanjutan kegiatan pemberdayaan terhenti di tengah jalan sehingga tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh pelaksanaan program pemberdayaan yang kerap tidak didasarkan pada struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan, akibatnya program-program pemberdayaan tersebut menjadi asing bagi masyarakat nelayan setempat, dan ironisnya, institusi bentukan program pemberdayaan yang barn sexing diperhadapkan dengan institusi-institusi lokal secara antagonistis. Sehingga, apatisme masyarakat terhadap program pemberdayaan semakin berkembang dan menimbulkan resistensi sosial yang berdampak pada penciptaan hambatan strategi terhadap keberhasilan program pemberdayaan.
Membangun kemandirian sosial ekonomi lokal dapat ditempuh melalui pembangunan lokal yang bertumpu pada pemberdayaan penduduk setempat berbasis komunitas. Pembangunan lokal, diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri, berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik sumber daya manusia, sistem sosial, sumber daya alam dan infrastruktur. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala komunitas), dengan mengorganisasi serta mentransformasi sumber-sumber dan potensi menjadi penggerak bagi pembangunan lokal.
Pemberdayaan-komunitas-nelayan-tersebut-bertujuan pada perubahan perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan ketrampilan di kalangan komunitas nelayan agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam pengelolaan wilayah pesisir demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan atau keuntungan dan perbaikan kesejahteraan komunitas nelayan.
Mengacu pada upaya tersebut, alternatif pemberdayaan berbasis lokalitas yang dapat ditempuh memiliki karateristik antara lain; (1) prakarsa 1 ide berasal dari komunitas setempat, (2) dimulai dengan pemecahan masalah ril komunitas, (3) sumber utama adalah rakyat dan sumber daya lokal, (4) kesalahan dapat diterima, (5) kelembagaan pendukung dibina dari bawah, (6) evaluasi dilakukan sendiri, (7) berkesinambungan dan berorientasi pada proses, (8) kepemimpinan bersifat kuat, (9) fokus manajemen adalah kelangsungan dan berfungsinya sistem kelembagaan. Strategi pembnerdayaan alternatif yang diusulkan mengacu pada pemberdayaan dengan berbasis pada ko-manajamen."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Susiyeti
"ABSTRAK
Kampung Nelayan Muara Angke berada di tepi perairan Teluk Jakarta yang telah
tercemar logam kadmium. Masyarakatnya biasa mengkonsumi ikan dari Teluk Jakarta
sehingga dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat risiko pajanan kadmium pada masyarakat Muara Angke melalui
pendekatan analisis risiko kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intake
kadmium melalui ikan pada masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke sebesar
0,000012 mg/kg/hari, dengan durasi pajanan masyarakat Muara Angke sebesar 24 tahun,
berat badan masyarakat Muara Angke sebesar 59 kg. Laju asupan ikan sebesar 197,4
gr/hari dan frekuensi pajanan sebesar 294,3 hari/tahun. Hasil analisis menunjukkan
bahwa Masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke baik secara populasi dan individu
belum memiliki risiko dan masih aman dari gangguan kesehatan nonkarsinogenik akibat
pajanan kadmium dalam ikan untuk saat ini sampai dengan 30 tahun mendatang dengan
asumsi bahwa sumber pajanan hanya berasal dari ikan saja dan tidak memperhitungkan
pajanan kadmium dari sumber lain.

Abstract
Muara Angke located on the shores of Teluk Jakarta which have been polluted by heavy
metals cadmium. The Community always eat fish from Teluk Jakarta, this would pose a
risk of health problems. This study aimed to determine the level of risk exposure to
cadmium at Muara Angke community through health risk analysis approach. The results
showed that the intake of cadmium on fish for people in Kampung Nelayan Muara Angke
at 0,000012 mg/kg/day, with duration of exposure to the community Muara Angke for 24
years, Muara Angke community weight of 59 kg. Fish intake rate of 197,4 g/day and
frequency of exposure of 294,3 days/year. The results showed that Muara Angke
community, population and individual do not have risks and still safe from health
disorders noncarsinogenic because of cadmium exposure in fish at this time to 30 years
ahead on the assumption that cadmium exposure comes from fish only and do not take
into account exposure to cadmium from other sources."
2010
T31412
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mimmim Arumi Wardiati
"ABSTRAK
Muara Angke merupakan suatu kawasan delta Kali Angke di Jakarta Utara yang telah dikembangkan menjadi pusat kegiatan perikanan tradisional yang diharapkan dapat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup nelayan. Pusat kegiatan perikanan tradisional tersebut menyediakan fasilitas yang antara lain yaitu fasilitas pendaratan ikan, pengolahan ikan, pengeringan ikan, Koperasi, Bank, Pemukiman Nelayan dan lainnya. Para nelayan tersebut dapat membeli rumah dengan cara mencicil.
Ada 2 RW yaitu RW 001 dan RW 011. Areal Pemukiman Nelayan Muara Angke di delta kali Angke di daerah pasang surut, yang mengalami banjir
pasang. Penghuni terganggu oleh banjir pasang yang masuk ke dalam rumah dan jalan jalan yang tergenang air. Usaha-usaha untuk mengatasi gangguan ini adalah dengan menaikkan ketinggian jalan hampir setiap dua tahun. Hal ini menjadikan ketinggian lantai rumah lebih rendah dari ketinggian muka jalan.
Penghuni yang mampu secara ekonomi dapat menaikkan ketinggian lantai rumah dan menaikkan ketinggian atapnya. Tetapi kebanyakan penghuni tidak mampu untuk melakukannya. Mereka hanya dapat menaikkan ketinggian lantai saja dengan puing sehingga ketinggian plafond menjadi rendah. Penghuni yang tidak mampu sama sekali hanya dapat membuat penghalang di muka pintu kurang lebih 3 cm.
Anatomi rumah yang meliputi elemen-elemen seperti ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap lantai, luas jendela, luas rumah per orang, nampaknya mempunyai hubungan dengan jumlah penyakit yang diderita penghuninya cukup tinggi: ISPA, diare, kulit. Sebagaimana yang terungkapkan dari laporan PUSKESMAS Pluit tentang kesehatan penghuni Pemukiman Nelayan Muara Angke.
Atas dasar keadaan tersebut penulis ingin membuktikan hubungan anatomi rumah dengan penyakit yang diderita penghuninya.
Untuk itu dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Apakah ada hubungan anatomi rumah yang meliputi ketinggian lantai terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap lantai rumah, luas rumah per orang, luas jendela ruang tidur ke dua, jamban/WC, tempat cuci bahan makanan dan perabot dengan penyakit yang diderita penghuninya (ISPA, diare, kulit, kecacingan).
(2) Apakah ada hubungan antara jenis penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah panggung dan penghuni jenis rumah bukan panggung?
Tujuan penelitian ini adalah dibatasi untuk:
(1) Mengetahui hubungan anatomi rumah yang meliputi elemen-elemen ketinggian lantai terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap Iantai rumah, luas rumah per orang, luas jendela ruang tidur ke dua, jamban/WC, tempat cuci bahan makanan dan perabot dengan penyakit yang diderita penghuninya (ISPA, diare, kulit, kecacingan).
(2) Mengetahui hubungan jenis penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah`panggung dan jenis rumah bukan panggung.
Penelitian dilakukan pada Pemukiman Nelayan Muara Angke yang mempunyai 2 RW yaitu RW 001 dan RW 011. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan melihat proporsi penyakit yang diderita penghuni. Pengujian hipotesis menggunakan uji Chi-square (x2) untuk mengetahui hubungan anatomi rumah dengan penyakit yang diderita penghuninya dan untuk mengetahui hubungan penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah panggung dan jenis rumah bukan panggung.
Sari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
(1) Elemen-elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit ISPA adalah:
(a) ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan
(b) ketinggian plafond terhadap lantai rumah
(c) luas jendela ruang tidur ke dua
(d) luas rumah per orang
(e) bahan bangunan atap
(2) Elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit diare adalah:
- tempat bahan makanan dan perabot
(3) Elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit kulit adalah:
- ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan
(4) Elemen anatomi rumah yang mempunyai hubungan dengan penyakit cacingan adalah:
- ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan
(5) Terdapat hubungan jenis penyakit yang diderita penghuni dengan jenis rumah panggung dan jenis rumah bukan panggung.
Meskipun pembangunan pemukiman neiayan Muara Angke telah memberi manfaat pada nelayan namun perlu dipikirkan langkah-langkah penanganan lebih lanjut pada pembangunan pemukiman selanjutnya yang perlu memperhatikan anatomi rumah dan keadaan daerah pemukiman (daerah pasang surut) untuk mencapai derajat kesehatan penghuni yang baik.
Elemen anatomi antara lain meliputi ketinggian lantai rumah terhadap muka jalan, ketinggian plafond terhadap lantai rumah, luas rumah per orang, luas jendela, bahan bangunan, jamban/WC, tempat cuci bahan makanan dan perabot.

ABSTRACT
Muara Angke is a delta of the Angke River in North Jakarta which has been developed for a traditional fishing centre and it is expected to enhance the quality of life of the fishermen. The traditional fishing centre is furnished, among others, with a landing facility, facilities for processing and drying of the fish, a cooperative association, a bank, housing for the fishermen, etc. The fishermen can buy a house by installments.
There are two community districts, RW 001 and RW 011. The Muara Angke fishermen housing area in the delta of the Angke River is situated in an area which is overflowed during flood tide, although
a wave-breaker has been built. The inhabitants are suffered by water flowing into their houses during flood tide, and roads standing under water. Efforts to overcome this problem by raising the road level almost every two years are very costly. This also has the result that the level of the house floor becomes lower than the level of the road. The inhabitants who do have the means can raise the level of the floor by filling and raising the roof of the house. But most of the inhabitants who do not have the means to do so, they only raise the level of the floor by filling it with debrise. So that, the height of the ceiling is getting lower to the floor. The inhabitants who don't have any means to fill the floor, they only make a small dike of 30 cm at their front doors.
The anatomy of a house, including elements like the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling relative to the floor level, the window area, the area of the house per inhabitant, the toilets, the washing place for the foodstuffs and kitchen utensils, seem to be related to the high number of diseases cases such as acute infection of the respiratory system, diarrhea, skin and as is revealed by the reports on the health of the inhabitants of the Muara Angke fisherman housing area from the Pluit public health centre (PUSKESMAS).
Writer wishes to investigate whether there is a relationship between the anatomy of a house and the number of diseases of its inhabitants. The problem statement of the research can be formulated as follows:
(1) Does a relationship exist between the anatomy of a house comprising the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling relative to the floor level, the area of the house per inhabitants, the window area in the second bedroom number two, the toilets, the washing place for the food stuffs and kitchen utensils and the number of diseases such as acute infection of the respiratory system, skin and worm diseases among the inhabitants?
(2) Does a relationship exist between the number of diseases in the houses on poles and the number of diseases in the houses not on poles?
The goal of this research is limited to find out:
(1) The relationship between the anatomy of a house comprising the elements of the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling, area of the house per person, area of the window in the second bedroom, toilets, washing place for the food stuffs, kitchen-utensils and the number of diseases among the inhabitants (such as acute infection of respiratory system, diarrhea, skin and worm diseases).
(2) The relationship between the number of diseases in the houses on poles and in the houses not on poles.
The research has been carried out on the Muara Angke Fishermen Housing Area with its two community districts, RW 001 and RW 011. Samples area taken randomly, in proportion to the disease number of the inhabitants.
The hypothesis is tested by using the chi-square test, to reveal the relationship between the anatomy of a house and the number of diseases among the inhabitants, while the t-test is used to reveal the difference between the number of diseases in the houses on poles and in houses not on poles.
As the results of this research the following conclusions can be drawn:
(1) Elements of the anatomy of a house which have a relationship with the occurrences of cases of Acute Infection of the Respiratory System:
(a) the level of the floor relative to that of the road
(b) the height of the ceiling relative to the floor level
(c) the window area of the second bedroom
(d) the area of the house per inhabitants
(e) the material of the roof of the house
(2) Elements of the anatomy of a house which have a relationship with the occurrence of cases of diarrhea:
- the washing place for the food stuffs and kitchen utensils
(3) Elements of-the anatomy of a house which have a relationship with the occurrence of cases of skin diseases:
- the level of the floor relative to that of the road
(4) Elements of the anatomy of a house which have a relationship with the occurrence of cases of worm diseases:- the level of the floor relative to that of the road
(5) There is a relationship between the number of occurrences of diseases in the houses on poles and that in the houses not on poles, and there is significant evident that the houses on poles have a higher degree of health of its inhabitants than that of the houses not on poles.
Although the Muara Angke Fishermen Housing Area which has been built is of significant benefit to the fishermen, the action steps for quality improvement in the future development of the fishermen housing area should be planned appropriately taking into consideration the anatomy of a house and the local conditions of the area (exposed to tidal floods) to enhance the degree of health of its inhabitants.
A number of elements of house anatomy especially are as follows: the level of the floor relative to that of the road, the height of the ceiling, area of the house per person, area of the window in the second bedroom, toilets, washing place for the food stuffs and kitchen utensils.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kurniasari
"Permukiman Nelayan Muara Angke merupakan permukiman yang dibangun atas dasar perencanaan sebelumnya oleh pemerintah DKI Jakarta. Tujuan pembangunannya adalah untuk memukimkan kembali nelayan-nelayan yang sebelumnya menempati kawasan yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan bermukim seperti muara sungai atau tepi laut dari beberapa tempat di DKI Jakarta dan mewujudkan perumahan yang yang sehat, aman, nyaman sesuai dengan pola penghidupan mereka. Tipe rumah tinggal yang telah dibangun adalah rumah tidak bertingkat (rumah), rumah panggung dan rumah susun. Dalam perkembangannya, perumahan nelayan turut memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan Permukiman Nelayan Muara Angke. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke ditinjau dari pengaruh rumah tinggal terhadap peningkatan kualitas sosial budaya nelayan dan lingkungannya. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah mengidentifikasi pengaruh rumah tinggal nelayan terhadap kualitas sosial budaya penghuninya, mengidentifikasi pengaruh rumah tinggal terhadap kualitas lingkungan dan mengidentifikasi keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke ditinjau dari kontribusi yang diberikan oleh rumah tinggal di dalamnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kondisi rumah tinggal nelayan berupa rumah, rumah panggung dan rumah susun. Perubahan kondisi rumah disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama, kondisi hidrologi berupa banjir dan pasang surut; kedua, peralihan kegiatan ekonomi dari nelayan penangkap ikan menjadi nelayan pedagang. Banjir dan pasang surut yang semakin sering melanda tempat tinggal mereka telah mengubah persepsi terhadap banjir dari semula sebagai hal yang biasa menjadi hal yang tidak menyenangkan (buruk). Persepsi ini telah menimbulkan motivasi penghuni rumah, rumah panggung dan rumah susun untuk melakukan perlawanan terhadap lingkungan. Motivasi perlawanan terhadap lingkungan memacu tindakan-tindakan mengubah rumah tinggal berupa pengurugan tanah dan melapisi permukaannya dengan perkerasan.
Peralihan kegiatan ekonomi dari nelayan penangkap ikan menjadi nelayan pedagang disebabkan oleh penurunan kualitas penangkapan ikan karena penggunaan teknologi yang sederhana. Penurunan kualitas penangkapan ikan berpengaruh langsung terhadap penurunan penghasilan nelayan. Kondisi ini menyebabkan perubahan persepsi mereka tehadap kegiatan penangkapan ikan dari semula sebagai profesi yang dapat menghidupkan menjadi kegiatan yang tidak menguntungkan dan membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Persepsi ini menimbulkan motivasi nelayan untuk mengubah mata pencaharian kepada kegiatan yang dianggap lebih dapat memberikan kehidupan. Berdasarkan pengamatan keberhasilan orang lain dan pengalaman yang dialaminya, nelayan memilih menjadi pedagang ikan. Perubahan kegiatan ekonomi telah memotivasi mereka untuk menyesuaikan komposisi rumah tinggal yang semula terdiri dari bangunan rumah tinggal dan ruang terbuka sebagai tempat penyimpanan alat-alat perikanan menjadi seluruhnya digunakan untuk bangunan rumah tinggal. Motivasi penyesuaian bentuk rumah tinggal menimbulkan tindakan mengubah penataan ruang rumah untuk menampung kegiatan menetap sekaligus tempat berusaha.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah dan rumah panggung memberikan empat pengaruh positif terhadap kecenderungan potensi peningkatan kualitas sosial budaya penghuninya yaitu kemampuan rumah tinggal dalam memberikan dukungan terhadap pemenuhan kegiatan ekonomi, mengakomodasi perkembangan keluarga, mendukung peranan perempuan dalam pengasuhan anak dan memenuhi kebutuhan pencapaian privacy penghuninya. Sedangkan rumah susun hanya memberikan satu pengaruh positif terhadap kualitas sosial budaya penghuninya yaitu kemampuan rumah tinggal dalam memberikan dukungan terhadap kegiatan ekonomi penghuninya. Rumah, rumah panggung dan rumah memberikan satu pengaruh negatif terhadap kualitas sosial budaya penghuninya berupa kecenderungan penurunan interaksi sosial diantara sesama anggota masyarakat lainnya karena penataan ruang rumah tinggal berorientasi ke dalam dan lebih mementingkan pencapaian privacy. Ditinjau dari kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun dalam memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap penghuninya maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi rumah tinggal nelayan cenderung berpotensi meningkatkan kualitas sosial budaya penghuninya.
Hasil temuan penelitian menunjukkan kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun memberikan lima pengaruh negatif terhadap kecenderungan penurunan kualitas lingkungan yaitu pertama, kontruksi bangunan yang tidak tepat dengan kondisi tanah rawa sehingga mengakibatkan penurunan permukaan tanah; kedua, penggunaan lahan yang secara maksimal untuk rumah tinggal dan melapisi seluruh permukaan tanah dengan perkerasan sehingga menghalangi peresapan air ke dalam tanah; ketiga peningkatan konsumsi listrik sebagai akibat penyaluran air bersih dan penerangan alami yang tidak optimal serta peningkatan penggunaan peralatan listrik sebagai sarana untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga ataupun pencarian informasi/hiburan; ketiga pengelolaan sampah yang kurang tepat dimana tempat sampah dibiarkan terbuka sehingga mencemari udara di dalam rumah; keempat, kepemilikan septic tank pribadi justru menyebabkan pengelolaan limbah kotoran manusia menjadi tidak efisien dan manambah kecenderungan pencemaran air tanah; kelima, penyaluran air hujan secara langsung ke saluran lingkungan berpotensi meningkatkan jumlah air di dalamnya sehingga mempercepat terjadinya banjir terutama pada musim penghujan. Kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun hanya memberikan satu pengaruh positif bagi peningkatan kualitas lingkungan yaitu dalam hal pengelolaan air kotor. Penghuni rumah, rumah panggung dan rumah susun menyalurkan air kotor ke saluran lingkungan dan melakukan kegiatan kerja bakti secara rutin membersihkan saluran-saluran di sekitar rumah mereka sehingga mengurangi genangan air dan timbunan sampah yang terbawa saat air pasang. Ditinjau dari kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun dalam memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap kualitas lingkungan maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi rumah tinggal nelayan cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan.
Hasil penelitian dan perhitungan menunjukkan bahwa kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun lebih besar memberikan pengaruh negatif dibandingkan pengaruh positifnya terhadap kualitas Permukiman Nelayan Muara Angke. Keberadaan perumahan nelayan di dalamnya cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan sehingga dapat dikatakan bahwa Permukiman Nelayan Muara Angke tidak berkelanjutan. Kondisi ketidakberlanjutan terjadi karena upaya peningkatan kualitas sosial budaya penghuni diiringi dengan penurunan kualitas lingkungan. Jika kondisi penurunan kualitas lingkungan terus terjadi pada akhirnya dapat membahayakan penghuni yang tinggal dan berkegiatan di dalamnya terutama mereka dari generasi yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Permukiman Nelayan Muara Angke menunjukkan kecenderungan potensi tidak berlanjut karena menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Berkenaan dengan hal tersebut maka saran-saran yang disampaikan agar Permukiman Nelayan Muara Angke dapat terus berlanjut sebagai berikut pertama, keberadaan nelayan penangkap ikan di DKl Jakarta perlu diiringi dengan peningkatan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju sehingga kegiatan penangkapan ikan menjadi profesi yang menguntungkan dan menjanjikan penghidupan; kedua, upaya masyarakat mengatasi banjir yang terns menerus perlu diimbangi dengan intervensi pemerintah berupa penanggulan kawasan; ketiga perencanaan pembangunan perumahan nelayan di masa mendatang sebaiknya disesuaikan dengan karakter masyarakat nelayan yang terdiri atas sub-sub kelompok sesuai mata pencaharian mereka yaitu nelayan penangkap ikan, nelayan pembuat sarana, nelayan pengolah ikan dan nelayan pedagang/pemodal; ketiga, pengadaan rumah tinggal nelayan di perkotaan harus berhadapan dengan masalah keterbatasan lahan, sehingga kecenderungan tipe huniannya diarahkan ke rumah susun, dalam perlu diperhatikan adalah luas bangunan dan penataan ruang rumah agar dapat mengakomodasi perkembangan kondisi sosial budaya keluarga nelayan.

The Fisherman Settlement of Muara Angke is in fact a settlement constructed upon previous planning designed by the government of DKI Jakarta. The purpose of the construction itself is to resettle fishermen who previously inhabited areas not destined for settlement activity such as estuary or sea shores in several locations in DKI Jakarta and also in realize healthy, sale, and eolulnrtable housing suitable to their living pattern, The types of residence built are rumah tidak bertingkat (rumah), rumah panggung, and rumah susun. Within the development, fisherman housing has given influences in the diminution of environmental qualities of the Muara Angke Fisherman Settlement. This, of course, questions the probability of the continuation of Muara Angke Fisherman Settlement observed from the influences of residences to the socio-cultural quality augmentation of the fishermen and their environment. The purpose of the research which is about to be achieved is to identify the influences of the fishermen's residences towards the socio-cultural qualities of the inhabitants, to classify the influences of the residences towards the environmental qualities, and to identify the continuance of the Muara Angke Fisherman Settlement regarded from the contributions donated the residences within.
Research reveals that there have been changes in the fishermen's housing conditions in terms of rumah, rumah panggung, and rumah susun. The alteration of housing conditions is caused by two main factors; the hydrological conditions in terms of floods and tide, and the shift of economical activities from becoming fishing fishermen to merchant fishermen. Floods and tide striking their residences have amended the perception towards floods from what was enjoyable to now unpleasant. This perception has generated motivations to the residents of rumah, rumah panggung, and rumah susun to commit a fight against the environment. This battling motivation against the environment triggers acts of transforming residences in terms of levering the soil and coating the surface solidly.
The transformation of economical activities from being fishing fishermen to merchant fisherman is caused by the diminution of fishing quality due to the simple technological usage. The downgrade of fishing quality affects immediately in decreasing the fishermen's income. This condition triggers the change of their perception towards fishing activity from what was life-supporting profession to non-profit action that needs high operational costs. This perception sets off fishermen's motivation to change their living to activities considered to be able to give more income.
Based on the observations of other people's success and the undergone experiences, fishermen tend to choose to become merchant fishermen. The alteration of economical activities has motivated them to adjust the housing composition that was based upon residential structure and open spaces for storing fishing equipment to become residential structure completely. This motivation of adjusting the residence makes them to alter the house space arrangement so that it would be possible to accommodate settling activities and workplace at the same time.
Research findings reveal that conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun has given six negative influences to the environmental quality diminution, which are first of all, building construction inappropriate for the swamp condition so that it causes the decline of land surface; second, maximum land usage for residence thus having solid covering that prevent water absorption by the soil; third, the increase of electricity as a consequence of clean water distribution and non-optimal natural illumination and the increase of electrical appliances either as a mean to help finishing household chores or as a source of information and entertainment; fourth, the mismanagement of garbage where trash containers are left open thus contaminating the air within the house; fifth, the possession of personal septic tanks which in fact makes human waste management inefficient and add up water pollution; sixth, the distribution of precipitation directly onto the waterway creates the potential to increase water volume thus accelerating floods, especially during rainy season. The condition of rumah, rumah panggung, and rumah susun seems to only contribute one positive impact to the augmentation of environmental quality, which is in terms of filthy water management. The inhabitants of rumah, rumah panggung, and rumah susun distribute filthy water to the waterways and perform routine joint environmental cleaning by cleaning surrounding waterways in order to decrease puddle and garbage pile carried away by tide. Observed from the conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun in contributing positive as well as negative impacts to the environmental qualities, it can be generally said that fishermen's housing conditions tend to downgrade environmental qualities.
Research indicates that the conditions of rumah and rumah panggung give four positive effects to the augmentation of socio-cultural qualities of the inhabitants, which are the ability of the house to provide support to the fulfillment of economical activities, to accommodate family development, to support the role of women in child care, and to fulfill the need of privacy achievement of the inhabitants. On the other hand, rumah susun only gives one positive impact to the socio-cultural qualities of the inhabitants, which is the ability of the house to provide support to the economical activities of the inhabitants. rumah, rumah panggung, and rumah susun donates one negative outcome towards the socio-cultural quality of the inhabitants, which is in terms of a tendency to decrease social interaction among society members because the space management of the housing is oriented inward and aimed more to the privacy achievement. Observing the condition of rumah, rumah panggung, and rumah susun in presenting positive and negative impacts for the inhabitants, therefore it can be concluded in general that the condition of Fishermen's housing tends to augment the socio-cultural qualities of the inhabitants.
Research and calculations indicate that the conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun give more negative influences rather than positive ones to the quality of the Muara Angke Fisherman Settlement. The existence of fishermen's housing there tends to downgrade the environmental qualities so that it can be said that the Muara Angke Fisherman Settlement is not in continuation. This condition of non-continuance happens due to the efforts to increase socio-cultural qualities of the inhabitants followed by the diminution of environmental qualities. If this condition of quality diminution keep on occurring, in the end, it can jeopardize the inhabitants living and doing activities inside, specially those of future generation.
Based on the above explanation. it can be interred that the Muara Angke Fisherman Settlement doesn't show the continuance tendency as it causes environmental quality diminution. Concerning the matter, the suggestions so that the Muara Angke Fisherman Settlement can stay exist are; first, the existence of fishing fishermen in MI Jakarta needs to be followed by the augmentation of fishing technology far more advance so that fishing can be lucrative and promising; second, the ceaseless efforts of the society in dealing with floods needs to be balanced with government intervention in terms of barricading the area; third, the construction design of fisherman housing in the future should be adjusted with the characters of the fisherman society which is based on sub groups according to their methods of living, which are fishing fishermen, facility producers fishermen, fish processing fishermen, and mercantile fishermen; fourth, the establishment of fisherman housing in urban areas has to be able to deal with the problem of land inadequacy, so that the tendency of the settlement type is aimed to rumah susun, and what needs to be noted is the width of the building and the spatial arrangement in order to accommodate the development of socio-cultural conditions of fisherman families.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sidabalok, Jojor Marina
"Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan konsep pemberdayaan atau penguatan potensi (empowerment) masyarakat yang meletakkan individu sebagai subjek dan memberi ruang partisipasi penuh mereka ke dalam sebuah program pemberdayaan itu sendiri. Inisiatif kreatif dari masyarakat merupakan sumber daya paling utama. Partisipasi mereka mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi program.
Pemberdayaan nelayan melalui bantuan paket bergulir sarana penangkapan ikan di Muara Angke merupakan salah satu program dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat nelayan pra sejahtera di Muara Angke.
Evaluasi program bertujuan untuk mempelajari apakah program mencapai tujuan dan bagaimana program mencapai tujuan dan untuk mendapatkan informasi dan menarik pelajaran dari pengalaman mengenai pengelolaan program, keluaran. manfaat dan dampak dari program pemberdayaan yang baru selesai dilaksanakan, maupun yang sudah berfungsi, sebagai umpan balik bagi pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian program selanjutnya.
Metode analisa berpikir logis (logical framework analysis) dengan melihat input, output, outcome dan impact bertujuan untuk melakukan penyesuaian/sinergi antara berbagai elemen tersebut agar terjadi suatu keselarasan antara aktifitas yang dilakukan dengan tujuan program, sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan prosedur dan kesalahan sasaran.
Hasil evaluasi program pemberdayaan melalui analisa input hingga impact menunjukkan kekuatan program pemberdayaan adalah nelayan mempunyai kesempatan untuk memiliki sarana penangkapan yang berimplikasi kepada peningkatan kepercayaan diri (self confidients) nelayan. Hal ini penting karena mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan bukan saja terkait dengan masalah penopang hidup (life sustenance), melainkan juga dengan masalah harga diri (self esteem) dan kebebasan (freedom). Semua itu dimaksudkan agar orang miskin itu bisa menjadi lebih manusiawi (in order to be more human).
Adapun kelemahan program pemberdayaan ini adalah 1) perencanaan program tidak partisipatif, hal ini ditunjukkan dengan minimnya partisipasi masyarakat nelayan dalam setiap penentuan tahap proyek, mulai dan perencanaan hingga implementasi, 2) Input dan aktivitas program yang berkenaan dengan peningkatan kapasitas tidak mendapat prioritas, dan 3) Implementasi program kurang komprehensif, baik dengan program lainnya dalam kaitannya dengan pengembangan nelayan di Jakarta, maupun program pasca proyek. Salah satunya ditunjukkan dengan tidak adanya fasilitator lokal yang seharusnya memfasilitasi pengembangan komunitas nelayan setelah program berjalan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Permata Sari
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang implementasi kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah kelurahan. Penelitian ini penting, mengingat kompleksitas tuntutan kebutuhan dan permasalahan masyarakat di Provinsi OKI Jakarta yang sangat dinamis dan mendesak untuk segera mendapat penyelesaian. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggulirkan kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan dengan harapan pemerintahan perlu didekatkan kepada masyarakat, agar pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik (the closer goverment, the better it serves). Artinya Kelurahan yang merupakan unsur pelaksana Lini/Pelaksana Kewilayahan mampu memberikan kinerjanya yang optimal dalam menjalankan fungsi utamanya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat (close to the customer) di wilayahnya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Sementara itu, pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling, informan pertama memberikan petunjuk tentang informan berikutnya yang dapat memberikan informasi yang tepat dan mendalam.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan dalam implementasinya memiliki kecenderungan pada statutory services, artinya pemerintah kelurahan dalam menjalankan kebijakan tidak memiliki otonomi untuk membuat policy (membuat pengaturan) dan hanya bertugas melaksanakannya, tetapi terkadang pemerintah kelurahan masih mendapat kesempatan dan diskersi untuk membuat keputusan yang bersifat implementatif terhadap kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan. lmplikasinya terjadi penyeragaman pelimpahan kewenangan dan penganggaran dalam kegiatan Penguatan Manajemen Kelurahan, sehingga kinerja pemerintah kelurahan tidak ada perubahan setelah dilaksanakan kebijakan tersebut bahkan lebih terpuruk, karena kegiatan Penguatan Manajemen Kelurahan lebih mengedepankan aspek penyerapan anggaran dibandingkan progress kegiatan, apalagi didukung dengan situasi dan kondisi kelurahan yang minim akan kuantitas dan kualitas personil kelurahan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Permata Sari
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang implementasi kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah kelurahan. Penelitian ini penting, mengingat kompleksitas tuntutan kebutuhan dan permasalahan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta yang sangat dinamis dan mendesak untuk segera mendapat penyelesaian. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggulirkan kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan dengan harapan pemerintahan perlu didekatkan kepada masyarakat, agar pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik (the closer goverment, the better it serves). Artinya Kelurahan yang merupakan unsur pelaksana Lini/Pelaksana Kewilayahan mampu memberikan kinerjanya yang optimal dalam menjalankan fungsi utamanya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat (close to the customer) di wilayahnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Sementara itu, pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling, informan pertama memberikan petunjuk tentang informan berikutnya yang dapat memberikan informasi yang tepat dan mendalam. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan dalam implementasinya memiliki kecenderungan pada statutory services, artinya pemerintah kelurahan dalam menjalankan kebijakan tidak memiliki otonomi untuk membuat policy (membuat pengaturan) dan hanya bertugas melaksanakannya, tetapi terkadang pemerintah kelurahan masih mendapat kesempatan dan diskersi untuk membuat keputusan yang bersifat implementatif terhadap kebijakan Penguatan Manajemen Kelurahan. Implikasinya terjadi penyeragaman pelimpahan kewenangan dan penganggaran dalam kegiatan Penguatan Manajemen Kelurahan, sehingga kinerja pemerintah kelurahan tidak ada perubahan setelah dilaksanakan kebijakan tersebut bahkan lebih terpuruk, karena kegiatan Penguatan Manajemen Kelurahan lebih mengedepankan aspek penyerapan anggaran dibandingkan progress kegiatan, apalagi didukung dengan situasi dan kondisi kelurahan yang minim akan kuantitas dan kualitas personil kelurahan.

This thesis is forms a research about the implementation of Strengthening Kelurahan management policy in order to increase Kelurahan Government performance. This is important, considering the need and the problems of Jakarta society which is very dynamic is soon needed to be solved. That is why, Government of DKI Jakarta Province make a program called The Strengthening of Kelurahan Management Policy, hoping that this program can make the quality of public services, in other words ?the closer government, the better it serves?. It means, Kelurahan as the lowest of the government of DKI Jakarta Province can give the best performance while doing its function giving services to the society in its area. This research use qualitative method, which is its data get from literature, observation, and indepth interview with some informants. Meanwhile, the choosen of some informants by snowball sampling, first informant give clue about next informant that can give many right and deep informations. The result of this research shows that the implementation of this policy is preference to statutory services, means that Kelurahan doesn?t has autonomy to make a policy , Kelurahan only do the policy. But sometimes Kelurahan still has a chance to make a decision that can be implemented to the Strengthening Kelurahan management policy. The implication is delegation of authority and budgetary in this policy are being generalize in all Kelurahan, this makes the performance of Kelurahan is not better, even worse, because this policy only pay attention to the absorption of budgetary than the progress of the program/activity, with the situation and the condition of Kelurahan? staff has low quantity and quality."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramly Nurhapy
"Perikanan laut yang diusahakan oleh nelayan kecil adalah kenyataan yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu sampai saat ini. Kelompok nelayan kecil ini menggunakan alat produksi berukuran kecil yang didasarkan pada ukuran motor yang digunakan yakni 10 PK. Ukuran motor ini akan disesuaikan dengan ukuran perahu dan jenis alat tangkap yang digunakan. Besarnya ukuran motor yang digunakan menunjukkan kemampuan produksi. Di wilayah Muara Angke Jakarta Utara terdapat 211 orang nelayan yang dikategorikan sebagai nelayan kecil. Mereka melakukan penangkapan ikan di Teluk Jakarta.
Kapasitas alat produksi yang dimiliki oleh nelayan kecil terkait dengan jurnlah ikan yang dapat dihasilkan. Kegiatan perikanan laut memiliki ciri khusus yang penuh ketidakpastian oleh karena ikan tangkapan yang selalu bergerak. Penguasaan teknologi penginderaan dan penangkapan merupakan faktor utama dalam usaha ini. Untuk mengoperasikan alat produksi dengan teknologi canggih diperlukan modal usaha yang besar. Faktor modal ini merupakan hambatan utama bagi peningkatan kemampuan produksi nelayan kecil. Keterbatasan modal untuk memperbaiki alat produksi menyebabkan sulitnya peningkatan pendapatan nelayan kecil.
Dari sudut pandang ketahanan nasional, kegiatan perikanan skala kecil ternyata marnpu memberikan kontribusi positif, antara lain dapat memberikan penghasilan bagi nelayan dan keluarganya, rnembuka lapangan kerja khususnya untuk angkatan kerja tidak terampil. Dari penelitian terhadap 58 responden nelayan kecil dan keluarganya di Muara Angke Jakarta Utara, diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan Rp. 233.480,30- Rp. 265.682,90. Tingkat pendapatan ini hanya dari kegiatan perikanan a tau belum termasuk pendapatan dari kegiatan di luar perikanan.
Gambaran tingkat pendapatan ini sesungguhnya sangat bervariasi. Kendati tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan di Muara Angke Jakarta Utara relatif cukup tinggi, akan tetapi secara faktual angka pendapatan ini tidak berlaku bagi kelompok nelayan yang tidak memiliki alat produksi sendiri (nelayan penyewa atau nelayan pekerja). Pendapatan kelompok nelayan penyewa masih harus dikurangi biaya sewa perahu- rnotor, dan pendapatan nelayan pekerja masih harus dikurangi separuh bag ian untuk juragan pemilik perahu-motor.
Dengan rnenggunakan indikator kesejahteraan keluarga dari BKKBN Pusat, terlihat bahwa keluarga nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara tidak ada lagi yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera. Ada indi.kasi kuat yang menunjukkan bahwa kegagalan keluarga nelayan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya terkait dengan faktor ekonomi. Peningkatan dari keluarga sejahtera tahap I menjadi keluarga sejahtera tahap II memerlukan prasyarat seperti menu sehat, membeli pakaian, menyekolahkan anak-anak yang tentu saja memerlukan biaya yang semakin besar. Pada keluarga sejahtera tahap ill plus misalnya, keluarga harus mampu memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Hal ini mengandaikan bahwa untuk mampu mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi, maka diperlukan tingkat pendapatan yang semakin tinggi pula. Dengan alasan ini upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara dapat dilakukan dengan mendorong peningkatan pendapatan atau penghasilan nelayan.
Masalah kesejahteraan nelayan terkait pula dengan jumlah keluarga yang harus ditanggung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah tanggungan keluarga, maka semakin besar peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disisi lain ada sebagian nelayan yang tidak mau menabung. Penggunaan istilah tidak mau menabung ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya nelayan yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menabung, akan tetapi terjadi penggunaan uang yang tidak tepat sasaran. Beberapa nelayan melakukan kebiasaan negatif Gudi, nunum minuman keras, praktek a-susila). Kebiasaan negatif ini menunjukkan bahwa ketahanan pribadi sebagian nelayan ini lemah.
Peningkatan ketahanan pribadi nelayan akan mendorong peningkatan ketahanan keluarga. Hal ini terbukti dari adanya kelompok besar nelayan yang mampu memenuhi kebutuhan fisik (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan). Sebagian besar keluarga mampu memiliki fasilitas yang cukup baik seperti video, televisi, tape recorder atau radio. Bahkan terdapat juga nelayan yang mampu menyekolahkan anak-analcnya sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan terhalang oleh sulitnya memperoleh modal untuk mengaplikasikan teknologi maju. Hal ini sangat terkait dengan sifat usaha perikanan laut yang penuh resiko. Ketidakpastian dan resiko ini menjadi alasan lembaga keuangan untuk tidak memberikan kredit pacta usaha perikanan kecil ini. Nelayan kecil yang beroperasi dengan alat produksi sederhana pacta saat ini memang masih mampu memperoleh keuntungan, akan tetapi pada waktu mendatang alat produksi sederhana ini akan tersingkir dengan beroperasinya alat produksi yang lebih modern. Pada akhirnya relatif sulit untuk meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan kecil jika tetap mempertahankan pola dan alat produksi yang dirniliki seperti saat ini.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana nelayan kecil mampu untuk memodernisasi alat produksi karena terbentur dengan pen_yediaan modal. Salah satu model yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan suatu mekanisme kerja sama antar nelayan kecil untuk mengumpulkan modal bersama (capital sharing). Sistem ini memungkinkan terjadinya kerja sama di antara nelayan dalam pengadaan modal, juga memungkinkan terjadinya ('pemerataan resiko ". Kerugian yang setiap saat dapat terjadi seperti kerusakan perahu atau hilangnya alat tangkap akan dapat ditanggung bersama-sama. Sistem ini memungkinkan kelompok nelayan dapat menikmati keuntungan ataupun kerugian secara bersama-sama. Pacta masyarakat nelayan yang mengembangkan pola pemilikan individu, sistem bagi hasil kenyataannya dapat mendorong terjadinya akumulasi modal hanya pada sekelompok kecil tertentu. Sebaliknya masyarakat nelayan yang mengembangkan pemilikan kolektif, memungkinkan lebih besar terjadinya pemerataan pendapatan.
Akan tetapi penelitian di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan nelayan untuk beroperasi secara individu. Hal ini diakibatkan oleh karena keuntungan yang diperoleh secara individu memang relatif kecil, tetapi pasti. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa sifat koperatif cenderung tidak nyata lagi bahkan dalam perekonomian skala kecil. Sifat individualisme ini sadar atau tidak telah tersosialisasi bahkan telah terinternalisasi pada kelompok nelayan kecil ini. Penelitian ini menu~ukkan bahwa responden umurrmya hanya memiliki satu perahu ukuran kecil dan melakukan kegiatan penangkapan sendiri-sendiri. Sistem produksi individualistik ini cenderung masih kuat dalam kegiatan nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara.
Kemampuan melakukan usaha kecil secara mandiri dan menanggung resiko sendiri muncul oleh karena sampai saat ini sistem sedemikian masih cukup menguntungkan. Akan tetapi di masa yang akan datang diperkirakan bahwa usaha nelayan kecil tidak lagi menguntungkan. Hal ini terjadi oleh karena cadangan ikan di pantai Utara Jawa akan semakin berkurang akibat penangkapan yang terns menerus dan kerusakan eksosistem laut oleh karena polusi. Hal ini berarti bahwa nelayan kecil tidak mungkin lagi mempertahankan penangkapan pada perairan dangkal, tetapi hams meluas ke perairan dalam. Agar mampu beroperasi di perairan dalam, tentu saja diperlukan sarana produksi yang lebih modern, seperti perahu berukUran besar dan alat tangkap yang lebih modern.
Untuk rnengantisipasi pengembangan di rnasa rnendatang, sejak dini nelayannelayan kecil ini harus mulai mempertimbangkan untuk meningkatkan faktor produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai mengorganisasikan pemupukan modal berupa tabungan. Nelayan-nelayan kecil ini harus mulai menggalang kerja sama di antara mereka dalam bentuk kelompok nelayan. Apabila modal mereka sudah cukup, maka mereka dapat meningkatkan kapasitas sarana produksi mereka, dan dapat meningkatkan hasil tangkapan dengan wilayah tangkapan yang lebih luas lagi.
Sementara nelayan kecil belum mampu memodernisasi alat produksinya, pemerintah perlu menjamin pengawasan daerah penangkapan dan penggunaan alat tangkap di wilayah penangkapan nelayan kecil, seperti tertuang pada Keppres 39/1980 tentang larangan penggunaan trawl di wilayah perairan Jawa. Peraturan ini perlu untuk mencegah konflik terbuka antara nelayan kecil aengan kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar. Larangan ini merupakan upaya perlindungan bagi kesejahteraan nelayan. Apabila tidak ada proteksi terhadap wilayah penangkapan nelayan kecil, maka dapat dipastikan nelayan kecil ini akan tersingkir. Dari perspektif ketahanan nasional, kelangsungan hidup dan kesejahteraan nelayan kecil perlu dijaga karena rnerupakan bagian integral dari kehidupan nasional.

The sea fishery undertaken by small fishermen is a fact which has take place from time to time until now. These small fishermen groups use small size production tools which based on the size of their motor boat used which is - 10 HP. The size of the motor will be adjusted with the size of boat and types of catching devices used. The size of motorboat used will indicate their production ability. In Muara Angke area of North Jakarta there are 211 fishermen which are categorized as small fishermen. They catch fish in the Gulf of Jakarta.
The capacity of their production tools related to the amount of fish that can be caught. Sea fishery activities have special characteristics that is full of uncertainty because of the moving fish to be caught. Knowledge of sensing and catching technology is a major factor in this undertaking. Lack of capital is a major hindrance for increasing small fishermen production. The lack of capital to improve their production tool caused the difficulty in increasing the income of the small fishermen.
In the national resilience perspective, it turns out that the small scale fishermen undertaking is able to provide a positive contribution, among others it can provide income to the fishermen and their families. It opens work employment especially for unskilled labor force. From the research on 58 respondents of small fishermen and their family in Muara Angke, North of Jakarta, the monthly income level of the fishermen community is Rp 233.480,30 to Rp 265.682,90. The income level is only from fishery activities or excluded income from activities beside the fishery.
This income level is actually highly varied. Even though the monthly per capita income of the fishermen in Muara Angke of Nortl;l of Jakarta is relatively high, however, factually this income level is not valid for fishermen group that have not their own production tools (fishermen that hire their production tools or workers in fishery). The income of the fishermen that hire their production tools must be deducted with lease of motorboat, and incm;ne of workers in fishery must be deducted by one half part for owner of the motorboat.
By using the family welfare of Central BKKBN, it is seen that the small fishermen family in Muara Angke of North Jakarta is no longer belong to the prewelfare family category. There is strong indication which indicates that the failure of the fishermen family to increase welfare is related to economic factor. The increase from stage I to stage II welfare family need requirements such as healthy menu, clothes, ability to send their children to school which certainly need ever increasing expense. In stage III welfare family plus for example, the family should be able to provide material contribution for social activities. This assuming that to achieve higher welfare stage, an increasing welfare need an increasing income. Therefore, efforts to increase the welfare of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta can be done by increasing the income or revenue of the fishermen.
The fishermen welfare problems are also related to the number of their dependent. The results of research indicates that the smaller the number of their dependent, the higher the opportunity to increase their welfare. On the other hand, some of fishermen do not want to save. The use of expression "do not want to save" is due to the fact that actually the fishermen have the ability to save, however, the use of money is not effective. Some fishermen have negative habits (gambling, drinking, immoral acts). These negative acts indicate that the personal resilience of some of the fishermen is weak.
The increase of the personal resilience of the fishermen will increase the family resilience. This is evidenced with the existence of large fishermen group that afford to meet physical needs (food, cloth, housing, education and health). Most of the family can afford to have fairly good electronic goods such as video, television, tape recorder or radio. Even there are several fishermen that are able to send their children to higher education.
Efforts to increase the income and welfare of the fishermen community are constrained by the difficulty in obtaining capital to apply more advanced technology. This is highly related to nature of the sea fishery that is full of risk. These uncertainty and risk become the major reason why financial institutions do not extend credit to the small fishery business. The small fishermen that operate with simple production tools currently still earn profit, however, in the future the simple production tools will be ousted with the operation of more sophisticated production tool. Finally, it is relatively difficult to increase the production and income of small fishermen if the existing production tools and ways are still remained.
The problem is how the small fishermen are able to modernize the production tools because of the unavailable capital. One of the model that can be considered is development of work mechanism between small fishermen to accumulate collective capital (capital sharing). This system will enable the cooperation between the fishermen in accumulating capital, beside it also will "distribute risk". The loss thannay occur at any time can be collectively shared. This system will enable the fishermen group earn or sustain the profit and loss collectively. In the fishermen community that develop a individualistic ownership pattern, the profit sharing can only promote capital accumulation in particular, small group. However, the fishermen community that develops a collective ownership, it will enable to the occurrence of income distribution.
However, the field research indicates that there is tendency that fishermen to operate individualistically. This is because the profit earned individually is relatively small, but it is fixed. There are several indication that cooperative nature is not longer exist even in small scale economy. This individualistic nature is consciously or unconsciously has been socialized and even internalized to the small freslunen groups. This research indicates that the respondents are generally has one small size boat and perform their catch individually. The individualistic production system tends to be strong in the activity of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta.
The ability of small fishermen to work independently and bear the risk by itself is arisen due to up till now such system is still considered as profitable. However, in the future it is estimated that small fishery is no longer profitable. This is due to the fact that fish reserve in the coast of Java Sea will be decreasing because of continuous fish catching and sea ecosystem deterioration caused by pollution. This means that small fishermen will be no longer possible to maintain fish catching in shallow waters, however they should extend to deep waters. In order to be able to operate in deep waters, certainly they need more sophisticated production tools, such as large size boats and more sophisticated catching tools.
To anticipate the future development, the fishermen should consider earlier to increase their production tools. This is can be done by organizing capital formation in the form of saving. The small fishermen should join hands among themselves to form fishermen groups. If their capital have sufficient, they can increase their production facility capacity, and can increase the result of their catch because of larger catching area.
While small fishermen have not been able to modernize their production tools, the government needs to ensure that controlling of the catching area and use of catching tools in the catching areas such as stipulated in Presidential Decree number 39/1980 concerning prohibition of use of trawl in the Java Sea waters. This regulation is necessary to prevent open conflict ·between small fishennen with large scale fishermen. This prohibition is a protection effort for the welfare of fishermen. If there is no protection towards the catching area of the small fishermen, surely these small fishermen will be ousted. In perspective of national resilience, the survival of and welfare of small fishermen needs to be maintained because it is integral part of national livelihood."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Sondang Fitrinitia
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat implementasi kebijakan pengelolaan bencana banjir dan strategi adaptasi yang berasal dari komunitas. Hal ini menjadi penting karena belum adanya integrasi diantara keduanya terlihat pada berbagai strata komunitas pesisir seperti komunitas Muara Baru dan Kawasan Pluit.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksplorasi dan komparatif antar lokasi melalui wawancara mendalam dan observasi. Dengan hal tersebut dapat diketahui lebih lanjut siklus pengelolaan bencana yang terjadi di kedua wilayah pesisir tersebut.
Hasil didapat adalah implementasi kebijakan belum berjalan optimal karena belum mempertimbangkan aspek ekonomi sosial dan budayanya dari setiap komunitas. Sementara itu strategi adaptasi yang mempertimbangkan persepsi, cara hidup dan tindakan adaptasi komunitas juga berbeda sesuai dengan karakteristik setempat. Oleh karena itu dalam rekomendasi dinyatakan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan bencana tidak dapat diseragamkan harus menyesuaikan dengan karakter dari komunitas tersebut.

This study aims to look at the implementation of flood management policies and adaptation strategies which drawn from the community. This becomes important because of the lack of integration between the policies and adaptation strategies from community. It happen in coastal communities with different strata such as community in Muara Baru and Kawasan Pluit.
This study uses qualitative methods that are explorative and comparative between sites through in-depth interviews and observation. With this further can be known disaster management cycle that occurs in both of coastal areas.
The results obtained are implementation of the policy has not worked optimally because do not consider to the economic, social and cultural aspects of each community. Meanwhile adaptation strategies identify by perceptions, ways of life and behaviour adaptation of community also differ according to local characteristics. Therefore, the recommendation stated that the implementation of disaster management policies can not be made uniform to conform to the character of the community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28775
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>