Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85716 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edi Yusuf Toto Sugiarto
"Peranan sistem pembayaran dalam sistem perekonomian semakin hart semakin panting seiring dengan semakin meningkatnya volume dan nilai transaksi serta sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi, yaitu untuk rnenjaga stabilitas keuangan dan perbankan, sebagai sarana transmisi kebijakan moneter, serta sebagai slat untuk meningkatkan efisiensi perekonomian suatu negara. Untuk itu sistem pembayaran perlu diatur dan diawasi agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, handal dan aman.
Untuk mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat, handal dan aman maka perlu didukung dengan aturan yang komprehensif sehingga dapat menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang terkait dalam sistem pembayaran. Berbagai layanan pembayaran dalam sistem pembayaran dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Untuk masyarakat yang sudah maju ada kecenderungan untuk memilih pembayaran non tunai dengan pertimbangan praktis dan aman. Salah satu sistem pembayaran non tunai adalah dilakukan dengan transfer dana. Tranfer dana telah dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat dalam kurun waktu yang lama, sebagai bagian dalam kegiatan perekonomian masyarakat. Sepintas tranfer dana nampaknya sebagi suatu proses yang sederhana yaitu adanya permintaan dart pengirim dana, terlaksananya proses pengiriman, serta telah diterimanya dana dengan aman dan cepat oleh penerima. Namun demikian dalam prakteknya pelaksanaan transfer dana sudah sedemikian kompleks karena melibatkan berbagai pihak, media transfer dana, persyaratan, waktu pelaksanaan dan yurisdiksi hukum yang berbeda-beda. Dengan kondisi tersebut akan berpotensi menimbulkan risiko dan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat. Pada saat ini pengaturan transfer dana tidak dilakukan secara spesifik dalam suatu ketentuan meskipun esensinya sendiri telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan kliring dan BI-RTGS. Disamping itu jugs Undang-Undang yang terkait secara tidak Iangsung dengan transfer dana misalnya Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan demikian pelaksanaan transfer dana masih tunduk pada ketentuan yang tidak seragam tergantung dart masing-masing bank. Kondisi tersebut sering menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait dalam proses transfer dana. Sehubungan dengan tersebut maka perlu dilakukan kajian apakah perlu disusun Peraturan Perundang-Undangan yang khusus mengatur transfer dana dan dalam hal perlu materi apa saja yang harus diatur.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juninha Siti Chairunisa
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas tentang akibat hukum dari tidak terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai syarat dari dilakukannya pengalihan piutang di Indonesia dan pengaruhnya terhadap dipailitkannya suatu subyek hukum melalui studi kasus kepailitan suatu perusahaan, yaitu Putusan Nomor 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/Pn Niaga Mks tentang permohonan pailit yang diajukan Greenfinch Premier Fund terhadap PT Henrison Iriana. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan pendapat dari Majelis Hakim yang menangani kasus ini mengenai akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat pengalihan piutang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe yuridis normatif. 

ABSTRACT
This research paper discusses about the transfer of receivables (cessie) and the consequences if Article 613 of Civil Codes as the provision of the transfer of receivables (cessie) in Indonesia is not fulfilled and it`s result to the bankcrupty of a law subject. The research focuses on a case study about the bankcruptcy of a company, which is a Decision No. sdfsdfs02/Pdt.Sus.Pailit/2014/Pn Niaga Mks about a Bankcruptcy Petition against Henrison Iriana Company that has been submitted by Greenfinch Premier Fund. There are arguments between the judges concerning the provision of the transfer of receivables (cessie). This research uses the qualitative-juridical normative method."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Surapati Y.
"Dalam kehidupan sehari-hari, keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakannya, dan di sisi lain ada kelompok masyarakat lain yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat pada kendala karena hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Disinilah pentingnya lembaga Bank yang berperan sebagai perantara keuangan yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian. Sebagai lembaga penyedia dana, salah satu peran bank adalah memberikan kredit bagi debitur yang membutuhkan. Dalam pemberian kredit, bank mensyaratkan adanya jaminan. Salah satu bentuk jaminan adalah Fidusia. Keunikan dari instrumen Jaminan Fidusia adalah tetap diberikannya hak kepada Pemberi Fidusia sebagai pemilik jaminan untuk menguasai secara fisik barang yang dijaminkan, walaupun secara hukum, kepemilikannya beralih kepada kreditur selaku Penerima Fidusia. Sebagai bentuk jaminan yang ideal, salah satu ciri lembaga Jaminan Fidusia adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan keistimewaan kepada Bank untuk melakukan Parate Eksekusi atas obyek Jaminan Fidusia. Parate eksekusi adalah melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan atau hakim. Dalam tesis ini, Penulis menjelaskan praktek pelaksanaan Parate Eksekusi Jaminan Fidusia dan hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya di Bank ABC.

In daily life, the need for funds to move the wheels of the economy perceived increasing. There are some people who have excess fund, but do not have ability to invest that excess fund. On the other hand, there are also some people they have ability to invest, but they have limited fund or not fund at all. This is why we need the Bank institution that act as financial intermediaries to bridge those two groups people. Bank, as a lender of fund has in perform roles to provide to borrower who need it. The Bank requires collateral before lend the money to borrower. One form of collateral that accepted by the Bank is Fiduciary Transfer of Proprietary Right (FTO). The uniqueness of the FTO , the ownership of the physical goods still belong to the borrower, eventhough according the law, the ownership of the physical goods has been transferred to the lender. The process of enforcement of FTO are not complicate and guaranteed. This is an ideal of FTO. If the borrower is guilty of breaching of contract, Bank has privileges to do self enforcement (?Parate Eksekusi?) over the collateral according Act Nr 42 of 1999 concerning Fiduciary Transfer of Proprietary Right (FTO). Self enforcement (?Parate Eksekusi?) is defined as an instant enforcement for civil debt without a judicial decision or a judge?s order. In this thesis, the author describes the practical implementation of the FTO?s self enforcement by Bank ABC and the obstacles that arises from the process."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T33050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stania Kurniati
"Tesis ini dibuat untuk mengetahui bagaimana praktik transfer pricing diatur di Indonesia dan untuk mengetahui apakah pengaturan transfer pricing di Indonesia sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 karena melibatkan serangkaian Peraturan Direktur Jenderal. Metode penelitian adalah yuridis normatif. Pengolahan, analisa dan pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan yang bersifat kualitatif, dan hasil dari penelitian ini dituliskan secara deskriptif analisis. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, tesis ini menemukan bahwa praktik transfer pricing di Indonesia secara signifikan diatur oleh serangkaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dimana menurut Pasal 8 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Direktur Jenderal bukan merupakan lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan Padahal, Pasal 23A Undang-Undang Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. Dapat disimpulkan bahwa pengaturan transfer pricing tidak sejalan dengan pengaturan Pasal 23A UUD NRI 1945, dan oleh sebab itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena Peraturan Direktur Jenderal pajak tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam mengatur substansi perpajakan, maka penelitian ini menyarankan ini untuk ditingkatkan levelnya menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum lebih lanjut.

This thesis is made to know how transfer pricing practice being regulated in Indonesia, and also to know whether the regulation of transfer pricing in indonesia is in harmony with Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, since the regulation involved sets of Peraturan Direktur Jenderal. The research methods is normative. Analysis and gathering of data in this research used qualitative approach, and the results are written descriprive analytically. Based on the research, this thesis found that transfer pricing practice in Indonesia significantly being regulated by sets of Peraturan Direktur Jenderal Pajak, while according to Pasal 8 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Direktur Jenderal is not considered authorized institution to make legislations. Meanwhile, Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 clearly stated that tax must be regulated by legislation. It is concluded that the regulation of transfer pricing in Indonesia is not in harmony with Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, and therefore inconstitutional. Because of this reason, this thesis recommend that the level of significant regulation of transfer pricing practise should be enhanced from Peraturan Direktur Jenderal Pajak to Peraturan Pemerintah. This is to prevent further law uncertainty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Radi Jamhur
"Lembaga Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki nilai strategis dalam kehidupan pereknomian suatu negara. Fungsi utama Bank menurut Pasal 3 Undang-Undang Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat (fungsi intermediary). Sebagai Lembaga Keuangan yang berorientasi pada bisnis, bank juga memiliki berbagai jenis usaha selain dari fungsi utama yang disebutkan sebelumnya, salah satunya adalah untuk memindahkan dana dari satu rekening ke rekening lain (transfer dana). Bentuk layanan transfer dana yang disediakan oleh Bank terdiri dari berbagai jenis antara lain transfer dana ke dalam atau luar negeri, pindah buku, real time gross settlement, dan kliring yang masing-masing dilakukan oleh Bank dengan penuh kehati-hatian. Tidak hanya bank, para nasabah juga perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dan menjunjung tinggi itikad baik dalam melakukan pemindahan serta penerimaan dana. Terdapat sebuah kasus yang terjadi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Cabang Medan dimana salah seorang petugasnya lalai dalam melakukan setor kliring sehingga dana tersebut tidak terkredit pada rekening penerima. Pihak penerima dana salah setor kliring tersebut telah menggunakan seluruh dana dan gagal untuk mengembalikan sebagian dana. Penelitian ini akan menganalisis pengaturan transfer dana berdasarkan hukum perbankan di Indonesia yang mana tersebar dalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perbankan dan Transfer Dana serta beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu akan lebih lanjut menganalisa pertanggungjawaban penerima salah transfer dana dalam mengganti rugi kepada Bank meskipun perbuatan tersebut diawali dari kelalaian petugas bank.

Banking institution is one of the financial institutions that has strategic value in the economic life of a country. According to Article 3 of the Banking Law of Indonesia, The main function of the Bank is to collect and distribute public funds (intermediary function). As a business-oriented Financial Institution, bank also has various types of businesses apart from the aforementioned main functions, one of which is to move funds from one account to another (transfer of funds). The form of fund transfer which provided by the Bank consist of various types, including domestic or international fund transfer, overbooking, Real Time Gross Settlement, and clearing, which carried out by the Bank with good faith. Not only bank but also customer need to apply the precautionary principle and uphold good faith in transferring and receiving funds. There was a case occurred at Medan Branch of PT Bank Negara Indonesia (Persero) where one of its officers neglected to conduct a clearing deposit so the funds were not credited to the beneficiary's account. The (wrong) recipient of clearing deposit has used all the funds and failed to return some of the funds. This study will analyze the regulations fund transfer based on banking law in Indonesia which regulate in various types of legislation such as the Banking and Funds Transfer Law and several regulations issued by Bank Indonesia and Financial Services Authority. In addition, it will further analyze the responsibility of the (wrong) recipient transfer of funds to the Bank though the act was conducted by the negligence of the bank officer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardjatmo
"Transfer pricing merupakan upaya rekayasa alokasi keuntungan antar beberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup. Transfer pricing sering dipakai untuk manajemen pajak yaitu sebuah usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Dari sisi pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries), Terkait dengan isu transfer pricing, secara umum otoritas fiskal harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap dugaan transfer pricing mendapat justifikasi yang kuat, yaitu afiliasi (associated enterprises) atau hubungan istimewa (special relationship) dan kewajaran atau arm's length principle. Di Indonesia, perusahaan Penanaman Modal Asing yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, tidak sedikit yang melakukan praktek-praktek transfer pricing Hal yang cukup memprihatinkan adalah mereka membuat Indonesia sebagai loss centre untuk perusahaan multinasionalnya, di mana mereka beroperasi di Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak penghasilan badannya. Rekayasa tersebut dilakukan dengan bermacam-macam cara dan tujuan, tergantung pada kebijaksanaan manajemen perusahaan tersebut. Perusahaan dapat direkayasa untuk terus-menerus dalam keadaan merugi, akan tetapi tetap terjadi pembayaran royalti atau imbalan jasa teknis dan jasa lainnya dari perusahaan Indonesia kepada perusahaan lain di mancanegara yang sebenamya masih berada dalam satu grup perusahaan dengan yang ada di Indonesia. Hampir dalam setiap undang-undang perpajakan dapat dijumpai aturan-aturan yang mengatur perlakuan pajak terhadap transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Aturan tersebut merupakan dasar hukum bagi otoritas pajak untuk melakukan koreksi atas transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan dapat memecahkan masalah transfer pricing Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan juga mempunyai aturan yang menangani masalah transfer pricing, yaitu Pasal 18. Tesis ini mencoba menawarkan pemecahan masalah dan aturan hukum yang perlu ditinjau dan dipertegas dalam suatu perundang-undangan perpajakan yang mengatur masalah transfer pricing di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T 18680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Nelson Dunan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S23970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilyas Kausar
"Terdapat Akta Penegasan Pengoperan dan Penyerahan Hak yang dibuat oleh Notaris sebagai penegasan pengikatan jual beli (perjanjian obligatoir) berdasarkan surat pernyataan di bawah tangan terhadap objek perjanjian yang masih terikat dengan perjanjian kredit (prinsipil) dan dibebankan dengan hak tanggungan (accessoir) sebagai hak kebendaan. Akta tersebut tidak diberitahu dan tidak memiliki persetujuan dari kreditur sebagai prosedur adanya peralihan hak, sehingga mengakibatkan batal demi hukum berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Klausul pada perjanjian kredit yang tidak terpenuhi, sehingga melanggar syarat objektif perjanjian. Selain itu, tidak terdapat itikad baik yang dilakukan oleh penjamin, dikarenakan penjamin telah menjual kembali objek perjanjian tersebut kepada pihak ketiga sehingga menimbulkan wanprestasi. Metode penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian menggunakan deskriptif analitis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh penggugat selaku pembeli pertama tidak diberikan oleh Pengadilan, yang seharusnya Penggugat diperhatikan hak-haknya terkait Akta dimana Penggugat telah membayar lunas kepada Tergugat. Sementara itu Notaris sebagai pembuat Akta telah sesuai berdasarkan peraturan perundang-undangan khususnya dalam hal ini undang-undang jabatan notaris. Saran dalam tesis adalah Majelis Hakim seharusnya memperhatikan hak-hak Penggugat terkait materil dan imateriil. Selain itu perlunya sistem Teknologi integrasi terkait perjanjian kredit dimana tujuannya agar memudahkan para pihak yang mendaftarkan pengikatan jual beli melalui sistem integrasi sehingga tidak ada kepentingan yang tumpang tindih (overlapping).

There is a Deed of Confirmation of Transfer and Transfer of Rights made by a Notary as a confirmation of a sale and purchase agreement (obligatory agreement) based on a handwritten statement against the object of the agreement that is still bound by the credit agreement (principal) and is charged with an accessoir as a material right. The deed was not notified and did not have the approval of the creditor as a procedure for transfer of rights, resulting in legal nullification based on the decision of the West Java High Court. The clause on the credit agreement is not fulfilled, thus violating the objective terms of the agreement. In addition, there is no good faith carried out by the surety, because the guarantor has resold the object of the agreement to a third party, giving rise to default. This research method uses normative juridical research, research typology uses descriptive analytical. The results of the study concluded that the legal protection provided by the plaintiff as the first buyer was not provided by the Court, which should have paid attention to the Plaintiff's rights related to the Deed in which the Plaintiff had paid in full to the Defendant. Meanwhile, the Notary as the deed maker has complied with the statutory regulations, especially in this case the notary office law. The suggestion in the thesis is that the Panel of Judges should pay attention to the rights of the Plaintiff regarding material and immaterial. In addition, there is a need for an integrated technology system related to credit agreements where the aim is to make it easier for the parties to register sale and purchase agreements through the integration system so that there are no overlapping interests."
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elleanor Rigby Theresia
"Transfer Pricing merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penetapan harga transaksi yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang berada di berbagai negara dan merupakan bagian dari grup multinasional yang sama. Tentunya, transaksi yang melewati batas negara (cross-border) mempunyai dampak atas pajak internasional, terutama apabila perusahaan multinasional tersebut berhadapan dengan dua negara atau lebih yang memiliki sistem pemungutan pajak yang berbeda. Sehingga, untuk menghindari adanya pajak berganda/double taxation, maka dibentuknya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty). Tetapi, bervariasinya manfaat dari P3B antar negara justru mendorong investor atau perusahaan-perusahaan menyalahgunakan (abuse) perjanjian tersebut untuk mendapatkan manfaat ataupun insentif yang paling menguntungkan. Perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila semata-mata dilakukan untuk menghindari pajak/tax avoidance melalui manfaat-manfaat P3B yang bertentangan dengan tujuan dibentuknya P3B itu sendiri. Dalam penelitian ini akan ditelusuri bagaimana pengaruh dan dampak cross-border transfer pricing terhadap penerimaan negara, bagaimana perpajakan internasional dan nasional terutama di Indonesia mengatur kegiatan transfer pricing, mengetahui bagaimana hal tersebut menjadi peluang bagi individu/perusahaan dalam melakukan tindakan tax avoidance serta bagaimana penanganan dan kebijakan yang ideal dalam memaksimalkan pendapatan negara dari tindakan tax avoidance melalui cross-border transfer pricing tersebut dengan membandingkannya terhadap kebijakan Jepang. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif. Pengolahan, analisa dan pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif dan hasil dari penelitian ini dituliskan secara deskriptif analisis. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini menemukan bahwa kurang maksimalnya peraturan di Indonesia mengenai cross-border transfer pricing. Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. Maka diperlukannya peraturan perundang-undangan khusus mengenai transfer pricing dan tax havens di Indonesia untuk menunjukan kepastian hukum dan meminimalkan bahkan menghilangkan celah hukum yang dapat digunakan pihak-pihak/perusahaan untuk menghindari pajak di Indonesia seperti yang dilakukan negara Jepang yang mempunyai The Tax Haven Counter Measure Law (Undang-Undang Penghitung Pajak Haven) dimana mencegah abuse of transfer pricing dengan membatasi pengalokasian aset ke negara tax havens. Jepang juga mempunyai ketentuan utama bagi wajib pajak perusahaan multinasional meliputi earnings striping rules, transfer pricing, controlled foreign corporation (CFC) rules, dan research and development (R&D) tax credit. Diharapkan apabila permasalahan hukum tersebut segera diatasi, maka Indonesia dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak

Transfer Pricing refers to pricing transaction within and between enterprises situated in different countries and belong to the same multinational group. Cross-border transaction inevitably affects international taxation, especially when multinational enterprises encounter two or more countries that apply different tax collection systems. Consequently, a Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B) is made to resolve issues involving double taxation. However, since the Tax Treaty’s benefits vary by country, the investors or companies tend to abuse the agreement in order to gain the most profitable benefits or incentives. Abusing the benefits of Tax Treaty (P3B) could be categorized as an act against the law if solely done to avoid tax since it contradicts with the purpose of why the Tax Treaty (P3B) was made. This research examines the effects and impacts of cross-border transfer pricing on state revenue, how the international and national taxations rule the transfer pricing activities especially in Indonesia, understanding opportunities for individuals/companies to perform tax avoidance and the ideal policy and handling to optimize state revenue from tax avoidance through cross-border transfer pricing compared to Japan’s policy. This research uses normative legal method while the data processing, analysis and collection use qualitative approach and research result is composed using descriptive analysis. In accordance with this analysis, researcher found that Indonesia does not enact optimal rules regarding cross-border transfer pricing just yet. Based on The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945) Article 23A, taxes and other levies of compelling character for purposes of the state shall be regulated by laws. Thus, another legislation should be made specifically in regard to the transfer pricing and tax havens issues in Indonesia to exhibit legal certainty as well as to minimize or even to eliminate legal loopholes that could benefit parties/companies to have tax avoidance in Indonesia. This has been successfully implemented by Japan on The Tax Haven Counter Measure Law. Japan also enacts Tax Reform and the key provisions relevant to multinational corporate taxpayers including earnings striping rules, transfer pricing, controlled foreign corporation (CFC) rules, and research and development (R&D) tax credit. It is hoped that Indonesia could resolve the legal issues promptly to result in an increase of its tax state revenues"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daikh Mudh Dullah Isa
"[ABSTRAK
Transfer pricing bagi Indonesia merupakan tantangan besar untuk memaksimalkan penerimaan negara, karena tercatat oleh otoritas pajak Indonesia bahwa setiap tahunnya Indonesia dirugikan 1300 Trilliun Rupiah karena praktik transfer pricing ini. Bagi Jepang perhatian khusus diberikan untuk penanganan transfer pricing karena tumpuan penerimaan negara Jepang berada pada sektor perpajakan. Tantangan baru dalam hal transfer pricing adalah adanya praktik transfer pricing atas aspek intangible property yang ternyata banyak dilakukan oleh MNC yang saat ini rata-rata basis usahanya adalah intangible property. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui cara penindakan abuse of Transfer pricing dan cara penindakan praktek transfer pricing atas intangible property di Indonesia dan Jepang, serta untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi kesulitan DJP Indonesia dan NTA Jepang dalam menangani praktik transfer pricing atas intangible property. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penindakan transfer pricing di Indonesia berpedoman pada PER DJP Nomor PER-22/PJ/2013 dan SE DJP Nomor SE-50/PJ/2013, sedangkan Jepang berpedoman pada Special Measures Tax Law 1986 yang diikuti NTA Administrative Guidelines, dan Indonesia belum memiliki aturan khusus penindakan transfer pricing atas intelectual property, sedangkan Jepang telah memiliki referensi khusus untuk menindak transfer pricing atas intelectual property, serta diketahui bahwa kesulitan yang dihadapi DJP dan NTA dalam mengatasi transfer pricing atas intangible property sama yaitu kesulitan dalam

ABSTRACT
Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. , Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>