Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145781 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nieke Dewi Sulistiyani
"Pada asasnya Kepailitan merupakan suatu bentuk sita umum yang mencakup seluruh harta kekayaan si debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Melalui sita umum ini, akan dapat dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi yang dilakukan oleh para kreditur secara sendiri-sendiri, kecuali apabila diberikan pengecualian oleh Undang-Undang seperti kreditur Pemegang Hak Tanggungan yang haknya didahulukan. Hak Tanggungan itu ialah suatu hak jaminan istimewa yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi para pemegang Hak Tanggungan tersebut. Jika debitur cidera janji, para kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk mengeksekusi obyek Hak Tanggunggannya berdasarkan kekuatan eksekutorial yang disebut dengan "parate executie" atau menjualdengan kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 21 UUHT dan Pasal 55 ayat (1) Undang¬undang No.37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kepailitan, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Disini, kreditur pemegang Hak Tanggungan, kedudukannya ialah sebagai kreditur seperatis, yaitu kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan sehingga tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya dinyatakan pailit.
Dengan demikian, maka obyek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Meskipun secara prinsip, kepailitan tidak menghalangi dilaksanakannya eksekusi atas jaminan preferent, akan tetapi demi kepentingan boedel pailit dan selama kurator dapat memberikan jaminan perlindungan yang wajar bagi kreditur, berdasarkan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, hak eksekusi kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Keberadaan pasal 56 Undang-Undang No.37 tahun 2004 ini merupakan salah satu pilihan hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, maka keberadaan pasal 56 ini tidak serta merta mengikat para kreditur pemegang Hak Tanggungan. Sebab selaku pemegang Hak Tanggungan, mereka tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya, meskipun debiturnya dinyatakan pailit, sebagaimana diatur dalam pasal 21 UUHT jo pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Jika dilihat dari pihak kreditur pemegang Hak Tanggungan, pilihan untuk memailitkan debitur pemberi Hak Tanggungan adalah tidak menguntungkan. Sebab mereka tidak dapat melakukan eksekusi atas tanah agunannya, dikarenakan hak eksekusi mereka ditangguhkan selama 90 hari, sehingga mereka tidak segera memperoleh pengembalian piutangnya dan selain itu sangat beresiko pula pada berkurangnya hasil likuidasi barang jaminan untuk memenuhi klaim dari kreditor lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Naim Syahrir
"Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji lebih dalam permasalahan yang terdapat pada UUKPKPU. Adapun yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan obyek jaminan Hak Tanggungan dalam hal Debitor dinyatakan pailit dan Bagaimana Akibat Hukum Ketentuan Pasal 59 UUKPKPU Mengenai Jangka Waktu Eksekusi Jaminan Kebendaan Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu berdasarkan pasal 21 UUKPKPU, seluruh harta kekayaan Debitor yang telah ada pada saat pailit ditetapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan menjadi harta pailit, kecuali harta debitor yang secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 22 tidak termasuk sebagai harta pailit. Dengan demikian kedudukan obyek jaminan Hak Tanggungan dalam hal Debitor dinyatakan pailit akan ikut serta menjadi harta (boedel) pailit.
Selain itu, akibat hukum dari ketentuan pasal 59 UUKPKPU adalah 1) terjadi perampasan hak eksekusi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan sebagaimana yang telah dijamin dalam pasal 21 UUHT dan pasal 55 UUKPKPU, 2) tidak sejalan dengan amanah Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945, 3) bertentangan dengan pasal 5 huruf d UU No. 12 tahun 2011, 4) Tidak sesuai dengan asas hak jaminan yang memberikan hak separatis bagi Kreditor pemegang hak jaminan untuk melaksanakan eksekusi secara terpisah tanpa adanya batasan waktu dalam rangka pelunasan utang Debitor, 5) Menimbulkan inefesiensi karena obyek jaminan Hak Tanggungan tersebut akan dieksekusi oleh Kurator dengan cara yang sama sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (1) UUKPKPU yaitu melalui pelelangan di KPKNL, dan 6) turut dikenakan imbalan jasa Kurator yang mengakibatkan nilai obyek Hak Tanggungan ikut berkurang.

The purpose of this study is to examine more deeply the issues contained in UUKPKPU. As the main problem in this research is how the position of the object in terms of collateral Mortgage debtor is declared bankrupt and How Due to Legal Provisions of Article 59 UUKPKPU Regarding Execution Guarantee Period Against Creditors material Encumbrance Holder. The method used is normative research.
The results obtained are based on article 21 UUKPKPU, the entire assets of the debtor that has existed at the time of the bankruptcy are set and everything that was obtained during the bankruptcy into the bankruptcy estate, unless the debtor assets which have limited manner prescribed in Article 22 is not included as a bankruptcy estate. Thus the position of the object of collateral Mortgage in case the debtor is declared bankrupt will participate and become treasure (boedel) bankruptcy.
In addition, the legal effect of the provisions of Article 59 UUKPKPU is 1) occurs deprivation execution creditor Holder Mortgage as guaranteed in Article 21 UUHT and article 55 UUKPKPU, 2) is not in line with the mandate of Article 28 D Paragraph 1 1945, 3) contrary to article 5 letter d of Law No. 12 in 2011, 4) Not in accordance with the principle of security interest which entitles separatists for creditor rights holders a guarantee for the execution separately without any time limits in order repayment of debt the debtor, 5) Potential inefficiency because the object of collateral Mortgage will be executed by the Curator in the same manner as provided for in article 185 (1) UUKPKPU namely through the auction at KPKNL, and 6) also incur a service fee Curator resulting object value Mortgage lessened.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusak Kusuma
"Hak Tanggungan merupakan jaminan yang paling banyak diterima bank sebagai agunan kredit karena memberikan kedudukan yang diutamakan. Dalam Penjelasan Umum UUHT dinyatakan, bahwa Hak Tanggungan merupakan jaminan yang kuat, yang dicirikan dari mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur cidera janji, maka bagi kreditor disediakan acara-acara khusus yang diatur dalam pasal 20 UUHT. Meskipun secara yuridis kedudukan kreditor cukup kuat, tetapi di dalam praktek tidaklah mudah untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan. Tidak sedikit debitor nakal yang berupaya untuk menghambat / menggagalkan pelaksanaan eksekusi, bahkan dengan memanfaatkan lembaga hukum yang ada, seperti lembaga sita jaminan. Adanya sita jaminan menyebabkan kreditor tidak dapat melaksanakan haknya tersebut.
Untuk itu penulis akan meneliti bagaimana implementasi perlindungan hukum bagi kreditor dalam melakukan eksekusi Hak Tanggungan dan apa langkah-langkah antisipasi kreditor untuk mencegah terjadinya sengketa atas obyek Hak Tanggungan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan tipologi penelitian deskriptif.
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek belum sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup kuat bagi kreditor, khususnya apabila obyek Hak Tanggungan diletakkan sita jaminan dalam suatu perkara perdata. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan hukum acara perdata, yang mengatur mengenai sita jaminan terhadap obyek Hak Tanggungan, yaitu bahwa sita jaminan tidak menghambat pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, seperti halnya ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) (JU No. 37 tahun 2004. Sedangkan dari sisi kreditor, dapat melakukan antisipasi dengan memperketat syarat-syarat penerimaan agunan kredit, salah satunya adalah pemberi Hak Tanggungan haruslah debitor itu sendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Dewi Zahara
"Untuk memperoleh kredit diperlukan jaminan. Jaminan yang umum diminta adalah Hak Tanggungan. Karena Hak Tanggungan menekankan adanya kedudukan diutamakan. Demikian halnya dalam kepailitan, walaupun pernyataan pailit mengakibatkan kedudukan yang berimbang bagi para kreditor, akan tetapi sebagai kreditor separates, pemegang Hak Tanggungan tidak terkena akibat kepailitan. Sehingga ia dapat melelang/menjual agunan untuk mengambil pelunasan utang, bahkan bila hasil penjualan tidak mencukupi ia masih berhak menagih sisa piutangnya melalui permohonan hak, seperti yang dimiliki oleh kreditor konkuren, akan tetapi agar dapat menggunakan hak eksekusinya kreditor dimaksud harus menunggu selambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak pernyataan pailit. Selama penangguhan eksekusi yang berbarengan dengan proses kepailitan ada kemungkinan akan timbul dampak, berupa; okupasi ilegal, beralihnya status agunan serta berkurangnya nilai agunan. Selain itu, kewenangan kreditor melelang/menjual agunan dibatasi selambatnya 2(dua) bulan bila terjadi insolvensi. Permasalahan dalam tesis ini adalah kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan dengan adanya lembaga penangguhan eksekusi, Bila penangguhan eksekusi diakhiri oleh karena debitor insolven, apakah hak eksekusi pemegang Hak Tanggungan dapat segera dilaksanakan dan konsistensi UU Kepailitan terhadap kedudukan diutamakan kreditor pemegang Hak Tanggungan, bila dikaitkan antara Pasal 56 dan Pasal 56 A UU Kepailitan dengan Pasal 6 dan Pasal 21 UUHT. Metode penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian hukum normatif, dengan menggunakan tipologi penelitian deskriptif, jenis data primer dan sekunder, alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara, serta metode pendekatan kualitatif. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak lagi diutamakan seratus persen, karena adanya pembatasan jangka waktu bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan sendiri hak eksekusi atas objek Hak Tanggungannya. Dengan demikian UU Kepailitan tidak konsisten terhadap UUHT."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leodi Chandra Hidayat
"ABSTRAK
Dalam Undang-Undang Kepailitan Pasal 55 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa setiap kreditor separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa hak eksekusi kreditor tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk meneliti tentang sinkronisasi dan perbandingan ketentuan hukum. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Adapun pokok permasalahan dalam tesis ini adalah apakah penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan yang dianut oleh Undang-Undang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan, bagaimanakah upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan dalam pelaksanaannya, bagaimanakah perbandingan pengaturan mengenai penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan menurut Undang-Undang Kepailitan Indonesia dan menurut Bankruptcy Code Amerika Serikat. Berdasarkan hasil penelitian asas umum yang berlaku dalam hukum kepailitan belum berjalan selaras dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Ketentuan mengenai upaya perlawanan yang diberikan oleh Undang-Undang Kepailitan belum digunakan. Didapatkan lima perbedaan pengaturan mengenai ketentuan penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan {stay) dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia dengan Bankruptcy Code Amerika Serikat."
2007
T19315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Anggiagita
"Dengan meningkatnya pembangunan yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, hal ini yang menjadi latar belakang lahirnya lembaga jaminan Hak Tanggungan. Skripsi ini menjelaskan mengenai adanya konflik norma di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996 dan juga di dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengakibatkan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai Kreditor Separatis yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dapat tidak terwujud. Perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan undang-undang kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 tentang hak preference seorang kreditor; Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 20 ayat (2) dan (3) tentang eksekusi Hak Tanggungan; Pasal 11 ayat (2) tentang janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk melindungi kreditor ketika debitor wanprestasi, serta ketentuan Pasal 7 tentang asas droit de suite yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap menjamin objeknya sekalipun beralih kepada pihak ketiga sehingga akan tetap menjamin pelunasan piutang kreditor dan Pasal 21 mengenai “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini. Kesimpulan dalam penelitian mengenai perlindungan dan kepastian hukum dalam Pasal-Pasal tersebut dapat tidak terwujud dikarenakan adanya konflik norma dalam Pasal 6 UUHT tentang kewenangan menjual sendiri jaminan kebendaan (Parate Eksekusi) dan ketentuan pada Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU tentang penangguhan eksekusi bagi kreditor separatis dalam hal kepailitan. Penelitian ini bermetodekan yuridis- normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundang-undangan terkait.

Along with the increasing development of economy, also required the provision of substantial funds that requires strong institutions which guarantee the rights and able to provide legal certainty for the concerned parties, in which also encourage the growth of community participation in the development, those are the background of the birth of mortgage guarantee agency. This thesis describes the conflict of norms in the Law No.4 of 1996 regarding Mortgage (UUHT) and also in the Law No 37 of 2004 regarding Bankruptcy Act and the Suspension of Payment (UUKPKPU) that may cause legal uncertainty to the protection of mortgage holder creditor as secure creditor based on Law No. 4 of 1996. The protection and legal certainty for mortgage holder creditor contains in Article 1 paragraph 1 regarding the preference right of a creditor; Article 6, Article 14 paragraph (1), (2), and (3) and Article 20 paragraph (2) and (3) of the mortgage execution; Article 11 paragraph (2) on the provision that must be included in the Deed of Granting Mortgage (APHT) to protect creditor when a debtor defaults, as well as the provision of Article 7 of the principle of droit de suite which states that the object remains guarantee, even if it will be switched to a third party, would still guarantee the repayment of creditors’ accounts and Article 21 that states “In the event of bankruptcy, the mortgage holder is authorized to perform any right acquired under the provisions of this law”. The elements of protection and legal certainty in these articles may not be realized due to conflict norms in Article 6 UUHT regarding the authority to sell collateral material (Parate Execution) and the provision of Article 56 paragraph (1) UUKPKPU regarding suspension of execution for the secure creditor in bankruptcy law. This study applies the juridical-normative method of data collection, focusing on the study of the literature of law and related legislation."
2014
S53488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Budiman
"Dalam rangka menjamin adanya mekanisme penyelesaian sengketa hutang piutang antara kreditor dan debitor secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui lembaga peradilan, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang tersebut merupakan pengganti dari Peraturan Kepailitan (Faillissenient Verordening) Stb. 1905 - 217 jo. 1906 -- 348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 1998. Kepailitan pada intinya adalah sitaan umum atas aset debitor yang ditandai dengan adanya suatu pemyataan pailit terhadap debitor yang dinyatakan dengan suatu putusan pengadilan. Kepailitan mempunyai peranan untuk menyelesaikan bermacam-macam tagihan yang diajukan oleh kreditor-kreditor kepada debitornya yang masing-masing mempunyai karakter, nilai dan kepentingan yang berbeda-beda. Proses dalam kepailitan dapat mengatur perbedan-perbedaan tersebut melalui mekanisme pengkolektifan penagihan piutang sehingga masing-masing kreditor tidak secara sendiri-sendiri menyelesaikan tagihannya. Dalam pelaksanaannya, banyak persoalan-persoalan hukum yang perlu memperoleh penegasan karena undang-undang tidak memberikan definisi secara tegas sehingga timbul penafsiran-penafsiran yang berbeda di antara praktisi hukum, bahkan pengadilan atau Mahkamah Agung sendiri yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Di samping itu, beberapa ketentuan di dalamnya dapat menimbulkan permasalahan berupa kemungkinan benturan-benturan dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan lainnya. Dalam proses kepailitan diatur bahwa setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun demikian, hak eksekusi kreditor dimaksud ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pemyataan pailit diucapkan. Ketentuan tersebut, dalam prakteknya kemungkinan akan menemui benturan khususnya dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut tentunya dapat memberikan dampak yang merugikan bagi kreditor-kreditor tersebut, termasuk kreditor pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan hak-haknya selaku kreditor pemegang hak jaminan. Ketentuan kepailitan bahkah lebih jauh lagi telah tidak memberikan jaminan atau perlindungan bagi kreditor pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan haknya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Utang piutang merupakan hal yang biasa dalam praktek
perekonomian terutama dalam menunjang pertumbuhan ekonomi
negara. Kreditor yang memberikan pinjaman pasti menuntut
kepastian bahwa debitor akan mengembalikan uangnya dan salah
satu kepastian yang diberikan hukum adalah dengan memberikan
hak atas kebendaan tertentu milik debitor untuk menjadi jaminan
pelunasan utangnya. Kreditor jenis ini disebut kreditor
pemegang hak jaminan atau kreditor separatis. Mereka mempunyai
kedudukan yang cukup aman dalam memperoleh pelunasan piutangnya
secara utuh karena mempunyai benda tertentu yang setiap saat
dapat dieksekusi sendiri bila debitor wanprestasi dan mempunyai
kedudukan yang didahulukan. Dalam praktek jaminan seperti ini
sangat disukai. Kepailitan merupakan salah satu proses
pembagian harta debitor pada para kreditor termasuk kreditor
separatis. Dalam undang-undang kepailitan (UUK) pasal 56A
diatur mengenai penangguhan dimana selama jangka waktu 90 hari
kreditor separatis tidak boleh mengeksekusi benda jaminannya.
Selain itu UUK juga memberikan kewenangan pada curator untuk
mengunakan benda jaminan kreditor separatis dan bahkan
menjualnya, karena itu dalam penelitian ini akan dikaji
bagaimana UUK mengatur kedudukan kreditor separatis dalam
memperoleh pelunasan atas piutangnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S21158
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Anisah
"Perlindungan terhadap kepentingan kreditor dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 semakin bertambah tegas. Hal ini dapat dilihat dari semakin tegasnya ketentuan yang mengatur persyaratan permohonan pernyataan pailit, yaitu pengertian utang yang luas; kreditor separatis dan preferen dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa melepaskan hak agunan yang dimiliki dan hak untuk didahulukan; kreditor dapat rnengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang, dan ketentuan tentang lembaga paksa badan (gijzeIing); actio pauliana.
Penelitian ini menjadi penting untuk menjawab beberapa penanyaan. Pertama, bagaimana perkembangan perlindungan terhadap kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan di Indonesia? Kedua, bagaimana sikap Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam usaha melindungi kepentingan kreditor, debitor, dan stakeholders? Ketiga, adakah persamaan dan perbedaan antara hukum kepailitan Barat dengan hukum kepailitan Islam yang melindungi kepentingan kreditor dan debitor? Keempat, bagaimana seharusnya Undang-Undang Kepailitan Indonesia di masa depan untuk melindungi kepentingan kredilor dan debitor?
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan perbandingan hukum. Metode yuridis normatif digunakan untuk menganalisis data yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Pengadilan, serta filosofi perlindungan kepentingan kreditor dan debitor. Perbandingan hukum dilakukan untuk menelusuri persamaan dan perbedaan, dengan menekankan kepada perbandingan sistem hukum yang berbeda pada saat yang sama. Jika terdapat perbedaan istilah atau suatu masalah di antara beberapa sistem hukum, pembahasan menekankan kepada fungsi yang sama dari perbedaan itu. Secara khusus dilakukan perbandingan antara hukum kepailitan Islam dengan hukum kepailitan Barat, untuk mencari hal-hal yang belum terungkap sebelumnya, sebagai bahan-bahan untuk membentuk peraturan perundang-undangan pada masa yang akan datang (futuristic).
Secara substantif Undang-Undang Kepailitan pro kreditor. Hal ini dapat dilihat dari persyaratan permohonan pemyataan yang memudahkan debitor pailit. Penundaan kewajiban pembayaran utang cenderung melindungi kepentingan kreditor, karena jangka waktunya relatif singkat, proses perdamaian ditentukan oleh kreditor, dan terdapat peluang untuk membatalkan putusan perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan tentang sita umum, actio pauliana, dan gijzeling semakin jelas pengaturannya. Namun, implementasinya Iebih berpihak kepada debitor. Buktinya adalah dari 572 permohonan pemyataan pailit ternyata yang dikabulkan kurang dari 50%, atau setiap tahun hanya terdapat sekitar 20 putusan pemyataan pailit. Penyebabnya antara lain pengaturan dalam Undang-Undang Kepailitan ditafsirkan berbeda dari yang dimaksudkan oleh pembentuk Undang-Undang, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dan putusan-putusan Pengadilan dan berkecenderungan Inkonsisten, pada akhirnya menjadi unpredictable. Di samping itu tidak ada peraturan pelaksananya sehingga menyulitkan penegakan Undang-Undang Kepailitan. Banyak persamaan amara hukum kepailitan Islam dengan Barat, sehingga mungkin sekali hukum kepailitan Islam dapat menjiwai pembaruan hukum kepailitan Indonesia, tanpa perlu memisahkan aturan kepailitan untuk menyelesaikan utang piutang yang muncul dari bisnis syariah dan bisnis konvensional.
Undang-Undang Kepailitan indonesia di masa depan seharusnya dibuat untuk melindungi kepentingan kreditor, debitor, dan kepentingan stakeholders. Untuk itu perlu mencantumkan persyaratan insolvency test dalam penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan. Perubahan ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang sebaiknya mengacu kepada Chapter 11 Bankruptcy Code di Amerika Serikat, terutama untuk memberikan kesempaian kepada debitor tetap mengurus perusahaan (Debtor in Posssession). Pembebasan utang seharusnya diberikan kepada debitor perseorangan (natural person), yang mempunyai iktikad baik, jujur, dan bersedia bekerja sama selama kepailitan, namun ia tidak beruntung karena tidak dapat melunasi utang-utangnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
D942
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Utama Hidajat
"Peranan kredit perbankan dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional semakin meningkat sejalan dengan perkembangan perekonomian. Untuk menjamin kepastian pengembalian kredit yang diberikan, diperlukan adanya suatu benda jaminan. Salah satu benda yang dapat dijadikan jaminan kredit adalah hak atas tanah beserta benda/bangunan yang berdiri di atasnya. Dengan telah terjadi unifikasi di bidang hukum jaminan khususnya dengan tanah maka pengikatan jaminan dapat dilakukan melalui lembaga hak tanggungan. Hal ini sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 51 UUPA maka terbentuk Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Pengikatan jaminan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 adalah yang paling memiliki kepastian hukum. Akan tetapi pelaksanaan eksekusi hak tanggungan masih banyak mengalami kesulitan. Penetapan sita jaminan oleh pengadilan juga sangat merugikan pemegang hak tanggungan. Permasalahan dalam penulisan ini adalah tanggung jawab pihak kedua selaku pemberi hak tanggungan mengenai pelunasan utang. Kemudian perlindungan hukum terhadap pemegang hak tanggungan dan alasan putusan pengadilan juga akan dibahas.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, yaitu suatu metode yang menitikberatkan penelitian terhadap segi-segi yuridis dengan menggunakan data kepustakaan sebagai penelitian data sekunder. Tanggung jawab pemberi hak tanggungan terhadap PT. Bank P dan PT. Bank PS sebagai pemegang hak tanggungan tetap ada pada pemberi hak tanggungan dan tidak beralih kepada PT. SA. Sebagai kreditor pemegang hak tanggungan, PT. Bank P dan PT. Bank PS lebih didahulukan dalam pelunasan utang-utangnya daripada kreditor-kreditor yang lain.
Eksekusi atas jaminan pelunasan utang yang diikat dengan hak tanggungan pun lebih mudah dilaksanakan karena disediakan beberapa cara dalam hal eksekusi hak tanggungan. Akta nomor 2 tanggal 17 Nopember 1999 disahkan oleh hakim karena dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan itikad baik, sehingga mengakibatkan perjanjian yang dibuat sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian berlaku dan menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pertimbangan hakim yang lebih mengutamakan kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam Hak Tanggungan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>