Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117979 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isa Meilia
"Sebagai negara maritim yang dikelilingi oleh laut, keberadaan kapal sebagai sarana transportasi air sangat besar pengaruhnya bagi pembangunan Indonesia. Karenanya Pemerintah berupaya mamajukan dan mengembangkan armada niaga nasional. Tentunya, untuk mewujudkan harapan itu diperlukan partisipasi tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari perusahaan pelayaran nasional. Dalam menjalankan usaha dibidang perkapalan, khususnya bagi Perusahaan Pelayaran, sangat diperlukan suatu armada berupa kapal sebagai aset usahanya. Namun dengan adanya krisis ekonomi dan keterbatasan dana, keinginan untuk memiliki dan menguasai suatu kapal dirasakan menjadi suatu hal yang sangat sulit. Keberadaan Perusahaan Pembiayaan Sewa Guna Usaha (leasing) di Indonesia sejak tahun 1974, khususnya yang membiayai pengadaan kapal laut, dirasakan membawa angin segar dan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi eksistensi perusahaan pelayaran nasional. Lembaga pembiayaan leasing kapal di Indonesia kehadirannya dipelopori oleh PT.(Persero) PANN MULTI FINANCE, yang merupakan badan usaha milik negara. Perusahaan pembiayaan ini menyalurkan dana dengan cara membiayai pengadaan barang modal dalam berbagai macam bentuk, namun sehubungan dengan judul tesis ini hanya menitik beratkan pada barang modal berupa kapal laut atas permintaan Perusahaan Pelayaran selaku nasabahnya. Dalam prakteknya, perusahaan pembiayaan ini menyediakan empat macam produk pembiayaan berupa:finance, lease, Operating Lease, Sale and Lease Back dan purchase on Installment. Dari keempat macam produk tersebut, hanya produk Purchase on Installment/ POI (secara harfiah dapat diartikan sebagai pembelian dengan mengangsur) saja yang dapat membebani barang modalnya berupa kapal laut dengan jaminan kebendaan hipotek. Hal itu dikarenakan, telah terjadi transfer of title (perpindahan hak) atas kapal dari PT.PANN selaku Penjual kepada Perusahaan Pelayaran selaku Pembeli, sejak penandatangan Perjanjian Belt Angsur Kapal yang diikuti dengan penyerahan dalam bentuk perbuatan batik nama oleh dan dihadapan Pejabat Pencatat dan Pendaftar Baliknama Kapal. Sejak saat itu secara yuridis Pembeli menjadi Pemilik dari kapal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Syamsiruddin
"Pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan dikatakan bahwa pesawat terbang dan helikopter yang mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek sedangkan ketentuan pembebanan hipotek diatur Iebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanah itulah Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Udara telah melakukan menyusun konsep dan naskah akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Hipotek Pesawat Udara yang oleh penulis coba melakukan analisis apakah rancangan undang-undang tersebut sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Penulis selain membahas hipotek yang merupakan pokok kajian dalam tesis ini juga membahas penggolongan pesawat udara terutama terkait dengan belum jelasnya penggolongan benda sesuai KUHPerdata dari perspektif pesawat udara itu sendiri, belum tersedianya lembaga jaminan dan belum Iengkapnya peraturan-peraturan pelaksana.
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan penelitian lapangan dengan menggunakan wawancara. Dewasa ini praktek pembebanan pesawat udara oleh pihak-pihak terkait ada yang melakukan dengan jaminan fidusia dan hipotek. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 15 Tabun 1992 tidak tegas tetapi mengambangkan dengan cara mempergunakan perkataan "dapat dibebani hipotek" sebagaimana yang ditemukan pada Pasal 12 ayat (1) dan penjelasan yang memungkinkan pembebanan pesawat udara dengan hak jaminan Iainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang beriaku.
Dari analisis yang dilakukan terhadap substansi Rancangan Undang-Undang tentang Hipotek Pesawat Udara yang terdiri dari 8 BAB dan 29 Pasal, menurut hemat penulis sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Namun demikian terhadap lembaga yang berwenang menetapkan pendaftaran hipotek yang diatur pada Pasal 10 Rancangan Undang-Undang menetapkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menurut hemat penulis perlu dibentuk suatu badan atau lembaga yang bersifat independen seperti hainya Badan Pertanahan Nasional pada lembaga jaminan hak tanggungan. Demikian juga perlunya ditetapkan penggolongan hak kebendaan terhadap pesawat udara dalam Rancangan Undang-undang agar lembaga jaminan hipotek sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan memiliki dasar hukum perundangundangan seperti halnya kapal laut yang mempunyai bobot mati 20 M3 digolongkan sebagai benda tidak bergerak dalam Kitab Undang-Undang Dagang. Akhirnya, sebagai konsep awai Rancangan Undang-Undang ini sudah balk secara keseluruhan namun masih memeriukan penjelasan yang Iebih konkrit, pembahasan yang Iebih mendalam sehingga nantinya memberikan suatu kepastian hukum sebagaimana yang ditunggu tunggu masyarakat industri penerbangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliftya Tjakra Susanto
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pengikatan jaminan kebendaan terhadap pesawat di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilaksanakan dan bagaimana urgensi pembentukan lembaga pendaftaran jaminan kebendaan terhadap pesawat di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pesawat merupakan benda bergerak berdasarkan sifat dan hakikatnya di pasal 509 KUHPerdata. Sebagai benda bergerak, pesawat dapat dibebankan jaminan kebendaan sebagai jaminan pelunasan utang. Namun, dalam pelaksanaannya, pesawat sukar untuk dijaminkan dengan gadai mengingat bobot dan ukurannya yang lebih besar dibanding ukuran rata-rata benda bergerak lainnya. Pasal 12 ayat (1) UU Penerbangan 1992 telah mengatur lembaga jaminan terhadap pesawat melalui hipotik. Namun, aturan pelaksanaan hipotik terhadap pesawat tersebut masih belum disahkan hingga keberlakuan UU Penerbangan 2009 yang mencabut keberlakuan UU Penerbangan 1992. Ketentuan yang ada di UU Penerbangan 2009 tidak mengatur secara jelas lembaga jaminan yang dapat dibebankan terhadap pesawat. Ketidakjelasan pengaturan terhadap jaminan pesawat ini menjadikan belum adanya lembaga pendaftaran jaminan kebendaan pesawat di Indonesia sehingga jaminan terhadap pesawat tidak dapat lahir. Sementara itu, aktivitas penerbangan sipil dan kebutuhan akan pesawat udara yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan akan jaminan dalam pembiayaan pengadaaan pesawat juga semakin meningkat. Agar jaminan yang dibebankan atas pesawat ini dapat lahir dan memiliki kekuatan hukum diperlukan suatu lembaga pendaftaran jaminan kebendaan terhadap pesawat. Oleh karena itu, pembentukan lembaga pendaftaran jaminan terhadap pesawat menjadi hal yang penting untuk memberikan kepastian hukum terhadap perlindungan hak kreditur dan pelaksanaan eksekusi terhadap pesawat.

This paper analyzes how the binding of collateral for aircraft in Indonesia based on applicable and implemented laws and regulations in Indonesia and how urgent it is to establish an agency for registering collateral for aircraft in Indonesia. This article was prepared using doctrinal research methods. Aircraft are movable objects based on their nature and essence in Article 509 of the Civil Code. As a movable object, an aircraft can be subject to material collateral as collateral for debt repayment. However, in practice, it is difficult to pledge aircraft as collateral considering their weight and size are greater than the average size of other movable objects. Article 12 paragraph (1) of the 1992 Aviation Law regulates the institution of guarantees for aircraft through mortgages. However, the regulations for implementing mortgages on aircraft have not yet been ratified until the 2009 Aviation Law comes into force, which revokes the 1992 Aviation Law. The provisions in the 2009 Aviation Law do not clearly regulate the collateral institutions that can be imposed on aircraft. This lack of clarity in the regulations regarding aircraft guarantees means that there is no institution for registering aircraft material guarantees in Indonesia so that guarantees for aircraft cannot be issued. Meanwhile, civil aviation activities and the increasing need for aircraft have resulted in the need for collateral in financing aircraft procurement also increasing. For the guarantee imposed on this aircraft to be valid and have legal force, an agency for registering material collateral for the aircraft is required. Therefore, the establishment of an agency for registering collateral for aircraft is important to provide legal certainty regarding the protection of creditors' rights and the execution of aircraft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Lareka Putri
"Dalam jaminan atas tanah, terdapat lembaga khusus yang mengatur ketentuan mengenai jaminan hak atas tanah, yaitu lembaga Hak Tanggungan dan telah diatur dalam suatu perundang - undangan khusus, yaitu Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Adanya lembaga khusus tersebut beserta peraturan yang ada berfungsi untuk melindungi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan agar mempunyai kedudukan yang kuat. Namun karena semakin tingginya persaingan bank, sehingga bank sudah kurang memperhatikan, tidak mematuhi dan mengikuti lagi peraturan - peraturan yang ada. Untuk meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah selaku debitur dalam proses pemberian kredit, terutama kredit kecil atau kredit mikro, dalam penjaminan hak atas tanah, bank meniadakan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Tesis ini mengangkat pokok permasalahan, seperti bagaimana penjaminan tanah tanpa dibuatnya SKMHT maupun APHT dalam proses perkreditan, serta bagaimanakah penyelesaiannya apabila terdapat kredit macet dengan jaminan tanah yang tidak dibuatkan SKMHT maupun APHT. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, tesis ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan terhadap hukum positif tertulis dalam suatu perundang - undangan, untuk mengetahui kesesuaian terhadap praktek yang di lapangan mengenai penjaminan tanah dalam proses perkreditan mikro terkait dengan peraturan di dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa praktek yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, dengan tidak melaksanakan peraturan yang ada jelas bank tidak memanfaatkan perlindungan yang telah diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan. Begitu pula mengenai terjadinya kredit macet, bank tentunya kesulitan untuk melakukan pencairan jaminan hak atas tanah, terlebih apabila nasabah tidak lagi kooperatif. Karena belum dibuatnya SKMHT maupun APHT, sehingga tentunya berakibat tidak dapat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan, sehingga secara otomatis tidak terbitnya sertifikat Hak Tanggungan, yang mengakibatkan bank tidak menjadi kreditur preferen.

In relation to this, a special institution celled the Mortgage Agency (Lembaga Hak Tanggungan) has been established which is regulated by a special law namely Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. The main purpose of this institution and related regulations is to protect the creditors as the holder of Mortgage Right, thus giving them a strong legal basis. However, highly intense competition between banks forces them to disregard those regulations. To keep the costs a debtor has to spend to get a loanat a minimum, particularly for small and micro enterprises, when using land as a collateral, some banks no longer issue a Power of Attorney to Charge for the Rights of Land Mortgage (SKMHT) and Deed of Grant of Mortgage (APHT).
This thesis analyzes the process of obtaining bank loans which involves the practice of making land mortgages without issuing SKMHT or APHT. This thesis also identifies the bank’s strategies to settle bad loans involving land mortgages made without SKMHT or APHT. To analyze those problems, this thesis applies juridical-normative approach, in which a codified positive law is examined to measure the relevance between the applicable law and the real practice of land mortgage in the loan process with reference to Law Number 4 of 1996 on Mortgage Right.
Results show that loan practices are not in compliance with the regulations stated in Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. By not abiding to the applicable law, the bank denies itself the protection provided by the Mortgage Right Law. If bad loans do occur, which requires them to apply for Mortgage Rights first, especially when the debtor is no longer cooperative. The absence of both SKMHT and APHT prevents the bank from appliying the Mortgage Rights, which effectively prevents them from obtaining the Mortgage Right certificate. This will certainly risk the bank’s reputation as a credible creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Inggrid Hartanto
"Gadai yang diatur pada Pasal 1150-1160 KUH Perdata merupakan jaminan kebendaan bagi benda bergerak, hal mana dengan ini dapat digunakan untuk saham yang berkedudukan sebagai benda bergerak berdasarkan Pasal 60 ayat (1) Undang- Undang Perseroan Terbatas. Keberadaan jaminan mendorong pemberian kredit, dan pemberian kredit berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran negara. Meskipun demikian, seiring dengan kemajuan masyarakat dewasa ini, pengaturan gadai dalam KUH Perdata sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ditemukan juga bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan di Indonesia per tahun
2019 cukup rendah, hanya 6% lelang eksekusi dari total non-performing loan perbankan, hal mana eksekusi ini masih didominasi oleh Hak Tanggungan. Di sisi lain, Singapura yang kerap kali menggunakan saham sebagai objek jaminan memperoleh nilai tertinggi dalam indikator penilaian “enforcing contracts” Doing Business yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2020. Penulis dengan ini bertujuan membandingkan pengaturan gadai saham dengan mortgage over shares dan melihat apakah Indonesia dapat mencontoh pengaturan Singapura.

Pledge, as regulated under Article 1150-1160 of Indonesian Civil Code, is a type of security interest available for movable property. Shares, indicated as a movable property by the Article 60 paragraph (1) Law No. 40 of 2007 as amended by Law No. 11 of 2020, is therefore applicable for pledge. The existence of security encourages the provision of credit, and the provision of credit has the potential to increase economic growth and prosperity of a country. However, in contrast to the progress of today’s society, the arrangement of pledge in the Indonesian Civil Code is more than 100 years old. In addition to that, the execution of security rights as of 2019 can also be said to be low, only 6% of the execution auction of all the nonperforming bank loans, of which is still dominated by Mortgage. Singapore, on the other hand, recognize shares as a collateral object and also received the highest score in the Doing Business “enforcing contracts” assessment indicator issued by the World Bank in 2020. The author hereby aims to compare the arrangement of pledged shares of Indonesia with mortgage over shares of Singapore and see if Indonesia can emulate the Singapore arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawati Syamsiyah
"Kemajuan dalam bidang perkreditan pada saat ini telah meluas sampai ke kota-kota kecil yang meliputi rakyat pengusaha kecil pada umumnya, sehingga sektor perbankan harus meningkatkan kinerja usahanya dalam rangka pemberian kredit pada para pengusaha. PT. BRI (Persero) sebagai salah satu lembaga perbankan dalam menyalurkan kredit nya selalu memperhatikan asas perkreditan yang sehat serta penilaian seksama terhadap calon debiturnya. Upaya itu bertujuan untuk mencegah dan mengurangi resiko PT. BRI (Persero) sebagai pihak kreditur apabila debitur wanprestasi. Oleh karena itu peranan jaminan dalam pemberian kredit sangat berarti karena dapat memberikan rasa aman dan secara yuridis memberikan kepastian hukum bagi kreditur dalam pengembalian kredit. Dengan lahirnya lembaga Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah sejak 9 April 1996, jaminan yang paling diutamakan oleh bank BRI adalah jaminan Hak Tanggungan dengan pertimbangan bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, ada nya bukti yang kuat berupa sertipikat dan selain itu jaminan Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang lebih diutamakan kepada bank BRI selaku kreditur pemegangnya. Pihak bank selaku kreditur dan para pengusaha sebagai pihak debitur mengharapkan agar lembaga Hak Tanggungan dapat memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan masalah perkreditan dengan mudah dan lancar sehingga dalam hal ini harus ada kerjasama yang baik dengan instansi agraria. Peranan instansi agraria dalam proses pembebanan jaminan Hak Tanggungan sangat penting terutama pada proses pendaftaran Hak Tanggungan yaitu untuk memberikan pelayanan yang cepat dan proses yang mudah bagi calon pemegang dan pemberi Hak Tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Tania
"Penghimpunan dana masyarakat di bank BNI per juni 1998 meningkat 207,90 % melampaui pertumbuhan rata-rata simpanan masyarakat sektor perbankan sebesar 185,25 %, pertumbuhan rata- rata perbankan pemerintah 14 1,08 % dan rata-rata perbankan swasta 95,51 %. Hal itu menunjukkan dimasa krisis seperti sekarang ini kepercayaan masyarakat terhadap bank BNI justru semakin meningkat. Salah satu produk dari bank BNI adalah SERTI PLUS. SERTIPLUS ini berbentuk dalam lembaran-lembaran bilyet, diterbitkan kepada pembawa, dapat diperjualbe =likan, dan dapat dijadikan jaminan kredit. Bila dillhat bentuknya, SERTIPLUS ini dapat dimasukkan kedalam kelompok Surat Berharga . Menurut KUHPerdata, SERTIPLUS ini masuk kedalam Benda Bergerak yang Tidak Berwujud, yakni berupa piutang kepada pembawa. SERTI PLUS sebagai Benda Bergerak Yang Tidak Berwujud bila hendak dijadikan jaminan kredit maka pengikatannya harus dilakukan dengan cara gadai. SERTIPLUS dapat dijadikan sebagai jaminan tambahan dalam pemberian Cash Collateral Credit. Prosedur penggadaian SERTIPLUS ini pertama-tama dibuat perjanjian pokoknya yakni perjanjian hutang-piutang/perjanjian kredit, lalu dibuat perjanjian penggadaiannya. Selanjutnya SERTIPLUS yang digadaikan itu harus diserahkan kepada kreditur (penerima gadai), penyerahan tersebut merupakan syarat sah terjadinya gadai. Berakhirnya perjanjian gadai SERTIPLUS ini adalah apabila perjanjian kreditnya telah dilunasi oleh debitur (pemberi gadai) atau apabila ada penggantian barang yang dijadikan jaminan oleh debitur (pemberi gadai. Apabila debitur wanprestasi atau tidak melunasi hutangnya kepada kreditur, maka kreditur (Bank BNI) akan menegurnya secara tertulis maksimal 3 kali, apabila debitur tidak menghiraukannya, maka kreditur akan mencairkan bilyet SERTIPLUS tersebut, hal ini disebut dengan Parate Eksekusi (pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata) yakni hak yang dimiliki oleh penerima gadai (kreditur) untuk mengeksekusi barang yang dijaminkan padanya tanpa melalui perantaraan hakim (pengadilan) jika pemberi gadai (debitur) wanprestasi. Dengan Parate eksekusi, maka perselisihan antara Bank BNI (kreditur) dan debitur dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya yang ringan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Puspita Sari
"Sebagai salah satu bank komersial, Bank Rakyat Indonesia (Persero), seperti juga bank lainnya membuka kesempatan luas bagi masyarakat umum untuk mendapatkan pinjaman untuk berbagai bidang. Namun demikian, masyarakat (nasabah) yang akan menjadi debitor tidak serta merta dapat langsung mendapakan pinjaman. Bagi mereka yang nantinya akan menjadi debitor harus terebih dahulu memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan kredit. Syarat terpenting dalam mendapatkan kredit di BRI haruslah memiliki agunan (jaminan). BRI menetapkan beberapa macam lembaga jaminan, antara lain Hak Tanggungan Fidusia, Gadai, Penanggungan, dan Hipotik Kapal. Dalam prakteknya BRI menetapkan lembaga Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan yang paling utama untuk mendapatkan pinjaman. Lembaga jaminan lain juga bisa dijadikan jaminan di BRI untuk mendapatkan kredit, namun prioritas tetap diberikan kepada lembaga Hak Tanggungan. Alasannya adalah selain Hak Tanggungan telah diatur secara jelas dalam UU tersendiri (UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah), juga karena karena ekseskusi nya yang mudah. Meskipun Bri telah membuat aturan yang tegas mengenai prosedur pemberian kredit , kadang kala masih terjadi kredit bermasalah. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya kredit bermasalah di BRI. Untuk itu BRI berusaha untuk selalu mengantisipasinya dengan berbagai cara, antara lain pertama, aturan yang tegas mengenai prosedur pemberian kredit, kedua, meningkatkan kualitas personil (pegawai} BRI terutama yang berkaitan dengan masalah kredit, dan terakhir mengantisipasi bila timbulnya kredit bermasalah. BRI selalu mengantisipasi munculnya kredit bermasalah dan menanganinya dengan semaksimal mungkin agar jangan sampai merugikan BRI sendiri sebagai kreditur tetapi juga kepada nasabahnya yang menjadi debitur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21113
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munir Fuady
"Summary:
On mortgages based on Indonesian laws and regulations"
Ciracas, Jakarta: [publisher not identified], [date of publication not identified]
346.046 MUN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman
Bandung: Alumni, 1985
346.04 ABD b (3)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>