Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176551 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fedry Yance
"Pembesaran Prostat Jinak ( PPJ ) merupakan penyakit yang tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini mengenai laki-laki terutama mulai dari dekade kelima dan prevalensinya meningkat dengan makin bertambahnya umur. Gejala pada PPJ berhubungan dengan meningkatnya jumlah sel-sel epitel dan peningkatan tonus otot polos yang berada pada kelenjar prostat, leher kandung kemih dan kapsul prostat yang diatur oleh saraf otonom. Pada awalnya pembesaran prostat tersebut menekan uretra dan selanjutnya dapat mengalami herniasi ke dalam kandung kemih yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan aliran kencing lebih lanjut.
Ezz, et al melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara gejala gangguan berkemih dengan besarnya volume prostat. Data dari Olmstead County Study of Urinary Symptoms and health Status Among Men mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara besamya volume prostat dengan terjadinya gejala-gejala gangguan berkernih, pancaran urin dan kemungkinan terjadinya retensio urin pada pasien PPJ. Menurut data tersebut, pancaran urin maksimal yang rendah secara bermakna berhubungan dengan beratnya gejala gangguan berkemih dan besamya volume prostat.
Penonjolan prostat ( protrusi ) ke dalam kandung kemih dapat diukur dengan ultrasonografi ( USG ) transabdominal. Menurut Poo terdapat korelasi antara tingkat protrusi prostat intravesika dengan beratnya obstruksi. Melihat adanya perbedaan di atas maka dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kejadian retensi urin pada pasien PPJ dengan besarnya volume prostat dan tingkat protrusi prostat intravesika
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besarnya volume prostat yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan berkemih pada pasien PPJ dan adakah hubungan antara besarnya volume prostat dengan terjadinya retensi urin. Juga dievaluasi hubungan antara terjadinya retensi urin dengan protrusi prostat intravesika.
PPJ adalah kelainan berupa kelenjar prostat yang mengalami hiperplasia terutama kelenjar periuretral. Jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Bila pembesaran tersebut mendesak ke arah luar dari uretra pars prostatika maka tidak menimbulkan gejala. Tetapi jika mendesak ke dalam uretra, akan menekan uretra dan menimbulkan gejala sumbatan saluran kencing bagian bawah. Pembesaran prostat dapat terjadi pada lobos medius sehingga menimbulkan penonjolan ( protrusi ) ke dalam kandung kemih yang dapat dideteksi dengan USG transabdominal. Protrusi prostat ini dapat mengganggu proses pengosongan urin di dalam kandung kemih pada waktu berkemih.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Safendra
"OBJECTIVE: To determine if Intravesical prostatic protrusion (IPP), total prostate volume, transition zone volume and transition zone index is correlated with the severity of clinical benign prostatic hyperplasia.
PATIENTS AND METHODS: From January to May 2005, 56 patients with symptom of BPH were enrolled in this study. All patients were requested to undergo urofiowmetry, postvoid residual urine measurement and international Prostate Symptom Score (IPSS). TRUS was used to calculate the total prostate volume, transition zone (ZT) volume and the transition zone index (TZ index = TZ volume/total prostate volume). And IPP was measured by transabdominal ultrasonography.
RESULT: There were a significant correlation between IPSS and post void residual with total prostate volume, transition zone, transition zone index and intravesical prostatic protrusion. Only transition zone and transition zone index were significant correlation with Q max. Strongest correlation in IPSS and postvoid residual was transition zone (ZT) volume (r = 0.480 and r = 0.621 ) in Q max was transition zone index (r = 0.508).
CONCLUSION : From this study there were correlation between intravesical prostatic protrusion, prostate volume, transition zone volume and transition zone index however the correlation is weak.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Cahya Kurnia
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pembesaran Prostat Jinak merupakan salah satu penyakit yang
umum ditemukan pada pria lanjut usia, berakibat pada pembesaran prostat, obstruksi muara buli dan gejala saluran kemih bawah. Namun gejala dan obstruksi yang terjadi tidak seluruhnya bergantung pada ukuran prostat. Protrusi prostat intravesika telah ditemukan berkorelasi dengan obstruksi buli. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai hubungan antara protrusi prostat intravesika, prostat specific antigen, dan volume prostat, serta mana dari ketiganya yang merupakan prediktor terbaik untuk menunjukkan adanya obstruksi muara buli yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak.
Metode: Sebuah studi prospektif pada 118 pasien pria diperiksa antara Januari 2012 sampai Juli 2012. Pasien pria berusia lebih dari 40 tahun yang datang dengan LUTS dan dicurigai menderita BPH dipilih untuk mengikuti studi. Mereka dievaluasi dengan digital rectal examination (DRE), International Prostate Symptoms Score (IPSS), serum total PSA, uroflowmetri, pengukuran urin residu postvoid, Intravesical Protrusion Prostate (IPP) dan Prostate Volume (PV), menggunakan USG transabdominal.
Hasil: PV, IPP dan PSA menunjukkan korelasi paralel. Ketiga indikator menunjukkan korelasi yang baik dalam mendeteksi obstruksi muara buli yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Analisis statistik menggunakan tes Chi square dan Spearman?s Rank correlation test. Kurva Receiver Operator Characteristic (ROC) digunakan untuk membandingkan korelasi PSA, PV dan IPP dengan BOO. Angka rerata PSA ditemukan lebih tinggi signifikan pada pasien yang mengalami obstruksi (8.6 ng/mL;0.76-130) dibandingkan dengan yang tidak mengalami obstruksi (6.44 ng/ml;1.0-40.6). Angka rerata volume protat juga ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan obstruksi (50.33 mL±24.34) dibandingkan yang tidak mengalami obstruksi (50.33 mL ±24.34). Angka rerata IPP juga ditemukan lebih tinggi signifikan pada pasien obstruksi (7.29±2.78) dibandingkan dengan yang tidak mengalami obstruksi (6.59±2.93). Koefisien korelasi rho spearman adalah 0.617, 0.721 dan 0.797 untuk PSA, PV, dan IPP.
Dengan menggunakan kurva karakteristik receiver-operator, daerah di bawah kurva ditempat secara berturut-turut oleh PSA, PV, dan IPP yaitu 0.509, 0.562, dan 0.602. Nilai prediktif positif dari PV, PSA dan IPP adalah 59.7%, 55.6%, dan 60.2%. Menggunakan model regresi nominal, IPP tetap menjadi indeks independen utama untuk menentukan BOO yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Kesimpulan: Prostat Specific Antigen, Prosat Volume dan Intravesical Prostatic Protrusion diukur dengan menggunakan ultrasonografi transabdominal, merupakan metode yang noninvasif dan mudah didapat yang sangat berkorelasi dengan obstruksi muara buli (bladder outlet obstruction/BOO) pada pasien dengan pembesaran prostat jinak, dan korelasi IPP lebih kuat dibandingkan PSA dan PV.
Ketiga indikator non invasif ini berkorelasi satu dengan lainnya. Studi ini menunjukkan bahwa IPP merupakan prediktor yang lebih baik untuk BOO
dibandingkan PSA atau PV.

ABSTRAK
Introduction: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is one of the most common diseases in elderly men. Benign prostatic hyperplasia may lead to prostatic enlargement, bladder outlet obstruction (BOO) and lower urinary tract symptoms (LUTS). But the symptoms and obstruction do not entirely depend on the size of prostate. In contrast, intravesical prostatic protrusion (IPP) has been found to correlate with BOO. This study will define the relationship between intravesical prostatic protrusion (IPP), prostate specific antigen (PSA) and prostate volume (PV) and also determine which one of them is the best predictor of bladder outlet obstruction (BOO) due to benign prostatic enlargement.
Method: A prospective study of 118 male patients examined between Januari 2012 until July 2012 was performed. Male patients aged more than 40 years
presenting with LUTS and suggestive of BPH were selected for the study. They were evaluated with digital rectal examination (DRE), International Prostate Symptoms Score (IPSS), serum total PSA, uroflowmetry, postvoid residual urine measurement, Intravesical Protrusion Prostate (IPP) and Prostate Volume (PV) using transabdominal ultrasound.
Results: PV, IPP and PSA showed parallel correlation. Although all three indices had good correlation in detecting bladder outlet obstruction caused by benign prostate hyperplasia. Statistical analysis included Chi square test and Spearman?s Rank correlation test. Receiver Operator Characteristic (ROC) curves were used to compare the correlation of PSA, PV and IPP with BOO. Mean prostate specific antigen was significantly higher in obstructed patients (8.6 ng/mL; 0.76-130) compared to non-obstructed patients (6.44 ng/mL; 1.0-40.6). Mean prostate
volume was significantly larger in obstructed patients (50.33 mL ± 24.34) compared to non-obstructed patients (45.39 mL ± 23.43). Mean IPP was significantly greater in obstructed patients (7.29 ± 2.78) compared to nonobstructed patients (6.59 ± 2.93). The Spearman rho correlation coefficients were 0.617, 0.721 and 0.797 for PSA, PV and IPP, respectively. Using receiveroperator characteristic curves, the areas under the curve for PSA, PV and IPP were 0.509, 0.562 and 0.602, respectively. The positive predictive values of PV, PSA and IPP were 59.7%, 55.6% and 60.2%, respectively. Using a nominal
regression model, IPP remained the most significant independent index to determine BOO caused by benign prostate hyperplasia. Conclusion: Prostate Specific Antigen, Prostate volume & intravesical prostatic protrusion measured through transabdominal ultrasonography are noninvasive and accessible method that significantly correlates with bladder outlet obstruction in patients with benign prostatic hyperplasia and the correlation of IPP is much more stronger than PSA and PV. All three non-invasive indices correlate with one another. The study showed that IPP is a better predictor for BOO than PSA or PV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mars Dewi Tjahjo
"Tujuan : Biopsi prostat transrektal telah menjadi baku emas untuk diagnosis kanker prostat. Beberapa penelitian melaporkan keluhan nyeri dan ketidaknyamanan pasien akibat tindakan tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk evaluasi toleransi pasien terhadap nyeri dengan visual analog scale (VAS) yang dilakukan biopsi prostat.
Metode : Dilakukan studi prospektif keluhan nyeri menggunakan VAS pada pasien yang dilakukan biopsi prostat sejak bulan Juli 2002 hingga Januari 2003 dan dievaluasi faktor-faktor yang mungkin berpengaruh yaitu : usia, retensi urin, lekosituri, echostruktur dan pelebaran vena periprostat. Analisa statistik menggunakan SPSS ver 11.5.
Hasil : Terdapat 40 pasien yang dilakukan biopsi prostat sextant dengan usia rata-rata 65,85 ± 8,00 tahun. Nilai median prostate spesific antigen (PSA) 14.0 ng/ml (antara 6.4 - 448 nglml). Dengan transrektal ultrasonografi diperoleh volume prostat rata-rata 54.30 cc (antara 22 - 137 cc). Pada evaluasi keluhan nyeri yang dirasakan penderita dengan menggunakan skor VAS saat dilakukan biopsi sebanyak 31 orang (77.5%) menyampaikan keluhan nyeri sedang sampai berat dengan nilai median VAS lima.. Terdapat hubungan antara usia penderita dengan keluhan nyeri yang dirasakan (p<0.05) dimana pasien yang berusia lebih Bari 66 tahun merasakan keluhan nyeri yang lebih berat. Dari studi ini juga didapatkan hubungan yang bermakna antara keluhan nyeri yang dirasakan dengan adanya pelebaran vena periprostat. (p= 0,019).
KesimpuIan : Walaupun 77.5% pasien mengeluh nyeri tetapi pada keseluruhan pasien dilakukan biopsi secara lengkap (enam kali). Faktor usia dan pelebaran vena periprostat mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluhan nyeri yang dievaluasi dengan VAS.

Purpose : Transrectal ultrasound guided prostate biopsy has become the gold standard for diagnosing prostate cancer however there are several studies reporting pain and discomfort of the patient who underwent prostate biopsy. This study was conducted to evaluate the tolerance to pain with visual analog scale (VAS) in patients who underwent prostate biopsy.
Material and Methods : From July 2002 to January 2003 all patient who underwent sextant prostate biopsy were evaluated and the degree of pain using visual analog scale were recorded. We evaluated characteristic of the patients such as age, urine retention, leukosituria, echostructur of the prostate and dilatation periprostatic vein. Statistical analysis were performed using SPSS ver 11.5.
Result : Forty patients with mean age 65,85 ± 8,00 years underwent sextant prostate biopsy. The median prostate spesific antigen (PSA) was 14.00 ng/ml (range 6.4 - 448 nglml), and mean prostate volume was 54.30 cc (range 22 - 137 cc). Most of patients have moderate to severe pain (77.5%) with median visual analog scale (VAS) was five when underwent prostate biopsy. There was correlation between degree of pain for patients with age more than 66 years old (p< 0.05), and the prescense of periprostatic vein dilatation (p < 0.05).
Conclution : Although 77.5% of the patient have moderate to severe pain, but the procedure was done completely. Existence periprostatic vein dilatation of prostate have positive correlation with degree of pain using VAS. Older patient have less tolerance to pain cause by biopsy of the prostate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T57936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Ciko Ade Putra
"ABSTRAK
Untuk mengidentifikasi faktor prediktor seperti PSA, usia, volume prostat, dan densitas PSA (PSAD) sebagai indikasi untuk melakukan biopsi prostat yang dipandu dengan TRUS dalam mengurangi biopsi yang tidak perlu dan meningkatkan tingkat deteksi. Sebanyak 1232 sampel didapatkan dari rekam medis pasie yang dilakukan biopsiprostat dari Januari 2008 sampai Desember 2013 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Diantara 1232 pasien, 33,5% memiliki hasil biopsi yang positif. Nilai median dari usia dan PSA (68 tahun dan 57,45 ng/ml) pada grup dengan biopsi positif lebih tinggi dari grup biopsi negative (65 tahun dan 11,69 ng/ml), p< 0,001. PSAD pada pasien dengan PSA 4-10 ng/ml, 10-20 ng/ml, dan 20 ng/ml (0.20, 0.35, 2.05) pada grup positif lebih tinggi dari grup negative (0.14, 0.24, 0.53), p < 0,001. Hasil pada grup dengan hasil biopsi positif memiliki volume prostat yang lebih rendah (42 ml), dibandingkan pada grup biopsi yang negative (55,4 ml), p < 0,001. Pada kurva ROC, PSAD memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi (81.4% dan 82.0%) dengan cut-off point 0,43, p < 0,001. Insidensi PCa meningkat dengan nilai PSA yang lebih tinggi, usia yang lebih tua, dan volume prostat yang lebih kecil. Penggunaan PSAD 0,17 ng/ml sebagai cut-off point pada pasien dengan tingkat PSA antara 4-10 ng/ml direkomendasikan untuk meningkatkan deteksi PCa pada laki-laki di Indonesia

ABSTRACT
To identify the predictor factors such as PSA, age, prostate volume (PV), and PSA Density (PSAD) as indications to perform TRUS guided prostate biopsy in reducing unnecessary biopsies and improving detection rate. 1232 samples were obtained from the medical records of patients underwent prostate biopsy from January 2008 to December 2013 in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Statistical analysis was performed with Mann-Whitney test and unpaired t test for the quantitative variables. Chi-square test was used for qualitative variables. This study also conducted Receiver Operating Characteristic (ROC) curve to determine the cut-off point and the optimum specificity and sensitivity for each variable. Among 1232 patients, 33.5% had positive biopsy result. The median age and PSA (68 years and 57.45 ng/ml) in positive biopsy group was higher than negative group (65 years and 11.69 ng/ml), p < 0.001. PSAD in patients with PSA 4-10 ng/ml, 10-20 ng/ml, and 20 ng/ml (0.20, 0.35, 2.05) in positive group was higher than negative group (0.14, 0.24, 0.53), p < 0.001. Positive biopsy result has lower PV (42 ml) compared to negative biopsy (55.4 ml), p < 0.001. In ROC curve, PSAD had the highest sensitivity and specificity (81.4% and 82.0%) with cut-off point 0.43, p <0.001. The Incidence of PCa increased with higher PSA level, older age and lower PV. Utilization of PSAD 0.17 ng/ml/ml as cut-off point in patients with PSA level between 4 -10 ng/ml is recommended to improve PCa detection in Indonesian men."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supit, Wempy
"Pendahuluan: Saat ini belum ada publikasi tentang hasil radioterapi eksterna (RT) pada kanker prostat lokal atau lokal-lanjut di Indonesia.
Metode: Studi retrospektif ini meneliti 96 pasien dengan kanker prostat lokal atau lokal-lanjut yang mendapat terapi radiasi dari tahun 1995-2009, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais, Indonesia. Jenis / dosis kumulatif radiasi prostat dan pelvis pada 84,4% pasien sebesar <70Gy dengan RT konvensional, dan pada 15,6% pasien diberikan dosis ≥70Gy dengan three dimensional-conformal RT atau intensity modulated RT. Sintasan Overall survival (OS) dan biochemical progression-free survival (BFS) diestimasi dengan Kaplan-Meier. Faktor-faktor prediksi dari OS dan biochemical recurrence dianalisis dengan Multivariate Cox regressions.
Hasil: Median durasi follow-up adalah 61 bulan (rentang, 24-169 bulan). Diantara seluruh kasus kanker prostat, terdapat 3,1% risiko rendah, 26% risiko sedang, dan 70,8% risiko tinggi. Lebih dari separuh pasien (52,1%) memiliki nilai Prostatespecific antigen (PSA) sebelum terapi >20 ng/ml. Angka sintasan 5 tahun pada pasien-pasien dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi, secara berurutan adalah: OS, 100%, 94,7%, 67,9% (P=0,297); dan BFS, 100%, 94,1%, 57,1% (P=0,016). Pada kelompok risiko tinggi, didapatkan OS 5 tahun 88,3% pada pasien yang mendapatkan terapi adjuvan hormonal androgen deprivation therapy (HT), dibandingkan dengan 53% pada pasien yang mendapat terapi radiasi saja, P =0,08. Faktor prediksi yang signifikan pada OS meliputi kelompok risiko tinggi (hazard ratio [HR], 9,35; confidence interval [CI] 95%, 1,52-57,6; P=0,016), terapi adjuvan (HR, 0,175; 95% CI, 0,05-0,58; P=0,005), deteksi dengan transurethral resection of the prostate (TUR-P) (HR, 6,81; 95% CI, 2,28-20,33; P=0,001), dan nilai PSA sebelum terapi (HR, 1,003; 95% CI, 1,00-1,005; P=0,039). Satu-satunya faktor prediksi biochemical failure adalah PSA sebelum terapi (P=0,04), dengan odds ratio 4,52 (95% CI, 1,61-12,65) untuk PSA > 20 ng/ml.
Kesimpulan: RT merupakan modalitas yang efektif untuk terapi kanker prostat lokal atau lokal-lanjut di Indonesia, dengan hasil dan faktor prediksi yang konsisten dengan publikasi di tempat lain. Faktor prediksi dari hasil yang lebih buruk meliputi kelompok risiko tinggi, PSA sebelum terapi yang lebih tinggi, temuan insidental pada TUR-P, dan tidak diberikannya terapi adjuvan HT. Terapi adjuvan hormonal secara signifikan meningkatkan sintasan pada pasien dengan risiko tingggi.

Introduction: Presently there is no published data on the outcomes of localized or locally-advanced prostate cancer (PCa) treated by external-beam radiotherapy (RT) in Indonesia.
Methods: This study retrospectively analyzed 96 patients with localized or locally-advanced PCa treated by RT from year 1995 to 2009, at the national referral hospital and the national cancer hospital of Indonesia. Cumulative prostate and pelvic radiation dose/ type was <70 Gy conventional RT in 84.4% patients, and ≥70 Gy Three dimensional-conformal or intensity modulated RT in 15.6% patients. Overall survival (OS) and biochemical progression-free survival (BFS) were estimated by Kaplan-Meier. Predictors of OS and biochemical recurrence were analyzed by multivariate Cox regressions.
Results: The median follow-up was 61 months (range, 24 to 169 months). There were 3.1% low-risk, 26% intermediate-risk, and 70.8% high-risk cases. More than half of the patients (52.1%) had pretreatment prostate specific antigen (PSA) >20 ng/mL. The 5-year survival outcome of low-risk, intermediate-risk, and high-risk patients were: OS, 100%, 94.7%, and 67.9% (P=0.297); and BFS, 100%, 94.1%, and 57.1% (P=0.016), respectively. In the high-risk group, the 5-year OS was 88.3% in patients who received adjuvant hormonal androgen deprivation therapy (HT), compared to 53% in RT only, P=0.08. Significant predictors of OS include high-risk group (hazard Ratio [HR], 9.35; 95% confidence interval [CI], 1.52 to 57.6; P=0.016), adjuvant therapy (HR, 0.175; 95% CI, 0.05 to 0.58; P=0.005), detection by transurethral resection of the prostate (TUR-P) (HR, 6.81; 95% CI, 2.28 to 20.33; P=0.001), and pretreatment PSA (HR, 1.003; 95% CI, 1.00 to 1.005; P=0.039). The sole predictor of biochemical failure was pretreatment PSA (P=0.04), with odds ratio of 4.52 (95% CI, 1.61 to 12.65) for PSA >20 ng/mL.
Conclusions: RT is an effective treatment modality for localized or locally advanced PCa in Indonesian patients, with outcomes and predictors consistent to that reported elsewhere. Predictors of poorer outcomes include high-risk group, higher pretreatment PSA, incidental detection by TUR-P, and lack of adjuvant HT. Adjuvant hormonal therapy significantly improve the survival of high risk patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gad Datak
"Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respons relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan pasien yang dapat mengurangi nyeri pasca bedah. Relaksasi Benson berfokus pada kata atau kalimat tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme yang teratur disertai sikap pasrah kepada Tuhan sesuai dengan keyakinan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas Relaksasi Benson dalam menurunkan nyeri pasien pasca bedah TUR Prostat. Metode penelitian ini adalah quasi-eksperimental dengan pre test and post test design with control group. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Jumlah sampel 14 orang, 7 orang kelompok intervensi dan 7 orang kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan kombinasi Relaksasi Benson dan terapi analgesik dan kelompok kontrol hanya diberikan terapi analgesik. Intervensi Relaksasi Benson dilakukan setelah pemberian analgesik dengan durasi 15 menit setiap hari selama dua hari. Sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan pengukuran nyeri dengan Numeric Rating Scale. Sehari sebelum operasi dan sehari sesudah operasi diukur kecemasan menggunakan Visual Analog Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi Relaksasi Benson dan terapi analgesik lebih efektif untuk menurunkan rasa nyeri pasca bedah pada pasien TUR Prostat dibandingkan hanya terapi analgesik saja (p=0,019). Karakteristik budaya dan kecemasan tidak berkontribusi terhadap nyeri pasca bedah TUR Prostat (p >0,05). Implikasi dari penelitian ini adalah Relaksasi Benson dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pasca bedah TUR Prostat elektif dan perlu direplikasikan dan dikembangkan lagi.

Benson Relaxation is the development ofe response relaxation method by involving patient belief factor to relieve postoperative pain. It focuses on certain words or sentences pronounced many times in a regular rhtym followed by resignation to The God as patient belief. This research was aimed to explore effectiveness of Benson relaxation in relieving postoperative pain TUR prostate. The method used in this study was quasi experimental using pre test and post test design with control group. A total of 14 consecutive samples participated in this study, devided into two groups, intervention and control group, seven participants respectively. Those in intervention group received Benson Relaxation combined with analgesic therapy where as those control group given analgesic therapy alone. Benson Relaxation intervention given after analgesic was taken, for 15 minutes every day for two days. Before and after the intervention for both groups, pain scale was measured by using Numeric Rating Scale. A day before and after the surgery, anxiety level was measured by using Visual Analogue Scale. The results revealed that combination Benson relaxation and analgesic therapy was more analgesic therapy alone (p=0,019). Culture and anxiety factors did not contribute to postoperative pain of TUR Prostate (p>0,05). The Implication of this research was Benson Relaxation can be employed to relieve postoperative pain of elective TUR prostate, and it is needed for further replication and development."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutauruk, Eric Sibastian
"Pendahuluan: Kanker prostat adalah keganasan terbanyak pada pria, penyebab kematian kedua terbesar akibat keganasan. Colok dubur adalah pemeriksaan dasar dan deteksi dini untuk mendiagnosis kanker prostat. Saat ini pemeriksaan Prostate-Specific Antigen (PSA) dianggap sebagai tumor marker yang paling bermanfaat untuk mendeteksi kanker prostat. The American Cancer Society dan American Urologic Association merekomendasikan penyaringan kanker prostat setiap tahun dengan pemeriksaan colok dubur dan PSA.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pemeriksaan colok dubur dan nilai PSA pada pasien kanker prostat di RSUP DR Sardjito Yogyakarta periode Januari 2011 sampai Desember 2011.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah kasus kontrol. Data dikumpulkan secara retrospektif dari catatan medis RSUP DR Sardjito pada pasien dengan colok dubur yang abnormal atau colok dubur normal dengan nilai PSA ≥ 10 ng/dl selama periode Januari 2011 sampai Desember 2011. Hasil pemeriksaan colok dubur dan nilai PSA didapatkan pada saat kunjungan pertama pasien ke rumah sakit. Analisis data nominal menggunakan Chi Square dengan SPSS 18.
Hasil: Terdapat 87 pasien yang berhasil dikumpulkan selama periode Januari 2011 sampai Desember 2011 yang memiliki hasil pemeriksaan colok dubur abnormal atau colok dubur normal dengan nilai PSA ≥ 10 ng/dl. Pasien memiliki usia rata-rata 70 tahun, nilai median PSA 10,9 ng/dl. Pada pasien ini ditemukan colok dubur abnormal 43 (49,4%), colok dubur normal 44 (50,6%), PSA ≥ 10 ng/dl 69 (79,3%) dan PSA < 10 ng/dl 18 (20,7%). Pemeriksaan colok dubur dan PSA dinilai signifikan secara statistik untuk mendeteksi kanker prostat, hasil secara berurutan 67,2% vs 32,8% (p < 0,001) and 71,9% vs 28,1% (p = 0,002. Semua pasien dengan colok dubur abnormal dan PSA ≥ 10 ng/dl terdiagnosis kanker prostat (p < 0,001).
Simpulan: Pemeriksaan colok dubur dan Prostate Specific Antigen (PSA) adalah prediktor terbaik untuk kanker prostat.

Introduction: Prostate cancer is the most frequent form of cancer in males, being also second cause of death by cancer. Digital Rectal Examination (DRE) is the basic examination and early diagnosis for prostate cancer. The Prostate-Specific Antigen (PSA) assay is currently considered the most useful tumor marker for detecting prostate cancer. Both the American Cancer Society and American Urologic Association recommended annual cancer screening with both Digital Rectal Examination (DRE) and PSA.
Objective: The objective of this study is to understand the correlation between DRE and PSA level in prostate cancer at Sardjito General Hospital Yogyakarta during januari 2011 until december 2011.
Research Method: This is a case control study. The data were retrospectively collected from medical record in sardjito general hospital who had abnormal DRE or normal DRE with PSA ≥ 10 ng/dl during januari 2011 until December 2011. The DRE and PSA value were examined in the first time they came to the hospital. A chi-square was performed to analyzed the nominal data with SPSS 18.
Result: There are 87 patients were collected during januari 2011 until December 2011 who had abnormal DRE or normal DRE with PSA ≥ 10 ng/dl. The median age was 70 years, median PSA level was 10,9 ng/dl. Of these patient, we found abnormal DRE in 43 (49,4%), normal DRE in 44 (50,6%), PSA ≥ 10 ng/dl was 69 (79,3%) and PSA < 10 ng/dl was 18 (20,7%). Digital Rectal Examination and PSA was statistically significant to detected prostate cancer, 67,2% vs 32,8% (p < 0,001) and 71,9% vs 28,1% (p = 0,002), respectively. All patient who had abnormal DRE and PSA ≥ 10 ng/dl were diagnosed with prostate cancer (p < 0,001).
Conclusion: Digital Rectal Examination (DRE) and Prostate Specific Antigen (PSA) are the best predictor for prostate cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuhadi Alamsyah
"Tujuan : Menilai variabilitas pengukuran volume total dan zona transisional prostat dengan ultrasonografi transrektal oleh pemeriksa yang sama dan antar pemeriksa yang berbeda.
Metoda : Dilakukan dua kali pengukuran volume total dan zona transisional prostat oleh satu pemeriksa yang sama dan oleh dua pemeriksa yang berbeda pada 30 pasien yang berkunjung ke klinik Urologi RS Hasan Sadikin, Bandung
Hasil : Rerata pengukuran volume total dan zona transisional prostat pada satu pemeriksa adalah 45,7 ± 19,2 ml dengan kisaran antara 18,1 hingga 89,7 ml (median 44,1) dan 16,9 ± 10,3 ml dengan kisaran antara 3,1 hingga 34,6 ml (median 14,3), sedangkan pada dua pemeriksa adalah 45,9 ± 19,3 ml dengan kisaran antara 18,3 hingga 89,8 ml (median 44,1) dan 16,9 ± 10,2m1 dengan kisaran antara 3,1 hingga 34,6 ml(median 14,5). Beda rerata plus/minus simpang baku pengukuran volume total dan zone transisional prostat pada pemeriksa yang sama adalah -0,2 ± 1,0 dan -0,1 ± 0,1, sedangkan pada pemeriksa yang berbeda adalah -0,6 ± 2,2 dan 0,1 ± 1,7. Interval Kepercayaan (IK) 95% pengukuran volume total dan zone transisional prostat pada pemeriksa yang sama antara -0,52 hingga 0,14 dan antara -0,53 hingga 0,65 sedangkan pada pemeriksa yang berbeda antara -1,35 hingga 0,21 dan antara -0,53 hingga 0,65.
Kesimpulan : Didapatkan variasi yang cukup lebar dalam pengukuran volume total dan zona transisional prostat terutama antar pemeriksa yang berbeda dibandingkan dengan pemeriksa yang sama, walaupun demikian pengukuran dengan ultrasonografi transrektal cukup diandalkan dalam menilai volume prostate.

Objective : To assess the intra-examiner and inter-examiner factor in the measurement of prostate volume using transrectal ultrasound.
Method : Total prostate volume and transition zone volume were measured by the first examiner (measurement I), followed by the second examiner (measurement II). Afterward the same measurements were conducted again by the first examiner (measurement III). The whole procedure were done on 30 patients in the TRUS Unit of The Department of Urology, Hasan Sadikin Hospital, Bandung.
Result : The mean total prostate volume and transition zone volume measured by the same examiner (Measurement I and Measurement III) were 45.67(±19.2) ml, ranged from 18.05 to 89.68 with a median of 44.18 ml and 16.92(±10.3) ml, ranged from 3.13 to 34.64 with a median of 14.30 ml. The mean total prostate volume and transitional zone volume measured by different examiners (Measurement I and Measurement II) were 45.86(±19.3) ml, ranged from 18.30 to 89.77 with a median of 44.18 ml and 16.8(±10.3) ml, ranged from 3.18 to 34.55 with a median of 14.51 ml. The mean difference between Measurement 1 and Measurement III using a Confidence Interval (CI) of 95 % were -0,20(±0,1),(-0.52-0.14) ml for total prostate volume and -0.07(±0.7) ml), (-0.38-0.16) ml for transitional zone volume. The mean difference between Measurement I and Measurement II using a Confidence Interval (CI) of 95 % were -0.57(±2.2) ml, (-1.35-0.21) ml for total prostate volume and -0.07(±1.7) ml, (-4.01-3.55) ml, for transition volume.
Conclusion : A considerable difference between the measurement by total and transitional zone volume of the prostate were shown if performed repeatedly by the same examiner as well as by different examiner. The variation is greater in measurement conducted by different examiner compared to the one conduct by the same examiner.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Widya Rukmi
"ABSTRAK
Latar belakang : Insiden Adenokarsinoma di RSCM meningkat pada periode 2001-2006 dibanding periode sebelumnya 1995-2000 . Banyak penderita yang resisten terhadap pengobaan hormonal. Resistensi ini diduga akibat sel tumor mengalami transformasi Neuroendokrin. Akan dilakukan penelitian untuk melihat ekspresi Androgen Receptor AR dan Chromogranin A CgA pada adenokarsinoma prostat di RSCM tahun 2011-2015.Tujuan : Membuktikan korelasi ekspresi AR dan CgA dengan derajat keganasan.Metode : Studi potong lintang analitik terhadap 70 kasus adenokarsinoma prostat di departemen PA FKUI/RSCM tahun 2011-2015. Kasus dipulas imunohistokimia AR dan Cg A serta dilakukan interpretasi hasil. AR dinilai prosentase positivitasnya pada inti epitel dan stromal. CgA dinilai prosentase positivitasnya pada sitoplasma. Uji korelasi dilakukan untuk melihat kemaknaan dan kekuatan korelasi antar variabel terikat.Hasil : Karakteristik sampel usia 47,1 >70 tahun; diferensiasi histopatologik/skor gleason 42,9 buruk/>7, grade group 28,6 grade5 dan PSA 64,3 dalam rentang 11-100ng/ml. Ekspresi CgA berkorelasi negatif lemah dengan ekspresi AR epitel r=-0,288;p=0,016 . Ekspresi CgA tidak berkorelasi dengan ekspresi AR stromal p=0,886 . Terdapat hubungan bermakna ekspresi AR epitel dengan grade group p=0,003 . Tidak terdapat hubungan bermakna ekspresi AR epitel dengan usia, diferensiasi histopatologik/skor gleason dan PSA. Ekspresi CgA berhubungan bermakna dengan diferensiasi histopatologik/skor gleason dan grade group p=0,018;p=0,038 . Tidak terdapat hubungan bermakna ekspresi CgA dengan usia dan PSA. Ekspresi AR stromal tidak berhubungan bermakna dengan usia, diferensiasi histopatologik, grade group, skor gleason, maupun PSA.Kesimpulan : Terdapat korelasi yang lemah antara AR dan CgA sehingga pulasan AR dan CgA dapat dipakai untuk pemilihan terapi.

ABSTRACT
Background Prevalence of prostate adenocarcinoma doubled in 2001 2006 compared to 1995 2000 in RSCM. Many patients resistant to hormonal treatment. This resistance is thought to be due to tumor cells undergoing neuroendocrine transformation. Study will be conducted to analyze the expression of Androgen Receptor AR and Chromogranin A CgA in prostate adenocarcinoma at RSCM in 2011 2015. Objective To prove correlation of expression of AR and CgA with degree of malignancy. Methods A cross sectional study was carried out on 70 cases of prostate adenocarcinoma in department of Anatomic Pathology FKUI RSCM from 2011 2015. AR expressed in stromal and epithelial nuclei, CgA expressed in cytoplasm. Statistical tests used to discover significance and correlation between the dependent variables. Results Most samples are more than 70 years old 47,1 , has poor histologic gleason score 42.9 , are in clinical grade 5 28.6 , and has PSA score range between 11 100 ng ml. CgA expression negatively correlates to epithelial AR expression r 0,288 p 0.016 , while no correlation are found between CgA expression and stromal AR expression p 0.886 . There is significant difference between epithelial AR expression with grade group p 0.003 , but not with age, histopathologic differentiation Gleason score and PSA. There are significant difference between CgA expression and histopathologic differentiation grade group and Gleason score p 0.018 p 0.038 , but not with age and PSA. No significant difference observed between stromal AR expression with age, histopathologic differentiation gleason score, grade group or PSA. Conclusion There rsquo s a weak correlation between AR and CgA so that AR and CgA expression can be used for the selection of therapy. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>