Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158896 dokumen yang sesuai dengan query
cover
C. Rinaldi A. Lesmana
"Latar Belakang
Perlemakan hepatitis non-alkoholik (NASH) merupakan bagian dari spektrum penyakit perlemakan hati non-alkoholik (NAFLD) yang dimulai dari perlemakan hati murni dan bisa berlanjut menjadi sirosis hati. Hipotesis terjadinya NASH hingga saat ini adalah teori Two Hit. Dikatakan bahwa sindrom resistensi insulin (obesitas, DM tipe II, dan dislipidemi) memegang peranan penting dalam terjadinya NASH. Sampai saat ini studi tentang resistensi insulin pada NASH belum pernali dilaporkan di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Mendapatkan gambaran klinik dan besar kejadian resistensi insulin pada penderita NASH.
Desain Penelitian
Studi ini merupakan studi abscrvasional yang bersifat deskriptif-analitik dengan desain potong lintang perbandingan.
Pasien dan Metode
Didapatkan 30 pasien yang berobat ke poliklinik hepatologi di beberapa Rumah Sakit di Jakarta dengan perlemakan hati (dari hasil USG) yang bersedia menjalani pemeriksaan antropometrik, dan pemeriksaan darah perifer untuk kadar gula puasa, preftl lipid, fungsi hati dan insulin puasa. Penderita dengan riwayat minuet alkohol, narkoba, serologi virus hepatitis positif, dan ANA posilifdieksklusi.
Gambaran NASH diperiksa oleh tiga ahli patologi anatomi (menurut criteria Brunt). Untuk analisa resistensi insulin (dengan reagen insulin ultrasensitif) diperiksa pada 30 penderita NASH yang dibandingkan dengan 30 kontrol normal dengan metode ELISA. Untuk analisa statistik digunakan program SPSS untuk Window versi 12 dengan uji statistik nonparametrik (Mann-Whitney).
Hasil
Dari 30 penderita NASH, hipertensi ditemukan pada 8 (26,7%) subyek, dispepsia pada 14 (46,7%) subyek, berat badan berlebih pada 6 (20%) subyek, obesitas pada 19 (63,3%) subyek, gangguan fungsi hati pada 20 (67%) subyek, hipertrigliseridemi pada 19 (63,3%) subyek, DM tipe II pada 5 (16,7%) subyek, dan sindroma metabolik pada 9 (30%) subyek. HOMA-IR didapatkan lebih tinggi pada kelompok subyek dengan NASH bila dibandingkan kontrol normal (p = 0,001). Resistensi insulin ditemukan pada 16 (53,3%) dari 30 penderita NASH (dengan batas HOMA-IR < 3,02).
Simpulan
Kebanyakan penderita NASH memiliki minimal satu dari komponen metabolik. Resistensi insulin mungkin mempunyai peran pada penderita NASH. Dibutuhkan sampel lebih banyak dan penelitian lebih lanjut mengenai resistensi insulin di hati.

Backgrounds
Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH) is a spectrum of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) which is starting from pure fatty liver (steatosis) to hepatic cirrhosis. Most of studies about prevalence of NASH come from Western countries. The recent hypothesis of NASD which is accepted until now is the Two Hit Theory. It was noted that insulin resistance syndrome (obesity, diabetes, dyslipidemia) has an important sole in NAFLD especially in progression to become NASH. In Indonesia, study about insulin resistance in NASH has not been reported.
Aims of the study
To know the clinical pictures and the prevalence of insulin resistance in subjects with NASH.
Study Design
This study was a descriptive-analytic with a comparative cross-sectional design. Patients and Methods
There were 30 outpatients who come to liver clinic in several hospitals in Jakarta, with a diagnosis of fatty liver (ultrasound examination) underwent examination of anthropometric measurement, and blood tests for fasting glucose, lipid profile, liver function and fasting insulin level. Subjects with a history of alcohol intake, drug abuser, HBsAg positive, anti I-ICV positive and ANA positive were excluded. A liver biopsy proven NASH was confirmed from every subject (according to Brunt criteria), which has been examined by three experienced pathologists. The insulin resistance measured (with ELISA method) in 30 subjects with NASH by 1-IOMA-IR was compared with 30 normal controls. All analyses were performed with SPSS for Windows version 12 A significance level of 5% was used with non-parametric test (Mann-Whitney).
Results
From 30 subjects with NASH, hypertension was found in 8 (26.7%) subjects, dyspepsia was found in 14 (46.7%) subjects, overweight was found in 6 (20%) subjects, obesity was found in 19 (63.3%) subjects, abnormal liver function tests was found in 20 (67%) subjects, hypertrigliseridemia was found in 19 (63.3%) subjects, DM type II was found in 6 (16.7%) subjects, and metabolic syndrome was found in 9(30%) subjects. HOMA-IR was found higher in 30 subjects with NASH compared to 30 normal controls (p= 0.001). Insulin resistance was defined when HOMA-IR was more than 3.02. Insulin resistance was found in 16 (53.3%) from 30 subjects with NASH.
Conclusions
Most subjects with NASH have at least one component of the metabolic syndrome. Insulin resistance might have a role in subjects with NASH. A larger sample was needed to support this study. Further study about hepatic insulin resistance is needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Ichsan Wiguna
"Transfusi darah berulang pada subjek thalassemia mayor berpotensi menyebabkan transmisi virus hepatitis B dan / atau C. Infeksi dapat menyebabkan perubahan kadar feritin serum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi varian virus hepatitis dan hubungannya dengan kadar feritin serum. Penelitian potong-lintang dilakukan dengan membandingkan kadar feritin serum antar kelompok subjek terinfeksi varian virus hepatitis pada subjek thalassemia mayor di RS Cipto Mangunkusumo Kiara Jakarta antara tahun 2006-2015. Hasil penelitian menyebutkan bahwa prevalensi infeksi hepatitis keseluruhan sebesar 10,06 subjek dan didapatkan nilai p < 0,050 dari uji komparasi antara kadar feritin serum pada kelompok subjek hepatitis B dengan hepatitis C, hepatitis B dengan hepatitis B dan C, hepatitis C dengan non-hepatitis serta hepatitis B dan C dengan non-hepatitis. Pevalensi infeksi hepatitis keseluruhan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian lain dan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar feritin serum pada kelompok subjek hepatitis B dengan hepatitis C, hepatitis B dengan hepatitis B dan C, hepatitis C dengan non-hepatitis serta hepatitis B dan C dengan non-hepatitis.

Regular blood transfusion in major thalassemia subjects potentially mediates infection of hepatitis B and or C virus. Infection can change serum ferritin level. This research intends to know the prevalence of hepatitis virus variant infection and its association with serum ferritin level. This research used cross sectional method to compare serum ferritin level within each hepatitis virus variant infection subject's groups on major thalassemia subjects in RS Cipto Mangunkusumo Kiara Jakarta within 2006 2015. Results showed that prevalence of hepatitis in total was 10.06 subjects and p value from comparison test of serum ferritin level in subject's group of hepatitis B with hepatitis C, hepatitis B with hepatitis B and C, hepatitis C with non hepatitis, and hepatitis B and C with non hepatitis is p 0,050. Prevalence of hepatitis in total was lower than prevalence value in the other studies and there were significant association of serum ferritin level in subject's group of hepatitis B with hepatitis C, hepatitis B with hepatitis B and C, hepatitis C with non hepatitis, and hepatitis B and C with non hepatitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosephine Gracia Susufi
"Latar Belakang: Ko-infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) pada infeksi virus hepatitis C memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Salah satu defek imunologik yang terjadi pada ko-infeksi ini ialah dalam hubungannya dengan populasi sel NK (CD56+CD3-) dan NKT (CD56+CD3+) di hati, yang dalam keadaan normal berperan penting dalam jejas di hati dan fibrogenesis. Kedua populasi sel ini dikatakan menurun dan mengalami disfungsi pada ko-infeksi ini dan dikaitkan dengan progresivitas penyakit serta fibrosis di hati. Pemberian Anti Retroviral Therapy (ART) diharapkan dapat memperbaiki defek imunologik pada kedua populasi sel ini. Immune restoration disease (IRD) virus hepatitis C merupakan salah satu efek samping pemberian ART pada ko-infeksi ini dan mungkin melibatkan kedua populasi sel tersebut.
Bahan dan Metode: Pulasan imunohistokimia dengan CD56 dilakukan pada 39 spesimen biopsi pasien sebelum pemberian ART dan 26 spesimen setelah pemberian ART selama 48 minggu. Parameter klinik dan histopatologik dari penelitian sebelumnya dicatat. Rerata sel limfosit CD56+ dihitung dalam 3-5 area porta yang terlihat.
Hasil: Rerata sel limfosit CD56+ tidak meningkat setelah pemberian ART (p=0,35) dan tidak menunjukkan korelasi baik dengan skor fibrosis, jumlah sel T CD4+ di darah tepi, viral load HIV dan viral load virus hepatitis C. Tidak didapatkan pula perbedaan rerata sel limfosit CD56+ antara kelompok dengan dan tanpa IRD virus hepatitis C.
Kesimpulan: Ko-infeksi HIV dan virus hepatitis C mungkin memiliki efek permanen pada sel NK dan NKT di hati dan pemberian ART saja tidak dapat mengembalikan jumlah kedua populasi sel tersebut.

Background: Human immunodeficiency virus (HIV) and hepatitis C virus (HCV) coinfection has a high mortality and morbidity rate. One of the immunological defects in this coinfection is in NK (CD56+CD3-) and NKT (CD56+CD3+) cells population in the liver, which in normal condition have important role in liver injury and fibrogenesis. Both cell populations decrease in numbers and have dysfunction in this coinfection and are related with disease progression and fibrosis in the liver. Anti retroviral therapy (ART) given to coinfected patients is expected to repair immunological defect in both NK and NKT cell populations. HCV immune restoration disease (IRD) is one of the side effects of ART in this coinfection and may also involve both cell populations.
Materials and methods: Immunostaining with CD56 was performed on 39 biopsy samples of coinfected patients at baseline and 26 biopsy samples after 48 weeks of ART. Both clinical and histopathological parameters from previous study were noted. Means of CD56+ lymphocyte were counted over 3-5 portal areas.
Result: Means of CD56+ lymphocyte counts did not increase after ART (p=0.35) and did not correlate with fibrotic score, CD4+ T cell count in peripheral blood, and neither with HIV and HCV viral load. There was no difference in CD56+ lymphocytes count between HCV IRD and non HCV IRD group.
Conclusion: HIV/HCV coinfection might have permanent effect on both NK and NKT cells population and ART alone can not reverse NK and NKT cell numbers in this coinfection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization (WHO) memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.
Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.
Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan (69,9%), bekerja sebagai perawat (38,3%) dan dokter (38,3%), serta terpajan secara perkutan (93,4%). Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 (13%) sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 (8%) dan anti-HCV reaktif pada 12 (6%) sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 (28,1%) petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9% (81) petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5% (66) petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60% petugas minum ARV secara lengkap (28 hari). Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 (24%) dan 41 (22,4%) petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin (HBIG). Dari 22 (59%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 (2,7%) yang melakukan. Dari 15 (41%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 (5,4%) yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 (31,1%), 38 (28,8%) dan 2 (1,5%) petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 (21,4%) dan 37 (20,3%) petugas.
Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.

Introduction: Health care workers (HCW) have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization (WHO) estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post-exposure prophylaxis could reduce the transmission risk. Goal: To identify the implementation of post-exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Method: A cross-sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014-2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.
Result: Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female (69.9%), worked as nurse (38.3%) and doctor (38.3%), and exposed percutaneously (93.4%). Positive anti-HIV was found in 25 (13%) people of exposure sources, positive HBsAg in 13 (8%) people and positive HCV in 12 (6%) people. Workers with protective anti-HBs were 55 (28.1%) people. In 183 reports, 81 (45,9%) workers were recommended to receive ARV, 66(81.5%) workers did receive it, and 40(60%) workers took complete ARV (28 days). Follow-up 3 and 6 months was done by 44 (24%) and 41 (22,4%) workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and/or immunoglobulin (HBIG). In 22 (59%) recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 (2,7%) who took that. In 15 (41%) recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 (5,4%) who took both. Follow-up of HBsAg and anti-HBs on 3rd and 6th months were done by 41 (31,1%), 38 (28,8%) and 2 (1,5%) workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow-up of anti-HCV, 39 (21,4%) and 37 (20,3%) workers did the follow-up on 3rd and 6th month.
Conclusion: The implementation of post-exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker's knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Sulaiman
"

Hadirin yang saya muliakan,

Pada kesempatan yang baik ini saya memilih topik "Hepatitis dan Permasalahannya Menjelang Tahun 2000" untuk disampaikan kepada para hadirin. Hal ini didasari oleh pertimbangan akan pentingnya penyakit tersebut. Saat ini hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang amat besar di Indonesia, bahkan juga di sebagian besar penduduk dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyadari betapa pentingnya masalah hepatitis. Berbagai pertemuan secara berkala selalu diadakan untuk membahas masalah ini, dalam rangka mencari cara yang tepat bagi usaha-usaha pencegahan.

Mengapa penyakit hepatitis demikian penting? Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

(1) Penyakit hepatitis virus telah menyerang lebih dari 2 miliar manusia.

(2) Penyakit ini menyebabkan morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) pada penduduk yang diakibatkan oleh keadaan akut, maupun keadaan kronik (menahun) penyakit ini.
(3) Hasil pengobatan bentuk kronik penyakit ini belum memuaskan.
(4) Bentuk kronik penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit kanker hati.
(5) Usaha pencegahan dapat dilakukan melalui vaksinasi dan penyuluhan yang terus-menerus.

Hadirin yang terhormat,

Penyakit hepatitis sebenarnya sudah lama ditemukan. Hippocrates telah mengemukakan gambaran klinik ikterus epidemik ("epidemic jaundiceā€) yang manifestasinya masih tetap sama, sampai saat ini. Deskripsinya mengenai hepatitis fulminan (ganas) ternyata dramatik, namun akurat. Ia bahkan memberikan petunjuk diet khusus ditambah campuran air dan madu, yang merupakan nasihat yang masih bisa diterima sampai saat ini. Sangat menarik bahwa Hippocrates juga telah memikirkan konsep imunisasi.

Penelitian eksperimental pada manusia yang amat penting dalam riwayat hepatitis dikerjakan oleh Krugman pada tahun 1950 (5). Melalui penelitian ini diperlihatkan adanya dua macam hepatitis virus. Yang pertama adalah hepatitis yang ditularkan melalui oral (mulut) dengan masa inkubasi yang pendek, yang dikenal sebagai hepatitis infeksiosa atau hepatitis A. Yang kedua adalah hepatitis yang ditularkan melalui parenteral (suntikan) dan dengan masa inkubasi yang panjang, yang disebut hepatitis serum atau hepatitis B.

Hadirin yang terhormat,

Sejak penemuan antigen Australia atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama "hepatitis B surface antigen" (HBsAg) oleh Blumberg dkk. pada permulaan tahun enam puluhan perkembangan pengetahuan mengenai hepatitis B telah berlangsung dengan sangat cepat (6). Dalam waktu yang relatif amat singkat, bermula dari satu antigen yang tidak diketahui asal serta arti pentingnya, ternyata telah menguak tabir virus hepatitis B mulai dari struktur, mekanisme pembentukan, cara penyebaran sampai kepada cara pembuatan vaksinnya.

Atas dasar penemuan yang sangat bersejarah tersebut dr.Blumberg mendapat hadiah Nobel pada tahun 1976. Sejak itu, publikasi mengenai hepatitis meningkat dengan pesat. Berbagai penemuan yang merupakan peristiwa penting dan menjadi tonggak sejarah dalam perkembangan hepatitis, bermunculan.

"
Jakarta: UI-Press, 1992
PGB 0116
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Makmun
"Hepatitis pasca transfusi (HPT) telah lama mendapat perhatian para ahli. Sampai saat ini masih tetap merupakan salah satu komplikasi tindakan transfusi yang sering terjadi dan sering berkembang menjadi kronis, walaupun telah dilakukan pemilahan HBsAg terhadap semua darah donor oleh PMI (1,2,3 ). Berbagai penelitian mengenai kekerapan hepatitis pasca transfusi pada penderita yang mendapat transfusi darah dan komponen-komponennya menunjukkan angka yang berbeda-beda. Angka kekerapan HPT di Amerika Serikat berkisar antara 10-20%, di - Eropa Utara berkisar antara 2-4% sedangkan di Eropa Selatan mungkin berkisar antara 15-20% (dikutip dari 4). Di Jakarta, Rahman (1988) pada penelitiannya terhadap 60 penderita dengan tindakan bedah yang mendapat transfusi darah melaporkan terjadinya 18 kasus (30%) hepatitis pasca transfusi, 3 diantaranya hepatitis virus B (5). Sedangkan Sutanto (1989) pada penelitiannya terhadap 80 penderita yang mendapatkan transfusi darah melaporkan terjadinya 13 kasus hepatitis pasca transfusi (16,25%), 1 diantaranya adalah hepatitis virus B (6). Pada kedua penelitian tersebut, penyebab hepatitis pasca transfusi belum dapat dideteksi, sehingga disebut hepatitis Non A Non B (5,6).

Post-transfusion hepatitis (HPT) has long received the attention of experts. Until now, it is still a frequent complication of transfusion procedures and often develops into a chronic one, even though HBsAg has been screened for all donor blood by PMI (1,2,3). Various studies regarding the frequency of post-transfusion hepatitis in patients who received blood transfusions and its components show varying figures. The frequency of HPT in the United States ranges from 10-20%, in Northern Europe it ranges from 2-4%, while in Southern Europe it may range from 15-20% (quoted from 4). In Jakarta, Rahman (1988) in his research on 60 patients with surgical procedures who received blood transfusions reported the occurrence of 18 cases (30%) of post-transfusion hepatitis, 3 of which were viral hepatitis B (5). Meanwhile, Sutanto (1989), in his research on 80 patients who received blood transfusions, reported 13 cases of post-transfusion hepatitis (16.25%), 1 of which was hepatitis B virus (6). In both studies, the cause of post-transfusion hepatitis could not be detected, so it was called Non A Non B hepatitis (5,6).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdur Rachim
"Hepatitis virus A dan E merupakan jenis hepatitis yang termasuk paling sering dijumpai di masyarakat. Secara Minis penyakit hepatitis virus yang akut mempunyai gejala dan tanda antara lain demam, menggigil, sakit kepala, hilang nafsu makan, mual, muntah, lemas, cepat lelah, nyeri begah pada perut, urin seperti air teh dan ikterik. Penularan hepatitis A melalui jalur oro-faecal, erat kaitannya dengan hygiene dan sanitasi, makanan dan penggunaan air untuk keperluan sehari hari. Penyakit hepatitis A masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada Kejadian Luar Biasa (KLB) hepatitis A di kecamatan Seputih Raman Kabupaten Metro bulan Agustus sampai dengan September 2000, diduga sumber penularannya antara lain; air tercemar oleh virus hepatitis A dari sarana air yang tidak terlindung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara penggunaan sumber air sarana tidak terlindung dengan kejadian hepatitis A pada daerah Kejadian Luar Biasa hepatitis A di kecamatan Seputih Raman Kabupaten Metro tahun 2000. Desain penelitian ini adalah studi analitik dengan pendekatan rancangan kasus kontrol menggunakan data sekunder hasil investigasi KLB hepatitis A di kecamatan Seputih Raman Kabupaten Metro Agustus-September 2000 oleh tim Ditjen.PPM&PL dan Namru-2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan air bersumber dari sarana yang tidak terlindung berhubungan bermakna (p= 0,000) dengan kejadian hepatitis A setelah dikontrol dengan variabel pendidikan, cuci tangan sebelum makan, makan lalap mentah dan makan es mambo dengan kekuatan hubungan OR = 4,945 (Cl; 2,727-8,967). Disarankan kepada puskesmas setempat untuk meningkatkan penyuluhan kesehatan secara langsung maupun melalui media (film, Radio Pemerintah Daerah) agar masyarakat menggunakan air dari sarana yang terlindung sehingga dapat mencegah kejadian penyakit hepatitis A dimasa yang akan datang.

The Association between Utilization of Unprotected Water Source Facility and Type A Hepatitis Infection, during Hepatitis A Outbreak, in Sub-district of Seputih Raman, District of Metro, Lampung Province, year 2000Type A and E hepatitis are among the most prevalent viral hepatitis cases occurred in the population. Clinically, the acute viral hepatitis infection may produce several symptoms and signs, such as fever, shivering, headache, loss of appetite, nausea, vomiting, fatigue, abdominal discomfort like tea urine color and yellowish skin or eye, etc. Type A hepatitis is transmitted through oro-fecal route and closely related to hygiene and sanitation of daily food and water use. Hepatitis A infection is still an important public health problem due to its characteristic to frequently induce an outbreak. When type A hepatitis outbreak occurred in sub-district Seputih Raman, District of Metro, Lampung, from August to September 2000, it was suspected that the source of transmission was water contaminated with hepatitis-A virus, due to utilization of unprotected. water source facility. This case control study was conducted using secondary data of Hepatitis-A outbreak investigation report in sub-district Seputih Raman, District of Metro, Lampung, from August to September 2000. The objective of the study was to investigate the association between utilization of unprotected water source facility and type A Hepatitis infection, during the outbreak. The study result showed that utilization of unprotected water source facility was significantly associated with the occurrence of Hepatitis-A infection, after controlling other variables (OR=4.95; 95% Cl; 2.73 - 8.97). It is suggested that local Community Health Center is supposed to enhance health promotion, directly or through the media, to prevent the community from utilizing potentially contaminated water from unprotected source. It is also recommended to reduce the risk of getting infected, by educating the community to avoid drinking water without boiling it or making ice cube or ice cream from unboiled water or eating raw vegetable and to wash hand before eating.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjaifoellah Noer
"Pada akhir Maret 1978 telah diadakan Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun di Jakarta. Hal-hal yang per1u mendapat perhatian adalah yang berikut ini.
Dari Manado Pangallla dkk, melaporkan bahwa selama 4 tahun telah dirawat 8168 penderita di Bagian Penyakit Dalam RS. Gunung Wenang sebagai rumah sakit rujukan untuk Propinsi Sulawesi Utara dan sekitarnya. Diantaranya ditemukan 280 orang yaitu 3,4% dengan penyakit hati. Dalam perincian selanjutnya disebutkan bahwa hepatitis virus adalah 55%, sirosis hati 20%, hepatitis yang bertendensi kronis 6%, tumor hati 2,5%, hepatitis yang berkaitan dengan malaria 6,7%, hepatitis bakterial 5,7%, hepatitis amebik 3,5%.
Julius dkk melaporkan bahwa di RSUP Padang selama periode 1973- 1977 ditemukan 1139 dari 7863 penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam yaitu 14,5% penderita dengan penyakit hati dengan perincian hepatitis 46,9%, sirosis hepatitis 37%, karsinoma hati 13,2% dan abses hati 2,9%.
Saeful Muluk melaporkan bahwa di tiga RSU. di Pontianak selama periode Januari 1975 sampai dengan Desember 1977 telah dirawat 73 penderita dengan sirosis hati dan 9 orang dengan karsinoma hati yaitu masing-masing 0,8% dan 0,1% dari 9322 orang yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam. Dalam periode yang same telah dirawat pula 486 orang yaitu 5,2% dengan hepatitis yaitu 5,9 kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sirosis hati dan karsinoma hati. Menurut laporannya 42,7% mengenai Suku Cina dan 28,1% pada Suku Melayu dari penyakit hati menahun itu.
Haryono Adenan-dkk telah melaporkan selama 3 tahun dari 1975 sampai 1977 ada '400 orang..diantara 5758 orang yang dirawat di RS.Dr.Sardjito UGM yaitu 6,94% dengan penyakit hati yang terdiri dari sirosis hati 211 orang, 52,57% hepatitis 102 orang 25% dan hepatoma 57 orang, 14,2%. Jumlah penderita penyakit hati menduduki urutan kedua setelah penyakit infeksi yang dirawat. Sedangkan di rumah sakit lain didaerah Yogyakarta sirosis hati 37,4%, hepatitis virus 44,4%, hepatoma 14,0% dan Penyakit hati--lain 5,02%. Menurut keadaan sosial ekonomi ternyata yang tergolong tidak mampu ada 60,8% yang cukup 37,2% dan yang mampu 1,96%. Menurut SJabani dkk dari 102 orang penderita hepatitis dari RS.Dr.Sardjito UGM Yogyakarta itu ada 18 orang terdiri dari 12 pria dan 6 wanita adalah penderita hepatitis kronik aktif yaitu 17,6% dari kelompok hepatitis dan diagnosis ditegakkan dengan biopsi hati membuta yang diulang kembali setelah 2-3 bulan untuk evaluasi pengobatannya."
Jakarta: UI-Press, 1994
PGB 0106
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Japaries, Willie
Jakarta: Arcan, 1996
616.362 3 JAP h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Soewignjo Soemohardjo
Jakarta : EGC, 1999
616.362 3 SOE h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>