Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212233 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amri Sujama
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Kinerja Organisasi Lokal dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D). Juga dibahas tentang faktor penghambat Kinerja Organisasi Lokal. Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D) merupakan kelanjutan dan pengembangan dan program P3DT yang dilaksanakan sejak tahun 1995/1996 hingga tahun 2000. Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D) adalah bertujuan untuk mendukung pembangunan ekonomi regional, pemerataan dan pemberdayaan masyarakat desa serta mengurangi kemiskinan di perdesaan. Proyek ini dilaksanakan dengan penekanan peningkatan kemampuan dan kemandirian masyarakat perdesaan (Organisasi Masyarakat Setempat).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi dan studi kepustakaan. Penelitian ini juga menggunakan konsep penelitian yang didasarkan pada pengertian kinerja oleh Suyadi dan teori variabel yang mempengaruhi kinerja Organisasi Lokal dan Esman 8 Uphoff.
Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling yakni: Pimpro, Pimbagpro, Tim Teknis Lapangan, Camat Pegasing, Kepala Desa, Ketua sekretaris dan anggota OMS, Tokoh Masyarakat dan Warga masyarakat dengan jumlah keseluruhan 30 orang. Hasil penelitian dianalisa dengan mengaitkan kebijakan program dan kerangka pemikiran tentang Kinerja dan Organisasi Lokal. Kinerja masing-masing OMS terlihat dalam proses dan hasil dari pelaksanaan pembangunan paket program P2D (fisik dan nonfisik) yang diawali sejak penandatanganan Surat Perjanjian Pemberian Pekerjaan yang dilaksanakan di Kantor Kecamatan. Dalam tahap pelaksanaan, peran OMS berusaha untuk menggerakkan warga masyarakat masing-masing desa untuk melaksanakan pembangunan di masing-masing desa. OMS Al-Amal di Desa Uning, OMS Kelompok Tani Mara Utama di Desa Pedekok telah mampu menggerakkan warga masyarakat bergotong-royong sehingga mampu menghemat biaya yang selanjutnya dipergunakan untuk meningkatkan volume kerja. Namun OMS AI-Latifah cenderung kurang mampu menggerakkan warga masyarakat.
Dalam melaksanakan pembangunan di masing-masing desa, OMS yang telah memiliki kepercayaan dari warga masyarakat secara mandiri menentukan tempat dan waktu pertemuan dengan warga masyarakat, tanpa dicampuri oleh pihak lain. Dalam pertemuan, OMS memberikan kesempatan kepada peserta pertemuan untuk bertanya serta memberikan saran. Pelaksanaan pembukaan jalan di Desa Uning dikerjakan secara gotong-royong dimana warga masyarakat diberikan makan sIang, kopi dan rokok. di Desa Pedekok pelaksanaan pembangunan bak tampung air dilaksanakan dengan cara gotong-royong dan diberikan makan siang, kopi dan rokok. Namun di Desa Kayukul, pelaksanaan pembangunan MCK dikerjakan oleh OMS dan dibantu oleh warga masyarakat yang diberikan upah. Dalam pelaksanaan proyek P2D di masing-masing desa secara umum menghasilkan fisik (Jalan, Bak Tampung Air dan MCK) dan Non Fisik (peningkatan ekonorni, manfaat-manfaat sosial, tingkat keadilan, pengurangan diskriminasi pria dan wanita serta partisipasi warga masyarakat dalam pengambilan keputusan).
Dalam pelaksanaan Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D masih terdapat Faktor penghambat yang dirasakan oleh masing-masing anggota OMS yakni rendahnya tingkat pendidikan yang didominasi tamatan SD dan SLTP yang berpengaruh terhadap penyusunan admisnistratif. Walaupun sebelumnya beberapa pengurus OMS dan anggota OMS tetah mengikuti pelatihan di kantor kecamatan, namun masih dirasakan kesulitan dalam penyusunan administratif. Faktor penghambat lain yang secara umum dirasakan oleh masing-masing OMS adalah kesulitan untuk mengumpulkan iuran dari warga masyarakat untuk perawatan serta perbaikan bangunan hasil proyek P2D di desa mereka masing-masing hal ini dikarenakan adanya kecenderungan bahwa yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Chandra Destianto
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang proses pemberdayaan masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Fase II termasuk faktor pendukung dan penghambat serta upaya untuk mengatasinya. Program ini merupakan kebijakan Pemerintah Pusat yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dengan menitikberatkan pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan operasionalnya. Pemberdayaan masyarakat ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan masyarakat agar mampu mengatasi permasalahan hidup sehingga mereka bisa keluar dari Iingkaran kemiskinan. Sumber dana pelaksanaan PPK Fase II keseluruhan berasal dari pemerintah pusat (Full Grant). Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, Desa Kupu merupakan salah satu desa yang mendapatkan program ini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi dan studi kepustakaan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling terhadap aparat pemerintah daerah, FK dan FD bidang pemberdayaan, Camat dan Kepala Desa, tokoh masyarakat dan kelompok sasaran dengan jumtah 14 orang. Hasil penelitian ini dianalisis dengan dilandasi kebijakan PPK dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pembangunan sosial, pengembangan masyarakat dan peran petugas pendamping.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam PPK Fase Il Tahun Ketiga dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan kegiatan, tetapi belum mencakup tahap pelestarian program. Partisipasi masyarakat mulai sejak sosialisasi program, perencanaan kegiatan sampai pelaksanaan. Petugas yang terlibat Iangsung di lapangan adalah FK dan FD yang berperan untuk melakukan pendampingan dan memfasilitasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok sasaran dan warga masyarakat.
Pelaksanaan PPK mencakup kegiatan pembangunan sarana dan prasarana yaitu pembuatan saluran Drainase dan Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif, serta Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan. Proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak dilakukannya sosialisasi program yang melibatkan masyarakat sebagai kelompok sasaran dengan membentuk kelompok campuran dan kelompok perempuan. Pembentukan kelompok dilakukan untuk mempermudah penggalian gagasan terutama dalam penentuan dan penetapan jenis kegiatan sehingga dapat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Kegiatan yang ditentukan bersama baru sampai pada pelaksanaan program. Partisipasi kelompok sasaran sejak sosialisasi sampai pelaksanaan program menggambarkan keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan PPK.
Proses pemberdayaan masyarakat sesuai dengan Petunjuk Teknis Operasional PPK Fase II Tahun 2002. Dalam pelaksanaan kegiatan PPK terdapat faktor pendukung yaitu tingginya partisipasi masyarakat melalui swadaya. Sedangkan faktor yang menjadi penghambat adalah rendahnya sumber daya manusia warga Desa Kupu sehingga sang at berpengaruh terhadap pemahaman program, dan pemilihan kegiatan. Namun kendala tersebut dapat diatasi oleh Petugas Pendamping maupun Kepala Desa melalui pendekatan personal maupun diskusi kelompok secara formal maupun informal. Kurangnya koordinasi antar pelaku PPK di tingkat kecamatan dan kurangnya kerjasama antar anggota kelompok terutama setelah pelaksanaan kegiatan menjadi faktor penghambat yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan program.
Saran yang dapat dikemukakan dalam tesis ini yaitu : Petugas Pendamping, FK dapat dikurangi luas wilayah kerjanya dengan penambahan jumlah FK, atau FD mengikuti pelatihan-pelatihan (dalam bentuk pelatihan berjenjang) yang mencakup pemahaman tentang PPK dalam bentuk sosialisasi termasuk pelaksanaan teknis, proses pemberdayaan dalam pelaksanaan program serta pemantauan dan evaluasi; Pelaku PPK, pelaksanaan kegiatan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum, partisipasi pemerintah seyogyanya lebih besar dad pada partisipasi warga masyarakat, proses sosialisasi kebijakan dapat dikurangi agar dapat menambah pemberdayaan pelaksanaan program serta koordinasi antar pelaku program; Aparat qesa, berperan aktif dalam pemantauan pelaksanaan program; Kelompok Sasaran, kerjasama antar anggota kelompok sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Koesnadi
"Secara konseptual pendamping masyarakat merupakan suatu kegiatan yang menuntut pekerjaannya untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan dalam suatu waktu dan menjalankan berbagai peranan yang dibutuhkan sehingga dalam prakteknya seorang pendamping masyarakat dapat berpindah peranan ke peranan yang lain secara simultan. Hanya saja dalam pelaksanaan pendampingan, menurut penilaian anggota kelompok sebagian besar dalam pelaksanaan peranan fasilitatif, pendidikan, representatif dan teknis di lokasi penelitian banyak yang tidak lakukan, dikarenakan berbagai sebab, antara lain pendampingan yang tidak berkesinambungan, kompetensi sebagai community worker tidak memadai, dan pendamping masyarakat yang bekerja lebih berorientasi pada tugas sesuai petunjuk teknis dan petunjuk operasional bukan pada proses dan kurang didukung juga oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang tersedia. Berdasarkan hasil penelitian membuktikan bahwa pelaksanaan peranan pendampingan masyarakat yang dilakukan belum memadai sesuai harapan seperti yang dikemukakan Ife (1995) sehingga kurang bermanfaat bagi anggota kelompok dan masyarakat pada umumnya. Ternyata banyak peranan yang dilakukan ataupun yang tidak dilakukan, baik yang sering maupun yang jarang, namun akhirnya intensitasnya menurun. Terlihat salah satunya dalam pelaksanaan peranan fasilitatif yang didalamnya ada aspek yang cukup menentukan keberhasilan pendampingan yaitu aspek antusiasme, komitmen dan integritas dimana pendamping masyarakat dituntut konsisten untuk terus bersemangat dalam bekerja untuk masyarakat dengan bekerja tanpa mengenal waktu siap memberikan pelayanan, sehingga diharapkan dapat menularkan semangat kepada masyarakat untuk tetap berusaha dan penuh semangat, serta bertanggungjawab dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak tergantung pada bantuan orang lain. Karena permasalahan tersebut di atas, pendamping masyarakat tidak bisa berimprovisasi ataupun berinisiatif untuk melakukan peranan yang lebih, sehingga mengakibatkan Kejenuhan, bosan, penurunan semangat, serta kurang percaya, baik dalam menunggu realisasi yang memakan waktu sampal 6 bulan maupun dalam pelaksanaannya. Di sisi lain waktu penugasan 5 bulan untuk FD (Fasilitator Desa) daiam tahap sosialisasi program terlalu pendek, padahal FD sangat diperlukan juga daiam tahap pelaksanaan program dan FK (Fasilitator Kecamatan) sebagai pendamping masyarakat di tingkat kecamatan terlalu luas jangkauan tugasnya. Keadaan tersebut cukup mengganggu pelaksanaan peranan fasilitatif dan peranan lainnya yang sejak Tahap Persiapan atau Tahap Sosialisasi seharusnya dipertahankan ritme kegiatannya, dan akhirnya masalah tersebut menjalar pada tahap pelaksanaan, sehingga tidak ada bedanya pelaksanaan peranan pendamping masyarakat, baik pada tahap sosialisasi maupun pada tahap pelaksanaan kegiatan, malah semakin ada penurun intensitas peranan pendampingan masyarakat karena FK khususnya semakin bertambah jangkauan tugasnya disebabkan bertambahnya, desa yang mendapatkan PPK (Program Pengembangan Kecamatan) tahun 2000 ini. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa: pelaksanaan peranan pendamping masyarakat masih belum memadai dan kurang bermanfaat bagi anggota kelompok. Hal tersebut disebabkan karena kualifikasi pendamping masyarakat yang tidak memadai sehingga perananperanan tersebut tidak dilakukan sebagaimana mestinya, juga kurang didukung oleh kebijakan atau aturan di lapangan, malah menjadikan kontraproduktif bagi pelaksanaan peranan pendamping masyarakat, misalnya pelaksanaan sosialisasi program yang terlalu lama dan pendeknya masa tugas Fasilitator Desa sehingga pelaksanaan peranan pendamping masyarakat yang dilakukan dengan susah payah menjadi sia-sia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang sifatnya deskriptif, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menguji suatu hipotesis. Untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan utuh mengenal penilalan anggota kelompok terhadap manfaat pendamping, dalam penelitian ini dilaksanakan wawancara mendalam dan pengamatan terhadap informan. Kemudian dianalisis secara kualitatif, ditafsirkan dan diinterprestasikan terhadap data tersebut, serta ditarik implikasi teoritiknya. Data yang terkumpul selain disajikan dalam bentuk narasi, juga disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan langsung dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, kemudian dibuat pembahasannya.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Yulianto Rhahmadi
"Skripsi ini membahas mengenai peran fasilitator dan co-fasilitator pada keberhasilan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Desa Ligarmukti. Pada pelaksanaan program ini fokus pada upaya pengembangan masyarakat melalui perubahan perilaku kesehatan masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain desktirptif. Hasil dari penelitian ini ingin menggambarkan peran fasilitator dan co-fasilitator sebagai community worker dalam keberhasilan pelaksanaan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Selain itu, hasil penelitian ini juga memaparkan hambatan yang dialami oleh fasilitator dan co-fasilitator serta upaya yang dilakukan fasilitator dan co-fasilitator dalam pelaksanaan program STBM.

This thesis discusses the role of the facilitator and co-facilitator in the STBM program in desa ligarmukti. The implementation of this program focuses on community development efforts through community health behavior change. This research is a qualitative descriptive interpretative research. The results of this study describe the role of facilitator and cofacilitator as a community worker in the succession of the implementation of the STBM program. In additional, the results of this study also describe the deficulties experienced by the facilitator and co-facilitators as well as the efforts made facilitator and co-facilitator in overcoming those dificulties in the implementation of the program STBM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jamal Bake
"Analisis pelembagaan demokrasi difokuskan pada: Pertama, sejauh mana nilai-nilai demokrasi sebagaimana dikemukakan Dahl dan Smith seperti jaminan terhadap hak warga masyarakat berpartisipasi dalam penyelenggaraan kebijakan publik di tingkat lokal, keterwakilan stakeholders, kesamaan hak dalam proses pengambilan keputusan, penyebarluasan informasi kebijakan, responsivitas dan kontrol masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat diwujudkan. Kedua, tingkat kepedulian dan konsistensi masyarakat berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, yang oleh Arnstein dapat diamati dalam beberapa level. Ketiga, menguji faktor-faktor individu yang mempengaruhi yang dan yang berhubungan dengan partisipasi warga dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Variabel dianalisis adalah tingkat pemahaman tentang anggaran publik, persepsi perlunya mengetahui proses pengelolaan program, persepsi tentang manfaat berpartisipasi, sikap rasa memiliki anggaran program, persepsi tentang pemberian "uang saku" kepada partisipan, rasa tanggung jawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, pendidikan, umur, dan pendapatan keluarga, yang dalam banyak referensi, dijelaskan, sering berpengaruh, dan berhubungan dengan partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan kebijakan publik, termasuk dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
Diperoleh kesimpulan: Pertama, penerapan nilai-nilai demokrasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan relatif berkembang. Jaminan hak warga untuk berpartisipasi, keterwakilan stakeholders, persamaan hak dalam pengambilan keputusan, penyebarluasan informasi mengenai program, responsivitas serta kontrol masyarakat mulai diwujudkan meskipun belum maksimal. Kedua, masyarakat diberikan keleluasaan merencanakan, melaksanakan dan mengontrol pengelolaan program, menggambarkan bahwa, partisipasi berada pada level degree of citizen power. Warga masyarakat juga memiliki kepedulian berpartisipasi, meskipun belum konsisten berpartisipasi dalam semua tahapan kegiatan proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Ketiga, partisipasi warga masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, baik secara bersama-sama, dipengaruhi oleh tingkat pemahaman tentang anggaran program pemberdayaan masyarakat, persepsi perlunya mengetahui proses pengelolaan program, persepsi mengenai manfaat berpartisipasi dan sikap rasa memiliki anggaran program, ?pemberian uang saku", rasa tanggung jawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, pendidikan, umur dan pondapatan. Namun secara parsial, hanya tingkat pemahaman makna anggaran, persepsi perlunya mengetahui pengelolaan program, sikap rasa memiliki, rasa tanggungjawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, dan tingkat pendidikan yang menunjukkan pengaruh signifikan, dan berkorelasi positif dengan partisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, sedangkan persepsi tentang manfaat berpartisipasi, "pemberian uang saku", umur, dan pendapatan tidak menunjukkan pengaruh signifikan.
Semua aspek yang berpengaruh secara signifikan, menunjukkan hubungan positif dengan partisipasi. Artinya, semakin mengetahui bahwa anggaran program pemberdayaan masyarakat berasal dari rakyat, dan harus dimanfaatkan untuk kepantingan masyarakat, maka semakin tinggi persepsinya akan perlunya mengetahui proses pangelolaan program. Sikap rasa memiliki yang tinggi tentang anggaran program, didorong oleh rasa tanggung jawab sosialnya sebagai wakil warga, adanya harapan mempengaruhi keputusan dalam pengelolaan program, serta tingkat pendidikan tinggi menjadikan partisipasi warga masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program juga semakin tinggi.
Pemahaman mengenai anggaran, persepsi tentang program pemberdayaan masyarakat, dan faktor pendidikan, menunjukkan hubungan positif satu sama lain. Semakin memahami makna anggaran pemberdayaan masyarakat, semakin tinggi pula persepsi akan perlunya mengetahui proses pengelolaan program dan anggarananya, karena semakin tingginya sikap rasa memiliki anggaran tersebut, seiring dengan rasa tanggung jawab sosial tinggi untuk berpartisipasi di dalamnya, dengan harapan dapat mempengaruhi proses pengambilan kepulusan terkait pengelolaan program tersebut. Pendidikan tinggi, disertai dengan pemahaman yang kuat dalam membela kepentingan publik, akan membentuk sikap rasa memiliki yang tinggi anggaran program pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari angaran publik.
Melalui pelaksanaan program pembangunan yang partisipasi sebagai suatu pola pelembagaan demokrasi, manjadikan masyarakat dapat belajar mengenal dan memahami permasalahannya, serta dapat merumuskan cara mengatasinya secara bersama. Untuk itu itu, ruang partisipasi perlu dikembangkan, kesadaran dan pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan melalui pencerahan oleh pemerintah, masyarakat sipil maupun media masa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mewujudkannya, diperlukan komltmen dan konsistensi para individu yang memiliki kekuasaan, mempunyai kewenangan, serta keberperanan para pemangku kepentingan termasuk para pembayar pajak. Perlu studi lebih lanjut tentang demokratisasi program pemberdayaan masyarakat dengan memasukkan variabel lain, seperti persepsi tentang kewajiban membayar pajak.
Proses pelembagaan demokrasi melalui pengembangan sistem perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang partisipatif, responsif, transparan, akuntabel, diIakukan secara jujur, mengutamakan kepentingan bersama, patuh pada aturan, proporsional, dan berkeadilan sesuai dengan prinsip tatakelola pemerintahan lokal yang baik (good local governance), perlu diwujudkan secara konsisten dan borkelanjutan. Penerapannya secara baik dapat mendorong kreativitas dan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan, sekaligus merupakan perwujudan dari penyelenggaraan kebijakan, dan pelayanan publik, serta pembangunan berbasis kerakyatan, melalui pendekatan pemberdayaan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum, dan bagi masyarakat lokal secara khusus."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D830
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Pratomo
"Program desa mandiri energi (DME) pada awalnya dilaksanakan sebagai sebuah program pemerintah untuk menghadapi gejolak harga minyak mentah dunia di tahun 2005, dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Berbagai sumber bahan bakar alternatif dikembangkan di berbagai daerah, termasuk salah satunya adalah minyak jarak. Program DME berbasis minyak jarak ini, berawal dari adanya kebutuhan dari PT RNI untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi pabrik-pabrik gula yang dimilikinya. Dalam perkembangannya, program ini terus berkembang di berbagai daerah.
Salah satu daerah yang menjadi DME minyak jarak ini adalah Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa ini kemudian dicanangkan sebagai DME berbasis jarak oleh Presiden SBY, yang sekaligus menjanjikan bantuan kepada para kelompok tani untuk pengembangan tanaman jarak. Dana bantuan yang telah diberikan oleh PERTAMINA juga sudah disalurkan dan dibelikan mesin pengolah minyak jarak di Kecamatan Toro. Namun dalam perkembangannya, DME yang ada tersebut tidak berjalan sebagaimana diharapkan dan akhirnya berhenti. Kegagalan inilah yang kemudian dicoba untuk diteliti dalam penelitan ini. Khususnya terkait dengan aspek sosial yang menyebabkan kegagalan DME tersebut. Selanjutnya dengan SSM, penelitian ini mencoba melakukan rekonstruksi model pemberdayaan masyarakat yang cocok untuk pengembangan DME ke depan.

Energy independent village program (DME) was initially implemented as a government program to cope with price volatility of crude oil in 2005, and simultaneously reduce dependence on fuel. Various sources of alternative fuels developed in various areas, including the one of which is castor oil. DME program is based on castor oil, originated from the need of RNI to meet the needs of fuel for sugar mills owned. In its development, this program continues to grow in many areas.
One area that became DME castor oil is Tanjungharjo Village, District Ngaringan, Grobogan, Central Java. The village was later proclaimed as DME-based distance by the President, who also promised assistance to farmers' groups for the development of Jatropha. A grant has been given by Pertamina also been distributed and bought machinery processing castor oil in the District of Toro. But in its development, the DME that is not working as expected and eventually stopped. Failure is then attempted to be studied in this research. Particularly with respect to social aspects that led to the failure of the DME. Furthermore, the SSM, this study tries to reconstruct a model of community empowerment that is suitable for the future development of DME."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Endang Setiowati
"ABSTRAK
Upaya pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul sejak 20 tahun yang lalu masih belum dirasakan secara merata oleh masyarakat di kawasan tersebut. Padahal di wilayah pesisir ini telah terjadi pergeseran dalam mata pencaharian, yaitu peralihan dari petani ke petani-nelayan ataupun nelayan-petani. Peralihan ini mungkin terjadi karena tuntutan keadaan dan dalam batas tertentu akan berdampak pada keberlanjutan sumberdaya daratan dan perairan Upaya pernberdayaan masyarakat pesisir dalam rangkaian pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam masyarakat pesisir inilah yang merupakan permasalahan yang mendasari penelitian.
Tujuan dari pellitian ini adalah untuk rnengetahui sejauh mana pengaruh kegiatan pemberdayaan dalarn peningkatan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat terhadap pelestarian lingkungan masyarakat pesisir, sehingga dapat ditentukan atau disusun strategi pemberdayaan agar diperoleh hasil yang berdaya guna.
Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi masyarakat pesisir di lokasi, baik yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi maupun kesadaran dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik. Diharapkan dengan adanya pembahan tersebut akan terjadi peningkatan kesejahteraan serta tingkat partisipasi atau kepedulian dalam pelestarian lingkungan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menekankan pada pendekatan kualitatif disertai dengan data dan analisis statistik (kuantitatif) sebagai penunjang. Penelitian ini mengambil kasus pemberdayaan sekelompok masyarakat di pesisir Kecamatan Tepus dan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam daratan, pesisir dan laut, yang mencakup wilayah Pantai Baron, Drini, Sundak dan Siung. Upaya pernbcrdayaan nelayan di pesisir Kabupaten Gunungkidul ini pertama kali dilakukan di Pantai Baron pada tahun 1980 yang kemudian diikuti oleh keetiga pantai lainnya.
Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa upaya pemberdayaan berupa peningkatan kesejahtraan masyarakat belum dapat menjangkau seluruh rnasyarakat nelayan disebabkan seluruh rangkaian kegiatan pemberdayaan yang terdiri lima upaya pemberdayaan tampak tidak terpola dan terkesan tidak ada perencanaan yang matang, baik untuk cara, waktu dan tempat pemberdayaan. Kemelimpahan sumberdaya laut pada umumnya belun dapat dimanfaatkan secara optimum oleh penduduk setempat, antara Iain disebabkan oleh keterbatasan teknologi dan kondisi sosiokultural yang menjadi kendala dalam adopsi dan keberlanjutan pemanfaatan teknologi mengingat pembinaan sosial budaya masih sangat kurang dibandingkan dengan upaya pemberdayaan lainnya.
Partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan sebagai hasil dan program pemberdayaan juga menunjukkan hasil yang belum optimal. Kepedulian masih ditunjukkan dalam pemahaman saja bukan pada suatu tindakan atau perbuatan yang nyata dengan tujuan yang lebih mengarah kepada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Tujuan utarna dari pemberdayaan, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum dapat tercapai secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Konsep keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat pesisir harus memperhatikan 5 (lima) upaya pemberdayaan yang terdiri atas upaya memotivasi masyarakat (motivasi), pembinaan ketrampilan, pembinaan dalam bidang pengelolaan (manajemen), pembinaan dalam usaha pelestarian lingkungan dan pembinaan sosial budaya, dimana faktor sosial budaya merupakan bagian penting dmi kelima upaya tersebut seluruh rangkaian, proses dan hubungan antar upaya pemberdayaan tersebut adalah proses pemberdayaan lanjutan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan sehingga tujuan dari pemberdayaan masyarakat pesisir dapat tercapai baik dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan yang Iestari baik daratan, pesisir dan laut.
Program pemberdayaan lanjutan hendaknya dimasukkan dalam kerangka perencanaan yang matang dan lebih menekankan pada bidang sosial budaya khususnya pendidikan mengingat masih diperlukan sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir yang tanggap terhadap inovasi dan perubahan baru.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam kajian dan analisis mengenai upaya pemberdayaan masyarakat pesisir, terutama untuk daerah yang mempunyai karakteristik hampir sama dengan Iokakaji, dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam (daratan, pesisir dan laut) serta perubahan kondisi ekonomi, sosial dan budaya petani serta partisipasinya (petani-nelayan) dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai dampak adanya kegiatan pemberdayaan (diversitikasi mata pencaharian) tersebut. Dari penelitian ini dapat tergali dan terungkap pola kehidupan masyarakat setelah adanya upaya pemberdayaan yang menyangkut pola sosial, ekonomi dan budaya setempat dan dihubungkan dengan upaya mereka untuk melestarikan sumberdaya alam yang menjadi sumber kehidupannya untuk mendapatkan keseimbangan dan kesinambungan.

Abstract
Efforts to empower people living in coastal areas made by the regional govemment of Gunungkidul over the past 20 years have produced results although these are not enjoyed by all the people. The region has seen people in coastal areas change jobs. The shifts from farmers to farming-fishermen and fishing-farmers may be due to the current circumstances, and to a certain extent will affect the sustain- ability of land and marine resources. The coastal community empowerment program to enable them to use and manage marine resources is the issue on which this research was based on.
The research aimed at finding out how the empowerment activities affect the promotion of the people?s welfare and their participation in conservation the coastal environment so that efficient empowennent strategies can be set up or devised.
The community empowerment basically aimed at developing the potentials of the studied coastal communities with respect to scientific knowledge, technologies and awareness of using the available resources so that their quality of life could improve. These changes were expected to promote people?s welfare and their level of participation in or concern for environmental protection.
The research was conducted using the analytical-descriptive method with emphasis on the qualitative- approach; supporting data and statistical (quantitative) analysis were also furnished It studied the case of the empowerment program targeted at a group of people living in the coastal districts of Tepus and Tanjungsari in the regency of Gunungkidul, the program of which was supposed to enable them to use and manage the land, coastal and marine resources in the coasts of Baron, Drini, Sundak and Siung. The efforts to empower Eshennan in coastal of Gtmtmgkidul has been done for the Erst time in the coast of Baron in 1980 and then followed by the other coasts.
Research results showed that the empowemient program to promote people?s welfare had not been enjoyed by all the fishing communities because the empowerment program which consisted of tive activities was not properly outlined and carefully planned, in terms of method, time and place. Local communities had not been able to use the abundant marine resources because of tl1e lack of technological advances. Socio-cultural conditions also hampered the adoption and sustained use of technology be use training on socio-cultural was very limited compared with the other more iiequent empowennent activities.
Community participation in the environment conservation following the empowerment program was also not encouraging. People showed only awareness rather than actual steps or real actions toward fulfilment of economic requirements. The main objective of the program - promoting people?s welfare ~ had not been fully and sustainably achieved.
The concept of a continued coastal community empowerment program should take into account live empowering activities: motivating the communities (motivation), skills training, management training, environment conservation training and socio-culture. In all these five activities, the socio-cultural element plays an important part. The whole program, processes and interconnected activities are part of a follow-up empowerment process within the framework of sustainable development to achieve the goal of the coastal people empowerment program to promote people?s welfare and to protect land, coastal and marine environments.
Further programs should be carefully planned and emphasize on the socio-cultural aspect, particularly education, considering that coastal community members who are responsive to changes and innovations are vital to the programs.
This research were expected can be used as reference in find out and analysis about the coastal community empowerment program, specially for region that almost have similar characteristics, in use and manage natural resources (land, coastal and marine) and the changes of economic, social and culture condition of farmer also the participation (farmer-iisherman) in manage natural resources following the empowerment progam (diversification of employment) implementation From this research can be excavate and reveal the pattern of communities life after the empowerment activities with respect to local social, economic and cultural patterns and related with their effort to the natural resources conservation to get the balancing and contiously of their sources of life.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
D646
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Winowatan
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang persiapan pelaksanaan musyawarah perencaaan pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan pada tahun 2005 di Kelurahan Pondang Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara dan berpedoman pada Surat Edaran Bersama Mendagri dan Kepala Bappenas No. 0259/M.PPN/I/2005 mengenai Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tabun 2005, yang bertujuan untuk mengumpulkan aspirasi dari tingkat desalkelurahan, untuk dibawa ke tingkat kecamatan hingga kabupaten yang dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten.
Saat ini kebijakan yang disusun oleh pemerintah masih banyak yang belum rnenjawab kebutuhan asli masyarakat, pendekatan yang sentralistis membuat kebijakan tersebut menjadi bias dalam pelaksanaannya, sehinga program pembangunan sering tidak menempatkan manusia sebagai pusat dari kegiatan pembangunan (people center development), sehingga perlu untuk melihat bagaimana persiapan kebijakan itu terjadi di tingkat pelaksana terbawah (street level bureaucrat) mempersiapkan implementasi kebijakan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi dan studi kepustakaan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling terhadap aparat pemerintah daerah, di tingkat kelurahan dengan jumlah 18 orang. Hasil penelitian ini dianalisis dengan dilandasi kebijakan mengenai perencanaan pembangunan dan kerangka pemikiran tentang implementasi kebijakan, perencanaan pembangunan partisipatif, serta faktor-faktor yang menghambat persiapan pelaksanaan kebijakan.
Langkah-langkah persiapan yang dilakukan di Kelurahan Pondang meliputi pengorganisasian dan interpretasi, langkah pengorganisasian dilakukan dengan membentuk tim penyelenggara Musrenbang Kelurahan, setelah itu tim penyelenggara menyiapkan sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan musrenbang. Langkah berikutnya adalah langkah interpretasi yaitu usaha pihak pelaksana dalam memahami isi dari petunjuk teknis pelaksanaan musrenbang tersebut. Sebelum pelaksanaan Musrenbang sebagai bagian dari tahap interpretasi juga diadakan rapat penjaringan aspirasi di tingkat lingkungan, dimana hasil penjaringan aspirasi di tingkat lingkungan dijadikan sebagai dasar untuk pelaksanaan Musrenbang Kelurahan.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa proses persiapan pelaksanaan musrenbang di kelurahan Pondang dibagi dalam dua tahapan besar yaitu tahap pengorganisasian dan tahap interpretasi. Dalam tahap pengorganisasian dimana pada tahap tersebut panitia dibentuk dan melaksanakan tugas-tugasnya masih sangat didominasi oleh pihak pemerintah dan tidak melibatkan masyarakat dalam kepanitiaan. Tidak ada perekrutan sesuai dengan kebutuhan kebijakan yang akan dilaksanakan. Namun struktur organisasinya mengikuti struktur yang ada dalam kelurahan. Sedangkan pada tahap interpretasi, dimulai dari proses kemampuan dari pelaksana untuk memahami bagaimana seharusnya pelaksanaan musrenbang tersebut dilaksanakan menjadi faktor yang penting dan tidak didasarkan pada pengalaman saja. Hal-hal tersebut adalah pemahaman mengenai tujuan kebijakan, sumber daya yang akan digunakan, proses dalam kebijakan itu sendiri, serta aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan bagaimana mereka berintraksi. Di Kelurahan Pondang hal tersebut tidak seluruhnya dapat dipahami oleh perangkat kelurahan karena keterbatasan pengetahuan mengenai perencanaan pembangunan partisipatif. Sedangkan untuk hambatan terdiri atas kegagalan komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan sikap dari pelaksana kebijakan itu sendiri. Dari hambatan-hambatan tersebut masalah waktu dan dana yang terbatas serta sikap yang tidak antusias terhadap musrenbang menjadi hambatan terbesar dalam persiapan pelaksanaan musrenbang.
Saran yang dapat dikemukakan dalam tesis ini yaitu : pertama, peningkatan komunikasi antara pihak kabupaten dan pihak kelurahan. Hal ini penting karena dengan adanya komunikasi maka akan tercipta proses transfer of knowledge yang dapat berdampak pada pemahaman pelaksana di tingkat desa/kelurahan akan semakin baik dan pada akhirnya tercapainya tujuan dari pelaksanaan musrenbang tersebut. Kedua, perlu adanya usaha untuk meningkatkan kapasitas pelaksana Musrenbang terutama di tingkat kelurahan/desa, terutama kemampuan dalam perencanaan pembangunan partisipatif. Usaha ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan pelatihan atau seminar mengenai perencanaan pembangunan partisipatif. Dengan adanya kemampuan tersebut maka dengan sendirinya akan meningkatkan kualitas dari hasil musrenbang itu sendiri dan dapat menjamin partisipasi masyarakat dalam Musrenbang itu sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaeroni
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa strategi pembangunan top down (dari atas ke bawah) sebagaimana diterapkan pada era Orde Baru dinilai tidak banyak memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas dan daya kreasi masyarakat. Oleh karena itu, program desa binaan yang menggunakan pendekatan community development dan bertumpu pada religion-based development, perlu dikaji sejauh mana mobilisasi dan kecenderungan partisipasi santri dan abangan dalam pelaksanaan program desa binaan.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalalh secara kuantitatif dan dilengkapi metode kualitatif. Sampel yang diambil sebagai responden sebanyak 60 orang dari 2.630 jumlah populasi. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara quotum berdasarkan geografis. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah melalui kuesioner, wawancara, dan observasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi partisipasi responden dalam memberikan sumbangan pemikiranlide pada pelaksanaan program desa binaan relatif tinggi (0,70). Dilihat dari sosio-religius, tampak di sini bahwa responden santri lebih aktif (0,79) dibandingkan dengan responden abangan yang hanya sebesar 0,53, dengan rasio kecenderungan (RK) kalangan responden santri 3,06 kali lebih besar dari pada kaum abangan. Besarnya proporsi dan peluang responden dalam memberikan sumbangan pemikiran/ide berhubungan dengan status sosio religiusnya, sekalipun tidak begitu besar atau hanya sebesar 0,54 (sedang).
Proporsi responden dalam memberikan sumbangan materi berada pada kategori sedang atau 0,48. Dilihat dari sosio religius, responden santri lebih aktif memberikan sumbangan materi, dengan jumlah sebesar 0,53 (sedang) dibandingkan dengan abangan yang hanya sebesar 0,35 (rendah), dengan rasio kecenderungan partisipasi responden santri 2,09 kali lebih besar dari pada responden abangan. Namun demikian, derajat hubungan antara variabel sosio religius dan partisipasi relatif rendah atau hanya 0,36. Sedangkan dalam bentuk sumbangan tenaga, proporsi partisipasi responden tergolong sangat tinggi (0,82). Di lihat dari latar belakang sosio-religius, responden santri memberikan sumbangan tenaga lebih tinggi yakni sebesar 0,88 (sangat tinggi) dibandingkan abangan yang hanya sebesar 0,65 (tinggi), dengan rasio kecenderungan responden santri 3,67 kali lebih besar dari pada responden abangan. Adapun derajat hubungan antara variabel sosio-religius dan variabel partisipasi sebesar 0,61 (tinggi). Sementara itu, dalam bentuk pemanfaatan pelayanan pembangunan, proporsi partisipasi responden tergolong sangat tinggi (0,93). Di lihat dari latar belakang sosio-religius, responden santri memberikan sambangan tenaga lebih tinggi yakni sebesar 0,98 (sangat tinggi) dibandingkan abangan yang hanya sebesar 0,82 (sangat tinggi), dengan rasio kecenderungan responden santri 10,75 kali lebih besar dari pada responden abangan. Adapun derajat hubungan antara variabel sosio religius dan variabel partisipasi sebesar 0,80 (sangat tinggi). Tingginya tingkat partisipasi responden pada pelaksanaan program desa binaan adalah karena adanya faktor-faktor: Pertama, adanya aktifitas kehidupan beragama yang relatif baik. Kedua, adanya hubungan intern umat beragama yang baik. Ketiga, adanya jalinan hubungan sosial yang baik, dan keempat, adanya kesamaan visi. Sementara itu, faktor yang menghambat partisipasi responden adalah: Pertama, rendahnya tingkat pendidikan. Kedua, rendahnya Tingkat Kehidupan Ekonomi. Ketiga, longgarnya nilal-nilai keagamaan, dan keempat, terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk program desa binaan.
"
2000
T3513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didit Susiyanto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Pengembangan Masyarakat dalam Pengelolaan Air Besih Berbasis Kelembagaan Lokal yang dilakukan oleh paguyuban Tirta Mandiri di desa Dadapan, Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Sedangkan pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam dengan 23 informan yang terdiri dari tokoh masyarakat, kepala desa, pengelola paguyuban Tirta Mandiri dan anggota paguyuban.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa terjadi keefektifan pengelolaan air bersih yang dikelola kelembagaan lokal melalui bentuk mekanisme keorganisasian sehingga memunculkan partisipasi aktif anggota pada proses pengembangan masyarakat. Keberadaanya memberikan manfaat bagi masyarakat dalam mengakses air bersih dan terpeliharanya nilai dan budaya lokal di masyarakat.

ABSTRACT
The thesis discusses about community development through clean water management based local institution done by Tirta Mandiri community in Dadapan village, Lumajang regency, Jawa Timur province. The research used a qualitative approach to the type of descriptive study research. While collecting data using in-depth interviews with 23 informants which consists of natural leader dan head of village, managers of Tirta Mandiri and formal members.
The results of this study show that the effectiveness in water clean management by local institution through organized mechanism with the result that active participation of members in processing community development . This benefits the society in accessing clean water and nurturing local values and culture in the society. "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>