Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73629 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arora, S.P.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989
636.2 ARO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Fitri
"Inokulum merupakan suatu media pertumbuhan bagi mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme dan kinerja reaktor Anaerobic Digestion (AD). Kinerja inokulum dapat dioptimalkan dengan beberapa cara, salah satunya adalah aditif asetat yang dapat mendorong pertumbuhan archaea metanogen agar fermentasi anaerob berjalan lebih baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan asetat dalam inokulum pada populasi mikroorganisme penghasil metana dan pengaruhnya pada populasi mikroorganisme, pembentukan biogas, penyisihan Volatile Solids (VS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Terdapat 2 jenis inokulum yang digunakan pada penelitian ini, inokulum alami yang terbuat dari kotoran sapi dan inokulum buatan yang terbuat dari terasi, gula pasir, batang pohon pisang busuk, susu, dan dedak, ekstrak ragi, Lactobacillus MRS Broth, cairan rumen, dan penambahan asetat sebagai sumber karbon. Percobaan dilakukan pada reaktor AD berbahan fiber dan tanpa pengaduk yang memiliki volume keseluruhan 1 m3 dan volume isi 0,8 m3 selama 71 hari kerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan asetat tidak terbukti memperkaya populasi archaea metanogen dan produksi biogas. Metana dihasilkan dari genus Methanosaeta yang jumlahnya sangat sedikit yaitu hanya 0,004% dan genus Prevotella dalam jumlah cukup banyak yaitu 26,6% pada akhir operasional. Prevotella membentuk metana melalui penggunaan asam laktat yang dihasilkan genus Lactobacillus. Namun, inokulum buatan dengan aditif asetat terbukti meningkatkan konsentrasi metana hingga 41,7%, VSD hingga 91%, dan CODr hingga 99,5%. Hal ini menunjukkan inokulum buatan memiliki potensi yang sangat baik sebagai media pertumbuhan untuk menunjang pengolahan sampah makanan pada Anaerobic Digestion (AD) dengan bantuan pengontrolan pH yang sesuai dengan rentang pH optimum untuk tahap metanogenesis.

The inoculum is a growth medium for microorganisms to decompose organic matter that can optimize the growth of microorganisms and the performance of the Anaerobic Digestion (AD) reactor. The performance of the inoculum can be optimized in several ways, one of which is acetate additives which can encourage the growth of archaea methanogens so that anaerobic fermentation runs better.
The purpose of this study was to analyze the effect of the addition of acetate in the inoculum on the population of methane-producing microorganisms and their effect on microorganism populations, biogas formation, removal of Volatile Solids (VS) and Chemical Oxygen Demand (COD). There are 2 types of inoculums used in this study, natural inoculum made from cow dung and modified inoculum made from shrimp paste, granulated sugar, rotten banana tree trunks, milk, and bran, yeast extract, Lactobacillus MRS Broth, rumen liquid, and additions acetate as a carbon source. The experiments were carried out on an AD reactor made from fiber and without stirrer which had an overall volume of 1 m3 and a volume of contents of 0.8 m3 for 71 working days.
The results showed that the addition of acetate was not proven to enrich the archaea methanogen population and biogas production. Methane is produced from the genus Methanosaeta, which is very small, only 0.004% and the genus Prevotella in considerable numbers, which is 26.6% at the end of operation. Prevotella forms methane through the use of lactic acid produced by the genus Lactobacillus. However, the modified inoculum with acetate additives was proven to increase the concentration of methane to 41.7%, VSD to 91%, and CODr to 99.5%. This shows that the modified inoculum has very good potential as a growth medium to support food waste processing in Anaerobic Digestion (AD) with the help of pH control that is in accordance with the optimum pH range for the methanogenesis stage.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadani
"Potensi Usaha Mikro Kecil Menengah kota Depok sangat beragam dan berkembang pesat dikarenakan posisi kota yang strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Namun, khusus pada jajanan kuliner belum dijamin keamanannya dari adanya cemaran mikroba patogen dalam makanan dan minuman. Adanya cemaran mikroba patogen pada makanan dan minuman dapat menimbulkan resiko penyakit. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya cemaran mikroba patogen pada sampel susu kedelai usaha rumahan. Sampel pengujian ini diambil dari tujuh produsen susu kedelai usaha rumahan yang menjajakan dagangannya di sekitar kampus Universitas Indonesia.Uji yang dilakukan meliputi penetapan Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang Khamir (AKK), Angka Paling Mungkin (APM) Coliform, serta identifikasi Escherichia coli, Salmonella-Shigella, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa yang mengacu pada metode dalam SNI 7388-2009.Dari tujuh sampel susu kedelai yang diperiksa menunjukkan sampel A, B, C, dan D tercemar sedangkan sampel E, F, dan G tidak tercemar mikroba patogen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa belum seluruh sampel susu kedelai terjamin kualitasnya secara mikrobiologis.

Potential of Micro, Small and Medium Enterprises Depok city is very diverse and is growing rapidly due to the strategic position of the city, flanked by Jakarta and Bogor. However, especially in the culinary snacks yet secured from the presence of pathogenic microbial contamination in foods and beverages. The presence of pathogenic microbial contamination in foods and beverages can cause the risk of disease. This research conducted to identify the presence or absence of pathogenic microbial contamination in soy milk sample home-based business. The test samples were taken from seven manufacturers of soy milk home-based businesses that peddle his wares around the campus of the University of Indonesia. Testing was conducted on the determination of Total Plate Count(TPC),mold-yeast count (AKK), most probable number (MPN), as well as the identification Escherichia coli, Salmonella - Shigella, Staphylococcus aureus, and Pseudomonas aeruginosa which refers to the method in SNI 7388 - 2009.From seven samples of soy milk were examined showed a sample A, B, C, and D contaminated while samples E, F, and G are not pathogenic microbes uncontaminated. These results indicate that not all soy milk samples microbiological quality assured."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53584
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kesya Hanna Rosalie
"Pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan konsumsi masker sekali pakai dalam pencegahan penularan virus SARS-CoV-2 yang mengakibatkan akumulasi limbah masker sekali pakai. Polipropilena sebagai bahan utama masker membuat masker sulit untuk terurai secara alami. Larva T. molitor diketahui dapat mendegradasi berbagai jenis plastik secara fisik dan in-situ. Namun belum ada studi yang menjelaskan kemampuan degradasi masker secara ex-situ dari mikroba konsorsium saluran pencernaan larva T. molitor. Penelitian ini diawali dengan budidaya larva dengan pemberian pakan 100% masker sekali pakai sebagai dasar untuk mengevaluasi konsorsium bakteri yang digunakan untuk degradasi ex-situ. Konsorsium mikroba dari pencernaan larva diekstraksi untuk analisis metagenomik dan ditumbuhkan melalui proses fermentasi dalam Minimum Salt Media (MSM) dan potongan masker sekali pakai yang terdiri dari lapisan luar, tengah, dan dalam dengan ukuran 3 x 3 cm selama 52 hari di bioreaktor batch berukuran 500 mL. Analisis metagenomik menunjukkan keragaman mikroba yang didominasi oleh Klebsiella aerogenes, Tenebrionicola larvae, Enterobocater, Lactococcus garvieae, dan Lactococcus formosensis. Pertumbuhan mikroba selama fermentasi mengalami peningkatan nilai optical density (OD) yang diukur menggunakan spektrofotometer UV Vis (600 nm). Tingkat konsumsi masker lapisan luar, tengah, dan dalam diperoleh masing-masing sebesar 19,200%±0,031, 30,333%±0,031, dan 26,400%±0,040. Biodegradasi masker sekali pakai dibuktikan melalui pengurangan massa dari masker. Selain itu, perubahan fisik pada masker seperti kerusakan permukaan, goresan, dan perubahan gugus fungsi dikonfirmasi melalui Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Temuan ini menunjukkan bahwa konsorsium mikroba dari saluran pencernaan T.molitor dapat mendegradasi masker sekali pakai secara ex-situ sebagai salah satu upaya penyelesaian akumulasi limbah masker sekali pakai yang berkelanjutan.

The COVID-19 pandemic has led to a surge in the use of single-use masks to prevent the transmission of the SARS-CoV-2 virus, resulting in significant mask waste accumulation. These masks are primarily made of polypropylene, a material that does not decompose naturally. T. molitor larvae have been shown to degrade various plastics physically and in-situ, but there is limited research on their ability to degrade masks ex- situ using microbes from their gut. This study aimed to explore this potential by first cultivating larvae fed exclusively on single-used masks to establish a basis for evaluating the microbial consortia involved in ex-situ degradation. The microbial consortium from the larvae's gut was extracted for metagenomic analysis and then cultured through a fermentation process in Minimum Salt Media (MSM) with pieces of single-used masks measuring 3 x 3 cm sections of outer, middle, and inner layers) for 52 days in a 500 mL batch bioreactor. Metagenomic analysis revealed a microbial diversity dominated by Klebsiella aerogenes, Tenebrionicola larvae, Enterobocater, Lactococcus garvieae, and Lactococcus formosensis. During fermentation, microbial growth was monitored by measuring the optical density (OD) at 600 nm using a UV-Vis spectrophotometer. The consumption levels of the mask's outer, middle, and inner layers were 19.200%±0.031, 30.333%±0.031, and 26.400%±0.040, respectively, as indicated by the reduction in mask mass. Physical changes to the mask, such as surface damage, scratches, and alterations in functional groups, were confirmed through Scanning Electron Microscopy (SEM) and Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). These findings suggest that a microbial consortium from the gut of T. molitor can effectively degrade single-use masks ex-situ, offering a promising solution for managing single-use mask waste sustainably."
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurwulan
"Kacang kedelai sangat sering digunakan sebagai bahan pangan di Indonesia karena harganya yang murah dan mengandung zat gizi tinggi seperti protein. Namun, kedelai mempunyai zat anti gizi seperti polifenol dan fitat yang dapat mengganggu penyerapan zat besi di dalam tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ketersediaan fortifikasi zat besi secara in vitro pada pangan berbasis kedelai seperti, tempe, tahu dan susu kedelai. Proses in vitro dilakukan dengan enzim pepsin, pankreatin dan ekstrak bile. Fortifikan yang digunakan yaitu NaFeEDTA dan ferrous succinate. NaFeEDTA disintesis dari Na2H2EDTA.2H2O dan NaOH serta FeCl3, sedangkan ferrous succinate dari NaOH, asam suksinat, FeSO4.7H2O dan BaCl2.2H2O. NaFeEDTA dan ferrous succinate hasil sintesis dikarakterisasi dengan FTIR yang menunjukan adanya ikatan Fe-N (dari EDTA) pada 390 cm-1 dan pada 620 cm-1 dari ikatan Fe-O pada ferrous succinate. Pada penelitian ini diukur kadar Fe non polifenol dengan menggunakan AAS. Hasil pengukuran kadar Fe dengan AAS menunjukkan efektifitas tertinggi pada penambahan NaFeEDTA untuk tempe 18,81 mg, tahu 37,61 mg, dan susu kedelai 18,81 mg. Sedangkan ferrous succinate untuk tempe 7,69 mg, tahu 7,69 mg, dan susu kedelai 7,69 mg. Sesuai dengan teori, NaFeEDTA lebih efektif sebagai fortifikan.

Soybean are very often used as food in Indonesia because the price is cheap and contain high nutrients such as protein. However, soybean have anti-nutrients substances such as polyphenol and phytate that can inhibit iron absorption in the body. The purpose of this study was to determine availability of iron fortification in vitro in soy-based food such as tempeh, tofu and soy milk. In vitro process using pepsin, pancreatin and bile extract enzyms. Fortificant which are used are NaFeEDTA and ferrous succinate. NaFeEDTA is produced by synthesis of Na2H2EDTA.2H2O, NaOH and FeCl3 while ferrous succinate by NaOH, succinate acid, FeSO4.7H2O and BaCl2.2H2O. Product of synthesis NaFeEDTA and ferrous succinate characterized with FTIR and the result show that the presence of Fe-N bond (of EDTA) 390 cm-1 and 620 cm-1 from Fe-O bonding of ferrous succinate.In this study we were analysed Fe non polyphenol by Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). The results showed the highest effectivity by using NaFeEDTA as fortificant are 18,81 mg for tempeh, 37,61 mg for tofu, and 18,81 mg for soy milk. Whereas by using ferrous succinate are 7,69 mg for tempeh, 7,69 mg for tofu, and 7,69 mg for soy milk. Based on theory, NaFeEDTA more effective as fortificant.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Astri Faradiba
"Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi adalah strategi yang layak saat ini untuk meningkatkan asupan mineral zat besi. Dalam penelitian ini, kedelai dalam olahan tahu, tempe, dan susu diuji untuk kesesuaian sebagai media fortifikasi dengan zat besi. Ferrous fumarate dan ferrous bisglycinate ditambahkan pada beberapa variasi penambahan dan diuji bioavailabilitasnya secara in vitro pencernaan. In vitro pencernaan pada pangan berbasis kedelai menggunakan enzim pepsin dan campuran enzim pancreatin beserta extract bile. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas zat besi yang difortifikasi pada pangan berbasis kedelai dapat terserap baik pada tahu dengan nilai efektivitas 94,86% untuk ferrous fumarate dan 77,14% untuk ferrous bisglycinate.

Fortification of staple foods with iron is a viable strategy at this time to increase the intake of iron minerals. In this study, processed soy in tofu, tempeh, and milk were tested for suitability as a medium for fortification with iron. Ferrous fumarate and ferrous bisglycinate added on some additional variations and tested its bioavailability in vitro digestion. In vitro digestion in soybean-based food using the pepsin enzyme and pancreatin enzyme mix along with extract bile. The results of this study indicate that the bioavailability of iron in fortified soy-based food can be absorbed well in tofu with the effective value for ferrous fumarate 94.86% and 77.14% for ferrous bisglycinate."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyakit cacing Nematoda saluran pencernaan (NSP) pada ruminansia sangat merugikan peternak kecil. Untuk penanggulangannya dilakukan beberapa cara, yaitu pengobatan dengan antelmintika yang diikuti dengan perbaikan manajemen peternakan dan kontrol biologi (biokontrol) dengan kapang atau kumbang kotoran. Pengobatan dengan antelmintika dilaporkan telah menimbulkan resistensi agen penyakit dan meningkatkan residu bahan kimia pada produk ternak dan lingkungan. Kontrol biologi dengan menggunakan kapang nematofagus, terutama dari genus Arthrobotrys dan Duddingtonia, dapat menurunkan infeksi larva infektif NSP dari golongan Trikhostrongilid pada tinja dan padang penggembalaan. Iklim Indonesia yang tropis basah sangat mendukung pertumbuhan kapang nematofagus, sehingga kontrol biologi terhadap cacing NSP dengan kapang ini mempunyai prospek yang baik di masa mendatang. "
Lengkap +
MPARIN 10 (1-2) 1997
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nunik Utami
"Uveitis jarang terjadi dengan insidens sekitar 52/100.000 penduduk/tahun namun dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis uveitis di Indonesia selama ini berdasarkan gambaran klinis dan belum dibuktikan dengan pemeriksaan deteksi mikroba sehingga belum diketahui prevalensi patogen uveitis. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan peran uji real time PCR sebagai pendukung diagnosis etiologi sehingga dapat diketahui proporsi Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma gondii, Rubella, Herpes simplex, Varicella zoster, Epstein barr, Cytomegalovirus sebagai penyebab uveitis dan analisis kesesuaian diagnosis klinis dengan hasil pemeriksaan real time PCR. Pengambilan sampel cairan akuos dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI-RSCM, sedangkan untuk uji real time PCR dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM selama rentang waktu Oktober 2016 sampai Mei 2017. Terdapat total 81 pasien dengan diagnosis klinis uveitis infeksi 32, 22 uveitis non-infeksi, dan 27 idiopatik. Berdasarkan uji real time PCR diperoleh hasil bahwa patogen terbanyak yaitu CMV diikuti oleh Toxoplasma Gondii dan Mycobacterium tuberculosis. Mikroba terdeteksi pada 14 spesimen diantara 32 uveitis infeksi, 1 spesimen diantara 22 uveitis non-infeksi, dan 2 diantara 27 uveitis idopatik. Dari 17 hasil positif real time PCR 13 sampel menunjukkan hasil PCR yang sesuai dengan klinis sedangkan 4 sampel tidak sesuai. Deteksi mikroba menggunakan pemeriksaan PCR pada cairan akuos dapat membantu dalam penegakan diagnosis dan tatalaksana uveitis dengan tepat.

Uveitis is a rare disease with an incidence of 52 100,000 population year but can cause blindness. The diagnosis of uveitis in Indonesia has been upheld primarily based on clinical features and has not been proven by microbial detection, so it is never known precisely the prevalence of uveitis pathogens. This study aims to increase the role of microbiological examination of real time PCR as supporting the etiology diagnosis so that it can be known the proportion of Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma gondii, Rubella, Herpes simplex, Varicella zoster, Epstein barr, Cytomegalovirus as cause of uveitis and assess a clinical diagnosis accordance with real time PCR results. Aqueous tap was conducted at the Department of Opthalmology FMUI RSCM, while for real time PCR was conducted at Clinical Microbiology Laboratory FMUI RSCM during October 2016 until May 2017. There were a total of 81 patients with clinical diagnosis consisting of 32 infectious uveitis, 22 non infectious uveitis, and 27 idiopathic uveitis. Based on real time PCR results obtained that the most common pathogens are CMV followed by Toxoplasma Gondii and Mycobacterium tuberculosis. Microbes were detected in 14 specimens among 32 infectious uveitis, 1 sample among 22 non infectious uveitis, and 2 of 27 idiopathic uveitis. Out of 17 positive results of real time PCR 13 samples showed a clinically accordance with the real time PCR result whereas 4 samples did not. Microbial detection using PCR of aqueous humor is helpful in diagnosing and management of uveitis."
Lengkap +
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Coccidia adalah suatu golongan parasit protozoa yang hidup intra sel di dalam usus halus terutama pada vertebrata termasuk manusia. Coccidia usus yang menginfeksi manusia dapat bersifat patogen dan menimbulkan berbagai gejala terutama diare. Cryptosporidium spp dan Isospora belli mempunyai penyebaran luas terutama di daerah-daerah beriklim panas. Infeksi oleh parasit tersebut umumnya akut tetapi seringkali menjadi berat dan kronis pada orang-orang dengan sistem kekebalan menurun seperti penderita AIDS yang akan berakhir dengan kematian. Belum ada obat yang betul-betul efektif terutama untuk kriptosporidiosis. Keterangan mengenai parasit S. suihominis dan S. bovihominis masih jarang dan bagaimana cara infeksi parasit tersebut pada penderita imunodefisiensi belum banyak diteliti."
Lengkap +
MPARIN 8 (1-2) 1995
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>