Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114387 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Imparsial, 2007
343.014 3 REF
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yuddy Crisnandi
"Dwifungsi ABRI yang ditenggarai sebagai faktor penyebab intervensi militer kedalam urusan non-militer, dirasakan telah menjurus pada keadaan yang mengkhawatirkan perkembangan demokrasi di era Orde Baru (1966-1998). Sikap sinis masyarakat dan kritik-kritik terhadap peran militer yang melampaui porsi fungsinya, seakan tidak membuat militer bergeming hingga penghujung era kekuasaan Presiden Soeharto. Turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, mendorong keberanian masyarakat untuk mendesakan keinginan mengembalikan militer sebagai kekuatan pertahanan belaka. Masyarakat menuntut militer untuk menghentikan seluruh kegiatan diluar tugas-tugas kemiliteran. Urusan sosial politik diharuskan tidak lagi menjadi wewenang militer. Militer diminta tidak mengambil porsi jabatan birokrasi sipil. Militer juga dituntut membenahi diri lebih professional. Berbagai tuntutan ditujukan kepada militer untuk segera menghapuskan doktrin Dwifungsinya.
Menjawab desakan kuat masyarakat yang tidak menghendaki militer berperan dalam urusan sosial-politik, militer mencanangkan apa yang disebutnya Reformasi Internal ABRI. Militer juga berargumentasi bahwa ide reformasi internalnya, sudah dipersiapkan dan selaras dengan harapan masyarakat. Militer mengaku tidak merasa bahwa desakan masyarakat sebagai penyebab langkah-langkah reformasi internal ABRI. Namun, kenyataannya konsep reformasi internal ABRI pada tahap awal, tidak seperti apa yang dituntut oleh masyarakat. ABRI lebih mengedepankan pendekatan implementasi bertahap sementara masyarakat menginginkan berlangsung sesegera mungkin. Bahkan ABRI masih memandang perlu konsep Dwifungsi yang di luruskan pelaksanaannya, sementara masyarakat menghendaki dihapuskannya. Pergulatan dinamika wacana panjang tentang reformasi internal ABRI, pada akhirnya tunduk pada kehendak masyarakat. Namun, militer masih juga mengatakan bahwa reformasi internal ABRI sudah direncanakan sejak awal dan berangkat dari kesadaran internal militer untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Reformasi internal ABRI, tampaknya secara nyata tidak akan terwujud bila tidak pernah terjadi peristiwa reformasi nasional. Peristiwa-peristiwa politik menjelang reformasi, desakan masyarakat, dan peran militer menyikapi dinamika politik yang berlangsung saat itu, turut menentukan perkembangan politik selanjutnya yang menyentuh militer dengan reformasi intemalnya. Implementasi reformasi internal militer berdampak luas terhadap reposisi peran militer dalam kehidupan nasional. Dikembalikannya fungsi militer sebagai alat pertahanan negara belaka, menandai berakhirnya era Dwifungsi ABRI.
Reformasi internal ABRI telah membawa militer mereposisi diri dalam berhubungan dengan lingkungan eksternalnya. Hubungan sipil-militer yang berlangsung di era kekekuasaan Orde Lama (1952-1966) dan Orde Baru (1966-1998), jauh berbeda dengan di era reformasi. Begitupun hubungan sipil-militer di era reformasi pimpinan Presiden Habibie (1998-1999) berbeda dengan era kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid (1999-2001) maupun Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Memperhatikan hubungan sipil-militer yang berlangsung di era reformasi, tampak jelas belum ada pola hubungan yang stabil. Karenanya, prospek hubungan sipil-militer kedepan menjadi kajian yang sangat menarik untuk mencermati peran militer dalam perkembangan demokrasi.
Hasil penelitian yang didasarkan atas pengamatan dan wawancara mendalam dengan duapuluh enam perwira tinggi militer diantaranya Jenderal Purn. Wiranto dan Jenderal Purn. Susilo Bambang Yudhoyono, serta mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, mencoba memaparkan masalah-masalah yang terkait dengan reformasi internal ABRI, pandangan mereka, serta berbagai hal yang melatarbelakanginya. Hasil penelitian ini memberikan jawaban atas permasalahan penelitian yang bertujuan mengetahui penyebab utama yang mendorong militer melakukan reformasi internalnya. Begitupun dengan hubungan sipil-militer yang berlangsung sesudahnya, adalah bagian yang dikemukakan disini.
Disertasi yang menyajikan hasil penelitian ini disusun dalam 6 bab. Selain mengetengahkan berbagai pendekatan teori tentang keterlibatan militer dalam politik dan hubungan sipil-militer, sejarah politik militer Indonesia yang melatarbelakangi keterlibatannya dalam urusan sosial politik turut diulas. Begitupun para teoritikus militer seperti Samuel P. Huntington, Amos Perlmutter, Erick Nordlinger Carl Von Clausewitz, Morris Janowitz, Gavin Kennedy, Claude E Welch, Harry Holbert Turney, Guilermo 0'Donnel, Larry Diamond, Elliot A. Cohen, karya pemikirannya dijadikan landasan teori untuk memahami fenomena penelitian yang dilakukan. Beberapa contoh keterlibatan militer dalam politik di berbagai kawasan, disajikan untuk melengkapi pemahaman disertasi ini.
Kendatipun, era reformasi telah menempatkan militer pada posisinya yang dijauhkan dari politik, tidak menjamin kalangan militer benar-benar lepas dari ketertarikannya pada masalah politik. Fenomena proses pemilihan Presiden langsung yang pertama di Indonesia (Mei-Oktober 2004), membenarkan kekhawatiran masyarakat akan kembalinya militer berpolitik cukup beralasan. Akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa reformasi internal ABRI tidak berdiri sendiri. Hubungan sipil-militer di era reformasi belum mencerminkan hubungan sipil-militer yang menunjukan bahwa militer berada dibawah kendali otoritas sipil sepenuhnya. Istilah hubungan-hubungan yang seimbang (Equal Relations), hubungan yang setara dan terkendali (Equal & Controllable) dalam konteks hubungan sipil-militer, adalah hal baru yang ditemukan pada hasil penelitian ini. Hubungan sipil-militer seperti itu, tampaknya cocok diterapkan pada masa transisi yang sedang berlangsung di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D594
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuddy Crisnandi
"Internal reform of Tentara Nasional Indonesia, the Indonesian Armed Forces, to disengage itself from political activities post the Soeharto government; study"
Jakarta: LP3ES, 2005
355.033 5 YUD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maha, T.S.
"Di lingkungan Peradilan Militer dikenal adanya Perwira penyerah Perkara (PAPERA), yaitu perwira ABRI yang ditunjuk dan diberi wewenang menyerahkan perkara pidana anggotanya kepada Mahkamah/Pengadilan yang berwenang. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) adalah Papera Tertinggi terhadap tersangka anggota ABRI dan atau mereka yang dipersamakan menurut ketentuan undang-undang.
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1958, yaitu UU No. 6 Tahun 1950, sepanjang mengenai pemeriksaan permulaan, segala sesuatu dipusatkan pada Jaksa Tentara, dan semua pejabat-pejabat lain yang mempunyai peranan dalam penyelenggaraan pemeriksaan permulaan, semuanya bekerja di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara. Dan setelah pemeriksaan berakhir, maka Jaksa Tentara menentukan apakah perkara yang bersangkutan harus diserahkan ke Pengadilan atau tidak.
Sistem ini sangat mengurangi peran serta kedudukan komandan sebagai penyelanggara dan pembina disiplin dan sangat rawan terhadap terjadinya bentrokan antara pihak Kejaksaan dengan pihak pimpinan pasukan. Sistem baru yang diatur pada UU No. 1 Drt Tahun 1958, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 1954, tentang Pertahanan Negara yang berbunyi "Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan komandan komandan mempunyai hak penyerahan perkara", maka keseluruhan wewenang Jaksa Tentara sebagaimana diatur pada UU No. 6 Tahun 1950 dibebankan kepada Ankum/Komandan, kedudukan Jaksa Tentara berada di bawah Ankum/Jaka Tentara. Menjadi masalah ialah apakah Ankum/Komandan sudah siap ?
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa Ankum/Komandan ternyata tidak siap; agaknya pemerintahpun menyadari kondisi ini, maka Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 1 Drt Th 1958 ini tidak kunjung ada. Sementara peradilan harus tetap berjalan, maka sebagai peraturan pelaksanaan dikeluarkan oleh Kasad selaku pimpinan Angkata Darat dan Kas Angkatn lain, sehingga akibat lain yang timbul adalah tidak adanya kesatuan hukum. Maka pelaksanaan hukum acara pada peradilan militer secara formal menggunakan sistem baru, namun secara materiel menggunakan sistem lama. Komandan sering tidak lagi memahami perkara tersangka, tetapi hanya terima tanda tangan saja apa yang disodori oleh Jaksa Tentara.
Hasil kajian penulis tentang kemampuan hukum Ankum/Komandan berdasarkan kurikulum Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Tahun 1974, menunjukkan bahwa pembekalan materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) sejumlah 62jam, yang setara dengan 2,61 SKS (Satuan Kredit Semester) dibandingkan dengan 12 SKS sebagaimana diwajibkan bagi Fakultas Hukum berdasrkan SK Dirjen Dikti No.30/DJ/Kep/l983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum.
Hasil penelitian penulis dilapangan menunjukkan bahwa kelambatan proses penyelesaian suatu perkara lebih sering terjadi karena tidak ditandatanganinya (oleh Papera) Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera). Setelah mengkaji penyebab terjadinya kendala-kendala selama ini, dihubungkan dengan beberapa sistem di negara lain, penulis condong kepada sistem negeri Belanda, yaitu adanya "officier CommissarrisM sebagai Perwira Staf Ahli Ankum/Komandan. Dengan demikian penulis mengemukakan dua hal yang harus diperhatikan dalam upaya mengatasi kendala tersebut di atas, yaitu: l) pengadaan Perwira Staf Ahli untuk semua jajaran mulai dari satuan dengan jabatan Komandan selaku Ankum yang secara teknis dibina oleh Direktorat Hukum TNI-AD; dan 2) kewajiban mengikuti Kursus Ankum/Ke-Papera-an, sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan promosi yang dimulai dari jabatan komandan setingkat Kompi, yang dapat dilakjukan oleh Pusat Pendidikan Hukum TNI-AD. Dengan demikian seorang Komandan tidak perlu lagi dibebani dengan masalah khusus, sehingga dapat memusatkan perhatian pada kemampuan teknis kesatuannya masing-masing. Khusus untuk teknis hukum berada di bawah pembinaan Direktorat Hukum TNI-AD. (TS. Maha)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T36437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Markas Besar ABRI. Badan Pembinaan Hukum, 1985
343.01 YUR I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Markas Besar ABRI. Badan Pembinaan Hukum, 1985
343.01 YUR I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Indra Djaja, 1976
343.014 3 TIG
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jaenal Aripin
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
347.01 JAE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2002
345.023 365 KAL n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2007
345.023 365 KAL n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>