Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174544 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudirman S.
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh tipe penyalaan kontrol jarak sama dan kontrol sudut sama pada penyearah tiga phasa terkendali dengan melihat harmonisa yang ditimbulkan pada input tegangan. Kemudian menghitung efisiensi penyearah dan perbandingan faktor kerja dari kedua tipe kontrol tersebut. Rangkaian penyearah menggunakan filter pasif dengan beban tahanan sebesar 11 ohm dan dianalisis dengan menggunakan simulasi program PSPICE versi 7.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kontrol jarak sama menimbulkan harmonisa arus masukan pada orde ke-5 dan ke-7 sedangkan pada kontrol sudut sama menimbulkan harmonisa pada orde ke-3, 5 dan ke-7. Pada sisi keluaran tipe kontrol jarak sama menimbulkan riak tegangan pada orde 6, sedangkan pada tipe kontrol sudut sama menimbulkan riak tegangan pada orde ke-2 dan ke-6.
Hasil perhitungan riak tegangan yang terjadi sebesar 3,5% dengan efisiensi 99,8% pada kontrol jarak sama, sedangkan pada kontrol sudut sama diperoleh riak tegangan sebesar 4% dengan efisiensi 99.7%. Selanjutnya pada sudut penyalaan 300 diperoleh input THD sebesar 50,26% dengan faktor kerja sebesar 0,89 pada tipe kontrol jarak sama, sedangkan pada tipe kontrol sudut sama diperoleh input THD sebesar 53,831% dengan faktor kerja sebesar 0,87. Dari hasil ini menunjukkan bahwa penyalaan thyristor dengan tipe kontrol jarak sama lebih baik dibandingkan dengan tipe sudut sama.

Analysis of three phase controlled rectifier with the same distance control as compared to the same angle control. This research aim to compare the firing of the same distance and the same angle control at three phase controlled rectifier with seen generated harmonic at input (AC side). Then calculate of rectifier efficiency and power factor comparison from both the control type. The rectifier use passive filter with resistance 11 ohm and is analysed with program simulation using PSPICE version 7.1.
Result of research indicate that use of the same distance control generates the 5th and 7th harmonics, while the same angle control generates the 3rd , 5th and 7th harmonics at the input (AC side). At the output (DC side), the same distance control type generates the 6th voltage ripples, while the same angle control generates the 2nd, and 6th voltage ripples.
The result of calculation of voltage ripples that happened equal to 3.5% with efficiency 99.8% at same distance control, while at the same angle control obtained voltage ripples equal to 4% with efficiency 99.7% . At the firing angle 300 obtained by THD input equal to 50.26% with power factor equal to 0.89 at same distance control type, while the same angle control obtained by THD input equal to 53,831% with power factor to 0,87. From this result indicate that the firing of thyristor with the same distance better then is the same angle control."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Putri Pratama
"Pendahuluan: Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Komplikasi DM dapat menyerang banyak organ. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah dan saraf menyebabkan morbiditas dan disabilitas yang tinggi. Neuropati perifer ditemukan pada setengah penderita DM. Neuropati menyebabkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan autonomik. Hal tersebut dapat mengganggu sensasi protektif pada kaki, menurunkan kekuatan otot, keseimbangan, dan gangguan pola jalan. Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor, aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial, serta kecepatan berjalan antara kelompok DM dengan neuropati dan tanpa neuropati.
 
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan melibatkan 58 subjek, yang terdiri atas 29 subjek neuropati diabetik dan 29 subjek DM tanpa neuropati. Skrining untuk neuropati menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10 gram. Luaran yang diukur dalam penelitian ini adalah kekuatan otot, aktivasi otot, dan kecepatan berjalan. Pengukuran kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor menggunakan hand-held dynamometer. Pengukuran aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial menggunakan surface EMG. Pengukuran kecepatan berjalan dilakukan dengan uji jalan 4 meter. Seluruh luaran dibandingkan antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.
 
Hasil: Kekuatan otot dorsifleksor secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.019). Aktivasi otot tibialis anterior secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.029). Kekuatan otot plantarfleksor, aktivasi otot gastroknemius medial, dan kecepatan berjalan tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok.
 
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan otot dorsifleksor dan aktivasi otot tibialis anterior antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.

Background: Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by increased blood sugar that caused by abnormality of insulin secretion, insulin action, or both. DM complications may affect many organs. Complications that affect blood vessels and nerves cause high morbidity and disability. Peripheral neuropathy is found in almost half of total DM patients. Neuropathy causes impairment in sensory, motor, and autonomic function. It can impair protective sensation of foot, decrease muscle strength, balance and gait disturbance. This study aims to see the differences of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength, activation of tibialis anterior and medial gastrocnemius, and gait speed between neuropathy diabetic patient and DM without neuropathy.
 
Methods: The research method is rcross-sectional on 58 DM subjects, that consist of 29 subjects neuropathy and 29 subjects without neuropathy. Neuropathy screening method use Semmes-Weinstein monofilament 10 gram. 3 outcomes measured in this study, muscle strength, muscle activation, and gait speed. Measurement of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength used hand-held dynamometer. Muscle activation measurement used surface EMG on tibialis anterior and medial gastrocnemius. Gait speed was measured on 4 meter distance. All outcomes was compared between neuropathy diabetic and DM without neuropathy group.
 
Results: Dorsiflexor muscle strength significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.019). Plantarflexor muscle strength and medial gastrocnemius muscle activation do not different significantly. Tibialis anterior muscle activation significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.029). There is no significant different in gait speed between groups.
 
Conclusion: There are significant different in dorsiflexor muscle strength and tibialis muscle activation between neuropathy diabetic and DM without neuropathy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Millen Novia Armayanti
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik dengan risiko komplikasi yang cukup tinggi. Upaya pencegahan terjadinya komplikasi diabetes dapat dilakukan dengan melakukan manajemen diri diabetes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan dan kemampuan manajemen diri diabetes pada kelompok pekerja buruh yang menjalani shift malam. Data diperoleh dari 106 responden di Kota Bekasi dengan menggunakan teknik snowball sampling. Instrument penelitian yang digunakan yaitu instrument tingkat pengetahuan dan instrument manajemen diri diabetes yang dikembangkan dan mengacu pada DSMQ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan terhadap penyakit dan manajemen diri pada pekerja buruh yang menjalani shift malam masuk kedalam kategori cukup baik dengan jumlah 67 responden dan kemampuan manajemen diri diabetes pada kelompok pekerja buruh yang menjalani shift malam dalam kategori baik dengan jumlah 54 responden. Penelitian ini merekomendasikan pemberian edukasi kesehatan terkait manajemen diri diabetes pada penyandang diabetes melitus tipe 2 yang menjalani shift malam seperti edukasi mengenai mengatur waktu makan dan minum obat, waktu berolahraga, dan waktu yang tepat untuk mengecek kadar gula darah pada pekerja shift malam agar pekerja shift malam dapat selalu terpantau dan tidak mengalami hipoglikemia ataupun komplikasi lainnya.

Type 2 diabetes mellitus is a chronic metabolic disease with a high risk of complications. Diabetes self-management has been considered as an effort to reduce complications. This study aimed to identify knowledge level of diabetes and diabetes self-management skills in a group of laborers with type 2 diabetes mellitus who worked night shifts. A total of 106 subjects were recruited from Bekasi City with snowball sampling. The research instrument used is a knowledge level instrument and diabetes self-management that refers to DSMQ. The result showed that the level of knowledge of diabetes melitus and self-management was in the fairly good category with a total of 67 respondents and diabetes self-management in the group of workers who underwent night shift were in the good category with a total of 54 respondents. This study provides education related to diabetes management in people with type 2 diabetes who undergo night shift such as education about managing the time to eat and take medication, when to exercise, and the right time to check sugar levels in night shift workers so that night shift workers can always be monitored and there was no hypoglycemia or other complications."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Wilson MCH Puar
"Latar belakang. Pengaruh Diabetes Melitus Tipe-1 (DMT1) terhadap massa dan fungsi ventrikel kiri pada anak masih menjadi perdebatan.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran massa dan fungsi ventrikel kiri pada anak DMT1.
Metode. Dilakukan penelitian potong lintang dengan membandingkan massa, fungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri 30 anak DMT1 berusia 4 sampai dengan 18 tahun dengan 30 anak sehat sebagai kontrol yang bersesuaian jenis kelamin dan umur. Massa dan fungsi ventrikel kiri diperiksa dengan ekokardiografi.
Hasil. Massa ventrikel kiri anak DMT1 lebih besar dari pada anak sehat, perbedaan ini bermakna. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan massa tersebut adalah lama sakit dan tekanan darah. Fungsi diastolik pada anak dengan DMT1 berbeda bermakna dibanding anak sehat. Pola perubahan parameter fungsi diastolik anak DMT1 sesuai dengan gambaran disfungsi diastolik gangguan pola relaksasi. Faktor yang berhubungan dengan perubahan fungsi diastolik pada anak DMT1 adalah lama sakit. Untuk fungsi sistolik tidak ditemukan perbedaan yang bermakna.
Kesimpulan. Pada anak dengan DMT1 terdapat peningkatan massa ventrikel kiri dan gangguan diastolik pola relaksasi. Perubahan massa jantung dan gangguan fungsi diastolik tersebut berhubungan dengan lama sakit dan tekanan darah.

Background. The impact of Diabetes Mellitus type 1 (DMT1) on the left ventricular mass and functions in children remains controversial.
Objective: The aim of the study is to measure the left ventricular mass and function in children with DMT1.
Methods. A cross-sectional study was conducted to compare the mass and diastolic-systolic function of the left ventricle of 30 children with DMT1 and normal children aged 4 to 18 years that matched in sex and age. The left ventricular mass and diastolic-systolic function was assessed by echocardiography.
Results.Ventricular mass of children with DMT1 were significantly heavier than healthy ones. Factors associated with increased mass were the duration of illness and blood pressure. Diastolic functions in children with DMT1 were significantly different compared to healthy children. The patterns of changes were appropriate with the relaxation pattern of diastolic dysfunction. The factor associated with the change of diastolic parameters is the duration of illness. Significant differences were not found in the systolic function.
Conclusion. In children with DMT1 there was an increase of left ventricular mass and also diastolic dysfunction with the relaxation pattern. Changes in cardiac mass and diastolic dysfunction are associated with duration of illness and blood pressure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shirly Elisa Tedjasaputra
"Latar Belakang. Kalsifikasi vaskular yang ditandai dengan penebalan tunika intima-media (TIM) karotis pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan faktor prediktor terhadap kejadian serebro-kardiovaskular. Osteoprotegerin (OPG) merupakan petanda disfungsi endotel yang dapat digunakan sebagai prediktor terhadap penebalan TIM karotis.
Penggunaan ultrasonografi (USG) karotis untuk menilai ketebalan TIM karotis masih terbatas di Indonesia sehingga diperlukan metode diagnostik lain yang lebih cost effective. Tujuan. Menentukan faktor-faktor determinan yang bermakna dan nilai tambah diagnostik
pemeriksaan OPG dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2. Metodologi. Studi potong lintang dilakukan di poliklinik Metabolik Endokrin dan poliklinik spesialis Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan April-Juni 2012 pada pasien DM tipe 2 tanpa komplikasi serebro-kardiovaskular, tanpa komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium III – V dan tidak merokok. Pada penelitian ini dilakukan analisis bivariat dan multivariat pada variabel lama menderita DM, hipertensi, dislipidemia, HbA1c dan OPG, kemudian ditentukan nilai tambah pemeriksaan OPG dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2. Hasil dan Pembahasan. Dari 70 subyek penelitian, didapatkan jumlah subyek dengan peningkatan OPG dan penebalan TIM karotis adalah sebesar 45,7 % dan 70 %. Dari 49 subyek dengan penebalan TIM karotis, didapatkan 61,2 % subyek dengan peningkatan OPG. Lama menderita DM (OR 26,9; IK 95 % 2 – 365,6), hipertensi (OR 22; IK 95 % 2,3 – 207,9), dislipidemia (OR 85,2; IK 95 % 3,6 – 203,6) dan OPG (OR 12,9; IK 95 % 1,4 –
117,3) berhubungan secara bermakna dengan penebalan TIM karotis. Pemeriksaan OPG mempunyai spesifisitas dan nilai duga positif tinggi (90,5 % dan 84 %). Nilai tambah diagnostik OPG hanya sebesar 2,3 % dalam mendeteksi penebalan TIM karotis. Kesimpulan. Faktor-faktor determinan yang bermakna untuk mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2 adalah lama menderita DM, hipertensi, dislipidemia dan OPG. Nilai tambah diagnostik dari pemeriksaan OPG adalah sebesar 2,3 % dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2

Background. Vascular calcification measured by carotid intima-media thickness
(CIMT) in type 2 diabetes mellitus (DM) patient is a predictor for cerebrocardiovascular
event. Osteoprotegerin (OPG) as a marker for endothelial dysfunction
can be used as a predictor for increased CIMT. Applicability of carotid ultrasonography
(USG) in Indonesia is still limited, therefore other diagnostic method that is more cost
effective is needed.
Objective. To determine the significant determinant factors and the diagnostic added
value of OPG to detect increased CIMT in type 2 DM patient.
Methods. Cross sectional study was conducted in Metabolic Endocrine and Internal
Medicine outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital between April and June 2012
in type 2 DM patient without history of cerebro-cardiovascular event, without history of
chronic kidney disease (CKD) stage III – V and without smoking. Bivariate analysis and
multivariate analysis were performed to variables duration of DM, hypertension,
dyslipidemia, HbA1c and OPG, followed by determining the diagnostic added value of
OPG to detect increased CIMT in type 2 DM patient.
Results. From 70 subjects, there were 45,7 % subject with increased OPG and 70 %
subject with increased CIMT. From 49 subject with increased CIMT, 61,2 % subject had
increased OPG. Duration of DM (OR 26,9; IK 95 % 2 – 365,6), hypertension (OR 22;
IK 95 % 2,3 – 207,9), dyslipidemia (OR 85,2; IK 95 % 3,6 – 203,6) and OPG (OR 12,9;
IK 95 % 1,4 – 117,3) were correlated significantly to increased CIMT. OPG
measurement had high specificity and positive predictive value (90,5 % and 84 %).
Diagnostic added value of OPG was only as 2,3 % to detect increased CIMT in type 2
DM patient.
Conclusion. The significant determinant factors for detection of increased CIMT in
type 2 DM patient were duration of DM, hypertension, dyslipidemia and OPG. The
diagnostic added value of OPG was 2,3 % to detect increased CIMT in type 2 DM
patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T42723
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Dewi Ariyanti
"Latar Belakang: Self-efficacy dan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses terapi insulin pada anak dengan diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dan self-efficacy pada anak DMT1 setelah diberikan intervensi aplikasi CICO Count. Metode: Jenis penelitian quasi experiment pre-post control group design. Sampel penelitian merupakan penyandang DMT-1 dengan usia 7-18 tahun yang tergabung dalam IKADAR Jabodetabek yang berjumlah 30 anak dengan rincian 15 anak kelompok kontrol dan 15 anak kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi diberikan tindakan penggunaan aplikasi CICO Count, sementara kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan leaflet. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pretest dan post-test yang diberikan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan (p<0,001) dan self-efficacy (p=0,000) pada kelompok intervensi. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi CICO Count mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy pada anak dengan DMT-1.Latar Belakang: Self-efficacy dan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses terapi insulin pada anak dengan diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dan self-efficacy pada anak DMT1 setelah diberikan intervensi aplikasi CICO Count. Metode: Jenis penelitian quasi experiment pre-post control group design. Sampel penelitian merupakan penyandang DMT-1 dengan usia 7-18 tahun yang tergabung dalam IKADAR Jabodetabek yang berjumlah 30 anak dengan rincian 15 anak kelompok kontrol dan 15 anak kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi diberikan tindakan penggunaan aplikasi CICO Count, sementara kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan leaflet. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pretest dan post-test yang diberikan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan (p<0,001) dan self-efficacy (p=0,000) pada kelompok intervensi. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi CICO Count mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy pada anak dengan DMT-1.Latar Belakang: Self-efficacy dan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses terapi insulin pada anak dengan diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dan self-efficacy pada anak DMT1 setelah diberikan intervensi aplikasi CICO Count. Metode: Jenis penelitian quasi experiment pre-post control group design. Sampel penelitian merupakan penyandang DMT-1 dengan usia 7-18 tahun yang tergabung dalam IKADAR Jabodetabek yang berjumlah 30 anak dengan rincian 15 anak kelompok kontrol dan 15 anak kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi diberikan tindakan penggunaan aplikasi CICO Count, sementara kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan leaflet. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pretest dan post-test yang diberikan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan (p<0,001) dan self-efficacy (p=0,000) pada kelompok intervensi. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi CICO Count mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy pada anak dengan DMT-1.

Self-efficacy in children with type 1 diabetes mellitus (T1DM) focused on children's beliefs about their abilities to manage, plan, modify behavior so as to achieve a better quality of life. In the process of modifying behavior, knowledge is needed as a means that can help children in understanding T1DM. The purpose of the study was to identify differences in knowledge and self-efficacy in T1DM children after being given the CICO Count application intervention. This type of research is a quasi-experimental pre-post control group design. The research sample is children with T1DM aged 7-18 years who are members of the Jabodetabek IKADAR totaling 30 children, 15 children in the control group and 15 children in the intervention group. The results of this study indicate that there is a significant increase in the level of knowledge (p<0, 006) and self-efficacy (p=0.000). However, there was no significant difference between the intervention group and the control group on the results of self-efficacy (p=0.096). SuggestionIt is hoped that further research with different methodologies related to the level of knowledge and self-efficacy in children with T1DM can be carried out."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Kartika Irnayanti
"Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 cenderung meningkat dan diperkirakan akan semakin
meningkat di Indonesia. Sementara itu, prevalensi obesitas yang diketahui berkaitan erat
dengan kejadian DM tipe 2 juga mengalami peningkatan dan diperkirakan juga akan
terus meningkat. Penelitian ini dengan desain studi kohort retrospektif ini bertujuan
mengetahui hubungan antara kombinasi obesitas umum (indeks massa tubuh/IMT) dan
obesitas sentral (rasio lingkar perut-tinggi badan/rasio LP-TB) dengan kejadian diabetes
mellitus tipe 2 pada penduduk dewasa Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor selama
tahun 2011-2018, dengan menggunakan data sekunder Studi Kohor Faktor Risiko PTM.
Hasil penelitian didapatkan insidens kumulatif diabetes mellitus tipe 2 adalah sebesar
18,3% dan lebih dari setengah (51,2%) responden mengalami obesitas keduanya.
Proporsi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 pada masing-masing kategori adalah 24,7%
untuk kombinasi obesitas umum dan obesitas sentral; 12,5% untuk obesitas sentral saja;
dan 50,0% untuk obesitas umum saja. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa
kategori kombinasi obesitas umum dan obesitas sentral (RR = 1,914; 95% CI 1,514-
2,418; p = 0,000) dan kategori obesitas umum saja (RR = 5,013; 95% CI 1,582-15,889;
p = 0,006) berhubungan secara signifikan dengan diabetes mellitus tipe 2 setelah
dikontrol dengan variabel umur dan kadar trigliserida. Sementara itu, kategori obesitas
sentral saja tidak berhubungan secara signifikan dengan diabetes mellitus (RR = 1,024;
95% CI: 0,761-1,377). Hasil penelitian ini masih dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya nilai AUC untuk cut off point rasio LP-TB yang tidak ideal, kurangnya
jumlah sampel minimal untuk masing-masing kategori, baik exposed maupun nonexposed,
menurunnya power of study pada kategori tertentu, masih adanya pengaruh
chance, dan adanya kemungkinan misklasifikasi dan bias seleksi akibat tingginya loss
to follow up dengan karakteristik yang berbeda.

The prevalence of type 2 diabetes mellitus tends to increase and will increase in several
years in Indonesia. Meanwhile, the prevalence of obesity closely related to the incidence
of diabetes mellitus type 2 has also increased and is expected to increase in few years
later. The study as a retrospective cohort aims to find out the relationship between the
combination of general obesity (body mass index/BMI) and central obesity (waist-toheight
ratio/WtHR) with the incidence of type 2 diabetes mellitus in the adult
population of Central Bogor Subdistrict, Bogor City year 2011-2018, using secondary
data of Studi Kohor Faktor Risiko PTM. The results showed the cumulative incidence
of type 2 diabetes mellitus was 18.3% and more than half (51.2%) of respondents were
obese. The proportion of incidence of type 2 diabetes mellitus in each category was
24.7% for the combination of general obesity and central obesity; 12.5% for central
obesity only; and 50.0% for general obesity only. The results of multivariate analysis
showed that the combination of general obesity and central obesity (RR = 1.914; 95%
CI 1.514-2.418; p = 0.000) and general obesity only (RR = 5.013; 95% CI 1.582-
15.889; p = 0.006) were significantly associated with type 2 diabetes mellitus after
controlled by age and triglyceride levels. Meanwhile, the central obesity only was not
significantly associated with type 2 diabetes mellitus (RR = 1.024; 95% CI: 0.761-
1.377). The results of this study are still reliable and influenced by several things,
including the AUC value for the cut-off point of LP-TB ratio is not ideal; the minimum
sample size for each category (both exposed and unexposed); lower power of study in
certain categories; remaining chance effect; the possibility of misclassification; and
selection bias because of loss to follow up"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Wijaya
"Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelainan metabolik dengan keadaan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh defek pada kerja insulin dengan komplikasi multisistem. Salah satu organ yang sering mengalami keadaan resistensi insulin adalah organ otot skelet. Resistensi insulin akan menyebabkan gangguan ekspresi dan translokasi GLUT4 pada otot skelet sehingga berdampak pada gangguan proses ambilan dan penggunaan glukosa di jaringan, serta berkontribusi terhadap progresi penyakit DMT2. Metformin merupakan suatu obat lini pertama yang paling sering digunakan oleh pasien dengan DMT2, tetapi penggunaannya dapat menimbulkan beberapa efek samping yang kurang nyaman dan menurunkan tingkat kepatuhan berobat pasien. Alfa-mangostin (AMG), salah satu senyawa dalam perikarp buah manggis dipercaya memiliki efek antidiabetik sehingga dapat dipertimbangkan sebagai kandidat terapi dalam menghadapi keadaan resistensi insulin pada DMT2
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian AMG pada ekspresi protein transporter GLUT4 pada jaringan otot skelet tikus dengan DMT2.
Metode: Studi ini dilakukan pada tikus jantan dari galur Wistaryang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu: kontrol, kontrol+AMG 200 mg/kgBB, DMT2, DMT2+metformin 200 mg/kgBB, DMT2+AMG 100 mg/kgBB, dan DMT2+AMG 200 mg/kgBB. Model DMT2 dibuat melalui induksi tikus dengan diet tinggi lemak-karbohidrat dan injeksistreptozotocin (STZ). Ekspresiprotein GLUT4 pada jaringan otot skelet masing-masing kelompok tikus diukur dengan ELISA kit Cusabio CSB-E13908rdan spektrofotometer.
Hasil: Studi ini menunjukkan adanya peningkatan ekspresi protein GLUT4 secara signifikan pada dua kelompok percobaan, yaitu: kelompok tikus DMT2+metformin 200 mg/kgBB (p=0,038) dan kelompok tikus DMT2+AMG 200 mg/kgBB (p=0,045) jika dibandingkan kelompok tikus DMT2.
Simpulan: AMG dapat meningkatkan ekspresi protein GLUT4 pada jaringan otot skelet tikus dengan DMT2. Dengan demikian, AMG memiliki potensi untuk dijadikan sebagai kandidat terapi dalam tata laksana penyakit DMT2 di masa depan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan dapat diaplikasikan.

Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder characterized by chronic hyperglicemic condition caused by defect in insulin action which leads to multisystem damages. One of the organ that is frequently affected by insulin resistance is skeletal muscle. Insulin resistance impairs skeletal muscle's GLUT4 expression and translocation which results in the disturbance of glucose's reuptake and utilization and contributes to the progression of T2DM. Metformin is one of the first line drugs used in treating T2DM although the usage of metformin can cause many side effects that results in inconvenience and low compliance of the T2DM patients. Alpha-mangostin (AMG), a compound found in mangosteen`s pericarp, is believed in its antidiabetic effect. It is considered as therapeutic candidate in treating insulin resistance in T2DM.
Objectives: This study aims to evaluate the administration of AMG`s effect on GLUT4 transporter`s expression in T2DM-induced rat`s skeletal muscle tissue.
Methods: This study is done on the male Wistar rats divided into 6 groups, which were control group, control+AMG 200 mg/kg group, T2DM group, T2DM+metformin 200 mg/kg group, T2DM+AMG 100 mg/kg group, and T2DM+AMG 200 mg/kg group. T2DM were induced using the high fat/high glucose diet followed by streptozotocin injection. The expression of skeletal muscle`s GLUT4 is measured by ELISA kit Cusabio CSB-E13908r and spectrofotometer.
Results: This study demonstrated that AMG significantly increased the expression of GLUT4 transporterin 2 trial groups,T2DM+metformin 200 mg/kg body weight group (p=0,038) and T2DM+AMG 200 mg/kg body weight group(p=0,045) compared to the T2DM group.
Conclusion: AMG increased GLUT4 transporter`s expression in T2DM rat`s skeletal muscle. Therefore, AMG arises as the potential therapeutic candidate in treating T2DM. Future studies are essential to get better applicable results."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina
"

Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah suatu penyakit metabolik yang kompleks dan kronis yang ditandai dengan gangguan angiogenesis. Inflamasi kronis derajat ringan dan stres oksidatif yang meningkat pada DM tipe 2 diketahui dapat menyebabkan gangguan fungsi biologis pada sel progenitor/sel punca vaskular, salah satunya adalah adipose-derived mesenchymal stem cell (ADSC). Sejumlah penelitian menunjukkan potensi vaskulogenik ADSC dan perannya pada regenerasi jaringan. Hingga saat ini aplikasi sel punca autologus pada penderita DM untuk menginisiasi vaskularisasi masih mengalami kendala. Platelet-rich plasma (PRP) diketahui kaya akan berbagai faktor pertumbuhan, termasuk VEGF, yang penting untuk proses angiogenesis.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis efek pemberian PRP PMI terhadap proliferasi (jumlah sel stromal, nilai population doubling time (PDT), dan persentase sel hidup), diferensiasi (pembentukan koloni, ekspresi CD73, CD90, CD105, dan tiga lini diferensiasi), ekspresi mRNA VEGF dan VEGFR2, dan potensi angiogenik ADSC DM in vitro (sekresi VEGF dan pembentukan tubular kapiler).

Metode: Terlebih dahulu, konsentrasi trombosit per µL dan kadar VEGF per 1x103 trombosit pecah yang terkandung dalam PRP Palang Merah Indonesia (PMI) dibandingkan dengan PRP DM dan non-DM. Lalu, stromal vascular fraction (SVF) diisolasi dari jaringan lemak menggunakan metode enzimatik, dan SVF penderita DM tipe 2 (n= 15) dan non-DM (n= 10)  dikultur dalam medium kontrol hingga didapat ADSC pasase 1−3 (P1−P3). Proliferasi, diferensiasi, ekspresi mRNA VEGF dan VEGFR2, serta potensi angiogenik ADSC DM dan non-DM diukur dan dibandingkan. ADSC DM P3 kemudian dikultur dalam medium PRP PMI 5%, 10%, 15%, dan 20%, lalu proliferasi, diferensiasi, ekspresi mRNA VEGF dan VEGFR2 diukur dan dibandingkan dengan kontrol (FBS) untuk mendapatkan konsentrasi PRP optimum. ADSC DM P3 yang diprekondisikan dengan PRP optimum, dengan atau tanpa anti-VEGF (bevacizumab) 100 ng/mL, dan ADSC DM P3 kontrol dikultur, lalu sekresi VEGF dan pembentukan tubular kapiler pada Matrigel® diukur.

Hasil: Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan bermakna antara konsentrasi trombosit per µL PRP DM, non-DM, dan PMI (p= 0,22). Namun, PRP non-DM memiliki kadar VEGF per 1000 trombosit pecah lebih rendah bermakna (0,20 (0,04−0,35) fg) dibandingkan PRP DM (0,69 (0,21−1,17) fg), p= 0,03) dan PMI (1,84 (1,38−2,10) p= 0,01), dan tidak ada perbedaan bermakna antara PRP DM dan PRP PMI (p= 0,06). Jumlah sel stromal per gram lemak dan jumlah koloni sel stromal DM lebih rendah dari non-DM (86,35 (52,48−106,76) x 106 vs 158,93 (101,59−185,94) x 106, p= 0,01, dan 94 ± 14 koloni vs 31 ± 32 koloni, p= 0,004). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara DM dan non-DM pada persentase sel stromal hidup (p= 0,24), ekspresi CD73 (p= 0,21), CD90 (p= 0,90), adipogenesis, kondrogenesis, osteogenesis, PDT P2 (p= 0,27), PDT P3 (p= 0,21), dan persentase sel hidup ADSC P2 (p= 0,07), sedangkan ekspresi CD105 (64,41 (51,20−73,38)% vs 91,40 (82,62−95,47)%, p< 0,001) ADSC DM P1 dan persentase sel hidup (82,70 ± 8,07% vs 91,15 ± 3,77%, p= 0,04) ADSC DM P3 lebih rendah bermakna dibandingkan ADSC non-DM. Tidak ada penurunan yang bermakna pada ekspresi relatif mRNA VEGF (0,64 (0,30−1,08), p= 0,86) dan VEGFR2 DM (0,64 ± 0,56, p= 0,49) jika dibandingkan dengan ADSC non-DM. Rerata kadar VEGF dalam conditioned medium (CM) yang disekresikan oleh 1x103 ADSC DM dan non-DM secara berturut-turut sebesar 0,74 pg/mL dan 0,62 pg/mL. ADSC DM yang diberi PRP optimum, yaitu 15% memiliki nilai PDT yang lebih rendah (2,33 ± 0,56 hari vs 5,04 ± 1,26 hari, p= 0,01) dan persentase sel hidup (95,53 ± 1,60% vs 78,95 ± 10,13%, p=0,01) yang lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan kontrol. Terjadi peningkatan ekspresi CD105, mRNA VEGF, dan VEGFR2 ADSC DM yang diberi PRP 15% (secara berturut-turut 1,81 ± 0,73, p= 0,01; 5,27 ± 5,69, p= 0,23; dan 9,01 ± 11,59, p= 0,06) relatif terhadap kontrol. ADSC DM yang diberi PRP 15% dan ADSC DM kontrol secara berturut-turut mensekresikan VEGF rerata sebanyak 0,57 pg/mL dan 1,67 pg/mL per 1x103 sel hidup. Jumlah tubular kapiler in vitro ADSC DM yang diberi PRP meningkat pada jam ke-24 jika dibandingkan dengan kontrol dan tidak berbeda bermakna dengan ADSC non-DM, namun membutuhkan waktu lebih panjang, serta tidak berbeda bermakna dengan ADSC DM yang diberi PRP dan anti-VEGF (p=0,78).

Kesimpulan: ADSC DM terbukti mengalami kerusakan selular yang dicirikan dengan penurunan proliferasi, diferensiasi, ekspresi mRNA VEGF dan VEGFR2, serta potensi angiogeniknya. Pemberian PRP 15% (VEGF 98,00 pg/mL) dapat memperbaiki kerusakan tersebut melalui efek sinergis yang dihasilkan oleh VEGF dan faktor pertumbuhan lainnya yang terdapat dalam PRP.

 


Background: Type II diabetes mellitus (DM type 2) is a chronic and complex metabolic disease identified by impaired angiogenesis. Low grade chronic inflammation and increasing oxidative stress in DM type 2 decrease the biological functions of progenitor/stem cells, including adipose-derived stem cells (ADSC).  ADSC plays significant roles in angiogenesis and tissue regeneration. Some studies have shown the vasculogenic potency of ADSC and its role in tissue regeneration. To date, autologous cell application in DM patients to initiate vascularization is hindered. Platelet-rich plasma (PRP) is widely known to contain generous amount of growth factors including VEGF with significant role in angiogenesis.

Objective: This study aimed to investigate and analyze the effect of PRP preconditioning to the proliferation (stromal cell number, population doubling time (PDT) and percentage of viable cells), differentiation (colony formation, CD73, CD90, CD105 expressions, three lineage of differentiation), expression of mRNA VEGF and VEGFR2, as well as in vitro angiogenic potency of ADSC DM (VEGF secretion and capillary tube formation).

Methods: Initially, platelet concentration per µL and VEGF per 1x103 lysed platelet contained in Palang Merah Indonesia (PMI) PRP was compared to DM and non-DM PRP. Subsequently, stromal vascular fraction (SVF) from 15 DM and 10 non-DM donors was enzymatically isolated from adipose tissue, and cultured in control media to generate passage 1−3 (P1−P3) ADSC. Proliferation, differentiation, mRNA VEGF and VEGFR2 expression, as well as angiogenic potency of DM ADSC in vitro were measured and compared to non-DM control. P3 DM ADSC was then cultured in media contained 5%, 10%, 15%, and 20% PMI PRP, and proliferation, differentiation, mRNA VEGF and VEGFR2 expression were measured and compared to FBS control to determine optimum PMI PRP concentration. P3 DM ADSC preconditioned with optimum PMI PRP, with or without anti-VEGF (bevacizumab) 100 ng/mL, and control DM ADSC were cultured, and VEGF secretion was measured, as well as capillary tube formation on Matrigel®.

Results: In this study no significant differences were observed between platelet concentration per µL DM, non-DM, and PMI PRP (p= 0.22). However, non-DM PRP contained significantly lower VEGF per 1000 lysed platelets (0.20 (0.04−0.35) fg) compared to DM (0.69 (0.21−1.17) fg, p= 0.03) and PMI PRP (1.84 (1.38−2.10), p= 0.01), with no significant difference between DM and PMI PRP (p=0.06). The number of viable stromal cells per gram adipose tissue and collonies generated from DM SVF were significantly lower than non-DM (86.35 (52.48−106.76) x 106 vs 158.93 (101.59−185.94) x 106, p= 0.01 and 94 ± 14 collonies vs 31 ± 32 collonies, p= 0.004). Non-significant differences were also observed in the percentage of viable stromal cells (p= 0.24), expression of CD73 (p= 0.21), CD90 (p= 0.90), adipogenesis, chondrogenesis, osteogenesis, P2 and P3 PDT (p= 0.27 and 0.21, respectively), and the percentage of viable P2 ADSC (p= 0.07), but the expression of CD105 of P1 DM ADSC (64.41 (51.20−73.38)% vs 91.40 (82.62−95.47)%, p< 0.001) and the percentage of viable P3 ADSC (82.70 ± 8.07% vs 91.15 ± 3.77%, p= 0.04) were significantly lower than non-DM ADSC. The reduction of mRNA VEGF and VEGFR2 relative expression of P3 DM ADSC (0.64 (0.30−1.08) p= 0.86 and 0.64 ± 0.56, p= 0.49, respectively) were unsignificant compared to non-DM ADSC. Mean of VEGF level normalized to 1x103 viable cells in the conditioned medium (CM) of DM and non-DM ADSC were 0.74 pg/mL and 0.62 pg/mL, respectively. Optimum 15% PRP-preconditioned DM ADSC had significantly lower PDT value (2.33 ± 0.56 days vs 5.04 ± 1.26 days, p=0.01) and higher percentage of viable cells compared to control (95.53 ± 1.60% vs 78.95 ± 10.13%, p=0.01). The increase of relative expression of CD105, mRNA VEGF and VEGFR2 (1.81 ± 0.73, p= 0.01; 5.27 ± 5.69, p= 0.23; and 9.01 ± 11.59, p= 0.06, respectively) were unsignificant in DM ADSC compared to non-DM. Optimum 15% PRP-preconditioned DM ADSC and control secreted VEGF in CM as much as 0.57 pg/mL and 1.67 pg/mL per 1x103 viable cells in average. PRP-preconditioning improved the capillary tube formation in DM ADSC, but the process was longer compared to control, and unsignificant to non-DM ADSC and PRP-preconditioned DM ADSC with anti-VEGF (p=0.78).

Conclusions: Cellular damage in DM ADSC was idientified by a reduction of proliferation, differentiation. mRNA VEGF and VEGFR2 expression, and angiogenic potency. Preconditioning DM ADSC with 15% PRP (VEGF 98.00 pg/mL) improved the cellular damage with synergitic effect of VEGF and other growth factors contained in PRP.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>