Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41431 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rudi Heryanto
Universitas Indonesia, 2008
T25266
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Hertanto
"Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kedudukan DKI Jakarta secara khusus diatur dalam pasal 227 yang terdiri atas 3 ayat, ayat (1) menyatakan bahwa khusus Untuk provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya Sebagai Ibukota Negara RI diatur dengan UU tersendiri.Berkaitan dengan titik berat otonomi pasal (2) menyebut Secara tegas bahwa DKI Jakarta sebagai daerah Otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom, amanat Pasal 227 tersebut di implementasikan dengan di bentuknya UU Nomor 29 Tahun 2007. Dari persfektif yuridis sejak awal kemerdekaan sampai sekarang pengkhususan DKI Jakarta yang dicirikan dengan ditiadakannya wilayah administrasi adalah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara RI. Secara demikian kehendak pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki otonomi sampai pada tingkat Kabupaten/Kota tidak pernah dilaksanakan oleh seluruh UU yang mengatur tentang Pemerintahan DKI Jakarta, tetapi ketiadaan wiiayah administrasi yang bersifat otonom lebih didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan politis Sebagai Ibukota Negara peran dan kedudukan Jakarta berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia, dimana Jakarta harus dapat mengakomodasi peran lokal, nasional dan Internasional. Diantara sekian banyak perbedaan salah satu diantaranya status otonomi DKI Jakarta berada pada lingkup provinsi sebagaimana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam perkembangannya Jakarta tumbuh menjadi pusat kegiatan yang sering menjadi tolak ukur pembangunan dan stabilitas keamanan nasional atau juga disebut barometer Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus. Akan tetapi penelitian akan lebih menitik beratkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai pendukung. Melihat sempitnya ruang sosial masyarakat Betawi yang mendiami Jakarta dibanding dengan luasnya wilayah Kota Jakarta, maka pemberian status otonomi kepada wilayah-wilayah kota tidak akan menimbulkan terbentuknya suatu identitas sosial karena hampir tidak terdapat sekat-sekat dan budaya diantara penduduk kota Jakarta yang tinggal di wilayah kota yang berbeda. Pembentukan wilayah-wilayah kota menjadi kota Otonom juga tidak secara signifikan mempererat kesatuan antara komunitas di wilayah-wilayah kota Jakarta.

In bill 32/2004, the position of Jakarta specifically slated in article 227 with three sub article where sub article (1) said that especially for the Jakarta as a capitol state must be arrange by its own bill. Relevantly with the autonomy as a heavy issue, sub article (2) explicitly stated that Jakarta also as a autonomous region, that is why to implementing the article 227 bill 29/2007 is created. From the legal perspective since the independence until recent era the exclusivity of Jakarta has own characteristic. Jakarta does not have the administrative region because its status as capitol state of Indonesia. Therefore as implied at article 18 of UUD 1945 that the autonomy status has to implement until the city/county has never been applied to all the bills concerning about Jakarta governance, though the absence of autonomous administrative region purely based on sociology and political aspects. As a capitol state of Indonesia the position and role of Jakarta different with other province in Indonesia, where Jakarta must accommodate many aspect, such as local, national, and also international aspect. Among many differences, Jakarta as an autonomic region, also framing in province characteristic as stated in many statute. In recent growth, Jakarta has grown into center of activities which often becoming as a parameter o f development and national security in Indonesia. This research used the normative legal method and also empirical legal method. Nevertheless this research heavily going to the aspect of normative legal research, while the empirical research mainly functions only as a back up opinion. Talking about the special status of Jakarta if we related to the Betawi people as indigenous people who lived in Jakarta compare with the widespread of Jakarta region, the given o f autonomous status to the area in the city doesn’t creatc a social identity because there are no fragmentation in cultural aspcct among the Jakarta’s people which live in different region of Jakarta. At last, the shaping of Jakarta as an autonomous region does not significantly binding the community between the regions of Jakarta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37120
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Bintatar
"Secara alami semua makhluk hidup harus mengalami kematian, karena manusia.termasuk makhluk hidup sudah pasti akan mengalaminya. Bagi manusia kelahiran dan kematian merupakan hal yang wajar. Kematian ini banyak ragamnya. Ada kematian yang wajar atau kematian secara alami, yakni kematian yang disebabkan oleh penyakit, tanpa adanya bantuan tindakan atau campur tangan dari pihak lain dalam proses kematian tersebut, seperti campur tangan dari dokter, perawat, atau juru kesehatan. Di samping kematian yang wajar, ada juga kematian yang tidak wajar. Dalam kematian ini terdapat campur tangan atau keteriibatan orang lain dalam proses kematiannya. Keterlibatan pihak ketiga dalam proses kematian ini, ada yang dikehendaki dan tidak dikehendaki oleh yang mati. Kematian dengan adanya campur tangan orang lain yang tidak dikehendaki oleh yang meninggal, termasuk pembunuhan, sedangkan yang dikehendaki oleh yang meninggal atau atas permintaan yang meninggal disebut euthanasia. Oleh karena itu dikenal tiga jenis kematian, yaitu:
1. kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah disebut orthothanasia;
2. kematian yang terjadi secara tidak wajar disebut dysthanasia;
3. kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter, disebut euthanasia)
Mengenai tahap kematian tersebut, menurut Soeprono, sebagai berikut:
1. kematian Minis (clinical death ); jantung berhenti berdenyut dan pernafasan spontan berhenti;
2. kematian otak (brain death); disebabkan kurangnya aliran oksigen (02) ke otak;
3. kematian sel (cellular death); jaringan-jaringan badan mati secara berangsur-angs.ur dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Sebelum seseorang mengalami kematian, pada umumnya terlebih dahulu ia menderita sakit, yang kadang-kadang dapat berbulan-bulan malahan bertahun-tahun. Penyakit itu akan menimbulkan penderitaan yang kadang-kadang tidak tertahankan sakitnya, yang dapat membuat penderita putus asa, tanpa harapan dan nekad untuk mengakhiri hidupnya. Selain karena penderitaan dapat juga mengakhiri hidup karena menderita cacad, baik yang tak dapat diperbaiki lagi atau cacad bawaan lahir. Indikasi untuk mengakhiri hidup ini, penyebabnya menurut Bachtiar Agus Salim, antara lain:
1. penderitaan yang tak tertahankan lagi;
2. penyakit yang diderita tak dapat disembuhkan lagi;
3. cacad yang tak dapat diperbaiki lagi yang membawa si penderita kepada invalid berat;
4. cacad bawaan lahir yang tak mungkin dinormalkan;
5. dan lain-lain.
Pengakhiran hidup tersebut, bagi orang yang berani dapat dilakukan sendiri, sedangkan bagi yang tidak berani dapat meminta bantuan orang lain. Tindakan mengakhiri hidup yang dilakukan sendiri oleh korban termasuk bentuk bunuh diri, sedangkan kalau dengan pertolongan orang lain termasuk euthanasia. Dilihat dari 'etika' agama ataupun moral, tindakan mengakhiri hidup bagaimanapun bentuknya, tidak dibenarkan. Tetapi karena adanya pergeseran nilai dalam diri manusia menimbulkan perubahan sebagai akibat adanya modernisasi, yang mengharuskan adanya efisiensi dan penyesuaian diri terhadap kecenderungan. Sehubungan dengan hal ini dapat diutarakan pendapat Muladi, sebagai berikut:
pengaruh perubahan sosial sebagai akibat perubahan proses modernisasi mengharuskan setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu secara rasional dan mendasar, agar setiap masalah yang timbul di masyarakat dapat dipecahkan sebaik-baiknya.... harus memperhitungkan kenyataan-kenyataan kemanusiaan dan sosial, serta mencoba untuk menciptakan prasyaratprasyarat yang sedapat mungkin jelas dan efisien serta selalu menyesuaikan pada kecenderungan yang menjadi tanda ciri dari suatu masyarakat. Pengakhiran hidup tersebut dapat juga disebabkan kecenderungan manusia untuk mengutamakan kenikmatan daripada ketabahan untuk menghadapi penderitaan. Ukuran baik buruknya suatu tindakan mendatangkan kenikmatan/kebahagiaan atau tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeremy Bentham."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T6722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khresno Yuniharto
"ABSTRAK
Pencemaran udara yang diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor akan menurunkan kualitas udara. Keadaan ini terjadi di kota Jakarta dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor sehingga memperburuk kualitas udara. Karbon monoksida (CO) merupakan salah satu dari polutan beracun yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah dampak negatif dari pencemaran udara tersebut adalah mengembangkan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Meskipun demikian, saat ini informasi data spasial tata ruang yang terpadu antar organisasi terkait dalam menentukan lokasi RTH belum tersedia. Tujuan penelitian ini adalah membuat suatu model simulasi dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan lokasi RTH berdasarkan aspek pencemaran udara dengan menggunakan parameter karbon monoksida (CO) di Provinsi DKI Jakarta. Hasil akhir dari penelitian ini adalah memberikan informasi spasial dalam bentuk peta yang informatif tentang RTH, serta terungkapnya daerah-daerah prioritas pengembangan RTH berdasarkan aspek pencemaran karbon monoksida (CO) di Provinsi DKI Jakarta."
2007
T39435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Risang Rimbatmaja
"Dalam Pemilu 2004, pemilih pemula diperkirakan berjumlah 20 juta orang, 15% dari jumlah pemilih potensial atau eqivalen 80 (delapan puluh) kursi di DPR. Ada indikasi apatisme politik pada kelompok ini. Di sisi lain, pemilih pemula, khususnya di DKI Jakarta, merupakan generasi pemilih dengan latar belakang yang khas. Secara internal, dalam kelompok pemilih pemula akan terbentuk segmen-segmen yang khas. Tesis ingin menjawab pertanyaan bagaimana karakteristik segmentasi pemilih pemula di DKI Jakarta berdasarkan karakteristik-karakteristik sosio-politik dan life-style? Dengan kerangka segmentasi Loudon & Bitta (1993), Stewart (1991) dan Khasali (1998), disusun konsep-konsep dalam 3 (tiga) kategori, yakni 1) konsep-konsep utama, partisipasi politik dan perilaku warga dalam Pemilu, 2) konsep-konsep yang berhubungan dengan partisipasi politik, dan 3) konsep-konsep yang akan ditujukan untuk kepentingan identifikasi. Konsep-konsep utama segmentasi memanfaatkan kerangka Barnes dan Kaase (1979), dan Wasburn (1982), yakni partisipasi politik, perilaku warga dalam Pemilu serta konsep-konsep yang biasa dipakai dalam studi perilaku memilih (voting behavior) yang merupakan salah satu dimensi penting dalam konsep partisipasi politik, yakni 1) identifikasi parpol (Campbel dkk, 1960), 2) perilaku dalam proses pemilu dan 3) preferensi parpol pilihan. Kategori kedua adalah konsep-konsep yang sering diangkat menjadi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi politik yang dibagi dalam 3 (tiga) kelompok berikut, 1) stratifikasi sosial: karakteristik askriptif & status sosial (Sudjatmiko, 1996), 2) Sosialisasi (keluarga dan peer groups),dan 3) Sikap sosial dan politik (Wasburn, 1982)). Kategori ketiga adalah adalah life style (Plummer, 1974). Tipe penelitian ini adalah tipe deskriptif. Populasi penelitian ini adalah siswa SMU di DKI Jakarta. Sampel sebanyak 795 ditarik dengan teknik random stratified, Teknik analisis utama yang digunakan adalah cluster analysis khususnya dengan teknik K -means cluster. Ada 4 (empat) segmen yang ditemui yakni 1: "Si Mayoritas yang apatis" (41%) yang partisipasi politiknya paling rendah. Selain itu, sikapnya terhadap politik pun cenderung paling negatif. Kata "Mayoritas" merujuk pada prosentase mereka yang terbesar. 2. "Si Optimis" (30%) yang paling positif dibandingkan kluster-kluster lain. Mereka yang berada di kluster ini cenderung melihat dengan penuh keyakinan bahwa pemilu dan partisipasi politik secara umum dapat mendatangkan kebaikan. 3: "Si Minoritas aktif yang relijius" (9%) yang keaktifannya dalam bidang politik di tingkatan siswa SMU memang paling menonjol jauh meninggalkan siswa dari kluster lainnya. Kata relijius diambil karena mereka relatif paling terlibat dengan institusi agamanya. 4: "Si Nanggung" (20%) yang di semua aspek di berada di moderat. Pada satu sisi ini menunjukkan bahwa mereka cenderung berada di tengah dan tidak ingin masuk wilayah ekstrim, baik positif maupun negatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Rujukan utama yang dipergunakan adalah tulisan Kapolri serta
bahan terjemahan Community Policing Consortium dan TOR yang
disusun Panitia. Judul yang diminta dari sava adalah ?aspek yuridis dan
implementasi penegakan hukum (khususnva dalam Sistem Peradilan
Pidana - CJS).
Alih bahasa "community policing" dengan adanya buku Kapolri adalah "Perpolisian Masyarakat" disingkat "Polmas". Alih bahasa ini menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu lembaga atau pranata (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah gaya atau aktivitas-nya.
"
Jurnal Polisi Indonesia, Vol. 8 (2006 )Mei : 36-45, 2006
JPI-8-Mei2006-36
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrie Chandra Tridimarsetio
"Penyelenggaraan PPDB Di DKI Jakarta memiliki Pro dan Kontra dalam penyelenggaraannya oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul Kebijakan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru di DKI Jakarta Ditinjau Dari Aspek Kewenangan Kepala Daerah. Penilitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji konsep kewenangan kepala daerah, ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Pendidikan Nasional. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa penyelenggaraan PPDB yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memiliki perbedaan dengan peraturan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa RI. Hal ini terdapat pada proses seleksi dan jumlah kuota yang dilakukan pada PPDB di DKI Jakarta tidak mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2019, namun hal ini tidaklah melanggar kewenangan pemerintah daerah mengenai pengelolaan pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 17 Tahun 2010.  Saran dari penulis adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam mengatur mengenai penyelenggaraan PPDB sebaiknya lebih menekankan pada desentralisasi pendidikan dimana pemerintah daerah dapat menyesuaikan suatu kebijakan sesuai dengan kondisi yang ada pada wilayah tersebut. DKI Jakarta sebaiknya dapat melakukan proses sosialisasi yang lebih baik dengan memaksimalkan sumber daya teknologi yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta

The implementation of PPDB at DKI Jakarta has its pros and cons regarding its administration by the Government of DKI Jakarta. This prompted the author to conduct research under the title Zoning Policy on the Acceptance of New Students at DKI Jakarta Judging from the Aspect of the Authority of the Regional Head.This research is carried out using the normative legal research method namely, by examining the concept of the authority of regional heads, the provisions of the Local Government Act, and the National Education Law. The study shows that the implementation of PPDB by the Provincial Government of DKI Jakarta is not in accordance with the regulations of the Indonesian Ministry of Education and Culture. The selection process and the quota conducted on PPDB at DKI Jakarta do not adhere to the provisions contained in Permendikbud No. 44 of 2019, however, this does not violate the authority of the local government regarding education management as stipulated in Law No. 23 of 2014 and PP. 17 of 2010. The suggestion from the author is that the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia in regulating the implementation of PPDB should emphasize more on decentralization of education where local governments can adjust a policy according to the existing conditions in the region. DKI Jakarta should be able to carry out a better socialization process by maximizing the technological resources owned by the DKI Jakarta Government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rizkisari
"Skripsi ini membahas implementasi kebijakan Retribusi IMB Provinsi DKI Jakarta ditinjau dari asas ease of administration menggunakan teori Rosdiana dan Irianto. Skripsi ini mengangkat dua permasalahan yaitu apa yang melatar belakangi terjadinya perubahan Perda No. 1/2006 menjadi Perda No. 3/2012 Tentang Retribusi Daerah yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai Retribusi IMB, serta bagaimana implementasi kebijakan Retribusi IMB ditinjau dari asas ease of administration. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, studi kepustakaan, dan observasi.
Hasil penelitian (1) adanya perubahan Perda No. 1/2006 menjadi Perda No. 3/2012 dilatar belakangi adanya perubahan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi sehingga harus dirubah dan menyesuaikan dengan peraturan yang berada di atasnya; (2) implementasi kebijakan Retribusi IMB Provinsi DKI Jakarta masih belum memenuhi kriteria ease of administration disebabkan masih kurangnya sosialisasi kebijakan Retribusi IMB oleh Dinas P2B, serta belum memadainya penggunaan perangkat sistem berbasis online.

This thesis discusses the implementation of building permit charges policy in DKI Jakarta Province, considering ease of administration principle discoursed by Rosdiana and Irianto. The study has two main issues : analyzing the background of Local Law No. 1/2006 modification to be Local Law No. 3/2012 about Local Charges which is contained with building permit charge’s regulation, and describing how the building permit charges policy in DKI Jakarta province is implemented considering ease of administration principle. The research uses qualitative approach with deep interview, literature study, and field observation as data collection methods.
The study's main issues find that (1) modification of upper regulation became a background factor of modification of Local Law No. 1/2006 to be Local Law No. 3/2012, since the lower local regulations always have to adjust the upper regulations that were in it; (2) the implementation of building permit charges policy in DKI Jakarta province still doesn’t comply yet with ease of administration criterion. The Main reason of this finding is lack of socialization held by Dinas P2B, and the use of media online based system is not available yet.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47367
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Puja Rezky
"Salah satu usaha Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta dalam rangka meningkatkan penerimaan adalah dengan mengembangkan sistem BPHTB secara elektronik atau disebut dengan e-BPHTB. Meskipun layanan e-BPHTB di DKI Jakarta sudah mulai diluncurkan pada akhir tahun 2019, ternyata belum mampu memenuhi target penerimaan yang ditetapkan. Menjelang akhir tahun tepatnya pada bulan Oktober 2020, realisasi BPHTB di DKI Jakarta baru mencapai Rp2,77 triliun atau sekitar 45,06% dari target penerimaan BPHTB. Pemerintah meminta Bapenda DKI Jakarta untuk segera melakukan penyederhanaan proses administratif kepengurusan BPHTB. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivist dengan metode pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam terhadap narasumber terkait. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan kebijakan sistem e-BPHTB sudah sesuai dengan asas kenyamanan pembayaran dan kemudahan regulasi. Akan tetapi belum sesuai dengan aspek efisiensi biaya. Hambatan yang muncul dari penerapan sistem e-BPHTB di DKI Jakarta yaitu adanya kendala pada jaringan dan jumlah Sumber Daya Manusia yang masih terbatas.

One of Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta efforts in order to increase BPHTB revenue as well as a form of improving BPHTB Taxpayer services and compliance is to develop an electronic BPHTB system or called e-BPHTB. Although the e-BPHTB service in DKI Jakarta has started to be launched at the end of 2019, it has not been able to meet the set revenue target. Towards the end of the year, in October 2020, the realization of BPHTB in DKI Jakarta had only reached Rp.2.77 trillion or about 45.06% of the BPHTB revenue target. The government asked the DKI Jakarta Bapenda to immediately simplify the administrative process for BPHTB management. This study uses a post-positivist paradigm with a qualitative approach and type of descriptive research. Data collection techniques were carried out through literature studies and in-depth interviews with related sources The results of this study conclude that the implementation of the e-BPHTB system policy is in accordance with the principles of payment convenience and ease of regulation. However, it is not in accordance with the aspect of cost efficiency. The obstacles that arise from the implementation of the e-BPHTB system in DKI Jakarta are the network constraints and the limited number of Human Resources."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>