Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196784 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
"Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia.
Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946).
Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok.
Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal.
Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara.
Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge."
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Munandar Soelaeman
"ABSTRAK
Kerusuhan tanggal 26 Desember 1995 di kabupaten Tasikmalaya memiliki makna sosiologis berupa resistensi terhadap sistem orde baru dan simbol gerakan perlawanan santri. Hal tersebut terjadi di daerah yang dikenal sebagai kota "santri" dan terjadinya sebelum Orde Baru tumbang atau sebelum reformasi 20 Mei 1998, sehingga merupakan peristiwa murni dalam konteks struktur sosial masyarakat Orde Baru.
Permasalahan penelitian ini yaitu mengapa terjadi kerusuhan sosial dan bagaimana model resolusi konfliknya. Kerusuhan sosial merupakan salah satu bentuk dari perilaku kolektif (collective behavior) yang bersifat agresif yang dilakukan secara spontan dan keras (force). Penyebab kerusuhan terkait dengan konflik individu, konflik vertikal, konflik horizontal dan karakter resistensi masyarakatnya. Realitas kerusuhan menunjukkan dimulai dengan konflik individu, konflik horizontal, dan konflik vertikal sebagai akibat inkonsistensi kebijakan pemerintah. Untuk mengelaborasinya lebih tepat apabila dilakukan dengan pendekatan konstruktivis dan kondiisihitas struktural.
Metode penelitian adalah studi kasus yang bersifat eksploratif dan kualitatif dengan paradigma konstruktivis, yaitu melakukan konseptualisasi dengan "intepretatif reversible" antara segi empirik dan segi teoretik. Sumber data primer dari individu yang merepresentasikan dirinya dalam kelompok, organisasi, lembaga dan masyarakat. Pola sosial yang dikaji meliputi konflik individual, vertikal dan horizontal serta aspek resolusi konfliknya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa:
(1) Latar masalah kerusuhan barkaitan dengan bersinerginya konflik individual akibat tindakan penganiayaan oleh oknum polisi (terusiknva harkat dan martabat ulama yang menimbulkan kemarahan ummat), dengan faktor konflik vertikal (antara masyarakat dengan negara) dan konflik horizontal (antara warga masyarakat setempat dengan warga etnis Cina). Selain itu adanya sifat atau karakter daya resistensi masyarakat Tasikmalaya terhadap penguasa yang menindasnya dari masa ke masa. Faktor-faktor konflik Makro objektif tersebut meliputi beberapa hal berikut:
a. Konflik vertikal terkait dengan akibat Kebijakan pemerintah daerah beserta DPRD (sebagai suatu perserikatan yang dikordinasi secara memaksa) dengan legitimasi wewenangnya yang cenderung menjadi normatif. Wewenang tersebut telah mendominasi kelompok masyarakat, yang menyebabkan adanya ketidakpuasan. dari kekecewaan warga, sehingga menimbulkan konflik vertikal.
b. Konflik horizontal antara warga setempat dengan warga kelompok etnis Cina terjadi akibat perbedaan penguasaan akses ekorromi, yang meminggirkan pengusaha lokal, dan menjadikan oposisi kepentingan spesifik, eksklusif, penyimpangan sosial, dan main backing dengan aparat.
c. Adanya karakter daya resistensi masyarakat terhadap setiap penguasa penindas berupa tawaran kerangka ideal ideologi lslam, sebagai sumber pemusatan kekuatan yang dianggap sebagai alternatif petunjuk terbaik bagi penyelesaian penderitaan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D478
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batho, Jemmy Franky
"Kota Ternate sebagai Kota Kepulauan di Provinsi Maluku utara yang rentan terhadap konflik sosial dikarenakan pernah mengalami konflik horizontal pada tahun 1999-2000. Tingginya intensitas konflik / pertikaian antar warga / pemuda yang terjadi di Kelurahan Mangga Dua dan Toboko pada tahun 2012-2013 menjadikan situasi dan kondisi keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat yang tidak kondusif dan berdampak terhadap lambannya proses kebijakan pemerintah dalam pembangunan daerah yang mengakibatkan lemahnya ketahanan daerah. Pemerintah membentuk FKDM berdasarkan Permendagrii nomor 12 tahun 2006 tentang Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat dengan tujuan untuk membantu instrumen negara dalam menyelenggarakan urusan keamanan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat, melalui upaya pencegahan dan deteksi dini terhadap potensi dan kecenderungan ancaman serta gejala atau peristiwa bencana. Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial dijelaskan bahwa Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Sedangkan Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Peneliti melakukan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan mengumpulkan data, informasi serta mewawancarai delapan orang informen terdiri dari Keanggotaan FKDM Kota Ternate antara lain Agung Prasojo Anggota Pembinan, Halil Hi Ibrahim wakil perguruan tinggi selaku Ketua FKDM Kota Ternate, Pdt. Abram Uggu anggota FKDM dari tokoh agama, Johan wahyudi anggota FKDM unsur Kepolisian, Aswan Lampa anggota FKDM dari tokoh pemuda, Iksan Ahmad Camat Ternate Selatan, Mochtar Lurah Mangga Dua dan Mahmud Hi. Ibrahim Lurah Toboko. Penyelesaian konflik akan terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang mewujudkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusa-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan, maka Peran FKDM bukanlah bentuk pranata sosial yang dapat menjalankan tingkatan intervensi transformasi konflik seperti Peace making (menciptakan perdamaian), Peace keeping (menjaga perdamaian), Conflict management (pengelolaan konfli) dalam bentuk Negosiasi, Mediasi, Penyelesaian jalur hukum (judicial settlement), arbitrase, dan workshop pemecahan masalah dan Peace building (pembangunan perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di mangga dua dan toboko kota ternate disebabkan oleh faktor pendorong struktural. Dimana pengaruh minuman keras, pengangguran, rendanya pendidikan dan mudahnya terpovokasi dengan isu serta solidaritas yang kuat diatara kelompokop membuat pemuda sering terlibat dalam konflik yang disertai dengan tindakan kekerasan. Pencegahan konflik yang dilakukan oleh FKDM dengan meminimalisir faktor determinan, malakukan untuk hidup damai dan mejauhi kekerasan menunjukkan bahwa konflik di Ternate mengalami penurunan namun masih saja terlihat banyak minuman keras yang masuk disebabkan tidak optimal pengawasan serta tindakan tegas kepada penjual. Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh FKDM dengan melakukan konsiliasi, tindakan paksaan oleh aparat dan detente sangat baik dalam menyelesaikan konflik namun dibutuhkan peningkatan koordinasi dari FKDM dan aparat terkait sehingga penyelesaian konflik berjalan maksimal.

Ternate city as the city of island in North Maluku Province is vulnerable to social conflict because there had been horizontal conflict in 1999-2000. The high intensity of conflict/ inter-society/youth brawl in Mangga Dua and Toboko administrative village during 2012-1013 made the atmosphere, security, order and peace of society hardly conducive and affected to the slow government policy process in regional development which result in weak regional resilience. Government formed FKDM based on Regulation of the Minister of Home Affairs (Permendagri) Number 12 2006 on Early Public Vigilance Forum with the purpose to help government apparatus in serving security, peace and order of society through early prevention and detection of potential threat and disaster. In constitution Number 7 2012 on handling of social conflict explained that conflict handling is a series of systematic and organized activity. Conflict prevention is a series of activities conducted to prevent the conflict by improving the capacity of institution and early warning system. This study was conducted by using qualitative with descriptive approach and data collection, information and also interviewing eight informants from the members of FKDM, Ternate City. They are Agung Prasojo as member of training, Halil Hi Ibrahim the representative from University as the leader of FKDM Ternate City, Pdt. Abram Uggu member of FKDM from religious leader, Johan wahyudi member of FKDM from police, Aswan Lampa member of FKDM from youth leader, Iksan Ahmad district chief (Camat) of South Ternate, Mochtar head of administrative village (Lurah) of Mangga Dua dan Mahmud Hi. Ibrahim head of administrative village (Lurah) Toboko. The conflict resolution will be met through certain institutions which grow the pattern of discussion and decision making among the opposite sides so the role of FKDM is not as social institution to intervene conflict transformation such as Peacemaking (creating peace), Peace keeping (keeping peace), Conflict management (conflict management) in the form of negotiation, mediation, judicial settlement, arbitration and workshop of conflict resolving and Peace building which are processes to increase welfare, development, infrastructural development, and reconciliation among the actors. The result of the study showed that the conflict which happened in Mangga Dua and Toboko, Ternate City was caused by structural supporting factors. They are the effect of alcohol, unemployment, low education rate, easily provoked group and the strong community solidarity made the youth often involved in violent conflict. The conflict prevention which implemented by FKDM through minimizing the determinant factors, living the peaceful life and avoiding violent act showed the conflict in Ternate declining, in reality, there are still number of alcoholic beverages distribution which caused by lack of supervision and decisive action to the seller. The conflict resolution which implemented by FKDM through conciliation, coercive action by law enforcement officers and ... in resolving conflict but it is also needed to improve the coordination from FKDM and law enforcement officers so that the conflict resolution can run optimally.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sinulingga, Han Fernandes
"Tesis ini membahas tentang model penyelesaian konflik perkelahian antar pelajar sekolah. Kasus yang menjadi kajian penelitian tesis ini adalah perkelahian antar pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 Jakarta. Kasus perkelahian antar kedua pelajar sekolah ini sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Berbagai upaya dari pihak sekolah maupun pemerintah telah dilakukan untuk menghentikan kasus perkelahian antar pelajar kedua sekolah ini tetapi tidak menunjukkan hasil yang baik. Perkelahian antar pelajar masih kerap terjadi dan menimbulkan banyak korban.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yaitu penelitian yang lebih menekankan kepada kedalaman sebuah fenomena dan proses berlangsungnya daripada generalisasi sebuah fenomena. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu wawancara mendalam, studi literatur dan studi dokumentasi. Ruang lingkup penelitian ini adalah pada SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 Jakarta. Pembatasan ruang lingkup ini bertujuan untuk menunjukkan secara jelas aspek-aspek apa saja yang akan diteliti sehingga penelitian menjadi fokus dan tidak menjadi bias.
Perkelahian antar pelajar adalah bentuk dari konflik terbuka dan bukan merupakan perilaku individu tetapi perilaku kelompok. Faktor penyebab terjadinya perkelahian antar pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 yang berulang adalah karena adanya nilai permusuhan (hostile feeling) dan perilaku permusuhan (hostile behaviour) dalam diri kedua kelompok yang bertikai. Nilai permusuhan ini terus direproduksi setiap tahunnya ke siswa-siswa baru oleh seniornya. Dari lima bentuk pendekatan penyelesaian konflik yang di ungkapkan oleh Fisher, dalam kasus perkelahian pelajar antar pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 Jakarta, penanganan konflik yang tepat adalah menggunakan model resolusi konflik.

The focus of this study is the conflict resolving model of fight between students. The case study of this thesis is a fight between students of SMAN 6 and SMAN 70 Jakarta. The fight between students of SMAN 6 and SMAN 70 Jakarta have been going on since the 1980s. Many solution have been made to discontinue the fight between two students of this school but it does not show good results. Fights between students still frequently occur and cause many casualties.
This research is qualitative research. Qualitative research is research that emphasizes the depth of a phenomenon and the ongoing process rather than a generalized phenomenon. The data were collected in three ways: in-depth interviews, literature studies and documentation. The scope of this research is on SMAN 6 and SMAN 70 Jakarta. Scope restriction aims to show clearly any aspects to be studied so that research be focused and not be biased.
Fights between students is an open conflict and it is not an individuals behavior but groups behavior. The cause factors of the fight between students of SMAN 70 and SMAN 6 are hostile feeling and hostile behavior. This hostile feeling continues reproduced each year to new students by seniors. According to Fisher, there are five type of conflict resolving. The appropriate conflict resolving of the fights between students of SMAN 6 and SMAN 70 Jakarta is a conflict resolution model.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kinseng, Rilus A.
"ABSTRACT
The objectives of this study are to investigate class structure, class consciousness,
class formation, and class struggle of fishers in Balilcpapan as well as factors affecting
these phenomena. Basically, this is a qualitative study.
The study found that class stnxcture of the fishers in Balikpapan has not been
simplified to become two great hostile classes, namely bourgeoisie and proletariat. On
the contrary, class structure of iishers in Balikpapan has developed to become more
complex. Now, there are four classes of fishers in Balikpapan, namely the capitalist, the
labour, the small fishers (petty bourgeoisie), and the intermediate/medium fishers. Class
relation between labour and owner of the means of production here is quite unique.
Unlike in industries in general, relation between labour and owner here contains two
dimensions, namely the exploitative dominative and the patron-client. This ?two
dimensions? pattem of class relation is also found between the tishers (especially the
small and the intermediate classes fishers) and the merchants.
Class consciousness and class formation of the labour have not been developed
yet. In other -words, so far, labour class exists only as a class in itself, not class for itself
Factors affecting labour class consciousness and class formation are iiagmentation of
labour, high class permeability, labour?s dependent on the owner, lack of leader, lack of
common problem, and the share-system (not wage). On the other hand, small and
intermediate classes fishers have already developed class consciousness as well as class
formation. The most important factors contribute to this fact are the present of ?big?
common problems over and over again, as well as the present of active and vocal leaders
among them. The capitalist class of Fishers has not developed class consciousness and
class formation.
In line with the lack of class consciousness and class formation of the labour,
class conflict between labour and owner has never occurred. Conflicts between labour
and owner only take place individually, not as a class. Form of individual labour struggle
are grievance, questioning, ?protest", and quit. On the other hand, small and intermediate
class fishers often carry out a class struggle fiom dialog with the opponent as well as
govemment and legislators (DPRD), huge and rather violent demonstration, up to
hijacking big ships and burning down big fishing vessel of their opponent.
In class conflict, whether between small and intermediate classes fishers with
mining firms or with ?big capitalist? fishers class, there is again a peculiar character
which is uncommon or even unknown to the industrial world. In fishery class conflict,
there is a strong alliance between the owner class and the labour class. Furthermore,
when class conflict is taking place between the lower and the higher class fishers such as
between the ?peja1a" (intermediate class) and the purse seine fishers (big capitalist class)
early 2006 in Balikpapan, a strong alliance between owner and labour in each class was still hold. It means, capitalist fishers plus labour agains intermediate fishers plus labour. Something that probably never imagined by Marx!
In the class conflict between the "pejala" (intermediate class) and the purse seine fishers (big capitalist class) in Balik papan, the main issue or the cause of the conlict was not exploitation but domination in the process of "production". In this case, the intermediete class was dominated by the big capitalist class. More over, even though the issue was a "realistic issue", but because it was about source of livelihood, the level of violence of the class conflict was very high. In the case, fishing vessel was burned down and the vice-skipper was hit near his eye. Thus, the violence of a class conflict is not only determined by realistic vs non-realistic issue, but whether it is about main source of livelihood or not.
In conclution, this study plays a remarkable and significant contribution to the theory of fishery class conflict in particular, and even for the theory of class and class conflict in general."
2007
D802
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Anggarani Purbaningtyas
"Konflik atas sumber daya hutan terjadi secara meluas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena implementasi kebijakan pemerintah yang membatasi akses warga kampung hutan untuk ikut serta mengelola hutan sekaligus mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Konflik yang diuraikan ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari konflik secara keseluruhan yang dihadapi warga kampung hutan dalam kehidupan mereka.
Dengan melihat konflik sebagai suatu proses rangkaian kejadian dimana masing-masing pihak yang berkonflik berusaha memenangkan kepentingan masing-masing dengan pilihan Cara masing-masing, kajian ini mengupas pilihan pranata yang diambil oleh warga kampung hutan dalam mekanisme penanganan konflik yang mereka hadapi, termasuk konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat dirumuskan seagai kemanan dan kenyamanan pihak yang terlibat dalam menangani konflik dengan tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai tujuannya.
Kajian mengenai konflik ini didasarkan pada sejumlah kasus konflik yang ditemukan pada saat penelitian lapangan dan kemudian dituliskan kembali dalam bentuk ilustrasi rangkaian kejadian konflik dengan satu konteks tertentu. Konflik yang disajikan berupa konflik yang berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan baik di areal warga maupun di kawasan hutan negara, konflik seputar renovasi masjid Al - Iman di Kampung Baru, konflik pengelolaan kawasan hutan berupa peremajaan kopi dan pengarangan dalam kawasan hutan negara dan konflik-konflik pencurian.
Dari kajian ini ditemukan bahwa warga kampung hutan mendasarkan pilihan pranata berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendasar adalah ketersediaan pranata dalam masyarakat setempat. Dari pranata-pranata tersebut, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memilih lebih dari satu pranata dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan posisi mereka dan tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada kondisi dimana aturan dan mekanisme penanganan konflik tidak tersedia, warga kampung, dengan dibantu oleh pihak luar ataupun tidak, mampu menciptakan pranata baru melalui musyawarah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan. Kehadiran pihak luar sebagai pihak yang menyadarkan para. pihak yang berkonflik dan menggerakkan para pihak itu untuk bersama-sama menangani konflik, sekaligus menjadi teman belajar bersama untuk menemukan suatu bentuk pranata yang sesuai untuk menangani konflik yang terjadi dapat mempercepat proses pembangunan pranata ini.
Berdasarkan hasil dari kajian ini, dapat diambil suatu pemahaman baru mengenai konflik masyarakat kampung hutan. Pada umumnya, konflik yang terjadi pada masyarakat kampung hutan terjadi karena adanya ketidaksepahaman yang dibiarkan berlanjut dan diejawantahkan dalam sikap terbuka atau terselubung dalam berbagai arena social. Oleh karena itu, walaupun konflik yang terjadi tidak serta merta dapat difragmentasi sebagai konflik kehutanan atau non-kehutanan. Dengan melihat konflik masyarakat kampung hutan sebagai suatu kesatuan, dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa ternyata, konflik warga kampung hutan dengan pihak Dinas Kehutanan sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan lahan dalam kawasan hutan negara hanya merupakan satu bagian kecil dari satu konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kampung hutan.
Upaya untuk mencegah dan menangani konflik yang terjadi Dapat dilakukan secara efektif jika masyarakat memiliki pranata yang kuat sebagai tempat mereka berpaling dan bersandar. Keberadaan pranata yang kuat juga dapat menjadi sarana komunikasi antara warga dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan bagian dari pranata ini dengan cara menyederhanakan proses dan bahasa aturan tersebut. Kiranya, inilah cara yang paling efektif yang dapat dilakukan untuk proses sosialisasi peraturan dan kebijakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>