Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rebecca Fajar Elizabeth
"Dalam hukum pidana, setiap pihak yang menjalankan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) wajib memperhatikan asas legalitas. Terkait dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia, maka hak kostitusional seluruh warga Indonesia dilindungi dengan Undang-Undang Dasar 1945. Jika hak-hak konstitusional terlanggar, seorang warga negara dapat mengajukan permohonan judicial review suatu undang-undang atau pasal dalam undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK memang bertugas menjaga konstitusi Indonesia agar tidak menjadi alat kesewenang-wenangan penguasa. Salah satu hak yang dilindungi UUD 1945 adalah hak sebagaimana tercantum dalam pasal 28F. Hak ini dalam suatu peristiwa dianggap melanggar pasal 134 dan 136 bis KUHP tentang Penghinaan dengan Sengaja terhadap Presiden. Namun, beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pasal Penghinaan dengan Sengaja terhadap Presiden tidak lagi relevan dengan perkembangan demokrasi. MK sendiri melalui putusannya akhirnya menyatakan pasal 134 dan 136 bis KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun pasal-pasal KUHP tersebut sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD, namun bukan berarti tidak bisa dijadikan landasan dari suatu pemeriksaan persidangan. Hal ini bukanlah sebuah pelanggaran asas legalitas, jika tempus delicti dari suatu tindak pidana terjadi sebelum putusan MK."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22601
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rohana Frieta
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Lidya
"Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum yang awalnya dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan pengadilan khusus ini berawal dari anggapan bahwa diperlukan mekanisme yang berbeda dari mekanisme peradilan konvensional dalam menangani perkara-perkara korupsi. Judicial review yang dilakukan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut adalah inkonstitusional dan menyebabkan standar ganda (dualisme) dalam penanganan perkara korupsi, yaitu melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan menetapkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi. Dengan diundangkannya Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang baru ini maka Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang menangani perkara korupsi. Hal ini memunculkan permasalahan dalam proses peralihan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Peralihan, khususnya pada Pasal 36 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penentuan locus delicti dalam suatu perkara korupsi menjadi hal penting yang harus dibahas dalam menentukan pengadilan yang berwenang menangani perkara terkait dengan ketentuan Pasal 36 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini dilakukan dengan metode hukum normatif dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, analitis, dan kasus.

Anticorruption court is a special court formed in the zone of the general judicature, which is formed for the first time based on the Article 53 of Law No. 30 Year 2002 on the Commission of Corruption Eradication (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). The establishment of this special court initially comes from the assumption that it takes a different mechanism than conventional justice mechanisms in dealing with corruption cases. Judicial review of the Constitutional Court declared the legal basis for the establishment of the Anticorruption Court is unconstitutional and raises a double standard (dualism) in handling the corruption cases, namely through the District Courts and Anticorruption Court. The government responded to the verdict of the Constitutional Court by stipulating Law No. 46 Year 2009 on the Anticorruption Court, which specifically regulates the Anticorruption Court as the only court that is authorized to examine, judge and adjudicate corruption cases. With the enactment of the Law No. 46 Year 2009 on the Anticorruption Court, then the District Court no longer has the authority to deal with corruption cases. Thus, arises the problems in the process of authority transition from the District Court to the Anticorruption Court, as stipulated in the transitional provisions, in particular on Article 36 of Law No. 46 Year 2009 on the Anticorruption Court. Determining the locus delict in corruption cases becomes important things that must be addressed in order to determine which court authorized to handle corruption cases related to the provisions of Article 36 of Law No. 46 Year 2009 on Anticorruption Court. This study was conducted the normative-law method by using a qualitative approach. This study used the approachment to legislation, analytical, and case study."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S463
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nur Annissa Rizki
"Skripsi ini membahas mengenai pertimbangan Hakim dalam putusan perkara pidana yang mengandung unsur bias rasial dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), suatu pertimbangan harus berdasarkan fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Hakim sebagai aparat penegak hukum memiliki peran dan kekuasaan dalam peradilan pidana, sebagaimana dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memberikan pertimbangan putusan, Hakim harus melihat kepada proses pemeriksaan dalam persidangan sebelum akhirnya menyatakannya dalam putusan akhir. Adanya bias atau prasangka rasial tidak diperkenankan dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam perkara pidana, munculnya bias rasial dalam pertimbangan Hakim untuk membuktikan unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa bertentangan dengan hak-hak yang melekat dalam diri terdakwa tersebut dan dilindungi oleh ketentuan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

The focus of this study is about the judge?s consideration in criminal judgment that contains racial bias to prove the defendant?s fault. Based on the Code of Criminal Procedure, a consideration of the judge must be based on fact and condition with the evidence acquired from the result of the trial process that will be a background to determine the defendant?s fault. The Judge as a law enforcer has roles and authorities in a criminal court system, which is explained in the Law Number 4 year 2004 regarding Judicial Power. In providing a consideration of the judgment, the Judge must see the trial process before finally he declares in the judgment. A racial bias is not allowed in every national and international law instrument, because it collides with the principals of human rights. In criminal case, a racial bias appears in the Judge?s consideration to prove the element of a defendant?s criminal action is conflict with the rights that stick in the defendant and protected by the criminal procedural law and related rules."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22598
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto, 1983-
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan. Badan Litbang Diklat Kumdil. Mahkamah Agung RI , 2012
345.05 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Verra Donna Rastyana Pritasari
"Korupsi telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan serta merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan. Sehingga untuk meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah bersama lembaga legislatif berupaya menyempurnakan peraturan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi serta membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun upaya yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mustahil dapat berjalan efektif bila tidak didukung dengan pengadilan yang independent dan kompeten untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi, sehingga dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam keberadaaanya, ternyata adanya pengadilan tindak pidana korupsi menimbulkan dualisme diantara pengadilan yang mengadili pelaku korupsi, yaitu antara pengadilan umum dan pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi. Padahal kedua pengadilan ini mengadili perbuatan orang yang samasama di dakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancaman pidana oleh undang-undang yang sama, namun dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi dan faktor yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam putusannya serta mencari upaya untuk mengurangi disparitas putusan hakim antara pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hakim pada pengadilan Umum terhadap tindak pidana korupsi. Carl hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi. Sistem peradilan di Indonesia yang menganut asas pembuktian menurut undangundang secara negatif, tidak dianutnya "the binding of precedent", multi tafsir darn pengaruh non yuridis seringkali menjadi penyebab disparitas putusan. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkannya adalah dengan znenyatukan pandangan, versi dan misi pada setiap hakim untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.

Corruption influenced state life and destructed economic and society system in a large scale, hence, no longer it may be grouped as an ordinary crime but should be granted as an extraordinary crime. Presently, the conventional law enforcement to combat corruption had taken obstacles. So as to increase efforts for Combating of such corruption criminal act the government (executive) with legislative mutually, they had improved legislation to Combat corruption criminal act as well as to establish The Commission to Combat Corruption. Nevertheless, the efforts conducted by The' Commission to Combat Corruption, possibly, it may not be realized effectively, unless it will not be supported by competent and independent courts to try case of corruption criminal act, then it is established Corruption Courts had resulted in ambiguity among courts trying corruption actor(s), i.e, General and Special courts for trying corruption criminal Act. Indeed, those two institutions examining the same cases of corruption criminal act and threatened by imprisonment under legislation, but it had resulted in the different judgement. Both field and library researches had been conducted in order to know the opinion of judge is against corruption criminal Act and factor as basic considerations of judge regarding his/her judgement and seeking out the efforts for reducing disparity of judge's decision among court of corruption criminal act and general court in term of corruption criminal act. The result research indicated that there are disparities among judges' s opinion regarding corruption criminal act. Frequently, judiciary system of Indonesia based on the negativity evidentiary basic rule, not the binding of precedent, multi interpretations and non juridical impact had resulted in disparity of judgement. Hence, the efforts to be conducted for minimizing it is by unifying their opinion, vision and mission for each judge to put corruption as joint enemy."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal Justice system), pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekueni yang luas. Lebih-lebih kalau keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang controversial sebab kebenaran di dalamnya bersifat relative dari sudut mana kita memandangnya (Muladi dan Arief 1984 : 52).
Putusan hakim (pengadilan) dapat mengurangi ataupun menghapuskan hak asasi manusia, antara lain berupa penghilangan hak untuk hidup bila dijatuhi putusan pidana mati, berkurangnya hak untuk bergerak bebas bila dijatuhi putusan pidana penjara atau kurungan. Untuk sampai kepada putusan pidana harus dilaksanakan dalam suatu sistem tertentu yang dinamakan “sistem peradilan pidana”, yang dalam Bahasa Inggris disebut “Criminical Justice System”. Sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, di mana yang terutama dalam tulisan ini adalah sub sistem pengadilan yang merupakan “goal keeper”, karena ia yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana."
JHYUNAND 4:6 (1997)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ketaren, Linda C.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S21962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Radinal
"Ketentuan mengenai saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap melaui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010. Dengan adanya putusan tersebut maka perlu dilihat bagaimana sifat dari putusan tersebut mempengaruhi baik kedudukan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia, maupun dalam hukum acara pidana pada umumnya, yang mana kedudukan saksi untuk dapat memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara pidana dianggap cukup penting.

The provisions on witness in criminal procedure law in Indonesia provided in article 1 points 26 and 27, article 65, article 116 subsection (3) and subsection (4) and Article 184 subsection (1) letter a Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure (Indonesian Code of Criminal Procedure) is declared to be contrary to Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 and has no absolute legal force of law according to the Constitutional Court Award No. 65/PUU-VIII/2010. Following the ruling, the is necessity to see how the nature of the decision affects the position of witness both in criminal procedure law in Indonesia, as well as in the law of criminal procedure in general, considering the importance of the witness competence in giving testimony for the criminal trial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>