Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175831 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simamora, Rudi Sansun
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan pengetahuan safe sex dengan sikap terhadap safe sex di kalangan para pelaut.
Pengetahuan (knowledge) merupakan salah satu pembentuk dari sikap (attitude), juga membentuk subyektif norms dan percieved behavioral control. Ketiga hal tersebut kemudian membentuk kecenderungan atau intensitas perilaku seseorang dan kemudian terbentuklah perilaku yang diekspresikan kekehidupan, (Ajzen, 2005). Oleh sebab itu, jika dapat mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap obyek sikap tertentu, kita akan tahu pula kecenderungan perilakunya. Kita dapat meramalkan perilaku dari sikap.
Berdasarkan wawancara informal yang dilakukan penulis pada beberapa orang, masalah-masalah yang muncul diantaranya adalah adaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan tempat, kebutuhan biologis seperti seks, dan lain sebagainya. Penyaluran kebutuhan biologis (seks) merupakan bahasan yang ingin diteliti oleh penulis. Penyebabnya, penyaluran kebutuhan tersebut dapat menimbulkan masalah baru. Masalah yang berbahaya adalah penularan penyakit menular seksual (PMS).
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 41 orang pelaut. Penelitian ini menggunakan alat ukur pengetahuan safe sex dan sikap terhadap safe sex yang dibuat oleh penulis sendiri berdasarkan konstrak dari teori-teori yang mendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang safe sex mempunyai hubungan yang sangat kuat (r sebesar 0,876) dengan sikap terhadap safe sex pada pelaut pria PT. X."
2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kehidupan seksual yang tidak harmonis tidak jarang mengakibatkan banyak masalah. Ketika fungsi seksual istri tidak optimal maka kepuasan seksual pria beristri ataupun kedua belah pihak dapat terganggu sehingga tidak jarang pria beristri mencari tempat pelarian misalnnya dengan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS. Dampak dari hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS dapat mengakibatkan IMS. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri dan risiko Infeksi Menular Seksual. Metode: Desain penelitian observasional analitik cross sectional. Teknik accidental sampling. Sampel 196 orang, dengan kriteria pria memiliki istri yang legal, istri belum monopause, teratur melakukan hubungan seksual dengan istri tanpa kondom 6 bulan terakhir, melakukan hubungan seksual dengan WPS tanpa kondom minimal 1 kali dalam 6 bulan terakhir, tahap keluarga sejahtera II, sehat dan bersedia menjadi responden. Data tingkat kepuasan seksual dan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dikumpulkan dengan wawancara, data risiko IMS dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium oleh tenaga medis. Pemeriksaan laboratorium gonore dengan pewarnaan Gram's, sifilis dengan Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) dan Veneral Disease Research Laboratory (VDLR), herpes genitalis dan kondiloma akuminata berdasarkan gejala klinis. Hasil disajikan secara deskriptif, dan uji normalitas data dengan Kolmogorav-Smirnov serta uji korelasi Spearman's rho dan Chi-Square. Hasil: penelitian menunjukkan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom terbanyak 1 kali/minggu 57 orang (29,10%), tingkat kepuasan seksual cukup puas 97 orang (49,50%), dengan IMS 10 orang (5,10%). Frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri p = 0,146 (p > 0,05). Frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS berhubungan dengan risiko IMS p = 0,001 (p < 0,01). Kesimpulan: penelitian ini menunjukkan frekuensi hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan seksual pria beristri, tetapi berhubungan dengan risiko IMS. Penelitian dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan faktor lainnya yang berkaitan dengan frekuensi hubungan seksual pria beristri dengan WPS. "
BULHSR 17:4 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fanggidae, Erdhy
"Reformasi pada tahun 1998 memunculkan kebebasan bagi media massa di Indonesia dalam menjalankan praktek media, ditandai dengan munculnya fenomena di mana sensualitas dan seksualitas dalam berbagai bentuk yang hampir selalu ada. Banyak pihak kemudian yang memprihatinkan hal ini, meminta agar kalangan media massa merespon apa yang disebut dengan keprihatinan dan tuntutan masyarakat terhadap maraknya pornografi. Tercetus rencana pembentukan Undang-Undang Anti Pomografi dan Pornoaksi. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) berjanji akan menetapkan sebuah standar penyiaran dan pemerintah juga mempersiapkan empat rancangan peraturan pemerintah (RPP) berkenaan dengan bidang penyiaran.
Wacana regulasi tentang pomografi sebenarnya baik, namun pertanyaan mengenai realitas pornografi menurut perspektif apa dan siapa yang sebaiknya digunakan dalam penyusunan dan implementasi regulasi terkait, serta faktor-faktor apa saja yang nantinya perlu mendapat penekanan dalam regulasi itu, harus dijawab terlebih dahulu. Sebabnya, realitas dibentuk dan dikonstruksi, berwajah ganda/jamak, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
Sejalan dengan pandangan realitas menurut paradigma konstruktivisme, bahwa realitas adalah hasil dari konstruksi mental, bersifat sosial dan tergantung pada orang yang memahaminya, penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme ini berusaha untuk melihat bagaimana kalangan perempuan informan penelitian ini melakukan penerimaan dan juga pemaknaan terhadap realitas praktek media massa yang membahas seksualitas dari sensualitas. Selanjutnya penelitian dengan metode fenomenologi ini juga berusaha mengetahui realitas mengenai isu pornografi di media massa Indonesia menurut para informan, mengenai sejauh mana praktek media massa dengan bahasan seksualitas dan seksualitas tersebut bisa dikategorikan sebagai pornografi dalam pemaknaan mereka.
Menggunakan tiga kategori pemetaan dalam kerangka Audience Reception Theory.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa audiens melakukan pemaknaan sendiri ketika melakukan konsumsi media massa. Dalam realitas bahasan seksualitas, para informan penelitian ini tidak keberatan dan mendukung adanya bahasan seksualitas di media massa. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana ada perbedaan dalam pemaknaan pornografi dan juga realitasnya dalam praktek media massa di Indonesia sendiri. Temuan lainnya adalah bahwa laki-laki dianggap sebagai bagian masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari pomografi.
Dikaitkan dengan pengaruh latar audiens ketika melakukan pemaknaan, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pemaknaan para informan tidak bergantung kepada latar belakang lingkungan tempat tinggal dan mobilitas mereka dan bahwa faktor agama jarang digunakan untuk memaknai isu pomografi di media massa.
Implikasi teori dari penelitian ini adalah bahwa audiens memang mempunyai pemaknaan sendiri ketika mereka berhadapan dengan praktek media massa. Secara metodologis, dengan memperhatikan keterbatasan dari penelitian ini, di mana para informannya adalah hanya mereka yang menepakan perempuan lajang pekerja profesional yang berkantor di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, akan sangat menarik jika di kemudian hari bisa dilakukan sebuah eksplorasi bahasan yang sama.terhadap variabel-variabel yang lebih beragam dalam skala penelitian yang lebih luas secara kuantitatif menggunakan metode survey."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saprianto
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang seksualitas dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Umum. Desain yang digunakan adalah cross sectional, lama penelitian lebih kurang satu minggu, yaitu dari tanggal 5 Mei s/d 10 Mei 2003, alat pengumpul data adalah kuesioner. Variabel yang dilihat adalah umur siswa, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap, jarak rumah ke sekolah, waktu sekolah, serta komunikasi tentang seks dengan orang tua, teman sebaya dan guru. Secara umum hasil yang didapat 66 siswa (38,6%) perilaku seksual berisiko tinggi.
Kesimpulan penelitian didapatkan dua variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku seksual siswa SMU. Variabel tersebut adalah jenis kelamin siswa dengan P value = 0,002 dan OR = 2,778 yang memberikan informasi bahwa siswa perempuan mempunyai peluang untuk berperilaku seksual berisiko tinggi 2,778 kali dibanding siswa laki-laki, dan variabel komunikasi seksual dengan teman sebaya didapatkan hubungan bermakna P value 0,000 dan OR = 3,197 yang artinya tidak melakukan komunikasi seksual dengan teman sebaya mempunyai peluang 3,197 kali untuk melakukan perilaku seksual berisiko tinggi dibandingkan dengan melakukan komunikasi tentang seksual dengan teman sebaya.
Saran untuk orang tua dan guru selayaknya dapat memberikan pendidikan seksualitas pada siswa secara benar dan sesuai tahap perkembangannya. Bantu siswa dalam menghadapi dan mengatasi masalah seksualnya serta lakukan pendekatan dengan teman sebaya (peer group), upayakan memberdayakan kelompok sebaya dengan membekali mereka pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya materi kesehatan reproduksi remaja dimasukkan sebagai muatan lokal sehingga dapat memperkaya pengetahuan siswa dan dapat memenuhi kebutuhannya.

This study is tried to find out the description of relationship between knowledge and attitude on sexuality, and sexual behavior among high school students. A cross-sectional is used as the study design. The study takes time about a week, from 5 to 10 May 2003, and a structured questionnaire is used as the instrument for data collection. The study is look at variables of student's age, gender, knowledge and attitude on sexuality, the school distance from home. school time, and communication about sexuality with parents, peers, and teachers. In general, the study found that there are 66 students (38.6%) who have a high-risk sexual behavior.
The study concluded that there are two variables that have a significant relationship with high school student's sexual behavior. They are: student's gender with P-value 0.002 and OR at 2.778, which mean that girls have a chance to be having high-risk sexual behavior 2.778 times than boys; and communication on sexuality with their peers, with P-value 0.000 and OR at 3.197, which mean that those who have no communication on sexuality with their peers have a chance to be having high-risk sexual behavior than those who have communication on sexuality with their peers.
A suggestion to the parents and teachers is that they are supposed to be giving the sexual education to their children and students in appropriate way depend on their stages age of life. They should support the children and students to deal with and to encounter their sexual problems, with a peer group approach. They suppose to reinforce the peer group with the reproductive health information. Regarding to the education and learning process at school, it is suggested that adolescent reproductive health materials are included at local capacity, as they can enrich the student's knowledge and fulfill their needs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivit Vidyawati
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian :
Dalam rangka pengembangan kontrasepsi hormonal pria, penggunaan TE (Testosteron Enantat) dan DMPA (Depot Medroksi Progesteron Asetat), menunjukkan hasil tingkat azoospermia yang lebih tinggi (90-100%) pada bangsa Asia, sedangkan bangsa Kaukasia hanya mencapai 70% atau kurang. Diduga ada 2 faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan termasuk makanan/diet. Telah diketahui bahwa diet negara Barat (Western Diet) mengandung lemak dan protein tinggi, sedang diet negara Asia (Asian Diet) mengandung karbohidrat tinggi. Dari penelitian dilaporkan bahwa status nutrisi tampaknya merupakan salah satu faktor yang mengatur konsentrasi SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) yang dapat mempengaruhi jumlah testosteron bebas yang akan digunakan dalam mekanisme umpan balik negatif. SHBG adalah glikoprotein yang berfungsi sebagai alat pengangkut hormon steroid, mempunyai afinitas yang kuat terhadap dehidrotestosteron dan testosteron, sedangkan terhadap estradiol afinitasnya lebih lemah. Berbagai hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa korelasi antara konsentrasi SHBG dengan testosteron, insulin dan BMI hasilnya belum seragam dan satu sama lain berbeda-beda. Oleh karena itu kami merasa perlu mengadakan penelitian ulang pada orang Kaukasia yang berada di Jakarta. Pengukuran konsentrasi SHBG, menggunakan immunoradiometric assay (IRMA), sedangkan testosteron total, testosteron bebas dan insulin menggunakan radiommunoassay (RIA). Pengukuran glukosa, trigliserida dan albumin dengan menggunakan spektrofotometer. Untuk mengetahui komposisi makronutrien karbohidrat, lemak dan protein dilakukan pencatatan makanan (food record) selama 3 hari. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara konsentrasi SHBG dengan parameter-parameter yang diukur dan analisis regresi ganda untuk mengetahui hubungan yang paling erat antara konsentrasi SHBG dengan parameter-parameter yang diukur.
Hasil dan Kesimpulan :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SHBG mempunyai korelasi positif dengan testosteron total (r = 0,483, P = 0,002), dan SHBG mempunyai korelasi negatif dengan testosteron bebas (r = 0,087, P = 0,312), insulin (r = 180, P = 0,134) dan BMI (r = 0,366, P = 0,017). Konsentrasi SHBG mempunyai hubungan paling erat dengan konsentrasi testosteron total (P = 0,001).

Scope and Research Method:
In developing men hormonal contraception, the utilization of TE (Testosterone Enantat) and DMPA (Depot Medroksi Progesterone Acetate), indicated higher level of azoospermia (90-100%) at Asian Men, while Caucasian men reached 70% or less only. Presumably, there were two factors affecting this discrepancy, genetic and environmental factor including meal/diet. It has been well known that Western Diet consists of high fat and protein while Asian Diet consists of high carbohydrate. From the research, it was reported that nutrition status seemed to be one of many factors bringing about the concentration of SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) affecting the number of free testosterone that would be used in the negative feedback mechanism. SHBG is glycoprotein acting as steroid hormone transporter, having strong affinity against dehydrotesterone and testosterone, in the same time its affinity against estradiol is weak. Many researches in foreign countries demonstrated that the correlation between concentration of SHBG and testosterone, insulin and BMI did not result in the uniform output and it was different one another. Therefore, we needed to repeat the research at Caucasian men in Jakarta. The measurement of SHBG concentration was using immunoradiometric assay (IRMA), while the measurement for total testosterone, free testosterone and insulin was using radioimmunoassay (RIA). The measurement of glucose, triglyceride and albumin was performed using spectrophotometer. To see the composition of macronutrient carbohydrate, fat and protein food record was conducted for 3 days. Correlation analysis was carried out to see the correlation between the concentration of SHBG and other parameters measured and multiple regression analysis was held to see the closest relation between SHBG concentration and other measured parameters.
Result and conclusion:
The research results indicated that SHBG had positive correlation with total testosterone (r= 0.483, P = 0.002), and SHBG had negative correlation with free testosterone (r=0.087, P = 0.312), insulin (r= 0.180, P = 0.134), and BMI (r= 0.366, P = 0.017). SHBG concentration had the closest relation with total testosterone concentration (p=0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T9589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Anggraini
"Pada masa transisi ini, remaja tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai mengenai seksual pranikah, karena orang tua merasa tabu membicarakan masalah seksual dengan anaknya. (Sarwono, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik (jenis kelamin, usia responden dan tempat tinggal), dan pengetahuan seks pranikah terhadap sikap seks pranikah remaja di SMKN 1 Bogor tahun 2012. Jenis penelitian yang digunakan bersifat kuantitatif dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah potong lintang dimana populasi adalah seluruh siswa/siswa SMKN 1 Bogor dari kelas X-XII yang berjumlah 1347 orang. Dalam penelitian ini tekhnik sampling yang digunakan adalah metode stratified random sampling sehingga didapat sampel sebanyak 330 orang yang tersebar dari kelas X-XII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin perempuan yaitu 188 orang (57%) dan minoritas laki-laki yaitu 142 orang (43%), mayoritas responden berada pada kelompok remaja pertengahan yaitu 200 orang (60,6%), mayoritas responden tinggal bersama orang tuanya sebanyak 315 orang (95,5%), mayoritas responden memiliki pengetahuan seks pranikah yang baik sebanyak 322 orang (97,6%), dan mayoritas responden memiliki sikap seks pranikah yang positif sebanyak 179 orang (54,2%). Dari hasil penelitian didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin (p-value=0,000) dan pengetahuan seks pranikah (p-value=0,001) terhadap sikap seks pranikah. Namun, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tempat tinggal (p-value 0,603) dan usia responden (p-value=0,431) terhadap sikap seks pranikah.

Nowadays, teenagers who are in their transition phase do not have sufficient knowledge about premarital sex. This phenomenon happened because parents talk about sex to their children is taboo (Sarwono, 2012). In this research objective is about to find out the characteristic relationship (sex, age and place of residence) and premarital sex knowledge towards sex attitude on the teenagers in SMKN 1 Bogor 2012. This research is a quantitative type which its design is a cross sectional which requires all 1347 student population in SMKN 1 Bogor from the 10th to 12th Grade. Sampling method that used in this research is a stratified random sampling, and all collected sample is 330 people who are scattered in the 10th to 12th Grade. The result has shown that female is dominating with 188 people (57%) and male has only 142 people (43%). The dominating despondences are teenager in the middle age with 200 people (60,6%), most despondences who resides with their parents are 322 people (97,6%), and the despondences who has positive premarital sex knowledge are 179 people (54,2%). From this research there is a meaning relationship between sex (p-value = 0,000) and premarital sex knowledge (p-value = 0,001) towards premarital sex attitudes. However, there was no relationship found between place of residence (p-value 0,603), and age (p-value = 0,431) towards premarital sex attitudes."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrata, Bernard
"Sex hormone binding globulin (SHBG) adalah glikoprotein plasma yang mengangkut hormon seks steroid dan meregulasi aksesnya pada sel sasaran. Konsentrasi pada plasma manusia 10-73 nmol/l. Produk variasi alel SHBG telah diidentifikasi pada plasma manusia. Umumnya frekuensi alel normal dan alel varian adalah 0.9 dan 0.1, tetapi distribusinya sangat bervariasi di antara populasi dari berbagai negara. SHBG yang dikode oleh alel varian ketika dianalisis dengan elektroforesis gel poliakriiamid terpisah menjadi tiga pita (triple banded) dengan berat molekuI (BM) yang berbeda (56,52,49 kDa), sedangkan SHBG normal terpisah hanya dua pita (double handed) dengan BM 52 kDa dan 49 kDa.
Selanjutnya dalam tesis ini masing-masing subunit tersebut disebut SHBG varian dan SHBG normal. Sui L.M.. dkk. meneliti konsentrasi SHBG normal dan SHBG yang mengalami deglikosilasi dengan transfornasi jamur Pichia pastoris. Pada SHBG yang mengalami deglikosilasi konsentrasi SHBG yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan SHBG normal. Apakah pada SHBG varian yang mengalami glikosilasi atau penambahan oligosakarida konsentrasi SHBG yang dihasilkan seharusnya lebih besar dari pada SHBG normal, masih perlu diteliti lebih lanjut.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memeriksa variasi subunit SHBG pada pria dewasa Kaukasia sehat dan implikasinya terhadap konsentrasi SHBG. Variasi subunit SHBG diperiksa dengan cara elektroforesis dan Western blot, sedangkan konsentrasi SHBG dianalisis dengan immunoradio metric assay (IRMA).
Hasil dan Kesimpulan: Dari keseluruhan sampel, tujuh puluh tujuh persen (20 orang) mempunyai jumlah dua pita (SHBG normal), rata-rata konsentrasi SHBG: 31,82 nmol/l. Sedangkan 23 % (6 orang) mempunyai jumlah tiga pita (SHBG varian), dengan rata-rata konsentrasi SHBG: 23,83 nmol/l. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara konsentrasi SHBG varian dengan SHBG normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Archer, John
New York: Cambridge University Press, 2002
155.33 ARC s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sinta Deviyanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Dalam rangka mencari bahan kontrasepsi pria yang ideal, penyuntikan TE (Testosterone Enanthate) dan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan hasil penekanan spermatogenesis yang berbeda antara pria bangsa Asia (azoospermia 90-100%) dan Kaukasia (azoospermia < 70%). Diduga ada dua faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil tersebut yaitu faktor genetik dan konsumsi makanan/ diet berbeda yang mempengaruhi kadar SHBG. Sebagai glikoprotein plasma homodimerik, SHBG memiliki kemampuan spesifik mengikat hormon-hormon steroid seks (dehidrotestosteon, testosteron dan estradiol) dan membawanya menuju ke jaringan target. Kadar SHBG normal dalam plasma adalah 10-73 nmol/L. Bila dihubungkan dengan proses spermatogenesis, kadar SHBG secara tidak langsung mungkin dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan merubah kadar testosteron babas yang bekerja menimbulkan efek umpan balik negatif melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. SHBG manusia dikode oleh suatu gen autosom tunggal yang memiliki dua alel kodominan yaitu alel normal dan alei varian. Alei SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12-13 (p12-13) dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC-)AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin (Asp327Asn) dan menyebabkan penambahan rantai karbohidrat atau N-linked glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Penambahan waktu paruh selanjutnya dianggap dapat mempengaruhi kadar SHBG. Penelitian sebelumnya terhadap SHBG manusia produk cDNA (complementary DNA) yang diekspresikan pada jamur Pichia pastoris menyebutkan bahwa SHBG yang mengalami deglikosilasi enzimatik menghasilkan kadar SHBG yang lebih rendah dibandingkan SHBG normal. Apakah SHBG varian seharusnya menghasilkan kadar SHBG yang Iebih besar, masih perlu diteliti. Melalui teknik SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electrophoresis), deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul berbeda yaitu 49,52 dan 56 kDa. Untuk mengetahui efektifitas penekanan spermatogenesis oleh bahan kontrasepsi hormonal TE dan D1VIPA, maka perlu diteliti kadar SHBG serta faktor yang dianggap turut mempengaruhi kadar SHBG tersebut (dalam hal ini adalah faktor genetik atau variasi fenotip SHBG).Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendeteksi variasi fenotip SHBG dan melihat kemungkinan pengaruhnya terhadap kadar SHBG pada populasi pria Indonesia dewasa sehat. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik SDS PAGE dan Western blot. Sedangkan pengukuran kadar SHBG dilakukan dengan teknik IRI/ IA (Immunoradiometric assay). Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10.
Hasil dan Kesimpulan : Dari total sampel serum pria Indonesia dewasa sehat yang dideteksi melalui SDS PAGE dan Western blot, tampak gambaran ekspresi gen SHBG yang terdiri dari dua jenis pola fenotip SHBG dengan berat molekul yang berbeda. Pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dijumpai sebanyak 61% (11 sampel serum), terdiri dari sub unit heavy dengan perkiraan berat molekul 51 kDa dan sub unit light dengan perkiraan berat molekul 46 kDa. Sedangkan pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) dijumpai sebanyak 39% (7 sampel serum), memiliki tambahan sub unit ketiga yaitu sub unit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Hasil perhitungan rata-rata kadar SHBG normal dan SHBG varian yang diperoleh dalam penelitian ini masing-masing adalah 42,24 nmolll dan 39,44 nmolll. Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10 menyimpulkan bahwa fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) temyata menghasilkan kadar SHBG yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) (pada tingkat signifikan 5%, 1 = 0,343 dengan P= 0,736, 2-tail test)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Parwanto
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Penggunaan testosteron enantat (TE) saja atau kombinasinya dengan depot medroksiprogesteron asetat (TE + DMPA) atau testosteron undekanoat (TU) saja dalam kontrasepsi hormon memiliki efektivitas yang berbeda dalam menekan spermatogenesis antara bangsa Asia dengan Kaukasia. Perbedaan efektivitas penekan spermatogenesis tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan asupan lipid-protein dan polimorfisme SHBG. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan asupan lipid-protein dan polimorfisme SHBG terhadap kadar SHBG, testosteron total, testosteron bebas antara pria Indonesia dengan pria Kaukasia. Selain itu juga ingin diketahui hubungan antara kadar SHBG, testosteron total, testosteron bebas, persentase testosteron bebas, indeks testosteran bebas dan insulin. Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Food recall 3 hari berturut-turut dilakukan terhadap semua subyek, kemudian dianalisis dengan World Food 2 Program. Kadar SHBG, testosteron total, testosteron bebas dan insulin dalam serum diukur dengan metoda radio immuno assay (RIA). Elektroforesis dan western blotting dilakukan untuk menentukan macam fenotip SHBG. Subyek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan asupan lipid-protein dan dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan fenotip SHBG. Tiga puluh sembilan pria Indonesia asupan lipid-protein rendah sebagai kelompok I, 28 pria Indonesia asupan lipid-protein sedang sebagai kelompok II dan 27 pria Kaukasia asupan lipid-protein tinggi sebagai kelompok III. Tujuh puluh enam dari 94 subyek penelitian fenotipnya SHBG normal (2 pita SHBG) dan 18 dari 94 subyek penelitian fenotipnya SHBG varian (3 pita SHBG).
Hasil dan Kesimpulan: Kadar SHBG dan testosteron bebas kelompok I lebih tinggi dibanding kelompok II dan III, tetapi kelompok 1I tidak berbeda dengan kelompok III. Kadar testosteron total kelompok I lebih tinggi dibanding kelompok III dan kelompok II paling rendah. Karena kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas antar kelompok berbeda (p < 0.05), maka kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas dipengaruhi oleh asupan lipid-protein. Kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas antara fenotip SHBG normal tidak berbeda dengan fenotip SHBG Marian (p > 0.05). Karena kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas antar kelompok fenotip SHBG tidak berbeda, maka kadar SHBG, testosteron total dan testosteron.

The Influence Of Lipid-Protein Intakes And SHBG Polimorphysm On SHBG Level Of Indonesian And Caucasian MenScope and Methods of study: The development of hormonal contraception method for men using testosterone enanthate (TB) alone or in combination with depot medroxyprogesteron acetate (TE + DMPA) or testosterone undecanoat (TU) alone has different efficacy in suppressing the spermatogenesis of Asians or Caucasians. The difference of efficacy in suppressing the spermatogenesis of Asian or Caucasian maybe caused by the difference of lipid-protein intake and SHBG polymorphism. The main aim of this research was to investigate the effects of difference in lipid-protein intake and polymorphism of SHBG on the level of SHBG, total testosterone and free testosterone of Indonesian men with low lipid-protein intake, medium lipid-protein intake and Caucasian men with high lipid-protein intake. This research was cross sectional study. Three days repeated food recall for all subjects analyzed with World Food 2 Program. The measurement of serum SHBG, total testosterone, free testosterone and insulin were done with radio immuno assay (RIA) technique. Electrophoresis and western blotting were done to determine 2 types of SHBG phenotype. Subjects in this research were divided into 3 groups base on lipid-protein intake and 2 groups base on SHBG phenotype. Thirty nine Indonesian men with low lipid-protein intake as group I, 28 Indonesian men with medium lipid-protein intake as group II and 27 Caucasian men with high lipid-protein intake as group III. Seventy six out of 94 subjects as normal SHBG phenotype (double-banded SHBG) and I8 out of 94 subjects as variant SHBG phenotype (triple-banded SHBG).
Result and conclusion: The level of SHBG and free testosterone in the group I was higher compared to both group II and group III (p r 0.05), but the group II and group III was not different (p > 0.05). The level of total testosterone in the group I was higher compared to group ill, and the group II was the lowest (p < 0.05). Because the level of SHBG, total testosterone and free testosterone in the group I, II and III were different (p < 0.05), then they were affected by lipid-protein intake. The level of SHBG in the normal SHBG phenotype was not different compared to the variant SHBG phenotype (p > 0.05), then the level of SHBG was not affected by SHBG polymorphism."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D514
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>