Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117397 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmat Taufiq
"Setiap orang selalu menginginkan sukses dalam kehidupannya. Dalam mencapai sukses seseorang selalu dihadapkan dengan hambatan dan kesulitan. Hal ini juga terjadi dalam pendidikan di perguruan tinggi, dimana indikasi sukses mahasiswa dilihat dari prestasi akademiknya. Sebagai Fakultas Psikologi pertama di Indonesia dan paling diminati, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) memiliki kesulitan tersendiri dalam menjalani pendidikannya, seperti perbedaan sifat pendidikan di SLTA-perguruan tinggi yang mencakup kurikulum, disiplin, hubungan dosen-mahasiswa, masalah hubungan sosial, ekonomi dan pemilihan bidang studi-jurusan (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
Adversity quotient (AQ) adalah kemampuan seseorang dalam bereaksi terhadap kesulitan yang dihadapinya (Stoltz, 1997). Berdasarkan AQ seseorang dapat digolongkan sebagai quitter, camper, dan climber. Seseorang yang memiliki AQ tinggi (climber) akan bereaksi dengan tepat dan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki skor AQ rendah (quitter) tidak bereaksi dengan baik dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Dweck (dalam Stoltz, 1997) berpendapat bahwa laki-laki memiliki AQ lebih tinggi dari perempuan. Pendapat Dweck ternyata berbeda dengan kondisi di Fakultas Psikologi UI. Prestasi yang menjadi indikasi suksesnya mahasiswa lebih banyak diperoleh oleh mahasiswi. Bintari (2000) berpendapat perempuan memiliki AQ yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Pada penelitiannya Bintari (2000) mengakui bahwa sampel yang ditelitinya tidak representatif berdasarkan perbandingan jenis kelamin sampel dan pengambilan sampel hanya dari satu angkatan tertentu. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah ?Apakah ada perbedaan AQ berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi UI?
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan alat ukur adaptasi berupa kuesioner dengan skala sikap. Subyek penelitian berjumlah 170 orang mahasiswa Fakultas Psikologi UI program reguler dan ekstensi dari semester awal hingga akhir (69 laki-laki dan 101 perempuan). Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur adalah 0,8835 dengan koefisien alpha cronbach. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan t test untuk membandingkan mean kedua kelompok jenis kelamin.
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor AQ yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi UI (t = -0,009, sig.= 0,993). Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian dari Dweck (dalam Stoltz, 1997) maupun Bintari (2000). Skor rata-rata AQ mahasiswa Fakultas Psikologi UI adalah 272,38 yang berarti termasuk dalam kategori sedang (camper), sesuai dengan hasil penelitian Bintari (2000).

Every person basically is eager to reach ever the success in life. On the other hand, the difficulties and obstacles may have to be faced by the people every single step of their time. This phenomenon also happen in the field of college, where the academic achievement required. Faculty of psychology University of Indonesia, as the first faculty in Indonesia has been searched by many college students. There for they have to struggle along their education with the difference aspect of educational nature when they were in high school?university curriculum, disciplinary, the relation between lecturer and college students, social relationship, economic factors and the selection of majority field study (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
According to Stolz (1997) AQ is the capability to react for certain difficulty. There are three categories of AQ: quitter, camper, and climber. Someone who has a high AQ considers to be able to adapt well (climber). Conversely a lower AQ considers as quitter, incapable of adapting the difficulty. The research of Dweck (in Stoltz, 1997) resumed that males have a higher AQ than females. The result confirmed quite different from the fact in the Psychology Faculty of University of Indonesia. The academic achievement indicates this fact from mostly female college student. More over, Bintari?s research (2000) was acquired that female college students have a higher AQ than the males. Bintari (2000) admitted the sample of her research wasn?t representative. The sample required only on specific sex which is females and in the same year of educational level. The problem of this research ?is there a difference of AQ based on sex to college students in faculty of psychology University of Indonesia?
This research used quantitative approach. The questionnaire was adopted by likert scale. The subjects contained of 170 college students from the faculty of psychology (69 males and 101 females). Reliability and validity 0.8835 coeficient cronbach alpha.The data elicited from t test to compare mean score of both sex.
Finally, the result showed that there are no differences score of AQ significantly based on sex to college students Faculty of Psychology University of Indonesia (t = -0,009, sig.= 0,993). It doesn?t support the Dweck?s research and Bintari as well. Mean score of the college students faculty of psychology University of Indonesia 272,38. It means that they are in middle category (camper) and the Bintari?s research (2000) fits in this result.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfandi Aprianto
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang gambaran adversity quotient dan Spiritualitas Islam terhadap aktivis lingkungan hidup Muslim. Aktivis lingkungan hidup menjadi salah satu profesi yang paling banyak mendapatkan kesulitan dalam menjalani perannya. Peneliti ingin memahami lebih jauh peran Adversity quotient (AQ) sebagai kekuatan untuk mampu bertahan menghadapi kesulitan dan bagaimana hubungannya dengan nilai spiritualitas para aktivis. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode mixed-method. Alat ukur kuantitatif menggunakan Adversity quotient Response Profile dari Paul G Stolz, sementara Spiritualitas Islam diadaptasi dari The Muslim ReligiosityPersonality Inventory (MRPI). Untuk kualitatif menggunakan wawancara mendalam semi-struktur. Hasilnya terdapat hubungan positif antara Adversity quotient dengan Spiritualitas Islam. Sementara hasil kualitatif mampu mengungkapkan alasan untuk menjelaskan hasil hubungan positif tersebut. 

This study discusses to explain the results of the results of the difficulties and the spirituality of Islam towards Muslim environmental activists. Researchers see the role in the environment as needed. However, it is not easy to be an environmental activist. Various kinds of obstacles they face. Starting economic losses, legal threats, to loss of safety. In order for environmental activists to survive and be able to face their difficulties, readiness is needed to overcome, overcome, overcome the difficulties or problems they face. This is where the role of Adversity quotient (AQ) is needed to support the environment, such as the need to be able to overcome difficulties. Not only that, it turned into an activist. The environment also influenced activist spirituality. They are able to find the meaning behind their activities to become a supporter of the Environment. The method used in this study is a mixed-method method. Quantitative measuring instruments use the Adversity quotient. Profile of Responses from Paul G Stolz, while Islamic Spirituality was adapted from the Inventory of Muslim-Personality Religiosity (MRPI). For qualitative use semi-structured in-depth interviews. The result is a positive relationship between Adversity quotient and Islamic Spirituality. While qualitative results can be revealed the reasons for explaining the results of these positive relationships. "
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rizki Maulia
"ABSTRAK
Seiring dengan adanya persaingan dalam bidang pendidikan baik secara nasional
maupun internasional antara Perguruan Tinggi, maka perguruan tinggi negeri dituntut
untuk lebih berbenah diri agar dapat meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas ini
juga mencakup peningkatan kualitas mahasiswanya. Mahasiswa tidak hanya diharapkan
dapat lulus tepat waktu, tapi juga dapat meraih prestasi yang maksimal.
Dweck (dalam Snyder, 2002) menegaskan bahwa keberhasilan siswa di kelas
tidak hanya ditentukan oleh faktor kecerdasan dan kemampuan. Salah satu faktor penting
yang dapat mempengaruhi prestasi siswa adalah motivasinya dalam meraih hasil yang
maksimal dalam bidang akademis.
Dahulu diyakini bahwa kesuksesan siswa di kelas bergantung pada Intelligence
Quotient dan Emotional Quotient yang dimiliki siswa, namun hal tersebut tidak terbukti.
Paul G. Stoltz (1997) mencoba menjembatani antara konsep kedua konsep ini dengan
menciptakan konsep Adversity Quotient yaitu suatu ukuran untuk mengetahui respons
manusia terhadap kesulitan. Adversity Quotient (AO) diajukan sebagai prediktor global
terhadap kesuksesan antara lain sebagai prediktor dari motivasi. Dalam penelitian ini
Adversity Quotient akan diuji apakah benar memiliki hubungan dengan motivasi yang
salah satu bentuknya adalah motivasi berprestasi dalam bidang akademis.
Penelitian ini berusaha untuk. lebih mengembangkan penelitian mengenai
Adversity Quotient dan motivasi berprestasi dengan sampel warga Indonesia, khususnya
mahasiswa. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan khususnya
oleh bangsa Indonesia. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel mahasiswa
Universitas Indonesia angkatan 2001, 2002, 2003 yang mengikuti program SI reguler.
Peneliti juga akan mencoba melihat apakah ada perbedaan pada mahasiswa yang
berasal dari Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) dengan yang
berasal dari luar Jadebotabek dalam hal Adversity Quotient dan motivasi berprestasi
akademis. Dugaan akan adanya perbedaan muncul karena adanya asumsi bahwa
mahasiswa yang berasal dari daerah lain mengalami krisis yang lebih berat dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari kota/daerah dimana universitas itu berdiri, antara
lain berupa tekanan akulturasi yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan dengan
lingkungannya yang baru dan sebagainya.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan sampel sebesar 87 orang, 60 orang
berasal dari Jadebotabek dan 27 orang berasal dari luar Jadebotabek. Alat ukur Adversity
Quotient dan motivasi berprestasi yang digunakan dibuat sendiri oleh peneliti. Kedua alat
ukur ini berbentuk skala tipe Likert. Alat ukur Adversity Quotient terdiri dari dimensi
Control, Ownership, Reach, Endurance dan alat ukur motivasi berprestasi akademis
terdiri dari dimensi Risiko Pemilihan Tugas, Kebutuhan akan Umpan Balik, Tanggung
Jawab, Ketekunan, Kreatif/Inovatif, dan Keinginan untuk Unggul.
Ternyata motivasi berprestasi akademis tidak hanya dipengaruhi oleh Adversity
Quotient maka faktor-faktor lain yang memiliki pengaruh terhadap motivasi berprestasi
akademis juga dianggap sebagai variabel bebas/independent variable (IV). Faktor-faktor
lain ini diperoleh melalui data kontrol. Dengan demikian hubungan antara Adversity
Quotient juga IV-IV lainnya (jenis kelamin, angkatan, fakultas, jenis ilmu yang ditekuni
di fakultas, asal SMU, jalur masuk UI, pilihan fakultas dalam UMPTN/SPMB, urutan
kelahiran, jumlah anak dalam keluarga, pendidikan terakhir ayah, pendidikan terakhir ibu,
pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, tempat tinggal keluarga, saat ini tinggal bersama siapa,
dan keikutsertaan di seminar/pelatihan motivasi) dengan motivasi berprestasi akademis
diuji melalui perhitungan statistik Multiple Regression. Dari hasil penelitian terhadap
sampel tidak ditemukan adanya hubungan antara Adversity Quotient dengan motivasi
berprestasi akademis. Juga tidak ada perbedaan pada mahasiswa yang berasal dari
Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) dengan yang berasal dari
luar Jadebotabek dalam hal Adversity Quotient dan motivasi berprestasi akademis. Untuk
IV lainnya seperti di atas juga tidak ditemukan adanya hubungan dengan motivasi
berprestasi akademis. Walaupun dari hasil perhitungan didapatkan besarnya peran dari
tiap IV terhadap motivasi berprestasi akademis, namun ternyata tidak signifikan pada
level of significance 0,01 dan level of significance 0,05 sehingga probabilitanya lebih
kecil daripada probabilita yang diharapkan.
Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab terjadi hal tersebut, antara lain
adalah :
Skor Adversity Quotient dan motivasi berprestasi pada sampel penelitian kurang
bervariasi.
Sampel kurang representatif.
Ada faktor lain diluar IV-IV yang diperhitungkan yang lebih besar pengaruhnya
terhadap DV"
2004
S3327
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Agung Rahmadi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kecerdasan adversity dan motivasi hidup Jemat Ahmadiyah di tengah arus informasi hoax, karena diasumsikan bahwa adanya kesenjangan antara fenomena kecerdasan adversity dan motivasi hidup Jemaat Ahmadiyah dengan Teori Adversity Quotient Paul G. Stoldz dan Teori Motivasi Abraham A. Maslow. Metode Penelitian adalah metode fenomenologi kualitatif di mana data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi non partisipatif. Lokasi penelitian berada di dua wilayah yaitu wilayah diskriminatif dan wilayah kondusif. Data primer diperoleh dari wawancara dan observasi psikologi yang dilakukan untuk sepuluh orang seagai perwakilan dari lima kelompok informan penelitian, yaitu Atfal, Nasirat, Ghudam, Lajna Imailah, Anshar, kemudian data sekunder berasal dari buku / jurnal. Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa Jemaat Ahmadiyah Manislor memiliki kecerdasan adversity yang kurang baik sebab adanya trauma yang timbul karena diskriminasi, dan memiliki motivasi yang melompati hirarki motivasi seharusnya, sedangkan Jemaat Ahmadiyah Lenteng Agung memiliki kecerdasan adversity yang kurang baik sebab lingkungan yang terlalu kondusif serta berada pada hirarki motivasi yang sesuai teori. Kesimpulan ini dapat ditarik sebab pada Atfal dan Nasirat Jemaat Ahmadiyah Manislor yang belum mengalami diskriminasi terdapat kecerdasan adversity yang tidak terganggu oleh trauma dan memiliki gejala psikologi yang serupa dengan Jemaat Ahmadiyah dalam lingkungan kondusf seperti di Lenteng Agung. Lompatan hirarki dalam motivasi konatif pada Jemaat Ahmadiyah Manislor timbul sebab dalam tradisi Jemaat Ahmadiyah penanaman nilai being tidak harus melewati hierarki motivasi sebelumnya.

ABSTRACT
This study aims to get an overview of the adversity quotient and life motivation of Ahmadiyya Jama'at in the middle of hoax information flow, because it is assumed that there is a gap between the phenomenon of adversity quotient and the life motivation of the Ahmadiyya Jema’at with Paul G. Stoldz's Adversity Quotient Theory and Abraham A. Maslow's Motivation Theory. The research method is a qualitative phenomenology method, where primary data is obtained from the results of in-depth interviews and non-participatory observation. The research locations are in two regions, namely discriminatory regions and conducive regions. Primary data were obtained from interviews and psychological observations conducted for ten people as representatives of five research subject groups, namely Atfal, Nasirat, Ghudam, Lajna Imailah, Ansar, then secondary data came from books / journals. The results of the study describe that the Ahmadiyya Jamaat Manislor has poor adversity quotient because of the trauma that arises due to discrimination, and has the motivation to leapfrog the motivational hierarchy should, while the Lenteng Agung Ahmadiyya Jama'at has less adversity quotient because the environment in too conducive while the Lenteng Agung Ahmadiyah Community is at the hierarchy stage of motivation that fits the theory. This conclusion can be drawn because the Atfal and Nasirat of the Ahmadiyya Jamaat that have not experienced discrimination have adversity quotient that is not disturbed by trauma and has psychological symptoms similar to the Ahmadiyya Jema’at in a conducive environment such as in Lenteng Agung. The leap of hierarchy in the conative motivation of the Ahmadiyah adherents arises because in the tradition of the Ahmadiyya Jama'at, planting the value of being done does not have to go past the previous hierarchy of motivation."
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T51942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Anton Oktary K.
"Sebagai syarat kelulusan skripsi tentulah dapat menimbulkan perasaan cemas pada mahasiswa yang mengerjakannya. Dari penelitian Primusanto (2000) didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi dengan tingkat kecemasannya sehari-hari atau normal. Kecemasan timbul tidak hanya disebabkan oleh kejadian yang dirasakan mengancam. Tetapi juga lebih diakibatkan oleh persepsi mengenai ketidakmampuan diri dalam mengatasinya. Persepsi atau keyakinan terhadap ketidakmampuan diri ini berkaitan dengan self efficacy mahasiswa tersebut. Pertanyaan yang timbul adalah apakah ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan subyek penelitian sebanyak 91 mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Dalam penelitian ini dipakai 2 jenis kuesioner, yaitu kuesioner self efficacy dan kuesioner kecemasan. Semua data yang diperoleh dianalisa menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment yang terdapat pada program SPSS. Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa self efficacy memiliki korelasi yang negatif dengan kecemasan mahasiswa saat mengerjakan skripsi. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik pada penelitian berikutnya, perlu kiranya menambahkan subyek penelitian dari berbagai perguruan tinggi yang berbeda. Pada penelitian berikutnya juga bisa ditambahkan variabel baru seperti motivasi, minat, dan lain-lain.

As condition to pass the thesis for get bachelor degree, this strenght time of course can generate feeling worry at student doing it. Primusanto ( 2000) research said there are difference level of anxiety for student which is doing thesis with dayly anxiety. Anxiety arise not only because of felt occurence menace, but also from ourself perception concerning disability to through it. Perception or confidence about the anxiety, it?s related to student self efficacy. The question is, there is any relation between self efficacy with anxiety at student which is doing thesis for get bachelor degree?
This research use quantitative approach with research subyek counted 91 students. The students participants at this time must be in condition doing thesis for get bachelor degree. There is any two type quesioner in this research,one is the self efficacy quesioner and second one is anxiety quesioner. All the data be analysed use correlation technique of Pearson Product Moment with SPSS software methode. The result of research, obtained that self efficacy have negative correlation with anxiety at the moment when the student doing thesis for get bachelor degree. To obtain better result at the next research, it is sugessted to enhance research subyek from various different college, also will be better if the research enhanced the new variable to get valid data, like motivation, intens and others.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Lasmono
"Latar Belakang: Kemampuan empati dan sistemisasi sudah berkembang sejak masa kanak. Kedua kemampuan tersebut berkaitan dengan fungsi sosial serta pencapaian akademik pada anak, dapat dinilai menggunakan kuesioner Empathy Quotient (EQ) dan Systemizing Quotient (SQ). Dorongan untuk berempati dan sistemisasi selanjutnya dapat dijelaskan sebagai tipe otak, yang dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan perbedaan antara nilai EQ dan SQ terstandarisasi dari orang tersebut. Salah satu gangguan psikiatrik yang banyak ditemui pada layanan kesehatan jiwa anak dan remaja adalah GPPH. Adanya GPPH dapat berdampak pada fungsi sosial dan akademis anak. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui perbedaan tipe otak berdasarkan EQ dan SQ pada anak sekolah dasar (SD) dengan dan tanpa GPPH.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Sampel sebanyak 122 orang tua dan anak diambil dari Poli Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dari sekolah dasar di Jakarta. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) versi Bahasa Indonesia. Tipe otak dikelompokkan berdasarkan persentil dari nilai D, yaitu perbedaan antara EQ dan SQ terstandarisasi.
Hasil: Tipe otak yang paling banyak ditemui pada anak tanpa GPPH adalah empathy (37,7%), sedangkan pada kelompok anak dengan GPPH adalah systemizing (39,34%). Dari hasil analisis, didapatkan perbedaan bermakna pada nilai D kedua kelompok (p=0,021). Studi ini juga mendapati perbedaan bermakna pada rerata EQ (p=0,000) dan rerata SQ (p=0,042) antara kedua kelompok.
Simpulan: Terdapat kecenderungan tipe otak sistemisasi pada anak SD dengan GPPH, serta terdapat perbedaan bermakna pada rerata EQ dan SQ antara kedua kelompok.

Background: Empathy and systemizing abilities have developed since childhood. These abilities are related to social and academic achievements in children, can be assessed by using the Empathy Quotient (EQ) and Systemizing Quotient (SQ) questionnaires. The drive to emphatize and systemize can further be described as brain type, which is divided into five groups based on the difference of the individual’s standardized EQ and SQ scores. One of psychiatric disorders commonly found in child and adolescent mental health services is ADHD. ADHD may have an impact on social and academic function in children. This study was conducted to determine the difference of brain type based on EQ and SQ in elementary school children with and without ADHD.
Methods: This is an observational study with cross-sectional study design. Sample of 122 parents and children were included from Child and Adolescent Mental Health Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital, and elementary school in Jakarta. The data were taken using Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) questionnaire in Bahasa Indonesia. The brain types were classified according to percentile of D score, which is the difference between standardized EQ and SQ.
Results: The most common brain type found in children without ADHD was empathy (37.7%), while in children with ADHD was systemizing (39.34%). From the analysis, there was significant difference in D score between both groups (p=0.021). Significant difference was also found in mean EQ score (p=0.000) and mean SQ score (p=0.042) between both groups.
Conclusion: There was tendency toward systemizing brain types in elementary school children with ADHD. There were also significant differences in mean EQ and SQ score between both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Jaya
"ABSTRAK
Dalam era globalisasi sekarang ini, selain ada hasil nyata kemajuan jaman,
ada pula dampak-dampak lain. Salah satu dampak yang cukup penting untuk diteliti
secara khusus adalah mengenai peran dan status wanita.
Dalam masa globalisasi ini seluruh umat manusia dituntut umtuk dapat
memperlengkapi dirinya untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Bangsa Indonesia juga dituntut menjadi sumber daya manusia yang baik. Apalagi
dalam negara Indonesia yang sedang menuju era tinggal landas, perempuan dan laki-
laki merupakan aset pembangunan yang perlu mengembangkan potensi yang dimiliki
secala optimal. Namun tantangan globalisasi nampaknya lebih berat dirasakan oleh
wanita daripada oleh pria. Hal ini disebabkan karena wanita masih serba ketinggalan
dalam bidang pendidikan dan teknologi. Tantangan globalisasi dirasakan berat bagi
wanita karena wanita tidak dipersiapkan untuk berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan. Wanita tidak terbiasa untuk bertindak dan berpikir mandiri.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan sumber daya wanita
adalah dengan pendidikan. Pendidikan memberikan kesempatan buat wanita untuk
mengecap pendidikan lebih tinggi dan kemudian bekerja. Namun justeru nampaknya
wanita dengan pendidikan tinggi lebih banyak memiliki konflik daripada wanita lain.
Konflik yang ada adalah antara keinginan untuk mengembangkan diri melalui
ketrampilan dan pendidikan yang diperoleh di perguruan tinggi dengan keinginan
untuk mengabdikan diri dalam keluarga. Konflik yang dirasakan membuat wanita
harus pandai membagi aspirasinya.
Isi aspirasi perempuan muda yang masih menyelesaikan kuliah di perguruan
tinggi bermacam-macam. Namun jika dilihat dari bidang kehidupan yang dekat
dengan kehidupan perempuan muda, maka isi aspirasi perempuan muda dapat dilihat
dalam lima bidang. Kelima bidang itu adalah aspirasi karir, pendidikan, keluarga
sosial, pribadi. Peneliti ingin melihat aspirasi dalam bidang apa yang paling banyak
ingin dicapai oleh perempuan muda, dalam hal ini mahasiswi Fakultas Psikologi UI.
Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan diatas, maka masalah umum
yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah aspirasi apa yang paling ingin dicapai
oleh mahasiswi fakultas Psikologi Universitas lndonesia?. Manfaat dari penelitian ini
adalah untuk memberikan masukan informasi dalam memahami masalah-masalah
perempuan muda sehingga dapat digunakan untuk keperluan konseling. Khususnya bagi fakultas Psikologi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
pemimpin akademik dalam memberikan pengarahan kepada mahasiswa yang
dibimbingnya. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-
masukan baru tentang aspirasi.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang aspirasi,
tentang dewasa muda, tentang mahasiswa dan tentang pembentukan aspirasi pada
wanita. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswi fakultas
Psikologi UI , berusia 18-25 tahun. Jumlah subyek yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 100 orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah
metode purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang
disusuan sendiri oleh peneliti dalam bentuk force choice. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan perhitungan frekuensi, persentase, ranking, rimus chi-square
dan teknik Cronbach Alpha untuk menghitung reliabilitas dan validitas alat.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan aspirasi pendidikan merupakan
aspirasi yang paling banyak ingin dicapai oleh mahasiswi fakultas Psikologi UI. Di
samping itu ditemukan hasil lain yang memperlihatkan perbedaan yang signifikan
dalam aspirasi keiuarga dan aspirasi pribadi berdasarkan kelompok suku bangsa,
dalam aspirasi pribadi berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga, dalam aspirasi
sosial dan aspirasi pribadi berdasarkan latar belakang pendidikan ibu. Selain itu
ditemukan dalam bidang karir aspirasi yang paling banyak ingin dicapai adalah
aspirasi untuk bekerja, mencapai jenjang karir yang tinggi dan aspirasi untuk
mendapat promosi jabatan. Dalam aspirasi pendidikan aspirasi yang paling banyak
ingin dicapai adalah aspirasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi dan mendapat kesempatan belajar ke luar negeri. Dalam aspirasi keluarga
aspirasi yang paling banyak ingin dicapai adalah aspirasi untuk segera menikah dan
membentuk keluarga dan aspirasi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Dalam aspirasi sosial aspirasi yang palin banyak ingin dicapai adalah aspirasi untuk
aktif dalam organisasi masyarakat dan aspirasi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat kecil. Dalam aspirasi pribadi aspirasi yang paling banyak ingin dicapai
adalah aspirasi untuk memiliki usaha pribadi dan aspirasi untuk mengembangkan
hobby sampai mencapai prestasi tertentu.
Saran yang hendak diberikan peneliti bagi penelitian selanjutnya adalah agar
menggunakan sampel yang lebih representatif yaitu dengan menggunakan sampel
dari seluruh fakultas dan jurusan, disarankan juga menggunakan alat lain yang dapat
mengukur dimensi lain dari aspirasi seperti dimensi tingkat aspirasi dan dimensi
intensitas aspirasi. Selain itu disarankan juga untuk melakukan penelitian yang dapat
memperlihatkan pengaruh faktor-faktor internal dan eksternal terhadap aspirasi,
penelitian yang dapat memperlihatkan konflik yang ada antara kelima bidang
aspirasi, dan penelitian tentang hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mencapai
aspirasi."
1997
S2538
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Ayutya Wardhani
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3192
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rena Palupi
"Latar Belakang: Masa transisi yang banyak menimbulkan stres adalah transisi dari sekolah menengah menuju perguruan tinggi, yaitu saat tahun pertama perkuliahan, khususnya pada mahasiswa kedokteran. Pendidikan kedokteran merupakan pembelajaran seumur hidup yang membuat mahasiswa menjadi rentan terhadap burnout jika mekanisme koping yang digunakan tidak memadai. Mekanisme koping yang sesuai dapat membantu mahasiswa meminimalisasi kejadian burnout. Mekanisme koping dikelompokkan menjadi problem-focused, emotion-focused, dan dysfunctional coping (Cooper dkk, 2015) serta adaptive coping dan maladaptive coping (Meyer dkk, 2015). Dimensi burnout mencakup kelelahan emosional, sinisme, dan persepsi terhadap pencapaian prestasi diri yang dapat dipengaruhi juga oleh jenis kelamin.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dan mekanisme koping terhadap burnout (kelelahan emosional, sinisme, persepsi terhadap pencapaian prestasi diri) pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan sampel total dari mahasiswa tahun pertama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tahun Akademik 2017/2018 kelas reguler. Jumlah responden yang mengisi kuesioner Brief COPE dan MBI-Student Survey dengan lengkap dan benar adalah 167 responden (response rate = 98,9%).
Hasil: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan masing-masing dimensi burnout (p >0,05). Sebaliknya, maladaptive/dysfunctional coping memiliki korelasi positif yang bermakna dengan kelelahan emosional (r = 0,403, p <0,001) dan sinisme (r = 0,372, p <0,001). Adaptive coping memiliki korelasi negatif yang bermakna dengan sinisme (r = -0,165, p = 0,033) dan korelasi positif yang bermakna dengan persepsi terhadap pencapaian prestasi diri (r = 0,417, p <0,001).
Kesimpulan: Hubungan jenis kelamin dengan kejadian burnout tidak didapatkan hasil yang bermakna. Namun, maladaptive/dysfunctional coping memiliki korelasi positif dengan kelelahan emosional dan sinisme. Di sisi lain, adaptive coping memiliki korelasi negatif dengan sinisme dan korelasi positif dengan persepsi terhadap pencapaian prestasi diri.

Background: The transition period which causes a lot of stress is the transition from high school to college, that is during the first year of study, especially for medical students. Medical education is a lifelong learning that makes students vulnerable to burnout if the coping mechanism is inadequate. Appropriate coping mechanism can help students to minimize burnout. Coping mechanisms are classified as problem-focused, emotion-focused, and dysfunctional coping (Cooper et al, 2015) as well as adaptive coping and maladaptive coping (Meyer et al, 2015). The burnout dimension includes emotional exhaustion, cynicism, and perception of personal accomplishment that can also be influenced by gender.
Aims: The purpose of this study is to assess the relationship between gender and coping mechanisms with burnout (emotional exhaustion, cynicism, perception of personal accomplishment) of first year undergraduate students in Faculty of Medicine Universitas Indonesia.
Methods: This study was a cross sectional study with a total sampling of first year undergraduate students in Faculty of Medicine Universitas Indonesia 2017/2018 regular class. A total of 167 respondents (response rate = 98,9%) filled completely and correctly the Brief COPE and MBI-Student Survey questionnaire.
Results: There was no significant relationship between gender with each burnout dimensions (p >0.05). Otherwise, maladaptive/dysfunctional coping was significantly correlated with emotional exhaustion (r = 0.403, p <0.001) and cynicism (r = 0.372, p <0.001). There was a significant negative correlation between adaptive coping with cynicism (r = -0.165, p = 0.033) and significant positive correlation with perception of personal accomplishment (r = 0.417, p <0.001).
Conclusions: The relationship between gender with burnout does not get significant results. However, maladaptive/dysfunctional coping positively correlated with emotional exhaustion and cynicism. On the other hand, adaptive coping negatively correlated with cynicism and positively correlated with perception of personal accomplishment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>