Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144973 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika
"Default adalah salah satu masalah penting dalam pengendalian TB paru. Default menyebabkan penderita berpotensi untuk mengalami resistensi terhadap OAT sehingga sulit disembuhkan. Penelitian ini menilai proporsi default TB paru dan faktor yang berhubungan di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008, dan desain studi penelitian adalah Cross Sectional. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 188 dari 407 penderita. Penelitian ini menemukan proporsi kasus default TB paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 sebesar 8,0% (15 kasus). Faktor- faktor yang berhubungan bermakna secara statistik dengan default penderita TB paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 adalah umur (nilai p=0,002) dan efek samping obat (nilai p=0,05) sedangkan jenis kelamin, status pekerjaan, tipe penderita, riwayat pengobatan, jenis ESO, keberadaan PMO dan jenis PMO berhubungan tidak bermakna secara statistik dengan default penderita TB paru. Pengelola TB harus meningkatkan penyuluhan kepada pasien TB bahwa OAT memiliki efek samping, lebih menekankan pentingnya keteraturan berobat dan pengawasan minum obat pada penderita yang tergolong umur tidak produktif.

Default is one of the most important things in controlling lung TB. Default causes patients having treatment resistance and it makes them more difficult to be cured. This research determines default proportion among lung TB patient and factors related to it in RSUD Budhi Asih Jakarta 2008 and Cross Sectional is the study design. This research analyses 188 samples from 407 populations. Statistically, factors that significantly related to default among lung TB patient in RSUD Budhi Asih Jakarta 2008 are treatment side effect and age, while sex, work status, patient type, patients? treatment history, type of treatment side effect, treatment supervisor and it?s type are not related to default. TB administrator must reminding all TB patients that TB treatment has side effects and also must reminding those patients about treatment adherence especially to non productive age ones."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ishak Daud
"Tuber kulosis paru merupakan masalah kesehatan utama dinegara berkembang penyakit ini merupakan penyebab kematian no 3 di Indonesia setelah radang pernafasan bawah, penyakit kardiovaskuler. Di negara berkembang setiap tahun 4 - 5 juta kasus penyakit TB paru menular yang timbul setiap tahun, dimana 8 juta penduduk terserang, 3 juta diantaranya meninggal dunia. Di Indonesia preevalensi TB paru dengan BTA + sebesar 0,29 % dari jumlah penduduk, kematian akibat TB paru lebih kurang 175 ribu penderita setiap tahun. Sumatera Barat prevalensi TB paru usia produktif adalah 5,3 %, cukup tinggi dari pada angka nasional. Keberhasilan pengobatan dan penyembuhan penyakit berhubungan dengan kepatuhan Penderita minum obat selama 2 bulan fase awal dan 4 bulan fase lanjutan sehingga memberikan dukungan dalam keberhasilan pengobatan.
Tujuan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita di poliklinik paru Rumah Sakit Dr. Ahmad Muchtar Bukit Tinggi tahun 2000. Waktu penelitian adalah dari bulan Januari 2000 sampai dengan Agustus 2000 dengan desain penelitian adalah potong lintang (cross sectional) populasi penelitian adalah penderita TB paru yang berobat di poliklinik Rumah Sakit Dr.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi dengan jumlah sampel 100 orang dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung.
Hasil penelitian menunjukan 69 orang (69%) patuh dan 31 orang (31 %) penderita tidak patuh berobat. Analisis menghasilkan 5 variabel yaitu umur, pengetahuan, pendidikan, jarak rumah penderita, dan dukungan keluarga yang mempunyai hubungan bermakna (p 0,05) dengan kepatuhan berobat. Pertama umur, yang lebih 50 tahun berhubungan dengan kepatuhan berobat dengan odds Ratio 2,78 (95% CI; 1,16 - 6,05). Kedua hubungan antara pengetahuan yang kurang dengan kepatuhan berobat dimana Odds Ratio 14,74 (95% CI; 3,96 - 54,85). Ketiga pendidikan rendah berhubungan dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 7,31 (95 % CI; 2,65 - 20,28). Keempat hubungan antara jarak rumah penderita dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 3,20 (95% CI; 1,32 --1,75). Kelima hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 2,57 (95% CI; 1,05 - 6,27).
Dari hasil multivariat dengan metode regresi logistik dari 10 variabel bebas, hanya 8 variabel yang masuk sebagai kandidat untuk dianalisis. Hasilnya hanya 1 variabel yang dominan yaitu umur, pengetahuan pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, jarak, hubungan keluarga. Setelah dikontrol dengan variabel bebas lainnya beberapa kali, ternyata variabel determinan yaitu pendidikan dan jarak rumah ke rumah sakit. Untuk mengatasi ini perlu diadakan penerangan terus manerus bagi pengunjung poliklinik paru sebelum diadakan pelayanan pengobatan kesehatan serta perlu di bentuk pusat-pusat pelayanan penderita TB paue agar penderita tidak terlalu jauh datang ke poliklinik paru Rumah Sakit Dr.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi.

Lung Tuberculosis as main public health problem in the developing country. Indonesia is one of the country with high prevalence of tuberculosis disease, is third -death after cardiovascular disease, lower respiratory infection. In developing countries 4-5 million peoples were covered every year, which are 3 million is dead. Indonesia prevalence Lung Tuberculosis with Acid Flaccid Bacteria positive about 0,29% cases of people and death ± 175.000 peoples every year. West Sumatera more than national prevalence is 5,3% of productive age. Successfulness of disease of control and treatment program is related closely to patients compliance.
The aim of research to evident compliance treatment in polyclinic of Dr. Ahmad Muchtar Hospital Bukittinggi year 2000. The study was conducted on January to August 2000 by using cross sectional design. The population of this study was patients of Tuberculosis treatment with short course regiment at polyclinic of Dr. Ahmad Muchtar Hospital, have got Tuberculosis drugs for 6 month. Sample of 100 patients were taken from the perspective population. Data were collected by interviewing Tuberculosis patients using structured questionnaire. The result of the study showed that only 69 (69%) patient compliance to the treatment and 31 (31%) incompliance.
The result of analysis found 5 variables significantly to treatment compliance (p c 0,05). First younger more compliance than older with OR 2,78 (95%CI 1,10 - 6,05). Second, good knowledge compliance than low knowledge with OR 14,74 (95%C13,96 - 34,05). Third high education compliance with CR 7,31 (95%CI 7,65 - 20,28). Fourth closely distance, compliance with CR 3,20 (95%CI 1,32 - 1,75). Fifth family supported, compliance with OR 2,57 (95%CI 1,05 - 6,27).
The result of multivariate analysis with logistic regression method found 8 candidate variables of 10 independent variables and 2 variables statistically significant (p < 0,05), they are education with DR 7,31 (p = 0,000) and close distance with OR 3,20 (p = 0,0024). The analysis was controlling by the other variable, such as age, knowledge, job, sex, perception of service and family support. The study concluded that education and distance patient home have more contribution to treatment compliance of Tuberculosis disease in hospital than the other variables. Based on the result of the study, it is recommended to increase patients knowledge in Tuberculosis by health education, to increase patients compliance and make new Tuberculosis centre beside coordinate with health centre where is the patient live.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Yuliharti
"Penyakit tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sendiri merupakan negara ke 3 terbanyak penderita tuberkulosisnya setelah India dan China, diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis paru dengan kematian 140.000 penderita.
Dalam program penanggulangan tuberkulosis paru ini, tujuan dari pemeriksaan dahak adalah untuk menegakkan diagnosis, menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. Melihat kompleksnya permasalahan pada keteraturan pemeriksaan dahak tersebut mendorong penulis untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pemeriksaan dahak.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan beberapa faktor terhadap ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada fase intensif pengobatan tuberkulosis paru di Kota Sukabumi tahun 2002.
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol, populasi penelitian adalah penderita tuberkulosis paru berumur ≥ 15 tahun yang berobat di seluruh puskesmas di Kota Sukabumi. Kasus adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang tidak memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2 dan kontrol adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2. Alat pengumpul data berupa Kartu Pengobatan TB 01 dan kuesioner dengan sampel sebanyak 144 orang yaitu 72 kasus dan 72 kontrol.
Hasil analisis bivariat terhadap 12 variabel independen dengan variabel dependen, menghasilkan 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p < 0,05). Variabel yang berhubungan dengan ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru adalah pengetahuan yang rendah (OR = 5,58; p = 0,000), sikap yang buruk (OR = 2,25; p = 0,018), status belum/tidak kawin (OR = 2,31; p = 0,020), dan tipe puskesmas (Puskesmas Rujukan Mikroskopis OR = 2,50 dan Puskesmas Pelaksana Mandiri OR= 3,99 dengan nilai p = 0,008).
Hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik metode enter dari 6 variabel independen yang menjadi kandidat untuk masuk dalam model (p < 0,25), ternyata hanya 3 variabel yang masuk dalam model akhir yakni; pengetahuan (OR = 8,46 ; p = 0,000), status perkawinan (OR = 4,82 ; p = 0,001) dan tipe puskesmas (Puskemas Rujukan Mikroskopis OR = 2,87, p = 0,014; Puskesmas Pelaksana Mandiri OR = 6,09, p = 0,008 ; Puskesmas Satelit OR = 1,00, p = 0,006).
Kemudian disarankan agar lebih mengintensifkan program penyuluhan kesehatan dengan menggunakan leaflet atau poster. Perlunya ditunjuk tenaga PMO yang dibekali dengan buku pintar (buku saku) berisi tentang penyakit tuberkulosis dan cara penanggulangannya secara singkat dan jelas. Petugas laboratorium hendaknya memberikan pengertian kepada setiap penderita tuberkulosis tentang pentingnya pemeriksaan dahak yang teratur dan tepat waktu. Kemudian adanya upaya kemitraan dengan kalangan swasta, organisasi profesi atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

The Factors Related to in-Obedience for Having Sputum Examination at the End of Intensive Phase of Pulmonary Tuberculosis Treatment at Sukabumi, 2002Pulmonary tuberculosis disease up to present remains a serious public health problem, especially in developing countries. Indonesia is the third biggest country having tuberculosis after India and China, it was estimated that each year occur 583,000 new cases of lung tuberculosis with the death 140,000 sufferers.
The National tuberculosis program, smear sputum examination is an important part of the entire processes of pulmonary 'tuberculosis treatment. The objective of the sputum examination for follow up is to make the appropriateness of diagnoses, to measure the progress of the treatment and to determine the level of communication. Considering the problems were complex on the regularity of sputum examination for follow up, it is encourage the writer to determine what factors related to in-obedience of the sputum examination for follow up.
The objective of this study is to determine the relationship of some factors of in-obedience of check the sputum at the end of intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment in Sukabumi, in 2002. The study design was control cases, with the population are the pulmonary tuberculosis patient?s age ≥ 15 years who have had their treatment at the entire of the Health Centers of Sukabumi City. The tools of data collection were TB 01 treatment card and questionnaires. The total samples was 144 patients, covering of 72-cases group and 72-control' group. Cases are those of 15 years old or over who have not examined their sputum for follow up. Controls are those of 15 years old or over who have their sputum examined for follow up.
The result of bivariate analysis of 12 independent variables with dependent variables, shown that four variables having significant relationship (p < 0.05). The variable that related to in-obedience of checking the sputum at the end of the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment were education (OR = 5, 58; p = 0,000), attitude (OR = 2, 25; p = 0,018), marital status (OR = 2, 31; p = 0,020), and type of the Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2, 50 and Self-implemented Health Center OR = 3, 99 with value p = 0,008).
The result of multivariate analysis using logistic regression enter method, out of 6 independent variables who became the candidate to be a model (p < 0,25), the fact that only three variables whom enter at the end of model, i.e. knowledge (OR = 8.46; p = 0,000), marital status (OR = 4.82; p = 0,001) and the type of Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2.87, p = 0.014; Self-implemented Health Center OR = 6,09, p = 0,008; Satellite Health Center OR = 1.00, p = 0,006).
Based on this study, it is recommended to provide more intensive health education in order to improve the attitude and knowledge of the TB patients. Selection of PMO (treatment observer) is crucial. The PMO has to be supplied the pocket book on tuberculosis treatment. The book has to be simple but easy to understand. Besides that, the laboratory technician should give information to every TB patient that they should come to check the sputum for follow up the important of having sputum examination for follow up on routine base and on time has to be explained to the patients. Efforts to increase collaboration to the private sectors, the professionals and non government organization are encouraged."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Senewe, Felly Philipus
"Penyakit Tuberkulosis Paru(Tb Paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mana penyakit ini di tahun 1992 menduduki urutan kedua penyebab kematian dan menduduki urutan ketiga di tahun 1995, serta menduduki urutan pertama penyebab kesakitan untuk semua golongan umur. Angka prevalensi secara Nasional yakni 2.4 / 1000 penduduk yang mana angka ini masih cukup tinggi. Di Kotif Depok Jawa Barat angka prevalensi tahun 1996 ialah 0.17%, dengan angka kematian 1.07%. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai keteraturan berobat penderita Tb Paru di wilayah Kotif Depok Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada 11 Puskesmas dalam wilayah Kotif Depok Jawa Barat yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan Agustus 1997.
Penelitian ini menggunakan metode disain Cross Sectional dengan jumlah sampel sebanyak 215 orang dengan pengambilan sampel secara simple random sampling.
Hasil yang diperoleh yaitu dari 215 responden terdapat 33% yang tidak teratur berobat. Jenis kelamin perempuan 57.2% dan laki-laki 42.8%. Umur rata-rata 36.9 tahun, pendidikan terbanyak Tamat SLTP(28.8%), pekerjaan terbanyak ibu rumah tangga(34.9%), status dalam keluarga yaitu isteri(34.4%), dan tingkat pengetahuan berhubungan dengan keteraturan berobat(nilai p=0,0232). Pada analisis multivariat ada tiga variabel yang berhubungan dengan keteraturan berobat yaitu penyuluhan kesehatan nilai OR=4,35, 95% CI (3,72 ; 4,97) dan nilai p=0,0000, ketersediaan sarana transportasi nilai OR= 3,44, 95% CI (2,39 ; 4,48) dan nilai p=0,0200, dan pekerjaan nilai OR 1,95, 95% CI (1,30 ; 2,61) dengan nilai p=0,0439.
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor penyuluhan kesehatan, ketersediaan sarana transportasi dan pekerjaan yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna(p<0.05) dengan keteraturan berobat penderita Tb Paru di Puskesmas se Kotif Depok Jawa Barat tahun 1997. Selanjutnya yang dapat disarankan ialah faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan sangat panting untuk keberhasilan pengobatan, juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai keteraturan berobat dengan suatu alat ukur/instrumen yang baik.

Lung tuberculosis is still being a public health problem which was the second cause of mortality in 1992 and was the third cause of mortality in 1995. It is also the first cause of morbidity for all age groups. The national prevalence is 2.411000 people which is quite high. In 1996, Kotif Depok West Java has a prevalence of 0.17% with mortality rate 1.07%. Up to now there is not any scientific publication concerning the regularity of taking medicine among the lung tuberculosis patients in the areas of Kotif Depok West Java. This research was done at 11 public health centers in the whole areas of Kotif Depok West Java since May until August 1997.
Cross Sectional design was used in this study with 215 patients as the sample which was taken by simple random sampling method. Among 215 patients there is 33% of respondent that didn't take the medicine regularity. About 57.2% is female and 42.8% is male. The average age is 36.9 years old. The biggest proportion regarding education level is junior high school(28.8%). We found in the study that about 34.9% of respondent are housewife. The biggest proportion regarding status in the family is the wife(34.4%), and the level of knowledge which have relation with the regularity of taking medicine(p value = 0.0232). In multivariate analysis there are three variables which have relation with the regularity of taking medicine, i.e. health promotion [OR = 4.35, 95% CI(3.72 ; 4.97) and p value = 0.00001, the availability of transportation [OR = 3.44, 95% C1(2.39 ; 4.48) and p value = 0.0200], and occupation [OR = 1.95, 95% CI(1.30 ; 2.61) and p value = 0.0439].
The conclusion of this research is that the factors of health promotion, availability of transportation and occupation together have significant associations (p<0.05) with the regularity of taking medicine among the lung tuberculosis patients at public health centers in Kotif Depok West Java in 1997. We suggests that health promotion conducted by the health officer is the most important tool for supporting the success of the treatment. It is also necessary to do an advanced research concerning the regularity of taking medicine using a better indicator or instrument. (Kotif is kota administratif = administrative city).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uha Suliha
"ABSTRAK
Latar belakang masalah adalah bahwa :
Program pernberantasan tuberkulosis telah dimulai secara intensif sejak tahun 1969 melalui kegiatan vaksinasi BCG, penemuan & pengobatan penderita, penyuluhan kesehatan serta evaluasi. Tingginya angka prevalensi tuberkulosis di Indonesia menunjukkan bahwa upaya pemberantasan belum mencapai hasil yang diharapkan. Kegagalan pengobatan tuberkulosis paru lebih banyak disebabkan oleh faktor non rnedis dari pada faktor medis.
Beberapa penelitian menemukan bahwa kegagalan pengobatan disebabkan oleh faktor perilaku penderita itu sendiri dimana penderita tidak patuh berobat.
Pengobatan jangka pendek selama 6 bulan saat ini merupakan pengobatan yang sedang diterapkan dalam upaya pemberantasan tuberkulosis di Indonesia. Rumah Sakit Persahabatan sebagai pusat rujukan penderita tuberkulosis paru telah menggunakan pengobatan jangka pendek dengan paduan obat anti tuberkulosis RHZ, secara khusus belum pernah mengadakan penelitian tentang perilaku kepatuhan datang kontrol penderita dengan pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru
Yang dimaksud perilaku kepatuhan datang kontrol dalam penelitian ini adalah patuh/tidak patuh penderita terhadap anjuran untuk datang kontrol ke poliklinik selama 6 bulan pengobatan. Disebut patuh bila datang kontrol secara kontinu setiap bulan selama 6 bulan pengobatan, dan disebut tidak patuh bila tidak datang kontrol, terlambat lebih dari 2 minggu, datang kontrol tetapi tidak kontinu.
Tujuan penelitian untuk 1) Mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan, sikap, persepsi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jadwal kontrol berobat pada penderita tuberkulosis paru baik yang patuh maupun yang tidak patuh datang kontrol. 2). Mengetahui apakah ada pengaruh faktor pengetahuan, sikap, persepsi, pendidikan, pekerjaan,pendapatan serta faktor jadwal kontrol berobat terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol.
Disain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian dilakukan di poliklinik unit paru Rumah Sakit Persahabatan. Sampel adalah penderita baru tuberkulosis paru pada bulan Agustus-September-Oktober 1990 dengan pengobatan jangka pendek, berusia 15 tahun keatas, pada saat penelitian berdomisili di wilayah DKI Jakarta.
Pengolahan data menggunakan komputer dengan program SPSS. Dilakukan uji statistik kemaknaan dengan chi square dan uji multiple logistic regression.
Hasil penelitian ini adalah : 1). Pengetahuan secara keseluruhan dan pengetahuan tentang gejala batuk lebih dari 2 minggu, usaha agar sembuh, lamanya pengobatan ada hubungan dengan perilaku kepatuhan datang kontrol. Pengetahuan secara keseluruhan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 1.7610. 2). Sikap secara keseluruhan tidak ada hubungan sedangkan sikap terhadap datang kontrol sesuai ketentuan, ternyata ada hubungan dengan perilaku kepatuhan datang kontrol. Sikap secara keseluruhan tidak berpengaruh, sedangkan sikap terhadap datang kontrol sesuai ketentuan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 4.2934. 3). Jadwal kontrol berobat ada hubungan dan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 3.1240. 4). Persepsi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan ternyata tidak ada hubungan dan tidak berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol. 5). Power adalah 62.82% .
Dari hasil penelitian ini dapat disampaikan saran kepada pengelola PKMRS rumah sakit Persahabatan hkususnya di poliklinik unit paru agar penyuluhan kesehatan kepada penderita tuberkulosis paru lebih ditekankan pada materi tentang gejala batuk lebih dari 2 minggu, usaha agar sembuh dan lamanya pengobatan.
Selanjutnya saran disampaikan kepada team dokter poliklinik unit paru Rumah Sakit Persahabatan agar program pengobatan selama 6 bulan diinformasikan kepada penderita sampai dengan menentukan jadwal kontrol berobat secara tertulis, jadwal tersebut merupakan lembaran kartu yang waktunya telah disepakati antara dokter dan penderita. Kartu jadwal tersebut dibuat rangkap dua, masing-masing untuk dibawa penderita dan dilampirkan pada dokumen medik.
Kepada ternan sejawat yang berminat kiranya dapat mengadakan penelitian lanjutan untuk 1). mencari jawaban mengapa penderita yang pengetahuan tinggi lebih banyak yang tidak patuh dan mengapa penderita yang mengetahui jadwal kontrol lebih banyak yang tidak patuh. 2). mencari faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan datang kontrol dimana dalam
penelitian ini belum dapat diidentifikasi mengingat dari persamaan logistic regression didapat nilai constant= 0.1711.
Daftar bacaan : 51 (1965 .. 1990)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibupertiwi
"Penyakit TB Paru usia 0-14 tahun di Jakarta Timur tahun 2003 merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius dengan jumlah kasus yang tertinggi di antara 5 wilayah di Propinsi DKI Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru usia 0-14 tahun.
Desain penelitian menggunakan studi kasus kontrol. Kasus adalah pasien usia 0-14 tahun yang.berkunjung ke Puskesmas dan diagnosa dokter/perawat berdasarkan gambaran Minis dan rontgen dada (+), sedangkan kontrol adalah tetangga kasus yang berusia 0-14 tahun dengan gejala batuk, tidak mempunyai gambaran Minis TB Paru serta rontgen dada (-). Kasus diambil dari data dari register TB 01 Puskesmas.. Jumlah kasus dan kontrol diambil berdasarkan proporsi penderita TB Paru di 10 Puskesmas Kecamatan Jakarta Timur dengan perincian kasus 80 dan kontrol 80.
Faktor risiko yang diteliti adalah lingkungan fisik rumah, meliputi ventilasi rumah, cahaya rumah, kelembaban rumah dan suhu rumah, sedangkan karakteristik individu meliputi umur, status BCG, gizi, kontak penderita, pengetahuan, perilaku dan penghasilan. Data dikumpulkan melalui pengukuran, observasi dan wawancara.
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa 5 variabel faktor risiko lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru usia 0-14 tahun, yaitu ventilasi rumah OR = 2,053 (95% CI:1,087-3,875), hunian rumah OR = 2,149 (95% CI:1,140-4,051), human kamar OR = 2,170 (95% CI:1,146-4,107), cahaya rumah OR = 2,542 (95% CI:1,309-4,937), kelembaban rumah OR = 3,092 (95% CI:1,465-6,525). Sedangkan 3 variabel faktor risiko karakteristik individu menunjukan hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru usia 0-14 tahun, yaitu gizi OR = 2,371 (95% CI:1,257-4,471), kontak penderita OR = 2,931 (95% CI:1,542-5,572) dan penghasilan OR= 0,023 (95% CI: 1,179-4,885).
Selanjutnya analisis multivariat menunjukan bahwa faktor yang paling dominan adalah kontak penderita berturut-turut diikuti oleh gizi, pencahayaan rumah dan penghuni rumah.
Dari hasil penelitian ini maka disarankan penyuluhan tentang rumah sehat dan hygiene dengan melibatkan tokoh masyarakat, alim ulama serta lintas sektoral Iainnya, sehingga keluarga penderita TB Paru usia 0-14 tahun dan masyarakat dapat mencegah penularan TB Paru usia 0-14 tahun serta segera mungkin memeriksakan diri ke petugas kesehatan apabila terdapat gejala klinis TB Paru usia 0-14 tahun.

In 2003, pulmonary tuberculosis (TB) in children under 14 years old in East Jakarta was a serious health problem, marked by the high rate of cases found among five districts of DKI Jakarta province. Therefore, this study aims to determine the factors related to incidence of pulmonary TB in children under 14 years old in East Jakarta.
Design of study in control case study. Case samples are children under 14 years old diagnosed by a doctor or nurse with pulmonary TB based on clinical symptoms and positive chest X-ray scan result. The control samples are neighbors of those being the case samples who are also under 14 years old and show symptoms of coughing but do not show clinical symptoms of pulmonary TB and have a negative chest X-ray scan result. Potential case samples were identified from registration data in local public health centers in East Jakarta district.
The risk factors being studied are the physical environment of the house, such as house ventilation, the amount of light entering the house, humidity, and temperature, while the individual characteristics studied include age, BCG status, nutritional, contact with TB sufferer, knowledge, behavior, and income. Data were colleted through measurement, observation, and interview.
Bivariate analysis shows there are six variables of the physical environment of the house that are related to incidence of pulmonary TB in children under 14 years old, namely house ventilation OR = 2.053 (95% CI;1.087-3.875), density of house occupants OR = 2.149 (95% CI; 1.140-4.051), density of occupants in a room OR = 2.170 (95% CI;1.146-4107), the amount of light entering the house OR = 2.542 (95% CI;1.309-4.937), house humidity OR = 3.092 (95% CI; 1.465-6.525). As for the individual characteristics, there are three variables showing a significant relation to incidence pulmonary TB in children under 14 years old, namely nutritional OR = 2.371 (95% CI; 1.257-4.471), contact with TB sufferer OR = 2.931 (95% CI; 1.542-5.572), and income OR = 0.023 (95% CI; 1.179-4.885). The multivariate analysis shows that the most dominant factor in contact with TB sufferer, followed by nutritional status, the amount of light entering the house, and density of occupants in the house.
Several recommendations can be derived from this study in order to minimize the incidence of pulmonary TB among children. One is a need for improvement in the quality of housing. There is also a need for improvement of the people's behavior in order to minimize the spread of pulmonary TB among children under 14 years old.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13123
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar
"Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan umur dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Diperkirakan 450.000' kasus baru tuberkulosis setiap tahun, dimana 1/3 penduduk terdapat disekitar Puskesmas, 1/3 lagi ditemukan pada pelayanan Rumah Sakit/Klinik Pemerintah dan Swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan dengan kematian diperkirakan 175.000 setiap tahun.
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan pada semua desa (20 desa) dalam wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan dari bulan Maret 2000 sampai dengan April 2000.
Penelitian ini menggunakan metode disain Cross Sectional . Sampel adalah seluruh tersangka penderita TB Paru yang ditemukan melalui skrining sebanyak 435 penderita. Pada tersangka penderita TB Paru dilakukan wawancara melalui kuesioner untuk mengetahui kemungkinan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru.
Hasil yang diperoleh yaitu tindakan pertama perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru 73,33 % ke fasilitas pelayanan pengobatan moderen (swasta dan pemerintah), 26,67 % ke fasilitas pelayanan tidak moderen (tidak berobat, mengobati sendiri dan pengobatan tradisional). Faktor persepsi akibat, persepsi kegawatan dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan. Selanjutnya yang dapat disarankan adalah penyuluhan tentang TB Paru (gejala-gejala, cara penularan, akibat yang dapat ditimbulkan dan pengobatan) di masyarakat perlu ditingkatkan, juga dalam pelaksanaan program P2 TB Paru selain fasilitas pelayanan pemerintah juga perlu melibatkan fasilitas pelayanan swasta (dokter praktek swasta dan Paramedis/Bidan praktek swasta)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Insidensi TB di Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia tahun 2016. Buruknya, sebagian besar provinsi di Indonesia masih belum bisa mencapai target keberhasilan pengobatan tahun 2016, salah satunya DKI Jakarta. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya jumlah putus pengobatan (default treatment). Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk yaitu peningkatan kasus TB MDR. Oleh karena itu faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan perlu identifikasi, namun faktornya bervariasi di berbagai tempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan pada pasien TB MDR di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan rekam medis dan wawancara 60 subjek.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi TB MDR dengan riwayat putus pengobatan di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018 adalah 16,9%. Berdasarkan analisis bivariat, faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan putus pengobatan adalah perilaku merokok (p=0,008). Melalui analisis multivariat diketahui bahwa hanya perokok sedang yang berhubungan dengan putus pengobatan (p = 0,035, OR = 4,364; KI95% = 1,112-17,128). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa perokok sedang merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan TB pada pasien TB MDR.

TB incidence of Indonesia ranks the second largest in the world in 2016. Poorly, most provinces in Indonesia still cannot reach the target of successful TB treatment in 2016, one of which is DKI Jakarta. This can be caused by the large number of dropouts (treatment default). This finding is worrisome, individuals who default from tuberculosis (TB) treatment experience an increased risk of multi drugs resistance tuberculosis cases. Therefore it is important to identify local risk factors for default and for further research to demonstrate the best programme models for reducing default.
This study aims to determine the factors associated with default from TB treatment in multi drugs resistance tuberculosis patients in RSUP Persahabatan in 2016-2018. The study was conducted with a cross-sectional design using medical records and 60 tuberculosis patients were interviewed.
The results showed the prevalence of multi drugs resistance tuberculosis with a history of default tb treatment at RSUP Persahabatan in 2016-2018 is 16.9%. Based on bivariate analysis, significant factor associated with default for drug-sensitive TB programmes is smoking behavior (p = 0.008). In multivariate logistic regression, it was found that only moderate smokers were associated with default from treatment (p = 0.035, OR = 4.364; CI95% = 1.112-17.128). From these results it was concluded that moderate smokers were a factor identified to be associated with treatment default in multi drugs resistance tuberculosis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>