Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147609 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyudi
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26886
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrus
"Fenomena penyalahgunaan Narkoba di Indonesia sudah cukup menghawatirkan, terutama di kota-kota besar jumlah penyalahguna secara siginfikan mengalami peningkatan lebih dari 3,3% setiap tahunnya (data BNN, 2004). Sehingga diperlukan sebuah intervensi guna mengendalikannya, seperti dalam bentuk pemberantasan dan penanggulangan terpadu dalam segenap aspek baik dari segi pencegahan, penegakan hukum maupun upaya-upaya terapi rehabilitasi. Pembinaan terhadap narapidana khusus Narkoba sebagai salah satu WBP yang dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), merupakan suatu alternatif yang mutlak pelaksanaannya, apabila upaya Penanggulangan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) ingin berhasil, di samping adanya upaya-upaya lain dibidang pencegahan dan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Dalam penempatan, perawatan dan pembinaan terhadap narapidana khusus Narkoba, tidak dapat disamaratakan dengan narapidana tindak pidana konvensional lainnya (seperti perampokan, pencurian dengan pemberatan dan kejahatan dengan kekerasan lainnya). Namun demikian keberadaan Lapas Khusus Narkotika di Indonesia masih sangat terbatas, baik secara kuantitas maupun kualitas operasionallpelayanannya; sehingga banyak narapidana khusus Narkoba yang di tempatkan di dalam Lapas-lapas yang diperuntukkan bagi narapidana tindak pidana konvensional. Lapas Klas IIA Bogor merupakan salah satu Lapas yang mempunyai kategori fungsi ganda tersebut.
Keefektifitasan sebuah Lapas mensyaratkan bagi adanya keterpaduan antara budaya, strategi, lingkungan dan teknologi organisasinya; dan semakin kuat suatu budaya organisasi, maka semakin panting bagi adanya kecocokan terhadap variable-variabel tersebut. Karena keberhasilan sebuah Lapas akan terwujud apabila terdapat keterpaduan ekrternal - budaya yang terbentuk sesuai dengan strategi dan lingkungannya; dan keterpaduan internal - budaya organisasi disesuaikan dengan teknologi yang digunakan (Robbins, 1994 : 484). Dengan kata lain keefektifan sebuah Lapas sangat tergantung dari kecocokan kebudayaan/struktur normative yang menjadi kaidah organisasi dalam mempertahankan eksistensi organisasi secara internal dan kemampuannya berintegrasi dengan Iingkungan eksternalnya (Yuchman dan Seashore, 1967). Di sisi lain, keefektifan suatu Lapas juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengidentifikasikan dan menilai pola referensi konstituensi yang panting serta sejauh mana kualitas layanan yang dapat diberikan untuk memenuhi tuntutan konstituensinya tersebut (Miles, 1982).
Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, penilitian ini berusaha mengungkap budaya organisasi Lapas Klas IIA Bogor, dan kualitas layanan pembinaan terhadap narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan. Indikator penelitian budaya organisasi, akan menggunakan tujuh karakteristik primer organisasi (Chatman dan John, 1994), yang mencakup inovasi dan pengambilan risiko, perhatian pada rincian, orientasi pada hasil, orientasi pada orang, orientasi pada tim, tingkat keagresifan, dan tingkat kemantapan. Sedangkan indikator kualitas layanan pembinaan, akan menggunakan lima dimensi kualitas layanan yang dikemukakan Parrasurahman, Zeithaml, dan Berry (1988), yaitu aspek penampilan fisik (tangible), keandalan (reliability), tingkat ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (emphaty).
Populasi penilitian budaya organisasi adalah petugas Lapas Klas IIA Bogor. Sedangkan populasi penelitian kualitas layanan pembinaan, hanya mencakup narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan. Pengambilan jumlah sampel digunakan tabel penentuan jumlah sampel yang dikembangkan Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5%. Adapun instrumen penelitian menggunakan kuisioner yang dikembangkan melalui menjabarkan dari indikator-indikator setiap variabel, dengan merujuk skala pengukuran Likert. Selanjutnya data terkumpul diuji validitas dan realibilitasnya, serta dianalisis berdasarkan frekuensi, median, dan modus untuk mendeskripsikan setiap variabel penelitian. Dalam menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap kualitas layanan narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney U (U test); kemudian analisis perbedaan antara kualitas layanan pembinaan terhadap narapidana Narkoba dengan narapidana pencurian dengan kekerasan, melalui Uji Wilcoxon Signed Ranks Test.
Hasil penelitian dengan derajad kebenaran 99%, menunjukkan bahwa budaya organisasi Lapas Klas Bogor tergolong kategori kuat (skor 72%); sedangkan kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba 70% telah terpenuhi dari yang diharapkan (gap 30%), dan narapidana pencurian dengan kekerasan 79% telah terpenuhi dari yang diharapkan (gap 21%), sehingga kedua kualitas layanan pembinaan tersebut termasuk dalam kategori kualitas tinggi. Analisis korelasi menunjukkan, bahwa tidak ada pengaruh budaya organisasi yang psoitif dan signifikan terhadap kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba, dan sebaliknya terdapat pengaruh budaya organisasi yang psoitif dan signifikan terhadap kualitas layanan pembinaan narapidana pencurian dengan kekerasan. Analisis komparasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang positif dan signifikans antara kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba dengan kualitas layanan pembinaan narapidana pencurian dengan kekerasan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Yunarto
"Dalam undang-unadng Republik Indonesia nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa sistem pemasyarakatan menghendaki pembinaan narapidana dapat memberikan keterampilan kepada narapidana, sehingga dapat aktif dan produktif dalam pembangunan. Namun perkembangannya sangat lambat.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara keterikatan narapidana terhadap pembinaan dengan keterampilan kerja, adakah hubungan antara kemampuan narapidana dengan keterampilan kerja, adakah hubungan antara motivasi narapidana mengikuti pembinaan dengan keterampilan kerja dan adakah hubungan antara keterikatan narapidana terhadap pembinaan, kemampuan narapidana dan motivasi narapidana mengikuti pembinaan secara bersama-sama dengan keterampilan kerja narapidana. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menjelaskan adanya hubungan antara keterikatan, kemampuan dan motivasi secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan keterampilan kerja.
Motode yang digunakan adalah survei dengan tehnik sampling adalah simple random sampling. Sampel diambil 21 % dari jumlah narapidana yang mendapat pembinaan kemandirian (202 orang) yaitu 21 % x 202 orang = 42 orang, responden diambil dari pegawai bidang kegiatan kerja sebanyak 20 orang. Data yang digunakan dalam peneliitian ini adalah data primer yaitu data yang diambil dari sampel dan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan, data sekunder yaitu data dari dokumen,buku-buku dan catatan-catatan pada lapas klas I Cipinang. Pemberian skor kuesioner digunakan skala Liked. Untuk mengetahui tingkat valid dan realiable instrumen dilakukan pengujian validitas dengan menggunakan tehnik content validity dengan rumus Product Moment Pearson dan pengujian reliabilitas digunakan interval consistency dengan tehnik Split Half Spearman Brawn.
Berdasarkan perhitungan statistik tingkat hubungan antara variabel independent dengan dependent dengan menggunakan rumus Spearman Rank di dapat hasil sebagai berikut adanya hubungan positif antara keterikatan narapidana terhadap pembinaan dengan keterampilan kerja dengan nilai koefisien korelasi p = 0,502, termasuk tingkat hubungan sedang.
Ada hubungan positif antara kemampuan narapidana dengan keterampilan kerja dengan nilai koefisien korelasi p = 0,324 termasuk dalam tingkat hubungan rendah. Ada hubungan positif antara motivasi narapidana mengikuti pembinaan dengan keterampilan kerja, dengan nilai koefisien korelasi p = 0,498 termasuk ke dalam tingkat hubungan sedang, secara bersama-sama antara keterikatan narapidana terhadap pembinaan kemampuan narapidana dan motivasi narapidana mengikuti pembinaan dengan keterampilan kerja narapidana, dengan nilai koefisien korelasi p = 0,498 termasuk tingkat hubungan sedang.
Sehubungan temuan tersebut untuk meningkatkan keterampilan kerja narapidana di Lapas K1as 1 Cipinang perlu dilaksanakan antara lain adanya hak istirahat dalam setiap minggunya, penganekaragaman jenis latihan kerja, lebih banyak dan sering diadakan pelatihan kursus-kursus keterampilan kerja, adanya penghargaan bagi narapidana yang dapat menghasilkan produk dan mempunyai nilai ekonomis atau dapat dijual. Selain itu jugs perlu ditambah tenaga instruktur dari berbagai keterampilan, sarana dan prasarana yang memadai sesuai kebutuhan dan tersedianya dana yang memadai baik untuk pengadaan peralatan, perawatan, biaya operasional dan untuk pembelian bahan baku."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S6404
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Fitriansyah
"Fenomena peredaran uang di Lembaga Pemasyarakatan secara formal tidak dilarang. Walaupun hal itu tidak secara nyata-nyata diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan bunyi Reglemen Penjara pasal 27, yang lntinya melarang adanya hubungan keuangan antara penghuni Penjara dengan pegawai Oleh sebab itulah setiap penghuni diwajibkan menitipkan uang/barangnya melalui Register D. Setiap kebutuhan penghuni terutama untuk menambah sedap-sedapan, di akomodasikan melalui regulasi pengelolaan register ini. Dengan cara dilayani oleh petugas secara kelembagaan, tidak dilayani oleh petugas secara perorangan. Namun walaupun secara formal aturan ini tidak diadopsi oleh peraturan yang sekarang ada, akan tetapi dipercaya, bahwa peredaran uang di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rutan selalu menjadi "sumber masalah" terjadinya gangguan keamanan akibat adanya kolusi antara penghuni dengan petugas. Oleh kerena itulah peredaran yang di dalam Lembaga Pemasyarakatan Rutan, dilarang. Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu bagaimana Program Bebas Peredaran Uang (BPU) di Lapas Klas IIA Salemba Jakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi Program Bebas peradaran Uang (BPU) di Lapas Klas IIA Salemba Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dangan wawancara menggunakan pedoman wawancara. lnforman penelitian adalah petugas dan narapidana, dengan lokasi penelitian di Lapas Klas IIA Salemba Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa program Bebas Peredaran Uang (BPU) dilaksanakan oleh Sub Seksi Registrasi dan Koperasi Pegawai Lapas Klas IIA Salemba Jakarta. Program Bebas Peredaran Uang (BPU) dilaksanakan dengan menggunakan Buku Tabungan, dan Kupon BPU sebagai alat transaksi pengganti uang tunai. Penelitian ini juga menemukan bahwa Program Bebas Peredaran Uang (BPU) mampu menjadi salah satu manajemen pengamanan untuk mencegah terjadinya ancaman dan gangguan keamanan yang bersumber dari beredarnya uang tunai. Dalam pelaksanaannya program Bebas Peredaran Uang (BPU) terkendala oleh keterbatasan sumber daya manusia petugas, sarana prasarana dan kendala struktur birokrasi."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26927
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S6438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Herjana
"Pelaksanaan pembinaan bagi narapidana belum mengklasifikasikan jenis kejahatan dan lamanya pidana, pembinaan dilaksanakan secara umum sesuai dengan pola pembinaan dan prosedur tetap pelaksanaan pembinaan.
Berdasarkan hasil penelitian di Lapas Klas I Sukamiskin, pelaksanaan pembinaan belum berjalan secara optimal karena program pembinaan yang ada sudah tidak relevan diterapkan kepada mereka yang berlatar belakang kehidupan/status sosial dan tingkat intelektual yang berbeda dengan narapidana umum lainnya. Pelaksanaan pembinaan bagi narapidana tindak pidana korupsi memiliki hambatan antara lain: Faktor Manusia, Faktor Peraturan dan Faktor Sarana Prasarana.
Langkah-langkah strategis untuk mengatasi hambatan tersebut antara lain: memprakarsai dan menyepakati proses perencanaan strategis, memperjelas mandat, misi dan nilai-nilai organisasi, menilai lingkungan internal, menilai lingkungan eksternal, mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi, merumuskan strategi untuk mengelola isu, menciptakan visi organisasi yang efektif dimasa depan, diharapkan pelaksanaan pembinaan bagi narapidana tindak pidana korupsi dapat mencapai sasaran pembinaan yang diharapkan yaitu: meningkatnya kualitas kesadaran beragama, kualitas kesadaran berbangsa dan bernegara, kualitas kesadaran hukum, kualitas intelektual dan keahlian profesional.
Melalui program pembinaan yang ideal bagi narapidana tindak pidana korupsi dengan mencapai sasaran pembinaan di atas, maka setelah habis menjalani masa pidananya diharapkan menjadi warga negara yang baik, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat kembali ke masyarakat dan berperan aktif dalam pembangunan secara wajar dan bertanggungjawab.

Implementation of counseling for prisoners has not been classified based on crime types and sentences period but the counseling has been implemented in general in accordance to counseling model and procedures for implementation of counseling.
Based on the field study result conducted at Class I Sukamiskin Prison, the implementation of counseling programs are not optimal yet because those existing counseling programs are not relevant already to be applied to those corruption crime prisoners due to their different social background and intellectual level if compared to those general crime prisoners. Implementation of counseling programs for them has a few obstacles i.e. : Human Factor, Regulation Factor and Infrastructure Factor.
Strategic steps to overcome those obstacles i.e. : consist of initiation and concurrence of strategic planning process, clarification of mandate, mission and organizational values, assessment of internal and external environments, identification of strategic issues faced by the organization, formulation of strategies to manage issues and creation of effective organization's vision in the future are expected to make the implementation of counseling i.e. : increased awareness for religion, awareness of nationhood and statehood, awareness of law and order and increased quality of intelligence and professional skills.
Through an ideal counseling program for corruption crime prisoners to achieve the above counseling objectives, it is expected that after serving their sentences they will become good citizens who realize their wrong doings, repent and will not repeat the same mistakes again so that they can go back to the society and play an active role in development.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Prihatin
"Salah satu program pembinaan narapidana di Lembaga pemasyarakatan adalah Pembinaan Kemandirian dengan tujuan meningkatkah kemampuan diri dan potensi diri narapidana agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik setelah selesai menjalani pemidanaan.
Pada dewasa ini masih banyak narapidana yang selelah selesai menjalani pemidanaannya sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak untuk penghidupannya di karenakan kuranganya pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Hal ini merupakan permasalahan dari pelaksanaan pembinaan kemandirian.
Metode yang dipergunakan penulis pada penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang menggambarkan kemampuan narapidana dalam program pembinaan kemandirian pada Lembaga pemasyarakatan Terbuka Kias IIB Jakarta.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa analisa kemampuan narapidana dalam mengikuti program pembinaan kemandirian belum terjadi peningkatkan secara signifikan, sehingga hasil yang diharapkan agar nantinya narapidana yang telah selesai menjalani pidananya meiliki kemampuan diri dan potensi diri yang dilihat dari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik belum tercapai.

One of the coaching programs received by a convicted criminal in a penitentiary is the independence coaching, which is intended to improve the convict’s own aptitude and potency, thus enabling him to possess the useful skills, knowledge, and propcr attitude after serving his sentence in a prison.
Currently, a large number of ex-convicts are unable to find suitable employment for their own iivelihood after thcy are released from the institution, mainly becausc they do not have the necessary skills and knowledge to support themselves. This is the crux of the problem, which the independence coaching tried to rectify.
The method used by the author in this study is a descriptive rescarch utilizing a qualitative approach, which is a method that illustrates the convict’s aptitude in the independence-coaching program conducted in a class 11 B open penitentiary institution in Jakarta.
Analysis of the research finding shows that the convict’s aptitude has yct to show a significant improvement, even after attending the independence-coaching program. Therefore, the result in which the released convict is expected to have gained, namely the necessary skills and knowledge to support themselves has not yet been achieved.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26858
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Lestari
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat pelaksanaan pembinaan bagi narapidana. Pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana lanjut usia harus berbeda perlakuannya dari narapidana lainnya, karena kebutuhan dan kemampuan seorang lanjut usia berbeda dengan yang belum lanjut usia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi pembinaan yang tepat bagi narapidana lanjut usia pada lembaga pemasyarakatan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan menggunakan pedoman wawancara sebagai pedomannya. Hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif analisis dengan objek penelitian pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA  Salemba.Hasil analisis menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Salemba belum memiliki program pembinaan yang terencana yang diperuntukkan bagi narapidana lanjut usia, kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang, serta alokasi anggaran yang belum memadai untuk meningkatkan kesejahteraan narapidana lanjut usia. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian diajukan beberapa strategi yaitu: 1) Membuat pola pembinaan khusus narapidana lanjut usia, 2) Membuat alokasi anggaran kesehatan khusus narapidana lanjut usia, 3) Menyediakan sarana prasarana yang mendukung dan membangun kemitraan dengan pihak luar,4) Meningkatkan kualitas SDM tenaga kesehatan di lapas.

Correctional Institution is a place for implementing guidance for inmates. Guidance made for elderly inmates must be different from the other inmates. This is because the needs and capabilities of an elderly inmates are different from a much youngerinmate. The purpose of this study is to determine the appropriate guidance strategies for elderly inmates in correctional institutions. This study used a qualitative approach, and also used interview guide as its guideline. The results of this study are described in descriptive analysis with case studysubjectsfrom Class I Cipinang Correctional Institution and Class IIA Salemba Correctional Institution. The results of the analysis showed that the Class I Cipinang Correctional Institution and Class IIA Salemba Correctional Institution do not have a planned guidance program for elderly inmates, lack of facilities and infrastructure support, as well as do not have an adequate budget allocation for improving the welfare of their elderly inmates. To overcome these problems, the present study proposed several strategies, as follows: 1) Create a guidance model specific for elderly inmates, 2) Create a health budget allocation specific for elderly inmates, 3) Provide and improved infrastructure and facilities as well as build partnership with external parties, 4) Improve the quality of human resources of the health workers in prisons."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosafat Rizanto
"Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) lewat penelitiannya tentang ?the white collar crime? membuktikan bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. Sementara itu, setiap perbuatan yang melanggar hukum pidana harus diberikan hukuman. Adapun hukuman yang diberikan tersebut harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui berbagai program pembinaan pada suatu Lembaga Pemasyarakatan dalam kerangka Sistem Pemasyarakatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tugas dan fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah melaksanakan pembinaan secara sama dan merata bagi seluruh narapidana lewat Sistem Pemasyarakatan sebagai metode pembinaannya. Akibatnya, pembinaan yang dimaksud tidak dapat diberikan kepada narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime). Hal ini disebabkan karena mereka merupakan narapidana dengan identifikasi khusus, baik dari tingkat intelektual maupun status sosial ekonomi. Padahal, agar dapat mencapai hasil yang optimal dari pelaksanaan pembinaan, sangat tergantung sekali pada metode dan program pembinaan itu sendiri.
Pada akhirnya, Lembaga Pemasyarakatan tidak mampu mewujudkan tujuan pembinaan yang menghendaki agar narapidana tidak melakukan tindak pidana lagi dan mengalami perubahan tingkah laku serta menjadi ?orang baik?. Dengan demikian muncul pertanyaan, metode pembinaan yang bagaimana yang sesuai dengan narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime) serta kendala apakah yang muncul bilamana pembinaan tersebut hendak dijalankan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum memiliki program pembinaan khusus bagi narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime) yang disebabkan oleh beberapa kendala seperti program pembinaan, sumber daya manusia, program kerja, anggaran serta sarana dan prasarana. Untuk mengatasinya, diperlukan upaya untuk mempersiapkan pembinaan dengan metode dan program kerja khusus bagi mereka serta meningkatkan kualitas petugas Lapas, memenuhi anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembinaan itu sendiri.

Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) through his research on ?the white collar crime? proves that crime is not only committed by those from lower class people, but crime is also committed by upper-class people. On the other hand, each and every act violating common law must be punished. But the punishment given must serve certain purposes which should be achieved through various development programs at a Correctional Institution.
According to Law No 12 Year 1995, the duties and functions of Correctional Institutions are to carry-out development equally and evently for all the prisoners through Correctional Systems as the development method. As a result, the intended development is not applicable to those convicted for white collar crime because they are prisoners with special identification, both from intelectual level as well as socialeconomic status.
Whereas, in order to achieve optimum result from the development, it is very much depended on the method and the development program itself. At the end, Correctional Institutions cannot achieve the development goals which meant to ensure no repeated crime by the prisoners and a change in their behaviour and become a ?good? man. Then comes the question on which development method that is suitable for those prisoners convicted for white collar crime and what are the obstacles arise from the implementation of this development method.
The research shows that Correctional Institutions do not have development programs dedicated for those prisoners convicted for white collar crime yet which caused by a few obstacles such as development programs, human resources, work programs, budget and infrastructure. To solve this issue, we need efforts to prepare a development program with special method and work programs dedicated for them and to improve the humn resource quality of Correctional Institutions, sufficient budget and infrastructure required by the development program.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26651
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>