Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Gede Maha S. Adi
"Program Pengalihan Hutang untuk Kegiatan Konservasi atau Debt-for-Nature Swap (DNS) adalah salah satu mekanisme konversi hutang negara-negara berkembang yang dapat menjadi salah satu sumber utama pendanaan lingkungan hidup. Tahun 2008 nilai hutang pemerintah Indonesia Rp 1.548 triliun dan rasio terhadap Pendapatan Domestik Bruto sudah mencapai 30 persen. Tahun 2006, pemerintah Republik Federal Jerman dan pemerintah Indonesia menyepakati program DNS III senilai EUR 12,5 juta (Rp 125 miliar) yang akan dilaksanakan selama lima tahun, untuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Hasil analisis sensitivitas dengan AHP menunjukkan bahwa aspek transparansi merupakan isu kebijakan yang memiliki sensitivitas tertinggi sehingga menjadi faktor utama untuk meningkatkan efektivitas implementasi. DNS III. Isu-isu dan masalah kebijakan yang penting berikutnya berturut-turut adalah aspek teknis UMK, kebijakan anggaran dan hutang luar negeri, komitmen negara kreditor, dan kelembagaan. Isu Tranparansi dapat mempengaruhi kinerja program lebih dari 50 persen. Metode analisis kebijakan dan AHP menyimpulkan bahwa untuk mengoptimasikan program DNS III, maka prioritas perbaikan dari para pengambil kebijakan, harus dilakukan dari isu dan masalah yang memiliki tingkat sensitivitas tertinggi termasuk isu tentang partisipasi publik, publikasi dan akses kepada informasi.

The debt-for-nature swap (DNS) is one of the debt conversiori mechanisms that could become a major environmental fiinding sources in the future. Indonesia is one ofthe most debtor country with total Rpl.548 billion debt in 2008 or reached over 30 percent to its Gross Domestic Product (GDP) on the same year. Finally, in 2006 Indonesia and Federal Republic of Germany agreed to implement DNS DI five years project’s tema for EUR12.5 miilion debt conversion. Using AHP’s analysis of sensitivity, the result ot this research shows the main issue that get most attention from stakcholders from highest to lowest is Transparancy, Technically Problem of MSE, Budgeting and Extemal Debt Policy, Creditor’s Commitment, and Institution. Tranparancy could influence more than 50 percent to the program performance. Both policy analysis and AHP method indicates that to optimize program performance, policy makers need prioritizing activities from the high sensitivity issue includes public participation, publication, and access to program report."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26827
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Josi Khama Dewi
"Keterbukaan akses informasi merupakan salah satu mekanisme untuk mengkontrol kinerja alat lingkungan. Alat lingkungan berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Salah satu alat lingkungan yang dicanangkan dan telah kontinu dilaksanakan pemerintah adalah PROPER. PROPER dibuat oleh pemerintah untuk mengawasi kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan. Keterbukaan akses informasi mendukung kinerja PROPER. Salah satu bentuk keterbukaan informasi adalah melalui pengumuman hasil PROPER menggunakan pencitraan simbol warna. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini ingin mengetahui proses implementasi akses informasi PROPER. Dari hasil identifikasi didapatkan mekanisme pelaksanaan dalam mengakses informasi yaitu secara langsung (datang ke KLH) dan tidak langsung (menggunakan media perantara). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi PROPER adalah adanya penguatan kapasitas, peningkatan transparansi, peningkatan koordinasi dan perbaikan sistem sosialisasi. Dari hasil analisis SWOT (Strengths Weakness Opportunities Threats) di kuadran I yang memiliki kekuatan serta peluang, dirumuskan strategi yang pertama yaitu meningkatkan transparansi penilaian, kedua dengan mempertahankan penilaian dengan pencitraan simbol warna dan berskala nasional karena merupakan cara yang mudah untuk menginformasikannya kepada seluruh lapisan masyarakat dan strategi yang ketiga dengan memanfaatkan tokoh masyarakat untuk berperan dalam mengedukasi warga agar memahami PROPER.

Public Access to Information or information disclosure is one of mechanisms to control the performance of environmental equipment, which contributes to sustainable development. One of the environment tools that has been proclaimed and has been continuously implemented by the government is PROPER. PROPER is developed by the Ministry of Environment to oversee the company's environmental management performance. Public Access to Information supports PROPER performance. In the case of PROPER, one of the information disclosure forms is through the announcement of the PROPER by using color imaging symbol. The purpose of this study is to better understand the implementation process of information disclosure in PROPER. From the research, it is understood that public access to information mechanisms in PROPER can be divided into direct access to information (by coming in person to Ministry of Environment Office) and indirectly (by using an intermediary medium). The study also reveals factors that could improve effectiveness of PROPER that include capacity building, increased transparency, as well as improved coordination and socialization systems. From SWOT (Strengths Weakness Opportunities Threats) analysis in quadrant I that has strengthen and oppurtunity for the available strategies, the strongest strategy to improved PROPER performance would be increasing transparency on the PROPER valuation process, second is keeping the use of color imaging symbol, and the third is giving role to community leaders in educating the public to understand PROPER."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T30204
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Airlangga Putra
"ABSTRAK
Dewasa ¡ni proses liberalisasi perdagangan mengalami perkembangan yang pesat
Saiah satu fenomena yang menarik dari perkembangan ini adalah munculnya isu-isu
mengenai lingkungan hidup.
Sejak di masukkannya ketentuan-ketentuan mengenai I¡ngkungan hidup dalam
kerangka WTO, sektor perdagangan internasional Indonesia menghadapi tantangan yang
sangat berat. Hal ini dikarenakan munculnya tuntutan dan pasar intemasional agar
produk-produk yang dihasilkan Indonesia memenuhi berbagai persyaratan Lingkungan. Di
antara berbagai persyaratan lingkungan, yang paling populer saat ini adalab standar ISO
14000 dan Ekolabeling.
Gambaran ekspor indonesia dalam tahun terakhir ini tampak memprihatinkan,
dimana terjadi penurunan nilai ekspor dari berbagai jenis komoditas, termasuk juga
komoditas-komoditas yang rentan terhadap ketentuan-ketentuan mengenai Iingkungan,
seperti kayu, tekstil, ikan olahan, bahan-bahan kimia, pupuk, kulit, kertas, dan lain
sebagainya. Dalam rangka pemulihan kinerja ekspor kita, tentu saja kontribusi dan
komoditas-komoditas yang rentan terhadap ketentuan lingkungan tersebut harus kita
perhatikan. Dengan demikian, tentunya, persyaratan-persayatan lingkungan harus benar
benar dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah peranan kebijakan Lingkungan
pemeríntah menjadi vital bagi perkembengan perdagangan internasional kita, atau dengan
kata lain timbut suatu tuntutan untuk mengintegrasikan kebijakan Iingkungan dengan
kebijakan perdagangan internasional.
Di sial lain, dunia usaha Indonesia sendiri tampak belum siap menghadapi era
perdagangan bebas yang berwawasan lingkungan tersebut. Hal ini terlihat dari masih
kurangnya wawasan lingkungan dalam menjalankan operasi bisnis perusahaan. Banyak
sekali kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia,
terutama pencemaran sungai dan perusakan hutan. Hal ini disebabkan sikap mental
banyak pengusaha kita yang masih menganggap remeh masalah pelestarian lingkungan.
Disamping itu orientasi dari banyak pengusaha kita masihlah mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan menghalalkan segala cara, bila perlu dengan mengorbankan
lingkungan.
Solusi untuk permasalahan di atas adalah dengan mensosialisasikan penerapan
standar sistem manajemen lingkungan (SML) ISO seri 14000, Standar ini memberikan
sistem yang menyeluruh bagi manajemen perusahaan dalam merumuskan, melaksanakan,
dan mengevaluasi kebijaksanaan lingkungannya. Jika SML ini diterapkan dengan
sungguh-sungguh dan profesional, tentu akan menjadi keunggulan kompetitif ?tersendiri
bagi perusahaan.
Di sisi pemerintah, perangkat hukum di bidang lingkungan hidup, yang telah
dirumuskan oleh pemerintahan transisi, masih dìanggap belum mencerminkan suatu
Good Environmental Governance, sehingga perlu diadakan perbaikan oleh pemerintahan
baru basil Pemilu 1999.
Upaya pengintegrasian kebijakan lingkungan hidup dengan kebijakan perdagangan
internasional teLah puta dilakukan oLeh pemenintah melalui pengadopsiaTi berbagal
perangkat sukarela dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk standar ISO sen
14000. Tugas pengadopsian ISO 14000 dilaksanakan oleh Bapedal, terutama melalui Sub
Direktorat Standarisasi Lingkungan. Upaya yang dilakukan antara lain adalah
mengadakan proyek percontohan, memberikan bantuan teknis dan berbagai pelatihan,
mengadakan seminar dan lokakarya, menyempurnakan sistem standarisasi, akreditasí,
dan sertifikasi bidang lingkurigan hidup, dan lain sebagainya. Namun masih banyak yang
harus dilakukan pemerintab dalam upaya pengintegrasian tersebut. Pemerintah
disarankan untuk melakukan pengadopsian lebih lanjut terhadap berbagai standar, lainnya
dalam ISO seri 14000, mengingat ISO 14001 saja belumlah cukup untuk menjamin
upaya-upaya pelestarian hidup di kalangan dunia usaha. Disamping ¡tu, dalam upaya
pengadopsian perangkat-perangkat pengetolaan lingkungan hidup, Bapedal juga
disarankan untuk lebih meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan instansi-instansi
lainnya seperti Deperindag dan Departemen Pertanian.
Akhirnya, diusulkan bagi pemerintah untuk menggunakan paradigma National
Diamond dan Porter dalam upaya mengembangkan industri jasa pengeloiaan lingkungan
hidup. Unsur utama national diamond adalah: 1) Kondisi Faktor; 2) Kondisi Permintaan;
3)Industri Pendukung dan yang terkait; dan 4) Strategi, Struktur, dan Persaingan
Perusahaan. Kondisi faktor dalam hal ini adalah faktor-faktor yang perlu didorong
keberadaanya oleb pemerintah, seperti institusi pendidikan yang mencetak para
profesional di bidang lingkungan, dan lain sebagainya, Kondisi permintaan menunjukkan
keharusan pemerintah untuk mendidik masyarakat konsumen agar menjadi lebih kritis
terhadap masalah pelestarian lingkungan, sehingga diharapkan akan dapat memberikan
masukan bagi dunia usaha dalam meningkatkan kinerja lingkungannya. Hal ¡ni pada
gilirannya akan memberikan masukan yang berarti bagi industri jasa pengelolaan
lingkungan hidup untuk dapat melakukan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi
terwujudnya produksi yang ramah Iingkungan. Industri pendukung yang penting tentunya
perlu didorong pertumbuhannya, misalnya saja industri alat-alat pengolahan limbah,
bahan-bahan kimia untuk mengolah limbah, dan sebagainya. Sementara strategi, struktur,
dan persaingan perusahaan mengharuskan pemerintah untuk menciptakan ikiim bersaing
yang sehat dimana para pengusaha jasa pengelolaan Iingkungan dapat bersaing secara
sehat dan memberikan pelayanan yang berkualitas dengan harga yang wajar.
Dengan itu semua diharapkan faktor pelestarian Iingkungan menjadi unsur strategi
yang penting bagi kalangan industri Indonesia untuk mencapai competitive advantage.
"
Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T5594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathiri Mulki
"Tesis ini menjelaskan mengenai implikasi reformasi kebijakan sektor kehutanan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia karena adanya dorongan dari lembaga keuangan multilateral, IMF (International Monetary Fund) agar pemerintah Indonesia melakukan liberalisasi sektor kehutanan, terutama alur perdagangan kayu bulat produksi hutan Indonesia. Ruang lingkup pembahasan dari penelitian ini akan mencakup pembahasan mengenai kebijakan IMF dalam merumuskan program penyesuaian struktural (SAP, Structural Adjustment Programme) sektor kehutanan Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi apakah yang kemudian timbul dari reformasi kebijakan pengelolaan sektor kehutanan Indonesia tersebut.
Tesis ini diawali dengan menjelaskan gambaran umum mengenai sejarah kebijakan pengelolaan hutan Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa pemerintahan Orde Baru. Tesis ini juga menjelaskan mengenai latar belakang keterlibatan IMF dalam isu lingkungan global hingga akhirnya merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan isu lingkungan sebagai prasayarat pencairan dana pinjaman bagi negara-negara debitor.
Periodisasi penelitian ini dimulai pada tahun 1998 hingga tahun 2001, yakni pada saat sektor kehutanan Indonesia berada dalam program penyesuaian struktural IMF. Dalam menjelaskan implikasi kebijakan SAP IMF terhadap kerusakan hutan Indonesia, penulis menggunakan konsep Sustainable Development yang digagas oleh Komisi Bruntland sejak tahun 1983 dan konsep Aktor Organisasi Internasional yang dikemukakan oleh Gareth Porter dan Janet Welsh Brown.
Kedua konsep ini menunjukkan bahwa terjadi pertentangan dalam memaknai pembangunan ekonomi di sebuah negara. Konsep sustainable development menempatkan pembangunan ekonomi sejajar dengan kelestarian lingkungan,sedangkan konsep aktor organisasi internasional memiliki power untuk memaksa suatu negara untuk menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi yang dibuat aktor organisasi internasional tersebut, meskipun kebijakan tersebut berdampak negatif bagi sektor lingkungan di negara tersebut.
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif untuk menggambarkan implikasi kebijakan penyesuaian struktural IMF terhadap proses pengrusakan sektor kehutanan Indonesia. Data yang digunakan berupa data sekunder yang telah dipublikasikan, seperti buku, jurnal, dokumen, artikel, media cetak, dan juga laporan data statistik yang telah dikumpulkan dari penelitian terdahulu maupun laporan yang diberikan oleh instansi pemerintah atau organisasi resmi lainnya yang relevan dengan penelitian yang akan disusun.
Data sekunder ini diperoleh baik melalui perpustakaan umum, instansi pemerintah, media cetak maupun elektronik, koleksi pribadi penulis, situs internet, dan sebagainya. Metode analisis data yang akan digunakan oleh peneliti adalah metode analisis data kuantitatif yang kemudian akan dianalisa lebih lanjut untuk melihat bagaimana hasil interpretasi pengolahan data.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan program penyesuaian struktural sektor kehutanan Indonesia yang diusung oleh IMF, terutama liberalisasi perdagangan kayu bulat produksi hutan Indonesia, berimplikasi negatif bagi keberadaan hutan alam Indonesia. Asumsi awal IMF agar harga kayu Indonesia dapat bersaing di pasar internasional serta untuk mengefisienkan penggunaan bahan baku kayu tidak terbukti. Yang terjadi justru tingkat kerusakan hutan (deforestasi) yang meningkat secara siginifikan pada saat kebijakan tersebut dilaksanakan.

This thesis explains about the implication of reformation in forestry policy that implemented by Indonesian government under the conditions set by IMF to liberalize forestry sector in Indonesia, especially in log trading. Analysis in this study include the IMF's policy in formulating the Structural Adjustment Program (SAP) in forestry sector. The purpose of this thesis is to describe the implications from that policy reformation.
The thesis beginning from the history of Indonesian forestry management policy since colonial government period until Orde Baru government. This thesis also explains the historical background of IMF concern on global environmental issues to formulate policies that related to environmental issues as conditions of loan disbursement to debtor countries. This study examines the forestry sector of Indonesia under the SAP during 1998-2001.
Analysis in this study uses Sustainable Development concept that has been initiated by Bruntland Commission since 1983 and the concept of international organizations as actors developed by Gareth Porter and Janet Welsh Brown. Both concepts show that there is disagreement in defining the economic development in the country. Sustainable Development concept puts economic development equally environmental reservation, meanwhile in the second concept, the international organizations has power to encourage state to implement their economic development policy, even though their policy has negative impact to the environment.
The study uses descriptive research method to describe the implications of IMF?s SAP to the deforestation in Indonesia. Analysis in this study based on published secondary data such as books, journals, documents, articles, news paper, and statistics data collected from previous study or official reports. This thesis uses quantitative data analysis approach in collecting, processing and interpreting the data.
The result of this study shows that the IMF?s SAP in forestry sector, especially the liberalization of log trading in Indonesia, has increased deforestation level in this country. The objectives of that policy initially were to increase the price competitiveness of Indonesian log in international market and to reduce the uses of log. in fact, both objective were not achieved and on the contrary has caused the level of deforestation in Indonesia getting worse."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathiri Mulki
"Tesis ini menjelaskan mengenai implikasi reformasi kebijakan sektor kehutanan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia karena adanya dorongan dari lembaga keuangan multilateral, JMF (International Monetary Fund) agar pemerintah Indonesia melakukan liberalisasi sektor kehutanan, terutama alur perdagangan kayu bulat produksi hutan Indonesia. Ruang lingkup pembahasan dari penelitian ini akan mencakup pembahasan mengenai kebijakan JMF dalam merumuskan program penyesuaian struktural (SAP, Structural Adjustment Programme) sektor kehutanan Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi apakah yang kemudian timbul dari reformasi kebijakan pengelolaan sektor kehutanan Indonesia tersebut.
Tesis ini diawali dengan menjelaskan gambaran umum mengenai sejarah kebijakan pengelolaan hutan Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa pemerintahan Orde Baru. Tesis ini juga menjelaskan mengenai Jatar belakang keterlibatan IMF dalam isu lingkungan global hingga akhirnya merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan isu lingkungan sebagai prasayarat pencairan dana pinjaman bagi negara-negara debitor. Periodisasi penelitian ini dimulai pada tahun 1998 hingga tahun 2001, yakni pada saat sektor kehutanan Indonesia berada dalam program penyesuaian struktural IMF.
Dalam menjelaskan implikasi kebijakan SAP IMF terhadap kerusakan hutan Indonesia, penulis menggunakan konsep Sustainable Development yang digagas oleh Komisi Bruntland sejak tahun 1983 dan konsep Aktor Organisasi lnternasional yang dikemukakan oleh Gareth Porter dan Janet Welsh Brown. Kedua konsep ini menunjukkan bahwa terjadi pertentangan dalam memaknai pembangunan ekonomi di sebuah negara. Konsep sustainable development menempatkan pembangunan ekonomi sejajar dengan kelestarian lingkungan,sedangkan konsep aktor organisasi internasional memiliki power untuk memaksa suatu negara untuk menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi yang dibuat aktor organisasi intemasional tersebut, meskipun kebijakan tersebut berdampak negatif bagi sektor lingkungan di negara tersebut.
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif untuk menggambarkan implikasi kebijakan penyesuaian struktural IMF terhadap proses pengrusakan sektor kehutanan Indonesia. Data yang digunakan berupa data sekunder yang telah dipublikasikan, seperti buku, jumal, dokumen, artikel, media cetak, dan juga laporan data statistik yang telah dikumpulkan dari penelitian terdahulu maupun laporan yang diberikan oleh instansi pemerintah atau organisasi resmi lainnya yang relevan dengan penelitian yang akan disusun. Data sekunder ini diperoleh baik melalui perpustakaan umum, instansi pemerintah, media cetak maupun elektronik, koleksi pribadi penulis, situs internet, dan sebagainya. Metode analisis data yang akan digunakan oleh peneliti adalah metode analisis data kuantitatif yang kemudian akan dianalisa lebih lanjut untuk rnelihat bagaimana hasil interpretasi pengolahan data.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan program penyesuaian struktural sektor kehutanan Indonesia yang diusung oleh IMF, terutama liberalisasi perdagangan kayu bulat produksi hutan Indonesia, berimplikasi negatif bagi keberadaan hutan alam Indonesia. Asumsi awal IMF agar harga kayu Indonesia dapat bersaing di pasar intemasional serta untuk mengefisienkan penggunaan bahan baku kayu tidak terbukti. Yang terjadi justru tingkat kerusakan hutan (deforestasi) yang meningkat secara siginifikan pada saat kebijakan tersebut dilaksanakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Nasichatun Asca
"Kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup dalam pengelolaan B3 harus direncanakan dengan cermat karena merupakan bagian dari proses pembangunan industrialisasi. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH, mengenai pengelolaan Limbah B3 diatur dalam pasal 17 dan pasal 21. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan B3, antara lain PP No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. PP No.19/1994 merupakan jawaban pertama Pemerintah dalam upaya untuk memberikan pedoman peraturan yang dapat diterapkan oleh para pelaku usaha atau dunia industri yang berhubungan langsung dengan lingkungan terutama dengan limbah B3 lain. PP No. 19 Tahun 1994 dengan perangkat hukum yang dimaksudkan untuk mendorong industri penghasil limbah B3 agar meminimalisasi jumlah limbah B3, PP ini kemudian digantikan dengan PP No. 12 Th 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti lagi dengan PP No. 18 Th 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kemudian dirubah dengan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti dengan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Ada banyak perubahan yang dalam PP yang baru ini, antara lain mengenai istilah, tidak lagi dengan istilah limbah tetapi langsung dengan penyebutan Bahan Berbahaya dan Beracun dan diijinkan kegiatan ekspor dan impor B3.
Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan lalu lintas batas limbah, dengan dasar ratifikasi Konvensi Basel, yang bertujuan mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak sah, antara lain: Keputusan Presiden RI No. 61/1993 tentang Pengesahan Convention on The Control of Trans-boundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/X/f92 tentang Pelarangan Limbah B3 dan Plastik, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 155/Kp/VII/95 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Import dan Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 156/Kp/VII/95 tentang Prosedur Impor Limbah.
Penegakan hukum dalam masalah B3, berkaitan erat dengan kemampuan aparat dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aparat penegak hukum lingkungan adalah: Polisi; Jaksa; Hakim; dan Pejabat/Instansi yang berwenang memberi izin; serta Penasihat Hukum. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung. Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penegakan hukum secara pidana umulnnya selalu mengikuti pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan. Untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif kurang memadai.
Sarana yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan meliputi: sarana administrasi; pidana dan Perdata. Sarana administrasi bersifat preventif dan tujuannya sebagai penegakan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Dalam sarana administrasi ini dapat diterapkan konsep "Pollution Prevention Pays" terhadap perusahaan dalam proses produksinya. Sanksi administrasi memiliki fungsi instrumental, yaitu untuk mengendalikan perbuatan terlarang, juga sebagai perlindungan kepentingan yang dijaga dengan ketentuan tersebut. Bentuk administrasi ini antara lain: Paksaan Pemerintah atau tindakan paksa, Uang paksa, Penutupan tempat usaha, Penghentian kegiatan mesin perusahaan, Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Sarana Kepidanaan, dalam delik lingkungan diatur dalam Pasal 41 s.d 48 UUPLH yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara pencemar dan yang tercemar. Tata caranya dalam beberapa pasal tersebut tunduk terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sarana Keperdataan, dalam hal ini yang dimaksud adalah penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-¬undangan lingkungan, terdapat kemungkinan beracara singkat bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa ("injuction"). Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 35 PP No. 74 Tahun 2001, dapat dilakukan baik melalui cara berperkara di pengadilan atau melalui media penyelesaian sengketa lingkungan.
Mengenai hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3 meliputi: Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat dan hak untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat." Peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 lebih diutamakan dalam hal prosedur penerapan peraturan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan B3 tersebut selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, juga dapat mereduksi kemungkinan terjadinya konflik. Peran serta masyarakat dapat efektif dan berdaya guna, apabila kepastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya, adanya Informasi lintas batas dan informasi tepat waktu. Pasal 35 PP No. 74 Tabun 2001 tentang Pengelolaan B3, menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3 ini sedangkan dalam Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, disebutkan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T19184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wangke, Humphrey
"Proses konstruksi etika lingkungan sebagai bagian penting dari budaya korporasi multinasional bukanlah suatu hal yang mudah untuk dipraktekkan. Pada umumnya korporasi multinasional telah lama terkondisi oleh pemikiran bahwa praksis-praksis lingkungan hidup hanya merupakan beban bagi korporasi itu yang bisa mengurangi daya saing mereka secara domestik maupun internasional.
Presiden AS Bill Clinton berusaha mengubah cara pandang itu dengan mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi Amerika. Korporasi Amerika didorong untuk menjadikan perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian dari etika bisnis mereka melalui perluasan UU Hak Mengetahui masyarakat. Cara ini secara tidak langsung menuntut korporasi Amerika untuk bersikap responsif terhadap masalah lingkungan hidup. Dukungan yang datang dari LSM dan anggota Konggres serta dari kalangan pengusaha sendiri menambah keyakinan bahwa lingkungan hidup merupakan masalah yang tidak terpisahkan dari kebijakan ekonomi.
PT Freeport Indonesia sebagai bagian dari korporasi Freeport McMoRan dituntut pula untuk mengimplementasikan nilai baru dalam etika bisnis di Amerika tersebut. Banyak kendala yang ditemui dalam tahapan-tahapan proses konstruksi etika lingkungan ini. Meskipun telah mempunyai komitmen terhadap masalah lingkungan hidup, tetapi mereka masih pula melakukan penyimpangan-penyimpangan. Konsekuensinya pemerintah Bill Clinton menangguhkan bantuan OPIC senilai US$ 100 juta. Tekanan terhadap PTFI tidak hanya datang dari badan federal Amerika saja tetapi juga LSM-LSM luar negeri. Semuanya ini menunjukkan bahwa PTFI masih harus bekerja lebih keras lagi dalam mewujudkan etika lingkungan sebagai budaya korporasi mereka."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Karden Eddy Sontang
Jakarta: Djambatan, 2003
333.72 SON p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>