Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2428 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nieuwkoop, Pieter D.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1979
596 NIE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adianti Khadijah
"Germ cell tumor (GCT) adalah sebuah penyakit yang relatif jarang. Hanya 1% dari seluruh keganasan pada pria, yang sebagian besar terjadi pada pria berusia 15 sampai 35 tahun. Terdapat penurunan yang luar biasa pada jumlah kematian karena kanker testis dalam 3 tahun terakhir, karena kemajuan dalam kemoterapi. Penelitian ini mengevaluasi hasil dari pemberian kemoterapi bleomycin, etoposide, dan cisplatin (BEP) untuk pasien GCT di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais. Penelitian ini meninjau karakteristik dan kesintasan semua pasien yang mendapatkan BEP di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais pada tahun 2011 sampai 2017. Tingkat kesintasan dianalisa dengan metode Kaplan-Meier. Dalam seri ini tingkat kesintasan 1, 3, dan 5 tahun masing-masing adalah 93,75% (30), 90,63% (29), dan 81,25% (26), sedangkan tingkat kesintasan bebas rekurensi adalah 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Rekurensi terjadi pada 6 (18,7%) pasien setelah respon komplet kemoterapi. Tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan stadium penyakit II dan III adalah 84,6% dan 78,8%, dan tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan prognosis baik, sedang, dan buruk berdasarkan klasifikasi IGCCCG adalah 88,9%, 85,7%, dan 66,7%. Pasien dengan GCT metastasis menunjukkan respons yang baik terhadap BEP sebagai kemoterapi lini pertama, dan pasien yang diterapi dengan BEP dapat mencapai hasil prognostik yang baik. Tingkat kesintasan lebih baik ketika pasien datang pada stadium lebih awal dan memiliki prognosis yang lebih baik sesuai dengan klasifikasi IGCCCG.

Germ cell tumor (GCT) is a relatively rare disease, accounting for only 1% of all malignancies in men, affecting mostly men between 15 to 35 years of age. There has been a remarkable decline in testicular cancer mortality over the past 3 years, due to advances in chemotherapy. This study evaluate the outcome of bleomycin, etoposide, and cisplatin (BEP) chemotherapy for GCT patients in Dharmais National Cancer Hospital. This study reviewed characteristics and survival of all patients receiving BEP in Dharmais National Cancer Hospital between year 2011 to 2017. Survival rates were analyzed by Kaplan-Meier method. In these series, 1, 3, and 5 year survival rates were 93,75% (30), 90,63% (29), and 81,25% (26), respectively, while recurrence-free survival rates were 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Recurrences occur in 6 (18,7%) patients after complete response of chemotherapy. Five-year survival rate patients with stage II and III of disease were 84,6% and 78,8%, and five year survival of patients with good, intermediate, and poor prognosis based on IGCCCG classification is 88,9%, 85,7%, and 66,7%. Patients with metastatic GCTs showing favorable response to BEP as first-line chemotherapy, and patients treated with BEP could achieve good prognostic outcome. Survival rate is better when the patient came with earlier stage and has a better prognosis according to IGCCCG classification."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adianti Khadijah
"Germ cell tumor (GCT) adalah sebuah penyakit yang relatif jarang. Hanya 1% dari seluruh keganasan pada pria, yang sebagian besar terjadi pada pria berusia 15 sampai 35 tahun. Terdapat penurunan yang luar biasa pada jumlah kematian karena kanker testis dalam 3 tahun terakhir, karena kemajuan dalam kemoterapi. Penelitian ini mengevaluasi hasil dari pemberian kemoterapi bleomycin, etoposide, dan cisplatin (BEP) untuk pasien GCT di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais. Penelitian ini meninjau karakteristik dan kesintasan semua pasien yang mendapatkan BEP di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais pada tahun 2011 sampai 2017. Tingkat kesintasan dianalisa dengan metode Kaplan-Meier. Dalam seri ini tingkat kesintasan 1, 3, dan 5 tahun masing-masing adalah 93,75% (30), 90,63% (29), dan 81,25% (26), sedangkan tingkat kesintasan bebas rekurensi adalah 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Rekurensi terjadi pada 6 (18,7%) pasien setelah respon komplet kemoterapi. Tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan stadium penyakit II dan III adalah 84,6% dan 78,8%, dan tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan prognosis baik, sedang, dan buruk berdasarkan klasifikasi IGCCCG adalah 88,9%, 85,7%, dan 66,7%. Pasien dengan GCT metastasis menunjukkan respons yang baik terhadap BEP sebagai kemoterapi lini pertama, dan pasien yang diterapi dengan BEP dapat mencapai hasil prognostik yang baik. Tingkat kesintasan lebih baik ketika pasien datang pada stadium lebih awal dan memiliki prognosis yang lebih baik sesuai dengan klasifikasi IGCCCG.

Germ cell tumor (GCT) is a relatively rare disease, accounting for only 1% of all malignancies in men, affecting mostly men between 15 to 35 years of age. There has been a remarkable decline in testicular cancer mortality over the past 3 years, due to advances in chemotherapy. This study evaluate the outcome of bleomycin, etoposide, and cisplatin (BEP) chemotherapy for GCT patients in Dharmais National Cancer Hospital. This study reviewed characteristics and survival of all patients receiving BEP in Dharmais National Cancer Hospital between year 2011 to 2017. Survival rates were analyzed by Kaplan-Meier method. In these series, 1, 3, and 5 year survival rates were 93,75% (30), 90,63% (29), and 81,25% (26), respectively, while recurrence-free survival rates were 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Recurrences occur in 6 (18,7%) patients after complete response of chemotherapy. Five-year survival rate patients with stage II and III of disease were 84,6% and 78,8%, and five year survival of patients with good, intermediate, and poor prognosis based on IGCCCG classification is 88,9%, 85,7%, and 66,7%. Patients with metastatic GCTs showing favorable response to BEP as first-line chemotherapy, and patients treated with BEP could achieve good prognostic outcome. Survival rate is better when the patient came with earlier stage and has a better prognosis according to IGCCCG classification."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Fahri
"Tujuan: untuk menggambarkan jenis kuman dan sensitifitas kuman terhadap anti mikroba pada pasien yang terpasang DJ stent di RSUP DR. Sardjito.
Metode dan cara: penelitian dilakukan secara prospektif dimana seluruh pasien yang dilakukan pelepasan DJ stent dan dilakukan pemeriksaan kultur sensitifitas terhadap potongan DJ stent tersebut di RSUP DR. Sardjito setelah lebih kurang 1 bulan pemasangan DJ stent diambil preparat DJ stent dengan melakukan pemotongan pada DJ stent lebih kurang 2 cm. Potongan tersebut selanjutnya dikirim ke instalasi patologi klinik untuk dilakukan pemeriksaan kultur sensitivitas untuk mengetahui jenis kuman dan sensitifitas kuman terhadap anti mikroba. Data yang didapatkan diinterpretasikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Hasil: Rata rata usia pasien adalah 53,13 ± 14,2 tahun. Dimana jenis kelamin laki- laki 20 pasien dan perempuan 10 pasien. Kultur kuman terbanyak adalah Acinetobacter Baumanii (32%) dengan hasil uji sensitifitas, paling sensitive meropenem 21 pasien (84%), ertapenem 20 pasien (80%) dan amikasin 16 pasien (64%) pada penelitian ini memperlihatkan anti mikroba lain memiliki sensitifitasnya paling rendah.
Kesimpulan: Pemakaian DJ stent akan menyebabkan tumbuhnya kuman pada permukaan DJ stent dan masih banyak antibiotic yang dapat dipergunakan berdasarkan kultur sensitifitasnya.

Objective: To describe any kind of bacteria and their sensitivity to anti micro organism in patients with DJ stent in Sardjito Hospital.
Methods: This prospective research is done in which all DJ stent from patients were cut 2cm and sent to clinical pathology department to check microorganism culture and sensitivity. All the patients used DJ stent at least 1 month before removal. The data were presented in tables and graphs.
Results: The age of patients were 53,13 ± 14,2 year old, consist of 20 men and 10 women. The most common microorganism culture was Acinobacter Baumanii (32%). Anti microorganism which most sensitive was meropenem in 21 patients (84%), ertapenem in 20 patients (80%) and amikacin in 16 patients (64%). The other anti microorganism had lower sensitivity.
Conclusion: DJ stent will cause microorganism growth on its surface and there are many antibiotics that can be used based on their antimicroorganism sensitivity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Kandidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Spesies
terbanyak yang dapat menyebabkan penyaldt adalah Candida albicans. Jamur
tersebut dapat ditemukan sebagai komcnsal dalam tubuh manusia, yaim dalam
saluran cema atau salman napas bagian atas. Pada keadaan tertcntu yaitu adanya
falctor predisposisi, jamur tersebut dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
pcnyakif. Berdasarkan iokalisasi, Candida dapat menyebabkan infeksi superlisial
pada kuku, kulit, dan mukosa, tetapi juga dapal menyebabkan infeksi sistemik pada
organ dalam. Dalam proses teljadinya kandidosis sistemik turut berperan faktor
predisposisi antara lain pemberian antibiotik jangka panjang, pemberian obat
imunosupresan seperti kortikosternid dan sitostatik yang dapat mengakibatkankan
keadaan netropeni, keganasau termama hemarogenik., usia lanjut dan penyakit
metabolik seperti diabetes melitus (Emmons et al., 1977; Rippon, 1988; Odds, 1988;
Reiss er al., 1998).
Dalam beberapa dekadc telakhir, iiekuensi kandidosis sistemik meningkat
sepuluh kali tetapi diagnosis masih temp merupakan masalah (Maksymiuk et al.,
1984; Komshian et az., 1989, Rex 8I af., 1995; Edwards, 1997). scnmsnya diagnosis
pasti kandidosis sistcmik dapat ditegakkan dengan menemukan jamur dalam sediaan
histopatologi jaringan yang terkena, tempi cara terrsebut invasif dan mengandung
risiko terhadap penderita. Sclain itu pengambiian bahan untnk biopsi tidak mudah
dilakukan karena kondisi penderita yang biasanya sudah bm'uk dan sulit menetapkan
lokalisasi biopsi yang tepat karena sifat lesinya sendiri yang dapat berupa abses
multipel kecil-kccil (Emmons er al.,19'77; Rippon, 1988). Pada saat ini gold standard
untuk diagnosis kandisosis sistemik adalah biakan darah berulang, tetapi cara itu
sering memberikan hasil negatif dan perlu waktu lama apalagi bila diperlukan
identifikasi spesies. (Halley & Callaway, 1978; Walsh et ai., 1991; Bumie El al.,
1997).
Masalah diagnostik kandidosis sistemik disebabkan: (i) Penyakit tersebut tidak
mempunyai gejala klinik yang patognomonik; gejalanya tergantung pada organ yang
terkena sehingga diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik
saja. (ii) Pemeriksaan bahan klinik saja tidak memberikan hasil yang pasti karena sifat
Candida yang oportunis; ditemukannya jamur dari bahan klinik sulit untuk
menjelaskan perannya sebagai etiologi penyakit tersebut .(iii) Kultur darah lebih
sering negalif dan apabila positif satu kali saja sulit dibedakan dengan keadaan
sementara (transient candidemia) seperti yang dapat terjadi pada pemberian infus
(Bodey, 1984).
Selain biakan telah dikembangkan berbagai cara diagnosis, antara lain sara
serologi dan polymerase chain reaction (PCR). PCR, suatu metode berdasarkan teori
biologi molekuler, merupakan cara paling baru dan dianggap sebagai cara paling
sensitif untuk diagnosis kandidosis sistemik akan tetapi penerapan sehari-hari di
laboratorimn tidak mudah dilakukan (Miyakawa EI a1.,1993; Holmes er al., 1994).
Uji serologi yang ada saat ini mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah (Ruechel, 1989; Jones, 1990; Buckley er al., 1992). Hal itu dapat dijelaskan,
karena C. albicans merupakan jamur saprofit yang dapat hidup sebagai komensal
dalam tubuh manusia. Baik dalam keadaan saprofit maupun dalam keadaan patogen
jamur tersebut melepaskan antigen misalnya mannan yang berasal dari dinding sel.
Dengan demikian mannan akan merangsang pembentukan antibodi antimannan pada
kedua keadaan tersebut, sehingga deteksi antibodi antimannan tidak dapat digunakan
untuk membedakan keadaan saproiit dari kandidosis sistemik (de Repenugny,
Quindos er ai., l990a; Buckley et af., 1992; Ponton ex al, 1993).
Dua bentuk penting C. albicans adalah bentuk blastokonidia atau khamir dan
bentuk hifa semu yang dapat didahului pembentukan germ tube oleh blastokonidia.
Germ tube merupakan bentuk yang dianggap penting sebagai penentu virulensi karena
berperan dalam perlekatan dan invasi ke dalam jaringan (Sobel et al., 1984; De
Benardis el al., 1993; Calderone er al., 1994). Masing-masing bentuk balk khamir
maupun germ tube mempmmyai antigen spesiiik yang cliekspresikan pada dinding se]
(Penton & Jones, 1986). Bebempa peneliti telah melaporkan antigen spesitik germ
tube, antara lain antigen dengan berat molekul 19 kDa dan 230 kDa sampai 235 kDa
(Ponton & Jones, 1986), 47 dan 43 kDa (Casanova et al., 1989; 1991). Peneliti lain
menemukan bahwa antibodi terhadap germ tube tidak ditemukan pada orang yang
rnengandung C. albicans sebagai saproiit (Quindos et al., 1987; 1990a). Penemuan
tersebut memberikan dasar pemikiran untuk pengembangan uji diagnestik bam dalam
usaha mendaparkan cara diagnosis kandidosis sistemik yang lebih akurat."
1999
D432
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cambridge, UK: At The University Press, 1972
599 REP I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Radiana Dhewayani Antarianto
"Sel induk(Stem Cell) adalah sel pembangun setiap organ dan jaringan tubtih kita. Dia adalah sel yang belum berdiferensiasi, tapi dengan kondisi tepat mampu berkembang inenjadi jaringan khusus dan organ tertentu. Sebdgian besar dari sel-sel jaringan tidak dapat beregenerasi jika rusak berat atau sakit, seperti pada kasus Infark Miokard. Penelitian terbaru mulai berfokus pada sel induk, yang dapat berproliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel otot jantung. Artikel ini bertujuan untuk ineiierangkan transplantasi sel induk pada infark miokard, keniajuan dan kendala yang terdapat dalam btdang kardiotnioplasti selular. (Med J Indones 2005; 15:3-8).

Stem cells are the foundation cells for every organ and tissue in the body. They are undifferenciated cells that under proper conditions begin to develop into specialized tissues and organs. Most of the body's specialized cells cannot be replaced by natural processes if they are seriously damaged or diseased, such as in Myocardial Infarction. Recent interest has focused on stem cells, which can proliferate, and differentiate into cardiomyocytes.This paper aim to provide overview of stem cell transplantation in myocardial infarction, milestones and setbacks in the study of cellular cardiomyoplasty. (Med J Indones 2005; 15:3-8)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 15 (1) January-March 2006: 3-8, 2006
MJIN-15-1-JanMarch2006-3
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
London: Elsevier , 2011
616.027 74 STE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Because the concept and discoveries of cancer stem cells are relatively new, scientists and researchers need an introduction to this dynamic area. Cancer Stem Cells presents a consolidated account of the research done to date and recent progresses in the studies of cancer stem cells. Such a presentation facilitates a better understanding of and draws attention to stem cell and cancer biology, two fields that enhance, move, and evolve into each other continuously. It provides an informative study in designing approaches to apply stem cell principles to cancer biology while offering an overview of the challenges in developing combination stem and cancer biology targets for therapeutics. "
New Jersey: John Wiley & Sons, 2009
e20375775
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Triarman
"Tunnel Solar Cells (TSC) merupakan kombinasi efek tunnel pada Passivated Emitter of Rear Location (PERL) silikon solar sel, penelitian terhadap TSC dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan performansi dan efisiensi silikon solar sel.
Pada tests ini dilakukan peraneangan dan analisa TSC, dengan menitikberatkan proses tunneling pada solar sel. Proses tunneling pada solar sel hanya dapat terjadi pada keadaan reverse bias dan konsentrasi doping yang tinggi. Untuk itu, dilakukan pembalikan polaritas dan peningkatan konsentrasi doping pada PERL silikon solar sel, agar terbentuk struktur TSC.
Pada analisa diperoleh hasil, bahwa peningkatan arus pada TSC dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yaitu : pertama, peningkatan banyaknya pasangan elektron-hole yang terjadi per energi photon (Quantum efficiency) akibat gabungan efek tunnel dan avalanche yang terjadi pada sel, dan kedua, perpindahan elektron melalui barrier yang sempit dengan kecepatan yang sangat tinggi (high speed) hasil dari proses tunneling pada konsentrasi doping yang sangat tinggi. Arus maksimum pada konsentrasi doping (NB) 1.1021cna 3 sebesar 8 Amper, dengan daya maksimum yang diberikan 22 Watt dan efisiensi 27%. Peningkatan efisiensi dan performansi, yang semula sebesar 24.7% pada PERL silikon solar sel, telah dapat diraih pada TSC.

The Tunnel Solar Cells (TSC) is the combination of tunnel eject on the Passivated Emitter of Rear Location (PERL) silicon solar cells structure. The research of TSC has done to increase performance and efficiency silicon solar cells.
This Thesis has designed and analyzed the TSC, focus on the tunneling process for silicon solar cells. This tunneling process is only able to do on the reverse bias and the high doping concentration. This Thesis has done to make the back of polarity and increased the doping concentration on The PERL structure.
The analysis has obtained the result, that the current increment on TSC has done by two possibility, first, the quantum increment of electron-hole pairs per energy photon (quantum efficiency), the result of the combination tunnel effect and avalanche, and second, electron moved through of narrower barrier on the high speed, the result of the tunnel process on the very high doping concentration. The maximum current on the doping concentration 1.1021 cm-3 is 8 Ampere, with maximum power 22 Watt and efficiency 27%. The increment of performance and efficiency, present on The PERL silicon solar cells is 24, 7%, has reached on the TSC."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
T9374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>