Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152505 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991
973 KON
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991
973.23 Kon
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maswadi Rauf
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2001
324.7 MAS k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian Muthalib
"Stanley Eitzen (1974:5-10) mengemukakan dua model konflik untuk memahami suatu masyarakat secara umum. Kedua model yang ditawarkan oleh Eitzen tersebut Model Keteraturan (The Order Model) dan Model Konflik (The Conflict Model). Model pertama melihat interaksi individu-individu dalam mencapai nilai-nilai tertentu selalu berada dalam keharmonisan. Pencapaian nilai-nilai dalam masyarakat dilakukan dengan cara bekerja sama atau korporatif. Korporatif terbentuk karena masing-masing pihak atau individu-individu cenderung melihat kepentingan mereka saling timbal balik, slaing mengisi atau identik. Model ini dicirikan dengan kestabilan, konsensus, kohensif dan kemantapan (1974:6). "
1999
JSAM-V-AgustDes1999-67
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Rahadianto Sutopo
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rangkuti-Hasibuan, Sofia
"Dalam desertasi ini, penulis meneliti individualisme dalam pengalaman bangsa Amerika. Dari penelitian terbukti bahwa individualisme, dalam pengalaman bangsa tersebut, mempunyai makna yang terpuji. Individualisme berarti mengedepankan kepentingan pribadi yang sejalan dengan kepentingan umum. Individualisme yang demikian disebut oleh Alexis deToqueville "individualism properly understood" (individualisme yang tepat) Penelitian juga membuktikan bahwa bangsa Amerika amat menghayati individualisme yang terpuji tersebut. Bahkan, individualisme merupakan sebagian dari jatidiri bangsa tersebut di samping nilai-nilai budaya lainnya seperti materialisme dan sekulerisme. Individualisme juga berkembang menjadi "self-reliant individualism" dalam budaya bangsa Amerika atau disebut juga individualisme yang menekankan kemandirian.
Namun, di akhir-akhir abad ke-20an, individualisme telah berubah kembali ke individualisme yang tidak terpuji. Hal ini terjadi karena berbagai unsur. John Locke, dengan pemikixan dasarnya yang amat mengandalkan manusia telah membawa pengaruh besar dalam budaya bangsa tersebut. Kedua, penelitian juga membuktikan bahwa filosof-filosof Amerika seperti Ralph Waldo Emerson, Henry David Thoreau, dan Walt Whitman, antara lain, turut membentuk pribadi bangsa tersebut karena luasnya tulisan mereka memasyarakat. Bahkan, tulisan mereka pun digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Amerika. Seperti telah dipahami, ketiga filosof tersebut sangat mengandalkan pentingnya individu atau "aku". Oleh sebab dalamnya penghayatan bangsa Amerika terhadap "aku", maka individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat pun bergeser maknanya menjadi individualisme yang sempit. Individualisme yang sempit amat menekankan pentingnya "aku." Maka, di akhir-akhir abad ke-2Oan ini timbul gejala, hedonisme, narsisisme, skeptisisme, kenisbian nilai dan sekulerisme dalam budaya bangsa Amerika. Sebagian besar faham tersebut menekankan bahwa segala sesuatunya itu adalah individu atau "aku" sumbernya.
Penelitian juga menyimpulkan bahwa materialisme adalah jatidiri bangsa Amerika. "The pusuit of happiness" yang mengawali Deklarasi Kemerdekaan bangsa tersebut telah menjadi dasar dari kehidupan mereka sehingga terjadilah "pendewaan kebendaan". Berbagai kejahatan seperti perjudian, pelacuran, perdagangan minuman keras, dan obat bius, dsb. telah menjadi sumber mencari keuntungan tinggi. Orang-orang yang berkecimpung di bidang tersebut telah mengaadalkan berbagai cara untuk tujuan mereka.
Paradoks juga adalah sebagian dari jatidiri bangsa Amerika. Salah satu wujud paradoks yang nyata dalam budaya bangsa tersebut adalah perbudakan. Bangsa tersebut amat meyakini kesucian fitrah manusia, kemandirian, kehandalan dan keutuhannya. Namun hal tersebut tidak diakui untuk para keturunan budak, orang-orang ras kulit hitam dari Afrika. Walaupun perbudakan telah dianggap punah setelah presiden A. Lincoln mengeluarkan peraturannya "the Proclamation Act" tahun 1861, hingga sekarang sisa-sisa perbudakan tersebut masih ada dalam bentuk-bentuk yang lain pula.
Akibat dari penekanan yang amat kuat pada "aku' tersebut yang dibarengi dengan berbagai unsur-unsur buruknya seperti materialisme dan paradoks, timbullah kekosongan rohani dalam bangsa tersebut. Dari hasil penelitian sulit akan disimpulkan yang manakah yang terdahulu, kekosongan rohani atau individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat. Tetapi, memang kehampaan rohani tersebut pun mempunyai akar dalam sejarahnya. Kekakuan kaidah-kaidah Puritanisme telah membuat umatnya lari dari keyakinan tersebut dan mencari keyakinan yang lebih praktis di luar kubu Puritanisme.
Oleh karena akibat sampingan tersebut di atas, maka individualisme yang terpuji perlu diteliti apabila is akan digunakan sebagai landasan pembangunan bangsa Indonesia dalam (PJP It). Seperti telah dimaklumi program pemerintah dalam pengembangan sumberdaya insani ini menekankan pengembangan manusia yang sejahtera rohani dan jasmani dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Untukmemahami individualisme tersebut dalam suasana Indonesia, maka penelitian mengenai Individualisme di Indonesia diadakan juga untuk bahan pembahasan agar penulis mengetahui letak individualisme yang terpuji tersebut dalam budaya bangsa Indonesia. Terbukti bahwa individualisme di Indonesia mempunyai warna yang tidak terpuji karena dua unsur. Pertama, feodalisme turut memberi makna yang jelek pada individualisme. Kaum feodal telah mematikan kemandirian dan kehendak rakyat jelata. Mereka menganggap diri mereka sebagai "titisan dewa di bumi", menurut istilah mantan presiden Indonesia Sukarno. Kehendak mereka adalah kehendak dewa dan harus ditaati oleh rakyat jelata.
Kedua, kolonialisme juga turut menambah makna yang tidak terpuji pada individualisme. Dari semenjak awal berdirinya republik ini, pendiri-pendiri bangsa tidak menyetujui faham-faham dari barat untuk digunakan sebagai dasar INdonesia merdeka. Hal ini disebabkan, penelitian membuktikan, oleh penindasan dan kekerasan yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial pada bangsa pribumi demi keuntungan kaum penjajah. Individualisme adalah faham dari barat yang menggambarkan keserakahan kaum kolonial atas kekayaan Nusantara.
Namun, penelitian juga menguraikan dan menyimpulkan bahwa pendiri-pendiri bangsa Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara, H.O.S. Cokroaminoto, Sukarno, M. Hatta, M. Yamin, dan lain-lain merupakan pengejawantahan dari individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat. Mereka telah berjuang keras memajukan rakyat dan bangsanya dan membawakan kesejahteraan bagi mereka.
Tulisan ini juga menyimpulkan bahwa individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat dapat digunakan sebagai landasan pembangunan bangsa. Dengan demikian penelitian ini ada manfaatnya bagi negara dan bangsa karena akan sia-sialah suatu studi atau penelitian apabila is tidak bisa dimanfaatkan bagi tanah air yang tercinta ini.
Dari penelitian dapat diraih kesimpulan bahwa individualisme yang terpuji sejalan dengan budaya dan agama sebagian besar masyarakat Indonesia. Faham tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dengan nilai-nilai agama sebagai landasan spiritual, Pancasila sebagai dasar filosofis dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
D293
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S5811
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khatibul Umam Wiranu
"ABSTRAK
Klaim konsensus yang menjadi dasar kebijakan politik Orde Baru memunculkan berbagai persoalan, jika dikaitkan dengan nilai-nilai konsensus dalam perspektif Jürgen Habermas. Habermas mengandaikan konsensus dalam ruang tanpa paksaan dan dominasi yang membuat legitimasi konsensus Orde Baru patut dipertanyakan. Tiga peristiwa yang dianggap sebagai konsensus, yakni Sumpah Pemuda (1928), Pancasila (1945) dan Orde Baru (!966) mengandung asumsi atas kuatnya kepentingan kekuasaan dan pihak-pihak tertentu begitu besar mewarnai proses pengesahan konsensus tersebut. Redaksi Sumpah Pemuda (1928) yang menjadi referensi persatuan dan kesatuan bangsa, lahir dari sebuah pemikiran akan pentingnya menyatukan bangsa dibawah asumsi persatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. Dilihat dari tujuannnya, hal tersebut memiliki efek besar pada terciptanya nasionalisme kebangsaan, khususnya untuk mengusir penjajah dan menjadi bangsa yang merdeka. Meski demikian, proses pengesahan redaksi Sumpah Pemuda sendiri terkesan sangat sederhana. Meskipun proses menuju kesepakatan redaksi Sumpah Pemuda bukanlah hal yang simpel dan sederhana, setelah didahului peredebatan panjang dengan mendengarkan berbagai pendapat elemen bangsa yang beraneka ragam. Dipandang dari paradigma komunikatif, konsensus Sumpah Pemuda merupakan bagian dari komunikasi politik. Momen tersebut juga bagian dari ruang publik politik dimaksud, dimana semua partisipan dalam ruang publik politik memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan diluar diri mereka. Bahkan dengan tegas, efek dari momen Sumpah Pemuda memunculkan semangat nasionalisme yang menjadi bekal dalam mengisi kemerdekaan. Kepentingan nasionalisme itu sendiri mewadahi ruang publik politik yang "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan". Konsensus kedua, yakni konsensus Pancasila, bersumber pada kehendak untuk menyatukan visi kebangsaan dibawah naungan satu ideologi, yakni Pancasila. Meski kalangan religius pada awalnya menentang dihapuskannya tujuh kata pada sila pertama Pancasila, namun dengan memahami keberatan dari kalangan non muslim, serta mempertimbangkan cita-cita kemerdekaan dan persatuan Indonesia, maka mereka sepakat Pancasila dengan lima sila yang dikenal sampai hari ini, sebagai dasar negara. Syarat-syarat konsensus yang digagas Habermas terpenuhi dalam proses menuju kesepakatan dasar negara ini. Sedangkan konsensus Orde Baru sangat jelas mengakomodasi kepentingan kekuasaan Orde Baru. Munculnya konsensus tersebut yang berdasar dari hasil Seminar Angkatan Darat II tahun 1966, menegaskan bahwa pihak-pihak yang merumuskan kebijakan kenegaraan tersebut adalah mereka yang termasuk berada dalam lingkaran kekuasaan. Peserta seminar baik dari kalangan akademisi, aktivis, dan militer, terbukti dalam sejarah bahwa mereka adalah pendukung setia Orde Baru. Justifikasi etis dan politis yang menjadi prasyarat konsensus tidak dimiliki secara penuh, sehingga konsensus tersebut lebih bermakna ideologis ketimbang kepentingan untuk mewadahi aspirasi dan partisipasi rakyat secara utuh."
2007
T19486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrachman Surjomihardjo
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986
959.8 ABD k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Smith, Wilfred Cantwell
"Buku terjemahan ini menjelaskan tentang perkembangan Islam di negara-negara antara lain di Turki, Pakistan, India, dan negara-negara lainnya."
Djakarta: Bhratara, 1964
K 297.09 SMI i
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>